Diva masih berdiri dengan tubuh sempurna menempel di tembok, matanya menatap ngeri pada sosok pria yang kini telah duduk santai di atas kasurnya dengan bersila.
“Ya, Tuhan. Suara kamu itu bisa membuat telingaku tu-li, Nona. Bisa ‘kan sedikit lebih lembut? Kamu ‘kan seorang wanita. Wanita itu harus lemah lembut dan anggun,” ucap pria itu sembari mengorek-ngorek telinganya demi mengurangi dengungan akibat teriakan Diva tadi.
“S-s-siapa kamu?! Kenapa kamu tiba-tiba ada di sini?” tanya Diva mengabaikan apapun perkataan pria itu sebelumnya. “Kamu maling, ya?!”
“Maling?” Pria itu menatap Diva tak percaya. “Makhluk setampan aku?” tunjuknya pada dirinya sendiri sembari mendengus kecil. “Enak aja kalau nuduh!”
Pria itu beranjak dari kasur, membuat Diva semakin menempelkan tubuh ke tembok sembari memasang sikap defensif yang kentara.
Setelah mengamati sekitar sesaat, kini pandangan pria itu sepenuhnya terkunci pada puluhan lilin dan barang-barang yang Diva kumpulkan untuk memanggil dewi cinta tadi.
Mata pria itu memicing, kepalanya sedikit miring ke kanan tampak berpikir. Lalu ia pun mendekati barang-barang itu.
“Sepertinya ada sedikit kesalahan di sini,” ujarnya sembari mengambil sebuah dress putih yang tergeletak di kasur. Pria itu membolak-balik dress tersebut seolah sedang mengamati kualitas bahan dan menilai seberapa bagusnya benda itu.
Puas mengamati, ia berbalik lalu tersenyum simpul menatap Diva. Dan saat itu juga, mulut Diva spontan terbuka. Baru kali ini ia melihat makhluk setampan itu. Terlebih lagi ia memiliki iris mata berwarna hitam pekat yang seolah mampu menenggelamkan siapapun ke dalamnya.
Kulit putih, alis tebal, bulu mata panjang, hidung mancung, bibir merah, serta rambut kepala yang sedikit acak-acakan. Pakaian serba hitam dengan kerah panjang hingga menutupi leher hingga celana panjang yang hampir menutup kaki telanjangnya.
Dalam pikiran Diva saat ini adalah, pria itu mirip sekali dengan salah seorang member boyband dari Negeri Gingseng yang ia gilai saat ini.
Suga ... BTS!!
“Dress ini lebih cocok untukmu!”
Pria itu menjentikkan jari. Hal yang membuat Diva terkejut setengah mati karena tiba-tiba pakaian yang ia pakai telah berganti dengan dress putih tersebut.
Belum hilang keterkejutan Diva, pria itu tiba-tiba sudah berada di depannya. Ia menarik tubuh Diva lalu membaliknya hingga ia berada di depan pria tersebut. Tubuh Diva sedikit meremang saat merasakan hembusan napas hangat dari balik tengkuknya.
“Cokelat,” bisik pria itu tepat di telinga Diva. Posisinya yang berada tepat di belakang Diva membuat Diva tidak bisa berpikir jernih. Bahkan ketika pria itu memeluk pinggangnya hingga punggung Diva menempel ke d**a pria itu, Diva tidak melakukan protes apapun.
Tangannya menunjuk sepuluh batang cokelat silverking di sana, membuat mata Diva mengikutinya.
“Aku tidak butuh itu, kamu bisa menyingkirkannya,” lanjut pria itu dengan nada yang masih menyerupai bisikan lembut.
“Sebuket mawar merah.” Pria itu menunjuk ke arah lain dan mata Diva bergerak mengikuti, melihat apa yang disebutkan oleh si pria. “Kenapa kamu tidak menaburkannya saja di atas ranjang kita? Itu akan lebih terkesan romantis.”
“Lalu, minyak wangi.” Ia menjeda sejenak kalimatnya. “Bisa dimaafkan, tetapi kupikir baunya terlalu feminim untukku.”
Diva belum sempat mengeluarkan sepatah katapun saat tubuhnya sudah kembali dibalik, hingga kini posisinya berhadapan langsung dengan pria tersebut.
Tidak ada jarak diantara tubuh mereka. Tubuh Diva dan dia saling menempel satu sama lain, bahkan tangan kanan pria itu masih betah berada di pinggang Diva. Hanya wajah satu sama lain saja yang masih mempunyai jarak, meskipun hanya satu jengkal.
“Siapa namamu?”
Diva memejamkan mata, bau napas mint dari pria tersebut merasuk ke indera penciumannya. Membuat Diva ingin pingsan karena debaran jantungnya yang tiba-tiba menggila.
“Diva,” jawab Diva tanpa sadar, meyerupai bisikan.
“Nama yang bagus. Aku menyukainya. Diva.”
Kedua sudut bibir Diva terangkat ke atas. Kini suara pria tersebut terdengar merdu di telinganya.
“Di mana wine-ku?”
Kedua mata Diva terbuka, menatap penuh tanya pada sang pria. “Wine?”
Pria itu menyeringai, pandangan matanya turun ke bawah, melirik pada tubuh Diva yang masih terbalut sempurna dress tersebut.
“Berapa usiamu?” Pria itu kembali bertanya, sementara ujung telunjuk kirinya kini tengah menelusuri wajah lembut milik Diva.
Namun, berbeda dengan si pria. Diva kini justru mengernyit karena pertanyaan pria di depannya sungguh random.
“Enam belas tahun.”
Telunjuk pria yang tadinya telah sampai di leher Diva terhenti seketika. Ia menatap Diva lama—lebih tepatnya mereka berdua saling bertatapan satu sama lain—tanpa kata, tanpa suara. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
“Jadi kamu masih enam belas tahun?”
Pria itu mundur, lantas berjalan mengelilingi tubuh Diva sembari mengamati sosok gadis itu dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Untuk apa gadis seusiamu ... sudah ingin melakukannya?”
“Hah?”
“Jelaskan padaku, Diva. Apakah aku yang terlalu banyak tertinggal informasi tentang anak muda jaman sekarang atau kamu yang memang dewasa lebih cepat dari waktunya?”
“Maksudnya?” Diva kian bingung dengan arah pertanyaan pria itu.
“Lupakan.” Pria itu terkekeh kecil melihat raut bingung di wajah Diva.
“Sebagai informasi, gadis kecil, aku tidak pernah melayani seseorang dengan syarat yang tidak lengkap.”
Raut bingung di wajah Diva semakin menjadi. “Syarat?”
“Barang-barang itu semua!” Pria itu menunjuk ke semua barang yang tadi ia sebutkan satu persatu. “Pertama, tentu saja karena aku seorang pria jadi seharusnya kamu menyiapkan sebuah tuxedo, jas atau minimal sebuah kemeja, bukan sebuah dress. Dan sebagai tambahan informasi, aku benci warna pink atau kuning, jadi jangan sekali-sekali kamu memberiku barang dengan warna itu.” Ia menjeda sejenak kalimatnya.
“Aku sangat menyukai warna hitam. Lihat?” Pria itu menunjuk penampilannya sendiri. “Hitam membuatku terlihat seratus kali lebih tampan dan keren.
“Kedua, kamu harus memberiku wine. Semakin mahal dan bagus kualitas wine itu maka akan semakin baik pula pelayanan yang akan kuberikan. Dalam arti lain, tingkat kepuasan yang akan kamu dapatkan tergantung dari wine yang kamu siapkan untukku.”
Diva melongo, sama sekali tak mengerti apa maksud ucapan pria asing tersebut.
Pelayanan? Apa dia pembantu baru di sini? Tapi kok ayah sama kakak nggak bilang kalau mau mempekerjakan pembantu lagi?
Diva masih tenggelam dalam pertanyaan dalam otaknya saat tubuhnya sudah kembali ditarik oleh pria tersebut hingga membentur d**a bidangnya.
Mengaduh, Diva hendak melayangkan protes keras akan tetapi tepat saat ia mengangkat wajahnya, si pria asing itu sudah berkata lebih dulu.
“Kabar baiknya adalah, mungkin aku bisa mengadakan satu pengecualian karena kamu cukup cantik dan manis.”
Hilang sudah keinginan Diva untuk mengomelinya. Gadis itu kini justru tersipu. Kedua ujung bibirnya tertarik ke atas. Baru kali ini ia dikatai cantik dan manis oleh seorang pria setampan ini. Ia mengabaikan fakta jika barangkali pria itu hanyalah seorang pembantu di sana.
“Jadi, Diva. Bisa kita langsung mulai saja?”
“Mulai?” tanya Diva polos, sementara senyum diwajahnya masih tetap tersisa.
Bukannya menjawab pertanyaan Diva, pria itu justru menyeringai tipis yang sukses membuat Diva hampir kehilangan pijakan karena ingin pingsan lagi.
Tuhan, kalau pembantu Diva secakep ini, mana bisa Diva tahan iman? batin Diva dalam hati.
Saat itu ia sama sekali tidak menyadari jika tubuhnya telah terangkat. Pria itu telah menggendongnya ala bridal style dan berjalan menuju ranjang.
Setelah sampai, dengan penuh hati-hati ia mendudukkan Diva di atas kasur.
“Tunggu sebentar.”
Pria itu menegakkan tubuh lalu dengan sekali tarikan, ia telah melepas baju atasnya. Kini ia pun telah sempurna bertelanjang d**a.
Mulut Diva semakin terbuka melihat bentuk tubuh pria itu. Bagaimana tidak, jika yang ia saksikan sekarang adalah bentuk tubuh seorang pria yang memiliki kotak-kotak berjumlah delapan? Sebab jujur saja, Diva adalah penyuka bentuk tubuh semacam roti sobek garis keras.
“Bagaimana? Apakah kamu menyukai bentuk tubuhku?” Diva refleks mengangguk saat sang pria bertanya, membuat pria itu menyeringai, lantas naik ke atas kasur.
Diva sedikit beringsut mundur saat tubuh pria itu terus mendekat ke arahnya.
Ia mengerjab polos. “Apa yang mau kamu lakukan?” tanyanya.
“Aku? Tentu saja melakukan tugasku,” jawab pria tersebut. Ia terus mendekati Diva hingga tubuh Diva merebah sempurna di atas kasur.
Diva pun sedikit terpekik karena terkejut. Terlebih saat pria itu langsung mengungkung tubuhnya di antara dua siku tangannya yang ia tekuk untuk menyangga bobot tubuhnya.
Ia menyeringai.
“Kamu boleh menyentuhnya jika mau,” bisik pria itu tepat di telinga Diva, membuat tubuh Diva mendadak panas dingin.
“Kamu tidak lupa menyiapkan pengamannya, bukan?” Pria itu bertanya—lagi—sembari m******t cuping kanan Diva lembut lalu menggigitinya kecil.
“Pe-pengaman?” Diva mengulang pertanyaan tidak fokus. Darahnya bergejolak karena perlakuan pria itu. Diva merasa ada yang salah namun ia tidak bisa berpikir jernih saat ini. Terlebih saat mulut sang pria sudah turun ke bawah, menciumi leher jenjang Diva, lantas menggigitinya kecil-kecil dan menjilatnya lembut.
“Lupakan. Lagipula sangat kecil kemungkinannya akan menjadi janin. Tubuhmu dan tubuhku terlalu berbeda,” gumam pria itu di sela ceruk leher Diva.
Ia menghentikan kegiatannya sejenak setelah beberapa detik, lantas menatap Diva serius. “Meskipun ada beberapa kasus yang terjadi—“ Pria itu mengehentikan ucapannya. Ia tampak ragu untuk meneruskan ucapannya sebelum menggelengkan kepala dan kembali menyeringai nakal.
“Percayalah, aku sudah melakukannya ratusan kali dan tidak ada satupun bayi. Terlalu berbeda. Makhluk sepertimu dan sepertiku.
“Atau pilihan yang lain, aku bisa mengeluarkannya di luar jika mungkin kamu takut dan ingin berhati-hati. Aku mengerti.”
Ia pun kembali pada kegiatan sebelumnya. Menenggelamkan wajah di antara ceruk leher Diva lantas menghirup aroma tubuh gadis itu dalam-dalam yang menyebabkan gairahnya meninggi.
“Bisa kita mulai sekarang?” tanyanya. Sementara Diva mengerjab, masih mencoba memahami semuanya—termasuk ucapan-ucapan pria itu yang menurut Diva sangat ambigu.
Janin? Mengeluarkannya di luar? Makhluk sepertimu dan sepertiku? Tunggu dulu. Ini seperti ...
Pertanyaan tersebut terus berputar di otak Diva saat detik berikutnya, kedua mata Diva terbelalak sempurna. Bibir pria asing itu hampir menyentuh bibirnya. Dengan cepat, Diva menangkup wajah pria tersebut dengan kedua telapak tangannya lantas berteriak kencang.
“APA YANG MAU KAMU LAKUKAN, DASAR COWOK MES-UM SIA-LAN!!!?”
Diva langsung menendang selakangan pria tersebut hingga membuat ia—si pria itu—berteriak pilu penuh kesakitan dan kesengsaraan.
“AAAAARRRGGGHHH!!”