Bel tanda masuk baru saja berdering. Semua murid yang tadinya ada di lapangan, kantin, koridor, toilet maupun di bawah pohon beringin langsung bergegas ke kelasnya masing-masing.
Begitu pun dengan Diva.
Cewek dengan rambut dikuncir dua itu berlari kembali ke kelas mengingat jam pelajaran pertama diisi oleh Pak Handoko, salah satu guru yang dikenal paling sa-dis dan killer di sekolah.
Pak Handoko adalah guru Fisika yang paling banyak dibenci sekaligus ditakuti oleh hampir semua murid IPA. Ia adalah sosok yang santai tetapi tegas. Tegas tapi juga ke-jam. Caranya mengajar juga sangat monoton. Seperti misal, jika ia meminta definisi tentang suatu hal, maka itu harus sama persis seperti apa yang tertulis di buku cetak. Tidak boleh kurang ataupun lebih satu katapun.
Oleh karena cara mengajarnya yang seperti itu, rata-rata kebanyakan ulangan harian para siswa adalah nol. Bagaimana tidak, jika menambah tanda ‘koma’ saja juga salah?
Diva terus berlari tanpa menghiraukan sekitar. Ia bahkan tak sengaja menabrak beberapa murid dan ia hanya meneriakkan kata maaf sambil lalu, tanpa sedikitpun mengurangi kecepatan berlarinya.
Salahkan Veni yang mendadak perutnya sakit karena maaghnya kambuh, sehingga Diva yang baik hati dan suka menabung ini mau mengantarnya ke UKS dulu. Sialnya, ruang UKS terletak jauh di di sudut bangunan lantai satu, sedangkan kelas Diva berada di lantai dua.
BRAK!
Tubuh Diva terpental ke belakang karena menabrak sesuatu yang keras. Diva mengaduh, mengelus dahi dan pantatnya yang telah sempurna mendarat di lantai.
Diva merasa kesal. Tidak tau apa jika ia terlambat masuk ia bisa digantung sama Pak Handoko?!
Diva berdiri, ia baru saja akan mengomel dan menyumpah pada siapapun yang menabraknya saat ia melihat sosok itu.
Samudra A Maxwell.
Tubuh Diva membeku. Bibirnya sedikit terbuka. Bahkan ingin rasanya ia pingsan saat itu juga.
Ya Tuhan. Apa baru saja tubuh Diva menabrak tubuh Samudra?
Diva berteriak dalam hati. Wajahnya memerah.
Oke, fix, Diva kayaknya nggak akan mandi seharian ini batinnya. Termasuk baju seragam yang Diva pakai saat ini. Harus dimuseumkan kalau perlu.
Ia tidak sadar jika saat itu Samudra tidak sendirian. Di sebelahnya ada dua siswa lain yang merupakan teman dekat Samudra. Dan melihat wajah be-go Diva, salah seorang dari mereka melambaikan tangannya di depan wajah Diva.
“Mbak? Masih waras, ‘kan?”
Pandangan Diva yang masih terkunci dan terpesona pada sesosok Samudra membuatnya tidak mendengar apapun. Ia malah masih sibuk sendiri dengan pikirannya.
Astaga, Tuhan! Dilihat-lihat dari dekat, ternyata Samudra super duper ganteng banget. Rasanya pengen deh Diva seret ke KUA sekarang juga!
Diva mesam-mesem tidak jelas.
Samudra yang melihatnya mengernyit, menatap Diva aneh dan tidak suka. Sebenarnya bukan sekali dua kali para siswi di sekolahnya menatapnya seperti itu, seakan-akan ia adalah sesuatu yang enak dimakan—menurutnya, yang mau tak mau membuat ia risih. Emang ia cimol, enak dimakan?
“Psst ... kayaknya nih cewek kesambet deh,” celetuk Rino, salah satu teman Samudra sembari mengusap tengkuk bagian belakangnya. “Anjir, gue merinding! Nah kan, nah kan! Mana senyum-senyum sendiri lagi!”
Menghiraukan celetukan temannya, Samudra menggelengkan kepala pelan lalu segera mengambil langkah melewati Diva. Lagipula, ia juga benci berurusan dengan makhluk yang bernama perempuan. Dan Samudra tidak ingin ia terlibat atau mempunyai kontak apapun dengan seorang perempuan lebih dari sepuluh detik.
Samudra tidak suka.
Ia benci.
Sangat benci.
*****
“Jadi dia yang namanya Samudra?”
Diva sedikit terlonjak kaget saat tiba-tiba mendengar suara seorang pria di sampingnya.
“Kamu?! Ngapain kamu di sini?!” seru Diva.
“Aku—“
“Kamu nguntit Diva, ya?!” tuduh Diva. Ia menatap Aaron dengan wajah tidak santai. Kedua sudut bibirnya tertekuk ke bawah. “Ternyata selain m***m, kamu juga seorang penguntit?”
Ingin rasanya Aaron menggeplak kepala gadis itu yang selalu berpikiran negatif padanya. “Please deh, gadis kecil, jangan suka ngatain orang,” jawab Aaron sembari memutar bola mata. “Harusnya kamu itu hormat sama aku. Aku itu lebih tua dari kamu. Di mana sopan santun kamu?”
“Diva bisa sopan kalau kamu itu manusia. Tapi kamu itu ‘kan set—“
“Dewa!” potong Aaron cepat sembari menatap Diva jengkel. “Astaga, harus berapa kali aku bilang kalau aku ini seorang Dewa bukan se-tan?! Lagipula level kita itu jelas jauh beda, jadi jangan pernah setarakan aku dengan makhluk hina dina yang kamu panggil se-tan itu. Enak aja, tampang ganteng sepertiku kamu samakan dengan makhluk-makhluk seperti itu.”
“Narsis! Siapa bilang kamu ganteng?”
“Aku,” jawab Aaron mantap, dan ia segera mengangkat tangan kanannya ke atas saat Diva hendak membuka mulut. Oh Gosh, Aaron malas sekali berdebat dengan manusia ini. Jika saja ia bisa langsung kembali ke dunianya, maka ia akan langsung kembali di detik pertama ia tahu jika Diva salah memanggil Dewa, jika ia datang ke tempat yang salah.
Aaron butuh gadis dewasa. Ia adalah Asmodeus, seorang dewa hawa nafsu. Dan Diva? Gadis di bawah umur ini? Hedeeeh... apa kata manusia jaman sekarang kalau Aaron ingin menidurinya? Pelopil? Pilosopi? Oh, pedo-fil!
Ia jelas bukan Pedo-fil!
“Back to the topic, girl. Jadi dia yang namanya Samudra?” Aaron menatap seorang lelaki berkaos punggung 18 yang sedang berlari sembari mendrible bola menuju ring sebelah kanan. Gerakannya amat gesit melewati musuh-musuhnya. Teriakan dari siswi-siswi yang ada di tribun penonton menggema di lapangan indoor tersebut, membuat Aaron memutar bola mata jengah. Apa sih kerennya dia? Anak ingusan belasan tahun itu jelas tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Aaron.
Seandainya saja Aaron manusia, ia jamin, ia akan menjadi satu-satunya cowok tertampan di dunia dan bisa memiliki banyak pacar. Dan selingkuhan, tentu saja.
Aaron hampir saja meloncat ke bawah saat ia mendengar gadis di sebelahnya berteriak kencang sembari meloncat-loncat kegirangan.
“YAAAAYYYY!! SAMUDRAAAA GO GO SAMUDRAAAA!!” Diva terus berteriak kesetanan menyemangati pujaan hatinya yang baru saja mencetak 2 point. Sementara siswi-siswi lain juga tak kalah semangatnya berteriak menyemangati orang yang sama.
Samudra.
Aaron baru akan berteriak pada Diva jika kelakuannya sangat norak namun tiba-tiba tiga orang cowok menghampiri Diva. Terpaksa Aaron pun langsung bergeser ke samping.
“Diva, aku cari kamu ke mana-mana ternyata kamu di sini.” Seorang cowok dengan model rambut depan dijabrikkan ke atas berkata. Di belakangnya, dua orang cowok dengan wajah yang hampir mirip mengikuti.
Cowok berambut jabrik itu menyikut seorang cowok berambut mangkuk yang ada di sisi kirinya sebelum mengambil sebuah botol minuman dari tangannya.
“Ini, minum dulu. Aduh, kamu keringetan gini. Panas, ya?” Ia mengipasi Diva dengan tangannya.
“Nggak papa kok, Bari,” jawab Diva. “Makasih ya minumannya.”
Bari tersenyum mengangguk. “Udah makan? Aku tadi beliin kamu bakso—mana baksonya?” Ia menoleh ke belakang. Pada dua anak buah yang selalu mengikuti.
“Ini, bos!”
“Ini Div, makan dulu.” Bari menyerahkan satu mangkuk berisi bakso yang masih panas pada Diva.
“Wah, Bari tau aja Diva lagi lapar. Makasih sekali lagi ya!” ucap Diva kegirangan. Ia langsung duduk dan mulai menyendok bakso ke dalam mulut.
“Eh, tapi Bari nggak makan? Aldo nggak makan juga?”
Baru saja Aldo hendak menjawab, Bari sudah menyela lebih dulu. “Kita berdua udah makan kok. Terus tadi aku lihat di kantin kamu nggak ada jadi aku simpulkan kamu belum makan. Jadi deh aku beliin kamu satu mangkuk bakso. Kamu kan suka bakso.”
Diva meringis, melahap baksonya lagi yang membuat Aldo meneguk saliva sendiri. Jujur saja, dia lapar karena belum makan. Tapi karena Bari— orang yang ia anggap sebagai bos hanya beli 1 mangkuk bakso untuk Diva lalu pergi ke lapangan, mau tak mau dia juga mengikuti dari belakang.
“Enak baksonya?”
“Enak banget!” ucap Diva sambil mengacungkan dua jempol.
Tersenyum puas, Bari merapikan penampilan, terutama rambut jabrik bagian depan. Sempat ia meminta pendapat pada Aldo sambil berbisik-bisik, lantas Bari berdehem kecil.
“Kalau gitu, menurut kamu aku udah pantas jadi cowok yang baik belum?”
“Kamu kan emang cowok yang baik, Bar,” sahut Diva, matanya menatap lurus pada Aldo. “Ya, kan, Do?”
“Eh? I-i-iya, Div,” ucap Aldo gelagapan. Ia menepuk bahu Bara dan meringis salah tingkah. “Kalau Bara nggak baik, nggak mungkin aku mau mengabdikan diri menjadi anak buahnya yang paaaaling setia,” lanjut Aldo sok puitis. Karena memang dulu ia adalah korban bullying, tapi waktu itu Bara menyelamatkannya.
“Bukan itu maksud aku, Diva... Tapi pacar—“
Belum selesai Bara berkata, Diva sudah meletakkan mangkuk yang sudah kosong kemudian berdiri dan berteriak. Tangan kanannya terangkat naik ke atas sambil meloncat-loncat, menyoraki Samudra yang lagi-lagi berhasil mencetak angka 3 point.
“Sabar, Bos! Sabar!”
Bari menghela napas panjang, lalu ikut berdiri di samping Diva, memperhatikan cowok bernomor punggung 18. Sudah sejak lama Bara tau jika Diva penggemar berat Samudra. Cowok yang dikenal dingin dan misterius di seantero sekolah. Ia hanya tak habis pikir apa sih spesialnya Samudra hingga bisa jadi cowok populer? Karena jago main basket? Karena ketampanannya? Atau karena dia kulkas berjalan?
Sementara Bara sibuk dengan pikirannya sendiri, Aaron berjalan ke sisi Diva yang lain. Tapi iris mata hitamnya mengawasi Bari dengan seksama.
“Kamu emang tipe perempuan yang nggak peka ya, Div?” bisiknya ke telinga Diva.
Diva mengernyit. “Maksud kamu?”
Aaron mengindikkan dagu ke arah Bari. “Dia suka sama kamu.”
“Ya nggak mungkin lah! Kita itu teman sejak TK!” sahut Diva.
“Seseorang pernah mengatakan padaku jika nggak ada hubungan teman di antara laki-laki dan perempuan.”
“Seseorang atau drama korea yang kamu tonton kemarin?”
Aaron meringis hingga gigi putihnya yang rapi terlihat. Ia memang baru tau kalimat itu kemarin.
“Ngomong sama siapa, Div?” tanya Bara tiba-tiba, menepuk bahu Diva.
“Ini, sama Aaron!” tunjuk Diva pada Aaron.
Bara mengernyit, pun dengan Aldo yang melirik kebingungan.
“Aaron siapa?”
“Iniiii!!! Masa kamu nggak lihat?” tanya Diva menunjuk-nunjuk Aaron di sebelah.
Bari menatap Diva aneh sementara Aldo langsung menggeser posisi tubuh agar lebih dekat pada Bari.
“Jangan-jangan Diva bisa lihat hantu, bos!” pendapat Aldo setengah berbisik.
“Hush! Ngawur lo!” tegur Bari. Ia pun menyentuh dahi Diva dan menemukan perempuan itu tidak sedang dalam keadaan demam. Jadi kemungkinannya Diva hanya sedang stress saja hingga pikirannya membentuk sebuah halusinasi.
“Mau ke UKS? Nggak ada ulangan kan nanti?”
Diva menggeleng, menatap serius pada Bari. “Kamu serius nggak bisa lihat Aaron? Ini cowok dengan pakaian serba hitam ini masa nggak lihat?”
“Percuma aja, Div! Manusia nggak bisa lihat Dewa.”
“Tapi Diva bisa tuh! Diva kan manusia, bukan Dewa!” celetuk Diva yang makin membuat Bari dan Aldo kebingungan. Pasalnya mereka melihat Diva hanya berbicara sendiri.
“Kecuali manusia yang memanggil Dewa itu sendiri. Dan kamu Diva, kamu yang manggil aku ke dunia, jadi jelas kamu bisa lihat aku.”
Diva merasa konyol sekarang. Jika manusia tidak bisa melihat Dewa seperti ia bisa melihat Aaron, berarti ia harus jaga sikap agar tidak disangka gi-la.
Menoleh, Diva nyengir pada Bari. “Tadi itu bercanda, Bar. Diva lagi latihan ngehafalin dialog buat praktek drama pelajaran Bahasa Indonesia. Gimana akting Diva? Bagus?”
Bari pun tersenyum, lalu mengacak rambut Diva. “Bagus, kok! Hampir aja aku percaya kamu bisa lihat hantu.”
“Aku Dewa, bukan hantu!” seru Aaron jengkel. Tapi tentu hanya Diva yang bisa mendengar, tidak dengan Bara maupun Aldo.
***
Yuhuuu, melipir ke sini semua ya! Hihi
Padahal ngajuin naskah duluan yang Fallin Love With Mr Gay, tapi kontraknya malah yang turun cerita ini dulu. Jadi bulan ini, aku akan menulis cerita Aaron dulu ya! (Padahal udah planning mau libur satu bulan, eh nggak bisa T_T)
Yuk, tanya jawab buat seru-seruan!
Jika kalian menjadi Diva, kalian akan memilih :
a. Aaron
b. Samudra
c. Bari
Terima kasih sudah baca cerita fantasi ini! See you tomorrow, guys!