Bab 2

1424 Words
Tangan Afthara yang hendak mengetuk pintu berwarna abu-abu itu terkepal kuat. Dirinya menahan diri untuk tidak mendobrak benda malang tersebut. Ingin mengetuk dan bertamu dengan baik-baik. Tapi sepertinya tidak bisa. Emosinya sedang berada di puncak dan dia tak ingin membuat keributan. Yang bisa dilakukan Aftha saat ini hanya menurunkan kepalan tangannya. Jiwa pengecutnya keluar. Seharusnya dia datang dengan amarah yang lepas dan menyeret dua orang yang mungkin saat ini tengah saling berbagi kehangatan di balik selimut yang sama. Membayangkannya membuat rasa sakit hati Aftha kian bertambah. Sangat sesak, bahkan untuk bernapaspun Aftha kesusahan. Aftha memutuskan untuk menjauh. Bagaimana pun dia tak akan pernah bisa menghalangi kelakuan istri dan kakak kandungnya. Rasa bersalah itu masih menghantui meski dia yakin dirinya tak bersalah. Namun tetap saja, dua orang itu selalu menyalahkan kehadirannya yang di anggap sebagai penghalang. Aftha mengemudi dengan melamun. Beberapa kali dia tersentak karena hampir menabrak. Entah itu hewan, orang menyebrang, atau pengendara sekalipun. Merutuki otaknya yang tak bisa berhenti memikirkan Dini, Aftha menjedukkan kepalanya ke setir beberapa kali. "Berhenti Af, lo bisa membahayakan nyawa orang." gumamnya mencoba mengenyahkan segala pemikiran yang memenuhi kepalanya. Aftha mengerem saat melihat ada orang yang tergeletak di pinggir jalanan sepi. Ia terdiam sejenak. Apakah ini modus begal atau bukan. Cukup lama Aftha berdiam diri. Namun sosok itu tak juga bangun. Penasaran, akhirnya Aftha keluar mobil. Berlari kecil menghampiri orang yang tergeletak di jalanan. Dan ketika dia membalikkan badan orang itu, matanya sedikit membulat. "Hei, bangun. Hei.." Aftha menepuki pipi dingin Alin. Wajah gadis itu terlihat pucat. Dahinya terasa panas. Aftha mengangkat tubuh Alin menuju mobilnya. Membaringkannya di kursi penumpang. Ia berniat membawa Alin ke rumah sakit terdekat.  Begitu sampai di rumah sakit, Aftha langsung memanggil perawat yang berjaga. Gadis itu langsung di bawa ke UGD. Aftha pun memilih mendudukkan diri di kursi pengunjung sembari menunggu dokter selesai memeriksa gadis yang di tolongnya. Tak berselang lama, dokter yang memeriksa Alin keluar ruangan. "Keluarganya pasien?" Aftha tidak punya pilihan lain selain mengangguk. "Penyakit magh pasien kambuh. Dia juga terlihat makannya tidak teratur . Usahakan mengingatkan pasien untuk makan tepat waktu. Maghnya sudah lumayan parah." kata dokter itu, "Selama sakit jangan memakan makanan kasar, pedas, dan asam. Itu akan memperburuk kondisi pasien." "Baik dokter, apakah paisen boleh pulang?" "Setelah sadar dan merasa lebih baik Anda bisa membawanya pulang. Aku sarankan untuk menghabiskan infusnya dulu. Resep obat sudah aku tulis dan bisa di tebus." jelas dokter. "Baik, terima kasih Dok." "Sama-sama." Aftha menghela napas dalam setelah dokter itu pergi. Ia berjalan ke arah tempat Alin berada. Ternyata gadis itu sudah sadar. Dia tampak lemah. Suster tengah memeriksa infus yang terpasang. Suster itu menoleh ke arah Aftha. Tersenyum dan mengangguk sebelum pergi. Aftha membalas anggukan suster sebelum mendekat ke arah gadis yang di tolongnya, memandang gadis itu tenang. Mengambil tempat di kursi samping ranjang pasien. "Makasih, lagi-lagi kamu nolong aku." ucap Alin saat menyadari siapa penolongnya. Ia tersenyum tak enak, merasa sudah merepotkan. Aftha mengangguk, "Gimana keadaanmu? Udah mendingan?" "Masih pusing, perih di perut juga mulai kerasa." Alin meringis menyadari kebodohannya, sudah tahu mempunyai magh akut tapi selalu saja lupa makan. Ini semua gara-gara otaknya yang tidak bisa berhenti memikirkan adik dan calon tunangannya, "Aku ngerepotin kamu. Maaf." Aftha mengangkat sebelah alisnya, tersenyum tipis pada Alin yang menatapnya tak enak, "Gak masalah, aku nolongnya tulus kok." "Syukurlah." Alin mengulas senyum lega. "Oh ya, nama abang siapa?" tanya Alin kemudian. Abang?  Mata Aftha berkedip dua kali mendengar sebutan dirinya dari gadis mungil di hadapannya ini. Ingin tertawa namun juga meringis. Dari kecil sampai sekarang, baru gadis ini yang memanggilnya abang. Jika orang lain lebih sering memanggilnya kakak. Di tambah dengan sebutan ganteng. Jadi panggilannya kakak ganteng. "Bang?" Aftha kembali mengerjap, bibirnya sedikit berkedut mendengar panggilan itu lagi. Apa tampangnya sekarang seperti abang-abang kang somay? "Panggil aja Aftha." jawabnya kemudian. Alin mengulas senyum manis, "Aku Alindra. Sekali lagi makasih ya bang Aftha udah nolongin aku." ia terkekeh di akhir kalimat. Merasa geli dengan caranya memanggil Aftha. Tidak buruk juga. Aftha hanya mengangguk, "Aku keluar dulu cari makanan. Kamu belum makan kan?" Alin meringis, "Iya belum." cicit Alin lirih, "Tapi apa gak ngerepotin bang Aftha." "Iya gak apa. Aku keluar dulu." Alin mengangguk, "Iya." "Kamu istirahat aja dulu." ujar Aftha sebelum berjalan keluar ruangan. Meninggalkan Alin yang memandang punggungnya dengan tatapan lembut. -000- Pagi hari menjelang siang, Dini baru menginjakan kakinya di rumah suaminya. Keadaan rumah berlantai tiga itu sepi. Bahkan beberapa asisten rumah tangga yang biasanya bertugas tidak terlihat. Suaminya juga tak terlihat batang hidungnya. Ia mendudukkan diri di sofa ruang tamu. Menyandarkan punggungnya dengan nyaman. "Bi Sitiii!!" teriaknya pada salah satu asisten rumah tangganya, "Buatin saya minum!!" Terdengar langkah kaki yang tergesa ke arah Dini. Sosok Bi Siti keluar dari arah dapur dengan celemek yang di pakainya, "Ada apa nyonya." "Buatin minum, aku haus." "Baik." "Eh tunggu," Bi Siti menghentikan langkahnya saat Dini kembali memanggil, "Aftha kemana?" "Tuan Aftha tidak pulang setelah pergi tadi malam Nyonya." jawab Bi Siti. "Tidak pulang?" beo Dini. Ia mengernyit, tidak biasanya Aftha pergi tanpa pamit padanya. Ia pun lekas membuka ponsel yang memang sengaja dia matikan. Tak ada satupun notifikasi dari Aftha yang masuk, "Kemana Bi?" "Tidak tahu Nyah, Tuan tidak bilang." Dini terdiam sejenak, "Oh, yaudah, bibi siapin makan juga ya. Aku laper." "Baik Nyah." ucap Bi Siti sebelum kembali ke dapur. Dini mengernyitkan kening samar. Namun ia segera menggelengkan kepalanya. Ia tak seharusnya merasa penasaran dengan apa yang dilakukan Aftha. Terserah mau pulang atau tidak, itu bukan urusannya. -000- "Sudah bangun?" Alin menoleh pada Aftha yang baru masuk kedalam ruangannya. Ia tersenyum samar, "Bang Aftha kok masih disini?" "Nungguin kamu sekalian. Administrasi juga udah aku bayar. Mau pulang sekarang?" tanya Aftha, ia masih merasa aneh dengan panggilan Alin. Meski begitu, dia tidak memprotesnya. "Iya bang." "Yaudah ayo aku antar." "Eh," Aftha menatap Alin tak mengerti, "Kenapa?" Alin kembali mengusung senyum tak enak, "Gak usah di antar bang. Bang Aftha pulang saja gapapa. Dari tadi malam Bang Aftha udah nungguin aku. Keluarga Abang pasti nungguin." Aftha terdiam, apa iya istrinya menunggu dirinya? Sepertinya Aftha sudah memiliki jawaban, "Kamu kira aku umur berapa hingga keluargaku nungguin aku?" "Eh, tapi.." "Sudah ayo aku antar kamu pulang." potong Aftha sembari menarik pelan tangan Alin. Mengajaknya untuk keluar rumah sakit. "Uang administrasi aku ganti nanti ya Bang. Kasih no rek. aja biar aku tranfer." kata Alin setelah masuk kedalam mobil Aftha. Aftha mulai menyetir, mobil hitamnya keluar dari perlataran rumah sakit, "Gak perlu." "Tapi bang." "Gak perlu Alindra." Alindra terdiam. Dadanya tiba-tiba terasa hangat saat Aftha memanggil namanya untuk pertama kali. Apalagi suara pria itu terdengar sangat hangat dan lembut. Ini kali pertama orang lain memanggilnya seperti itu selain ibunya sendiri. Aftha yang melihat keterdiaman Alin menoleh sekilas pada gadis itu. Raut sendu sedikit terlihat. Meski tidak terlalu kentara. "Ada apa?" tanyanya. Alin mengerjap, "Ah, gapapa. Aku hanya baru mengingat kalau hari ini ada mata kuliah pagi." dustanya. "Oh." "Bang Aftha turunin aku disini aja." kata Alin saat mobil Aftha mulai memasuki jalanan ke arah perumahan tempat rumahnya berada. "Kenapa di sini, perumahannya kan masih lumayan jauh?" "Ga papa. Aku gak mau ada salah paham." "Salah paham?" Alin memejamkan matanya sejenak, ia pasti membuat Aftha salah paham, "Itu maksudku, anu.."  Aftha terkekeh, ia tanpa meminta penjelasan sedikit mengerti dengan maksud Alin. Karena itu ia menuruti keinginan gadis mungil cantik itu. "Lain kali jangan suka menangis sampai lupa makan." kata Aftha dengan seringai geli pada Alin yang baru keluar dari mobilnya. "A-ap..?" Aftha terkekeh, wajah kaget Alin terlihat menggemaskan, "Nangisnya di kurangi ya Lin. Sampai jumpa." ia kembali melakukan mobilnya setelah berucap seperti itu. Alin yang terpaku dengan ucapan Aftha hanya memandang mobil pria itu menjauh. Ekspresi wajah gadis tersebut terlihat absurd, "Jangan bilang Aftha ngerti gue nangis mulu kemarin." gumamnya pada diri sendiri. -000- Aden memutar kedua bola matanya mendengar ucapan dari sang ayah. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran dua orang tuanya. Bisa-bisanya dia dijodohkan dengan gadis yang sangat menyebalkan seperti Alin. "Pi, Mi. Aden itu gak suka sama Alin. Aden sukanya sama Desi!" "Ingat pesan dari kakekmu Aden. Beliau ingin kamu menikah dengan keturunan Banhu!" "Desi juga keturunan dari Banhu Pi!" "Dia bukan keturunan kandung!" bentak Wahyu, "Alin lah yang keturunan kandung!" "Apa bedanya? Yang penting Desi juga menyandang nama Banhu!" "Aden!!" bentak Wahyu kesal. Napasnya terengah karena menahan amarah. Anaknya sangat keras kepala. Seperti dirinya. Seperti ini kah ayahnya dulu menghadapinya? "Papi gak mau tahu, mau gak mau kamu nikah sama Alin!" "Gak mau Pi!!" "Kamu gak punya hak untuk nolak, atau namamu aku coret dari daftar warisan!" ancam Wahyu yang membuat Aden bungkam. To Be Continue.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD