DUA PULUH SEMBILAN

2087 Words
Selesai makan, Tira langsung kembali ke kantor, sebab hari itu ia hanya izin setengah hari untuk mengambil rapor Archen. Sementara Athena masih berada di rumah Archen karena membantu Bi Ijah membersihkan peralatan makan. Saat Athena selesai membantu Bi Ijah, tiba-tiba saja turun hujan deras. Tira langsung menghubungi Archen dan berkata agar Athena tidak pulang sebelum hujan reda. Ya, Tira khawatir karena bagaimanapun juga ia telah dititipkan Athena oleh sang Bunda. Tadinya jika tidak hujan, yang ada di pikiran Tira adalah Athena akan diantar pulang oleh Archen dengan motornya, namun jika hujannya sangat deras, menggunakan sepeda motor bukanlah hal yang tepat. Archen menghampiri Athena yang saat itu sedang berada di ruang tamu sambil memandangi hujan dari balik jendela, “Kata tante pulangnya nunggu reda aja, Na.” Athena seolah tersadar dari lamunan, “Tapi gak apa-apa kok gue pulang naik taksi online. Takut lo mau istirahat, nanti terganggu kalau ada gue.” “Gue gak mau nerima resiko dimarahin Tante Tira karena ngebiarin lo pulang sendirian.” Athena hanya cemberut mendengar jawaban sinis Archen. Sejujurnya sulit sekali bagi Athena untuk memahami sikap dan sifat Archen. Ada kalanya lelaki itu sangat cuek, sinis, dan dingin, namun terkadang penuh perhatian. Jika bukan Athena, mungkin perempuan yang sedang dekat dengan Archen akan mundur perlahan. Tapi tidak dengan Athena, gadis itu percaya bahwa pada dasarnya Archen adalah orang baik. Hanya saja ada sesuatu yang membuat Archen berubah menjadi seperti sekarang. “Lo pasti bertanya-tanya ya, kenapa gue tinggal sama tante gue dan bukan sama orangtua gue.”  Athena panik, ia tidak tahu mengapa Archen bisa membaca pikirannya, “Eh….engg…” “Tante Tira udah cerita?” Athena menggeleng, “Sen, lo gak harus cerita ke gue kok kalau emang gak mau. Engga semua pertanyaan harus dijawab.” Archen mengeluarkan dompet dari saku celana, ia pun mengambil selembar foto yang tersimpan di dompetnya, “Ini almarhum nyokap gue, beliau meninggal dua setengah tahun lalu.” “Archen, sorry……” Hanya itu kata yang bisa Athena ucapkan. “It’s ok.” Jawab Archen singkat, kini giliran Archen yang memandangi hujan dari balik jendela, sedangkan Athena beralih memandangi Archen. “Setelah ini lo ada acara?” tanya Archen. “Enggak ada…” “Boleh minta waktunya sebentar? Ada sesuatu yang mau gue tunjukkin.” Rawut wajah Archen berubah menjadi lebih serius dari biasanya, membuat Athena semakin penasaran tentang “sesuatu” itu. Sambil menunggu hujan reda, Bu Jum membuatkan camilan pisang goreng madu dan dua cangkir teh hijau hangat untuk Archen dan Athena. “Monggo dimakan mumpung masih hangat.” Ucap Bi Ijah ramah. “Terima kasih, Bi.” Namun tiba-tiba Archen berkata, “Bi, maaf, Athena gak suka teh. Ganti jadi coklat panas aja ya, Bi.” Athena merasa tak enak karena telah dibuatkan teh oleh Bi Ijah, “Eh…engga kok, gak apa-apa, Bi. Aku lagi mau minum teh juga soalnya hehehe.” Athena berusaha senatural mungkin. Rasanya tak pantas jika menolak minuman yang sudah disuguhkan oleh orang sebaik Bi Ijah. Entah mengapa, sejak pertama kali melihat Bi Ijah di pesta ulang tahun Tante Tira, Athena bisa merasakan kebaikan yang begitu tulus dari diri Bi Ijah. “Bener, non? Bibi bisa bikinin coklat panas kalau non gak suka teh hijau.” “Bener, Bi, aku suka kok.” Saat itu juga Athena langsung meminum setengah cangkir sebagai “bukti” kalau ia menyukai teh hijau. Bi Ijah pun tersenyum senang dan kembali ke dapur. Sedangkan Archen merasa kagum pada Athena karena gadis itu selalu berusaha untuk memberikan kebahagian bagi orang-orang di sekitarnya. Ya, Athena memang tidak ingin membuat orang lain kecewa, apalagi sampai kecewa dengan sikapnya. Bertepatan dengan habisnya pisang goreng ke enam oleh Athena, hujan pun reda. Tanpa menunggu lama Archen dan Athena langsung berpamitan dengan Bi Ijah. Hari ini Archen sudah bertekad untuk memberitahu Athena tentang masa lalunya. Hal yang pertama Archen lakukan adalah membawa Athena ke makam sang mama. Athena terkejut, tak menyangka bahwa ia dibawa ke Tempat Pemakaman Umum. Seperti biasa, Archen selalu membeli bunga dan air mawar untuk siramkan di makam sang mama. Kali ini Archen tersenyum kepada sang penjual, hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya, tentu saja penjual merasa senang bukan kepalang, itu adalah pertama kalinya ia direspon oleh Archen. “Bunganya seger-seger banget, Pak.” Ucap Athena sambil memilih-milih bunga yang dijajakan di atas meja. “Oh, iya dong neng, saya mah selalu memberikan kualitas bunga yang baik untuk pelanggan.” Saat itu juga Athena langsung akrab dengan sang penjual bunga. Karena merasa senang disenyumi oleh Archen dan mendapat teman baru seperti Athena, penjual tersebut memberi diskon lima ribu rupiah. “Waduh, makasih ya, Pak. Semoga lancar terus rezekinya ya, Pak.” “Aamiin lah pokoknya. Semoga kalian juga bahagia selalu ya.” Doa yang singkat dan sederhana namun diucapkan dengan tulus, justru doa yang seperti itulah yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Terkadang kita merasa bahwa semua doa yang kita minta seolah dikabulkan oleh Tuhan, hingga seringkali kita merasa tak berhak mendapatkan hal tersebut karena masih kurang taat. Namun tanpa disadari, bisa saja hal-hal baik yang terjadi dalam hidup kita adalah hasil dari doa yang diucapkan oleh orang-orang di sekitar kita. Begitu memasuki Tempat Pemakaman Umum, Athena melihat sekeliling. Ada ratusan petak makam di TPU tersebut, dari mulai makan lansia hingga makam bayi yang baru berumur dua hari. Hal tersebut menyadarkan Athena bahwa kematian tidak mengenal usia. Kematian tidak menunggu kesiapan dari seseorang. Itulah mengapa dalam menjalani hidup Athena selalu berusaha untuk berbuat baik kepada semua orang. Archen berhenti tepat di makam sang mama. Dalam batu nisan itu tertulis nama “Sita Paramitha.” “Ini makam almarhumah mama gue, Na.” “Oh, iya. Assalamualaikum, tante.” Mereka berdua langsung berdoa untuk kemudahan segala urusan almarhumah mama Archen di akhirat. Sambil menaburkan bunga Archen berkata, “Gue sering banget ke makam nyokap. Setiap butuh teman cerita, gue pasti selalu datang ke sini.” Athena dapat melihat rawut wajah Archen seperti orang yang benar-benar kesepian. Setidaknya Athena kini tahu salah satu alasan mengapa tatapan mata Archen selalu penuh dengan duka. “Sen, kalau gak keberatan, mulai sekarang setiap lo butuh teman cerita, gue selalu ada buat lo kok.” Archen menoleh ke arah Athena, ditatapnya gadis itu lekat-lekat. Archen tidak mengatakan apapun, ia hanya mengelus kepala dan rambut Athena sambil tersenyum. Namun senyuman itu merupakan tanda yang diberikan oleh Archen bahwa ia merasa bahagia dengan kedatangan Athena di hidupnya. Seolah tak diizinkan berduaan lama-lama di TPU, Pak Joko yang sejak tadi melihat kedatangan Archen pun menghampiri, “Assalamualaikum, waduh dateng lagi, Nak Archen?” “Waalaikumsalam.” Jawab mereka kompak. “Iya, Pak.” Ucap Archen. Archen langsung memperkenalkan Pak Joko kepada Athena dan sebaliknya, “Kenalin ini Pak Joko, penjaga TPU. Pak Joko, ini Athena, teman sekolah Archen.” Pertemuan antara dua orang ramah itu langsung menciptakan obrolan yang hangat. Kurang lebih dua puluh menit Athena berbincang dengan Pak Joko. Mereka membahas berbagai hal, dari mulai pengalaman selama Pak Joko menjadi penjaga TPU hingga kisah dramatis saat menguburkan jenazah. Lagi-lagi Archen menatap Athena penuh kagum, belum pernah ia melihat seseorang yang ramah sekali dengan orang lain. Berbaur dengan siapa saja tanpa melihat latar belakang orang tersebut. Jika Archen tidak menghentikan obrolan mereka, mungkin Athen dan Pak Joko akan berbincang hingga magrib. Namun Archen terpaksa harus menghentikannya karena masih ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan pada Athena. Setelah berpamitan, mereka berdua langsung tancap gas meninggalkan TPU. Sementara di depan makam Sita, Pak Joko tersenyum sambil membersikan rumput-rumput liar, “Alhamdulillah, akhirnya anakmu itu menemukan kebahagiannya.” Ucap Pak Joko pada almarhumah Sita. Athena duduk tenang di atas motor Archen meski ia tak tahu akan dibawa kemana. Sementara itu di motor Archen terus memikirkan berbagai hal, seperti apakah sudah saatnya ia memberitahu Athena? Bagaimana reaksi Athena ketika sudah tau semuanya? Apa Athena tetap mau dekat dengannya? Atau justru ia akan menjauh? “TIN, TIN, TIN!!!!” Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Archen. Keduanya sama-sama terkejut. Ya, Archen memang sedang tidak fokus, hampir saya motornya terserempet mobil. “Sen, hati-hati!” Ucap Athena mengingatkan. Archen pun menempikan motornya sebentar untuk mencari ketenangan. Athena mendekatkan tubuhnya dan berbicara tepat di samping telinga Archen, “Sen, kalau emang lo belum siap buat nunjukkin sesuatu yang lain, gak apa-apa kok, jangan dipaksa. Kita pulang aja, ya?” Archen menoleh, hingga kini jarak antara wajahnya dan wajah Athena hanya sekian centi, “Maaf, gue bikin lo takut, ya?” “Enggak, Sen, gue cuma khawatir lo kenapa-napa.” Archen menarik dan menghembuskan nafas, “Kita lanjut aja ya, Na.” Athena mengangguk, ia hanya mengikuti keputusan Archen. Secara tiba-tiba Archen meraih kedua tangan Athena dan melingkarkan dipinggangnya. Athena sedikit terkejut. Namun ia tahu bahwa saat ini Archen butuh seseorang untuk menguatkan. Athena pun langsung memeluk Archen di atas motor dan memberikan seluruh energi positif yang ia miliki kepada Archen. Saat itu juga Archen merasakan kenyamanan yang tak pernah ia dapatkan sejak kepergian sang mama. Di hari itu, Archen tak lagi menyangkal bahwa Athena berhasil mendapat tempat khusus di hatinya. Tak pernah terbayangkan oleh Athena bahwa Archen akan membawanya ke rumah sakit jiwa. Ini pertama kalinya Athena masuk ke dalam rumah sakit jiwa, ada perasaan takut dan cemas dalam diri Athena. Tetapi kali ini ia tak banyak bertanya karena merasa perubahan dalam diri Archen. Jika saat pergi ke makam sang mama Archen hanya mengeluarkan emosi sedihnya, saat ini entah mengapa banyak sekali emosi yang terpancar dari diri Archen, dari mulai perasaan marah, kecewa, sedih, dan kerinduan. Athena hanya mengikuti langkah Archen hingga berhenti di samping taman rumah sakit. Archen menunjuk sang papa yang saat itu sedang melamun di bangku taman rumah sakit, “Lelaki yang lagi duduk di sebrang sana, itu bokap gue.” Ucap Archen pada Athena. Mata Athena terbelalak, tidak menyangka bahwa papa Archen merupakan salah satu pasien di rumah sakit jiwa. Tetapi Athena berusaha untuk mengendalikan diri, ia tidak ingin responnya menyakiti perasaan Archen, “Sen….gue turut sedih atas apa yang menimpa papa lo.” Archen tersenyum kecut, namun tatapan matanya memancarkan emosi marah dan rindu, “Papa layak dapetin ini semua. Dia orang yang udah membunuh mama.” Kali ini jantung Athena berasa mau copot. Tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulut Athena. Archen melanjutkan kalimatnya, “Mama adalah korban dari kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh papa. Papa selalu melampiaskan beban hidupnya ke mama. Gue gak bisa sesabar mama, dua setengah tahun lalu gue pergi dari rumah dan tinggal di rumah Tante Tira. Saat itu puncak dari semua penderitaan mama, hari dimana papa kalah dalam pilkada. Papa kecewa karena banyak pihak yang telah mengkhianati, papa rugi besar. Semua kolega yang tadinya berada di pihak papa mendadak menjauh dan bergabung dengan pihak lawan. Papa yang sudah terbiasa melampiaskan kemarahannya ke mama, hari itu lebih ganas dari biasanya. Menendang, menjambak, memukul dengan benda tumpul, bahkan di saat mama sudah tidak bernyawa papa masih terus menyiksa. Berkat seseorang yang memiliki integritas tinggi, papa berhasil dijatuhi hukuman dua puluh tahun penjara, dan orang itu adalah Pak Hakim Syarif, Papa lo…..” Kali ini Athena tidak hanya dibuat terkejut tetapi menimbulkan seribu pertanyaan dalam dirinya. Namun Athena tahu itu bukanlah saat yang tepat. Rupanya Archen masih terus bercerita, “…Gue benar-benar bersyukur karena yang menangani kasus itu adalah Pak Hakim Syarif. Gak kebayang kalau orang lain, papa pasti sudah menghalalkan segala cara agar bebas dari hukuman, bagaimanapun juga papa adalah orang yang memiliki power saat itu. Tapi Pak Hakim Syarif tidak dibutakan akan itu. Setelah dua tahun menjalani masa hukuman penjara, bokap gue divonis mengalami gangguan jiwa. Karena sering membahayakan diri sendiri dan narapidana lain, akhirnya bokap gue dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk dirawat.” “Archen………” “Kisah hidup gue kelam banget ya, Na? Gue juga bingung kenapa gue dilahirkan di keluarga yang hancur kayak gini. Gue iri sama anak-anak lain, Na.” “Sen…sebelumnya gue benar-benar turut berduka atas semua yang terjadi, tentang kekerasan yang dialami almarhumah mama, musibah yang menimpa papa lo, dan segala luka yang lo terima. Itu semua gak mudah untuk dilalui, dan gue yakin sejauh ini lo udah berusaha untuk melewatinya. Lo benar-benar hebat, Sen. Tapi yang perlu lo tahu, setiap keluarga pasti punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Lo gak perlu iri sama orang lain, Sen, lo punya Tante Tira dan Bi Ijah, mereka keluarga terbaik lo saat ini. Mulai sekarang kalau lo butuh seseorang, gue akan selalu ada buat lo, Sen.” Entah kenapa kali ini Athena meneteskan air mata. Ia benar-benar tak menyangka selama ini Archen memendam kisah yang sangat memilukan. Seorang anak yang saat itu baru berusia lima belas tahun harus mengalami kisah tragis dalam hidupnya. Bagi Athena, Archen adalah seseorang yang penuh rahasia. Berhubungan dengan Archen seperti menaiki roller coaster, harus siap dikejutkan dengan kenyataan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Archen menolak ajakan Athena untuk menghampiri sang Papa. Archen khawatir ia tak dapat mengendalikan emosi dan membuat Athena takut. Maka hari itu keduanya memutuskan untuk langsung pulang setelah memandangi Teriyanto dari kejauhan. Dalam perjalanan pulang keduanya tak ada yang berbicara, namun bahasa tubuh mereka memberikan pesan bahwa Archen benar-benar membutuhkan Athena, dan Athena akan selalu ada untuk Archen. Di atas motor Athena kembali memeluk Archen, kali ini gadis itu tidak hanya memberikan energi positif, tapi juga memberikan kehangatan dan kasih sayang yang ia miliki untuk Archen. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD