Bab 5. Belajar Menjadi Istri

1373 Words
Lily bisa merasakan embusan napas Varun yang tidak teratur. Tatapan Varun sudah sayu mengarah semakin dekat padanya. Tangan Lily ia letakkan di d**a Varun seiring dengan matanya terpejam. "Maaf," ucap Lily tiba-tiba menjauh dari Varun. Kesedihan dan perasaan janggal masih menguasai Lily. Dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ia telah menikah dengan Varun. Varun terpaku sesaat. Melamun dengan tatapan kosong. Ada perasaan kecewa dan sedih menyelimutinya. Lelaki tampan itu perlahan memandang Lily. "Kamu nggak menyukaiku?" tanya Varun. Pertanyaan Varun terasa menyayat hati Lily. Ia berbalik dan balas memandang Varun. "Bukan begitu." Air mata Lily sudah hampir meleleh lagi. Varun mendekati Lily dan memegang tangannya lembut. Senyuman manis menghiasi wajah Varun. "Aku mengerti perasaan kamu. Ini pasti nggak mudah bagi kamu. Kita masih shock." Lily mengangguk. Sejujurnya dia mencintai Varun. Sama seperti Varun, ia pun berpikiran untuk menjalin hubungan serius dengan Varun. Namun, bukan saat ini. Tidak dengan cara seperti ini. Lama mereka terlarut dengan perasaan. "Lily, aku janji akan bahagiakan kamu. Begitu kita pulang, aku akan bicarakan dengan orang tuaku. Kita akan menikah sekali lagi. Resmi secara hukum." Varun menatap Lily dalam. Hati Lily berbunga-bunga mendengar perkataan Varun. Bagaimanapun menikah dengan lelaki yang dicintai adalah impian Lily. Varun menggenggam tangan Lily. "Jangan sedih lagi. Ini udah takdir. Kita udah berjodoh. Aku cinta kamu, Lily." Lily tersenyum bahagia lalu memeluk Varun. Kebahagiaan menyelimutinya. Ia menjadi wanita paling berharga di mata seorang pria yang sudah sah menjadi suaminya secara agama. "Varun, bisa beri aku waktu untuk belajar?" tanya Lily pelan. "Bisa, Sayang," jawab Varun. Sikap tenang dan romantis Varun membuat Lily merasa nyaman. Kesedihan yang melingkupinya hilang untuk sejenak. Lily yakin bahwa Varun adalah pria baik-baik. Namun, sekali lagi ia masih butuh waktu untuk menerima semua yang telah terjadi. "Jangan nangis lagi." Varun menyeka air mata di pipi Lily. Lily ingin jatuh dalam pelukan Varun sekali lagi. Ia merasa di sana adalah tempat ternyaman untuknya. Bersandar pada Varun. Paman Jamal lewat dan melirik ke arah mereka yang masih berada di kamar sementara pintu tidak tertutup. Varun dan Lily langsung kikuk dan refleks saling menjauh. "Paman, tadi Lily nangis. Saya cuma ingin nenangin dia." Varun mencoba menjelaskan dengan gugup. Paman Jamal menatap tajam Lily dan Varun. Masih tampak kemarahan dan kekecewaan di wajahnya. Lily langsung tertunduk sedih lagi. Terus terang ia malu pada pamannya. "Tak mengapa. Kalian udah menikah. Udah bebas mau berduaan bagaimanapun," kata Paman Jamal. Varun dan Lily saling pandang kikuk. Itu tidak seperti yang dipikirkan Paman Jamal. Keduanya tahu percuma menjelaskan pada Paman Jamal. Ia tidak akan percaya dan akan memancing perdebatan lagi. Mungkin nanti saat kondisi sudah membaik, mereka semua bisa membicarakan semua dengan kepala dingin. "Makanan udah siap. Tadi Paman goreng ikan dan masak sayur seadanya aja. Ayo kalian makan. Kalian pasti lapar. Dari kemarin kalian udah kacau," ajak Paman Jamal. Lily melangkah keluar dari kamar dan mengejar pamannya. "Kenapa nggak bilang sama Lily, Paman? Biar Lily yang masak dan siapkan semua." Paman Jamal menghela napas kasar. "Ah, udahlah. Ajak suamimu makan. Sekarang kamu udah jadi seorang istri. Belajarlah jadi istri yang baik. Biar Paman siapkan piring dan makanannya di meja." Lily tertegun. Kata-kata Paman Jamal terdengar simple, tapi dalam artinya bagi Lily. "Jangan, Paman. Biar saya aja yang siapkan." Varun cepat-cepat menuju dapur dan mau menghidangkan lauk di mangkuk yang sudah disiapkan Paman Jamal. Dia kaget karena tidak menyadari pria itu tadi masak di dapur. Mungkin saat Lily dan Varun masih melamun atau sibuk bicara dengan keluarga mereka masing-masing. "Aku aja. Kamu tunggu di sana. Temani Paman," ujar Lily mengambil mangkuk dari tangan Varun. Ketika tangan mereka tidak sengaja bersentuhan, keduanya langsung gugup. "Sama-sama ya. Aku bantu," kata Varun. Ia juga tidak tega membiarkan Lily mengerjakan semua sendiri apalagi masih dalam keadaan lingkungan seperti saat ini. Akhirnya mereka makan dalam keheningan. Makanan yang dimasak Paman Jamal sebenarnya enak. Walaupun cuma ikan goreng yang dibumbui seadanya dan sayur tumisan sawi, tapi Varun dan Lily bisa menikmatinya. Benar yang dikatakan Paman Jamal. Varun dan Lily kelaparan setelah peristiwa aneh menimpa mereka. *** Varun membantu Paman Jamal memperbaiki motor tua yang rusak di bengkelnya. Selama beberapa jam laki-laki itu dengan saksama mendengarkan penjelasan Paman Jamal tentang perseneling, karburator, dan cara pemasangan spare part motor yang lain. Menurut Varun berkutat dengan mesin adalah hal menarik. Dari dulu Varun ingin mempelajari ilmu mesin, tapi papanya tidak setuju dia mengambil jurusan itu. Papa lebih suka Varun mendalami bidang hukum seperti Akash, kakak laki-lakinya yang sudah menjadi pengacara terkenal. Beberapa keluarga Varun memang bekerja di bidang hukum. Varun tidak tertarik dengan hukum. Dia lebih suka dengan desain dan seni. Untuk yang satu ini Papa tidak begitu suka, tapi tidak sampai melarang Varun. Papa tidak pernah membanggakan Varun termasuk saat ia memenangkan lomba desain nasional atau ketika dia sukses menjalankan proyek pembangunan mall dan mendapat omzet fantastis di usia mudanya. Reaksi Papa hanya biasa dan cukup membuat Varun kecewa. Tapi Varun sudah terbiasa. Sejak kecil Papa memang lebih prefer pada Akash Samudra Bharatan. Varun menghela napas berat saat ingat bagaimana Papa dan Mama mendengar kabar pernikahan Varun. "Pernikahan siri? Sungguh kamu udah membuktikan kebodohan kamu tanpa bersusah payah." Itu kata-kata Papa sore kemarin saat ditelepon Varun. Sementara Mama begitu shock. Varun bahkan bisa merasakan cucuran air mata Mama melalui telepon. Wanita itu sangat mencintainya dari detik awal Varun muncul di dunia. "Tenang, Nak. Kita akan mengurus masalah kamu. Akash akan meluruskan semua. Pernikahan itu bisa dibatalkan. Kamu nggak perlu panik," ujar Mama. Siapa di sini yang panik? Justru Mama yang panik. "Mama, don't do that. I love her. Pernikahan ini nggak perlu dibatalkan." Varun sangat yakin tidak peduli terdengar celetukan menyakitkan papanya. Mama terdiam lama sebelum akhirnya bicara. Masih serak dan gamang. "Kamu suka dia?" tanya Mama. "Sangat. Aku ingin meresmikan pernikahan kami, Ma. Dia wanita baik-baik. Mama bakal suka sama dia." Lama Mama terdiam lagi. Tidak ada lagi celetukan Papa. Mungkin saking muak ia memilih pergi. "Iya, Nak. Nanti kita atur bagaimana baiknya ya. Yang penting kamu nggak apa-apa kan? Mereka nggak berbuat macam-macam sama kamu? Kamu nggak sampai dipukul atau diperlakukan nggak baik? Cepat kabari Mama dan Papa kalau kamu dalam bahaya. Jangan rahasiakan dari Mama." Suara Mama bergetar lagi. Varun merasakan beban menimpanya. Ini jelas tidak akan mudah. Papa tidak akan menerima pernikahan ini semudah itu. Akash saja belum menikah dan Papa orang modern yang kolot untuk hal satu itu. Ia tidak akan suka ide adik menikahi sang kakak lebih dulu. Entah karena tidak estetik menurutnya, menentang aturan keluarga, atau sejenis pamali. "Kamu serius kan sama Lily?" tanya Paman Jamal setelah selesai menambal ban pemotor yang datang ke bengkelnya. "Serius, Paman," jawab Varun cepat. Paman Jamal menatap Varun tajam. Hal yang sekarang sering ia lakukan. "Lily itu sulit. Bukan wanita biasa." "Saya tahu, Paman." "Kamu nggak tahu. Yang kamu tahu cuma sedikit." Varun mengerutkan keningnya. Bingung ke mana arah pembicaraan Paman Jamal. "Kamu janji akan selalu menjaganya? Kamu akan terus bertanggung jawab padanya apa pun yang terjadi?" tuntut Paman Jamal lalu mengambil obeng dan memutar sekrup di motor yang sedang dipegang Varun. "Saya janji akan menjaga Lily. Saya janji akan segera menikahinya secara resmi di mata hukum. Saya pastikan pada Paman pernikahan ini bukan main-main. Bukan sekadar ketidaksengajaan. Saya memang mencintai Lily dan berniat menikahinya," ucap Varun begitu yakin. "Walaupun sebenarnya bukan sekarang kan?" Paman Jamal tersenyum. Varun terdiam. "Aku percaya sama kamu," ujar Paman Jamal. "Sepertinya kamu baik." Varun tersenyum karena mendapat kepercayaan Paman Jamal. "Tapi pernikahan itu bukan hal mudah. Bukan sebuah proyek seperti yang biasa kamu atau Lily lakukan. Apalagi Lily mempunyai keistimewaan. Dia unik." "Saya tahu Lily keras kepala, tapi saya akan berusaha mengimbanginya. Saya juga punya kekurangan. Saya tidak akan menuntut apa pun sama Lily, Paman." "Mungkin masalahnya bukan di kamu." Paman Jamal berhenti memutar sekrup dan menghela napas. Varun bingung lagi. "Apa ada sesuatu dari Lily yang saya nggak tahu, Paman?" Paman Jamal terdiam lalu memandang Varun serius. Pria tua itu kelihatan bimbang dan seperti ingin menyampaikan sesuatu pada Varun, tapi ragu. "Varun, Paman, aku udah masak. Ayo makan dulu!" seru Lily dari pintu rumah tepat ketika Paman Jamal ingin membuka mulut. Senyuman mempesona Varun menambah ketampanan wajah pria beralis tebal itu. Ia senang dengan sikap Lily yang setiap hari semakin lembut padanya. Rasanya ia mulai nyaman dengan pernikahan ini. Varun benar-benar merasa mempunyai istri yang menyayanginya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD