empat

1325 Words
Pegal. Hal pertama yang kurasakan saat pertama kali mata terbuka. Memang sudah menjadi rutinitas bangun subuh begini, atau sebuah kewajiban? Entahlah. Yang pasti kalau dulu aku paling sulit bangun pagi meski sudah dibantu oleh alarm, maka lain hal dengan sekarang. Padahal aku sering tidak tidur, tetapi kalau subuh pasti selalu bangun. Apalagi kalau bukan rengekan Raja. Demi Tuhan, aku tidak sedang menggerutuinya. Dia anakku. Saat aku sudah bisa duduk dengan sempurna, mataku mendapati Pram sedang menggendong Raja beberapa langkah dari boks bayi itu. Dia tak menyadari kehadiranku. Ah, mengabadikan momen seperti ini tidak berlebihan, kan? "Udah bangun? Barusan mau bangunin setelah Raja tidur lagi." Aku mendengus keras-keras. Tak ada di kamus Pram 'membangunkanku', yang ada dia akan berteriak atau menggoyang-goyangkan tubuhku karena katanya aku bandel. "Kamu tuh baru puasa segitu aja udah kayak Banteng loh, pram. Badanku pegel semua ...." Pantesan, dia memerah s**u lumayan banyak semalam, buat cadangan kalau pagi ini aku tidak mungkin kuat bagun dan menyusui Raja. Semalam saja, harus beberapa kali dulu iklan, karena raja merengek, kemudian dilanjut setelah memastikan Raja kembali tidur. "Yaudah keramas sana. Aku mau ke masjid dulu." Kulihat dia meletakkan Raja kembali di boksnya. Kenapa bayi itu mudah sekali tidur kalau dengan Papanya? "Bisa jalan?" "Gendong?" "Nggak usah manja. Aku mau wudhu." Lihat? Padahal, saat aku memintanya menggendongku itu karena aku benar-benar merasa pegal, sungguh. Pun absen dari wajah menggoda atu manja yang biasanya semakin membuat ia kesal. Memang Pram tetap akan selalu begitu. Membuatku kesal, kecuali saat di Ranjang. Berengsek. Aku mengunggah satu foto ke dalam akun **. Foto Raja yang kuambil beberapa hari lalu. Akhir-akhir ini, aku senang memamerkan foto Raja. Lucu dan menggemaskan. Raa_ Baby, kita berdua selalu bahagia kan? Raa_ Baby, kita berdua selalu bahagia kan? "Belum ke kamar mandi juga?" Dia menyipitkan mata, wajah dan sebagian rambutnya basah setelah keluar dari tempat wudhu. "Aku seret, lho nanti." Tidak usah dijawab. "Ra ...." Kudengar suara langkahnya mendekat, sementara aku masih asyik melihat hasil unggahan tadi. "Ini kenapa, sih, kupingnya suka pura-pura nggak denger?" "Sakit, ih!" Memangnya aku anak kecil yang masih pantas mendapat sebuah jeweran? "Iya, iya! Ini mau ke kamar mandi." "Aku ke masjid dulu, ya?" Aku mengangguk. Kemudian menyibakkan selimut dan berjalan ke kamar mandi. Ya Tuhan! Kakiku kenapa terasa pegal sekali? Pram memang mengerikan. Bagaimana jika aku mati lebih dulu dan dia baru menikah lagi setahun kemudian? Apa istrinya akan panjang umur kalau cararanya seperti ini? Oh s**t! Baru saja aku mendoakan Pram menikah lagi. Tidak akan pernah. Bahkan, jika pun aku mati lebih dulu, aku akan membuatnya tidak bisa menikah lagi. Itu janji seorang istri yang mencintai suaminya. Selesai dengan semua kewajiban, aku segera mendekati boks Raja. Dia tertidur sangat pulas. Oh anakku ... dia mirip dengan Pram tetapi rambutnya persis dengan warna rambut asliku. "Papamu nggak berubah, ya, Sayang? Tetep aja nyebelin. Nggak tau sampai kapan." Namun, dia juga memuaskan. Secara lahir dan batin. Emosi juga, dia paling jago membuatku darah tinggi. Lihat, itu handuknya bekas dia mandi tadi ia letakkan begitu saja di sofa. Kalau begini, apa tetap aku yang salah karena terlalu cerewet? Oh my ... matahari bahkan sudah mengeluarkan cahaya andalannya, tetapi dia bahkan belum pulang dari masjid. Harusnya, aku bisa membuatkannya sarapan. Sebentar, Pram tidak bermaksud untuk berada di dalam masjid sampai menjelang maghrib, kan? Lamunanku buyar, saat Raja kembali merengek. Kali ini, matanya terbuka sempurna. Oh, mengerti sekali kalau ini memang sudah waktunya manusia beraktivitas. Beda sekali dengan Maminya. Sembari menggendong Raja, aku berjalan ke arah kasur, membuka kancing baju dan menyusuinya seperti biasa. Wait ... kenapa aku baru menyadari kulitku begitu kusut? Sialan. Tentu saja. Aku sudah tidak pernah perawatan sejak usia kandungan mulai menginjak delapan bulan. Oh no! Ini bahaya. Apa Pram semalam menyadarinya? Semoga tidak, Tuhan ... aku mohon. "Mami masih cantik, kan, Sayang? Hm?" Kapan dia bisa menjawab pertanyaanku? Matanya hanya berkedip dan jemarinya bergerak-gerak. "Bilangin Papa, dong. Kalau Mami pengin dimanja. Please?" "Dimanjanya pakai apa? Ini cukup nggak?" Refleks, kepalaku mendongak, melihat Pram berjalan mendekat dengan ekspresi yang ... duh, ini yang mana lagi? "Itu apa?" "Kamu itu ratunya belanja. Pasti tahu itu apa." Bajingan. "Buat aku?" Kulihat kepalanya mengangguk, kemudian dia mengambil tempat duduk di sampingku, menyibakkan rambut dan mengambil kembali kotak kecil dari tanganku. "Makasih, Papa." "Sama-sama." Jadi, dia tidak segera pulang karena pergi mencari kalung ini dulu? Ke masjid membawa dompet? Ya Tuhan, suamiku! "Ra?" "Ya?" Tangan besar Pram mengelus pipi Raja yang semakin hari bertambah isi. Dia tembam sekali. Padahal aku tidak gendut. Beberapa detik berikutnya, kepala Pram menduduk, mencium Raja. Lalu menengadah, memandangku. "Kamu udah mandi belum, sih, tadi?" "Udah!" "Kok cantiknya nggak ilang?" Oh! Mataku membeliak, aku sampai sulit menelan ludah sendiri. Ini kejutan terbesar! Dari mana ia belajar semua ini. Sejak beberapa hari lalu, kenapa sifatnya menjadi perayu begini? "Aku mau liputan ke Bekasi. Kira-kira satu minggu. Ada aborsi ilegal di sana." "Emang ada aborsi legal?" Tubuhnya kembali tegak, ia merangkul pundaku, lalu berkata, "Ini ada oknum kepolisian juga. Aku paling jijik kalau udah nyangkut hal itu. Lusa Ibu udah ke sini." Sebentar ... kenapa aku merasa ada yang mengganjal? "Aku cinta kamu," bisiknya, di samping kepalaku. "Kamu nyogok aku, ya, Pram! Sialan!" Aku langsung berdiri, membawa Raja ikut serta. Ya, aku ingat. Selama aku menikah dengan Pram, setiap ia akan pergi liputan ke luar kota, aku selalu merengek meminta ikut. Dan, berakhir dengan kemenangan Pram. Aku yang kalah. Tetapi aku berhasil membuatnya kalah saat aku hamil. Karena dia tidak pernah menolak keinginanku. Sekarang ... dia melakukan dengan cara baru? Menyogokku dengan sikap genit, manis, dan kalung ini? "Nggak nyogok." Dia ikut berdiri di hadapanku. Entahlah. Sekarang mataku mudah sekali berkaca-kaca. Aku benci menjadi begini. Sangat benci. "Itu kalung emang buat kamu." "Kamu nggak pernah segenit kemarin, kamu nggak pernah sebaik tadi. Omonganmu nggak pernah selembut ini. Kamu nyogok!" "Oke! Iya, aku nyogok." Dia memegang kedua pundakku. "Kamu izinin aku pergi?" "Kalau enggak, kamu akan stay di rumah?" Kepalanya menggeleng. Aku tahu jawabannya. "Kalau gitu nggak perlu ngelakuin semua ini. Dimanisin atau enggak, aku nggak pernah rela ditinggalin kamu. Dikasih kalung atau enggak, aku juga tetep nggak ngizinin kamu." Raja kenapa harus menangis di saat seperti ini, sih? "Dan tanpa semua itu, kamu juga pasti tetep dengan keputusanmu. Nggak usah baik kalau ujung-ujungnya cuma buat bikin nangis." "Rajanya nangis, kamu duduk dulu." "Nggak usah pegang-pegang!" Pram mengangkat kedua tangannya, menyerah. Sementara aku tetap patuh dengan ucapannya. Duduk dan kembali menyusui Raja. "Kata orang, sikap manis dan perhiasan bisa membahagiakan istri." Pram berjongkok dilantai, menghadapku. Tangannya terulur, menyentuh hidungku. Pasti cairan itu keluar dengan menjijikan. "Tapi kamu ngasihnya nggak ikhlas. Cuma karena supaya kamu ngantongin izinku." "Aku nggak pernah butuh izinmu buat pergi, kan?" Tidak usah menjawabnya. Dia pasti melanjutkan kalimatnya. "Tapi sebulan ini ... liat gimana kamu berhasil pura-pura berubah dan marah sama aku, aku jadi takut kalau kamu gitu beneran." Katakan, adakah lelaki semenyebalkan dia? Mengetahui kalau istrinya sedang merajuk, bukannya merayu malah ikut bermain drama? "Bohong. Kamu tuh tahu kalau aku udah mentok nurut sama kamu. Makanya kamu belagu." Senyumnya terbit, sedikit membuat dadaku menghangat. Tetapi aku tetap kesal dan tidak akan memberinya senyum. "Mbak Ijas udah aku suruh nginep. Aku berangkatnya malem." Aku hanya diam. "Kamu mau oleh-oleh apa?" Lagi, kalian pasti sudah tahu apa reaksiku. "Aku beliin Teddy Bear yang besar buat kamu mainan sama Raja?" "..." "Selama kamu mandiin Raja, aku bikinin sarapan, ya?" Kenapa Tuhan tidak pernah memberi apa yang kuinginkan? Sederhana saja; Aku ingin suamiku yang peka betapa aku membutuhkan dia di sini, aku butuh sedikit sikap manisnya yang tulus, yang tidak berakhir dengan perdebatan seperti ini. Apa itu terlalu mustahil? Pram memang antonim dari lelaki idamanku. Dia tidak pernah memanjakanku dengan kata dan sikap yang manis, tidak pernah memberiku ruang agar aku terlihat menang darinya. Tetapi kenapa aku tidak pernah bisa lepas sedikit pun dari sisinya? Kenapa aku terus merasa kalau dibalik semua kebajingannya itu ... dia menyimpan cinta yang besar untukku? Ramelia memang menjadi bodoh sejak memutuskan masuk ke dalam keluarga Natanegoro.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD