lima

1080 Words
Ya Tuhan! Kenapa sejak tadi Raja tak juga mau diam? Mbak Ijas juga belum ke sini, dan Ibu besok baru datang. Inilah kenapa aku yakin banyak pasangan yang tak menginginkan kehadiran buah hati. Tidak. Tidak. Aku bukan salah satunya. Dengan gamblang aku akan mengatakan kalau aku bahagia menjadi seorang Ibu. Tetapi ya ... aku juga tidak berbohong. Cukup repot memang, dan sendiri di rumah membuatku terkadang ingin menangis kencang. Namun, aku berusaha seikhlas mungkin. Dia anakku dari Pram. Anak yang dulu sangat kunantikan. Ayo, Ramelia ... kamu adalah wanita tangguh dan cerdas! Dalam keadaan rumit seperti ini, seorang diri dan kalian mendengar bel dari luar, apa yang kalian rasakan? Aku ingin mengutuknya. Sebab, itu bukanlah Mbak Ijas. Dia punya kunci sendiri. Sembari menggendong Raja yang sudah mulai memejamkan mata, aku berjalan ke depan. "Halo, Mahmud! Sendiri, yak?" Aku memelototi Dhea yang hanya dibalasnya dengan sebuah cengiran. Raja ini sangat sensitif dan manja. Mendengar suara keras sedikit saja langsung merengek. Ya Tuhan! Apakah aku saat bayi dulu lebih parah dari ini? "Mas Pram neror mulu, sebel aku! Udah dibilangin ntar sore aku dateng ke sini, mau beli buku dulu ke Gramed sama Irfan, eh malah dibentak disuruh sekarang." Dia berlenggang ke dalam. Gadis ini kalau sudah mengoceh tidak akan memberi kesempatan yang lain berbicara. Dan, apa dia bilang? Pram yang menyuruhnya? "Halo, my king! Mbak Ra, aku boleh gendong?" Kepalaku mengangguk, kemudian Dhea mengulurkan tangan, mengambil Raja dari gendonganku. Kuakui Dhea cukup berani menggendong Raja padahal belum ada pengalaman. Saat aku seusinya, mana kepikir untuk menggendong bayi. "Ibu nggak ikut, Dhe?" "Besok, kan? Ntar malem masih yasinan nujuh hari." "Tolong bawa Raja ke kamar, ya! Mbak mau buat sarapan. Kamu udah sarapan?" Kepalanya mengangguk. Dengan itu aku berbalik untuk berjalan ke arah dapur. Namun, panggilannya menghentikanku. "Mbak Ra kalau ada Mas Pram masih boleh pake pakaian kayak gitu?" Mataku menunduk, mengikuti arah pandangannya. Dan ... s**t! Aku masih mengenakan hot pants. Bagus sekali. Oh my my my! Untung yang datang Dhea. Kalau saja lelaki, sudah bisa dipastikan aku akan mati beku. Merasa bersalah pada Pram. Oh terima kasih, Tuhan.... Dhea terkikik, kemudian berbalik menuju kamarku setelah kuberi tatapan tajam. Ya, setidaknya, tatapan tajam seorang Ramelia masih berpengaruh pada Dhea, alih-alih pada suami sendiri. Aku memutuskan hanya membuat roti panggang, sembari menunggu Mbak Ijas datang. Wow, Pram ternyata sudah memberi beberapa list masakan yang harus Mbak Ijas beri untukku. Aku melihatnya dalam bentuk note yang tertempel di lemari pendingin. Lihatlah tulisannya itu .... Mbak Ijas, tolong ini dimasak buat Ra yaaaa.... 1. Sup Ayam berisi sayur-mayur. 2. Jus buah. Minimal jus wortel. 3. s**u. (Dia suka banget s**u) 4. Jangan dikasih cemilan (pelototin aja kalau dia bantah) 5. Daging. 6. Lele juga dia suka kok. 7. Jangan suruh dia masak bawal, suka lupa segalanya. Jangan takut nolak kalau dia aneh-aneh. Atau laporin ke aku aja. Terima kasih, Mbak Ijas. Titip Ra yaaaa. Makasih. Bah! Lelaki itu ...! Aku ingin sekali marah dengannya, tetapi hanya disogok hal-hal kecil begini saja aku sudah membeku tak berdaya. b******n. Dhea sedang mengajak Raja bercanda, saat aku sudah kembali ke kamar setelah menghabiskan setangkup roti dan segelas s**u. Bayi bulat itu hanya menyentuh wajah Dhea sebagai balasan. Atau paling maksimal tersenyum kecil sekali. Betapa pelitnya anak Pram itu untuk tertawa! "Kamu beneran udah makan, Dhe?" "Udah, Mbak. Ih si Gembil susah banget, sih, ketawanya?" Dhea terus mencubit gemas wajah Raja, kemudian turun ke perut. Namun, masih saja bayiku itu hanya tersenyum kecil. Lalu, memandang wajah Dhea saksama. "Ah capek! Nggak mau ketawa!" Memanglah anak Pram. Aku tertawa. Menggantikan posisi Dhea, berbaring di ranjang bersama bayi gembilku. Sedangkan Dhea sudah duduk di sofa dekat kasur, memainkan ponsel. Sudah pasti. Gadis satu itu memang tak pernah lepas dari gadget-nya. "Ihh, Mbaaak! Aku bisa foto Mbak Ra sama Raja keren banget!" Sebelum aku sempat menjawab, Dhea sudah duduk di samping Raja, menghadapku. Benar, kan? Dasar urakan memang. "Liat, deh! Udah kayak hasil fotografer pro gitu." "Mana coba?" Sialan. Ternyata hasil jepretannya memang cukup bagus. Apalagi jika diunggah di **. Pasti likers-nya banyak. Tidak, tidak. Pram akan mengamuk atau justru langsung membunuhku saat itu juga. "Kirim ke Mbak dong, Dhe! Lewat WA." Dia mengangguk. "Mau ke belakang ah! Mbak Ijas udah dateng belum?" "Tadi belum." Aku melihat lagi foto yang baru saja Dhea kirim. Sedetik, aku menemukan ide brilian. Saat aku mendongak, hendak meminta pendapat Dhea, gadis itu sudah tidak ada. Me: Aku post ini di Ig boleh? Me: Aku post ini di Ig boleh? Dia pasti sedang sarapan. Tadi subuh dia sudah membangunkanku lewat telepon. Meminta agar aku tidak mengganggunya lewat chat atau pun telepon sampai sore nanti. Karena dia harus liputan bersama timnya. Sialan. Dia harusnya mengucapkan kalimat penuh cinta bukannya peringatan. Notifikasi muncul di ponselku. Pramuja: Siapa yang motoin? Me: Mang Bilal. Pramuja: Aku nggak pulang loh kalau main2 Me: IYA IYA BUKAN! Me: Itu hasil foto Dhea Me: Seksi kan? Pramuja: Kakinya Raja lucu. Me: K. Perhatikan, begitulah suamiku bersikap terhadap istrinya. Tak pernah bisa membuat hatiku menghangat sedikit saja. Namun, kenapa aku malah semakin mencintainya, sih? Aku menduga, Pram mungkin mendapatkan jimat agar aku terus menaruh rasa dan semakin bertambahlah rasa itu setiap harinya. Pramuja: Kamu tanggung jawab. Aku harus mandi lagi Ra Hah? Maksudnya? Aku ingin membalasnya, tetapi gengsi karena tadi aku sudah membalas sesingkat itu. Jadi biarkan saja. Pramuja: Ganti baju yang bener. Jangan ngirim foto aneh-aneh selama aku di sini. Me: foto aneh apa siiihhhhhhh? Pramuja: Ganti baju! Me: Nggak mau. Pramuja: Aku telepon Ibu ya? Me: Maennya ngancem. Iya iya. Pramuja: Aku berangkat dulu. Titip cium buat dua pipi Raja. Me: Buat aku? Pramuja: Satu di bibir kamu. Pramuja: Udah ya. Aku berangkar. Assalamualaikum. Pram b******n! Aku sampai senyum-senyum sendiri. Oh my ... lelaki itu memang suamiku. Lelaki yang tak tertebak. Tak pernah menuruti keinginanku yang sangat mendamba untuk dimanja. Namun, selalu punya cara untuk membuatku seperti orang gila. "Papa titip cium, Sayang. Satu di sini ..." Aku mengecup pipi kiri Raja gemas, membuatnya bergerak pelan, tetapi masih tetap terpejam. "satu lagi sini." Kemudian berlanjut di pipi sebalah kanan. "Yaah, terus yang nyampein ciuman di bibir Mami siapa, dong?" Monologku terputus oleh ketukan pintu kamar. Ternyata Mbak Ijas sudah berdiri di pintu dengan senyuman lebarnya. "Ini Jus Wortelnya, Bu." Oh tidak! "Haruskah jus itu, Mbak?" Aku menatapnya semelas mungkin. Dan dia hanya mengendikkan bahu tak acuh. Sialan. "s**u aja, please?" "Tadi pagi kan udah s**u? Gelasnya aja belum Ibu cuci, kok." Bodoh! Bahkan meskipun tak ada di sini, Pram masih terus berkuasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD