Part 1

1004 Words
Andrea's PoV Untuk kesekian kalinya, Dia meninggalkanku sendiri lagi. Aku ingin seperti sepasang suami-istri lainnya. Dimanja, disayang bahkan diberi perhatian. Itu mungkin hanya akan terjadi di dalam imajinasiku saja. Sudah 1 tahun pernikahan yang kami jalani, jangankan untuk menyentuh, memanggil namanya saja aku tak diizinkan. Apa sebegitu marahkah dia kepadaku. Aku menghembuskan nafas berat, beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi. Setelah membersihkan seluruh tubuh dan merapikan kamar tidur, aku beranjak menuju kamarnya. Kami bahkan tidur terpisah, dia tak mau berada di dekatku bahkan sedetikpun. Aku memasuki kamarnya hanya untuk merapikan semuanya, aku ingin seperti istri yang lain yang melayani apapun kebutuhan seorang suami. Berbagai cara telah kulakukan selalu gagal dan gagal lagi. "Bi, adakah yang bisa aku bantu?" tanyaku lemah kepada Bik Ayu salah satu pembantu yang telah cukup lama bekerja dengan keluarga Azka (nama suamiku). Bik Ayu menghentikan pekerjaannya sejenak dan menatapku. " Tidak usah, bibi bisa melakukan nya," sahutnya ramah. bi Ayu memang sangat baik kepadaku, walau dia tahu apa yang telah terjadi antara aku dan Azka. Bibi tidak memperdulikannya. Dia selalu memperhatikan keadaanku. Aku mendekatinya, "Ayolah, bi. Izinkan aku melakukan tugasku sebagai seorang istri," Sahutku memelas. "Lebih baik kamu makan, bibi sudah menyiapkan nasi goreng di dapur." Aku menyentuh tangannya yang memegang bed cover Azka "Bi, please" mohonku lemah. "Biarkan aku yang merapikannya aku mohon," kataku lagi. "Dia tak menyukai setiap tindakan yang kulakukan. Maka izinkan aku satu kali saja merapikan kamar tidurnya." Suaraku serak sedikit sedih. Bi Ayu menaruh kedua telapak tangannya di pipiku. "Sampai kapan akan seperti ini, nak?" tanyanya sedih. "Jangan siksa batinmu, bibi tidak tahu sudah berapa banyak air mata yang telah kamu keluarkan selama kamu disini. bibi tak tega melihatmu murung setiap harinya." Menghela nafas berat." Sampai dia mau menerima kehadiranku." Aku tersenyum nanar. aku masih percaya waktu itu akan datang, kesempatan itu masih terbuka lebar. walau aku sendiri tidak tahu kapan itu akan terjadi. "Tapi bibi, jangan beritahu dia kalau aku yang merapikan kamarnya." Bi Ayu mengangguk, sebelum dia keluar kamar dia sempat mengelus kepala ku dengan sayang. Aku duduk melamun diatas tempat tidurnya, memandang kesekeliling kamarnya. Dia lelaki yang rapi, baik dan penyayang, tapi tidak untuk diriku. Di dinding kamar ada beberapa foto terpajang dan ada foto seorang wanita yang sangat dia cintai yaitu Sea sahabatku sendiri. Tak ada satupun fotoku, bahkan foto pernikahan kami hanya ada satu terletak di ruang tamu. Itu hanya untuk menghilangkan kecurigaan keluargaku dan keluarganya tentang status kami sebenarnya. Aku ingin foto Sea diganti dengan fotoku, aku yakin itu tak akan pernah terjadi. Aku mengambil salah satu foto Azka yang terletak di sebelah tempat tidur lalu menatapnya. "Harus dengan cara apalagi Azka aku bisa mengambil hatimu," lirihku menangis lagi dalam kesendirian dan kerinduan kepadanya. Setelah merapikan kamarnya, aku menuju dapur untuk mengisi perutku yang telah memberontak ingin diisi. Ada nasi goreng dan beberapa lauk yang telah dihidangkan Bi Ayu. Setiap satu suap nasi yang masuk ke mulutku, maka satu tetes air mata juga yang turun di pipiku. Dia tak pernah ada menemani makan pagi, siang bahkan malamku. Dia selalu membiarkanku sendiri. Padahal ini hari Minggu bukankah tak ada satupun kantor yang buka di hari Minggu. Dia tak pernah mengajakku jalan jalan, jika aku ingin pergi maka itu harus kulakukan sendiri. Tidak ada suami di samping ku, dan tak ada keluarga pun yang menanyakan kabar ku. Aku ingin sekali pergi bersamanya, membeli keperluan rumah tangga berdua dengannya. Heh....,itu hal yang paling mustahil dalam rumah tangga ku. Aku mengirim pesan kepada Azka To : My lovely husband Azka, aku ingin keluar sebentar untuk membeli keperluan makanan kita. Apakah kamu mengizinkan? Hampir 30 menit menunggu tak ada satupun balasan darinya. Aku yang bodoh, aku tahu ini akan terjadi tapi aku tetap melakukan hal bodoh itu 1 tahun ini. Bahkan dia tak punya no hp ku. Semua sms bahkan telponku tak pernah dibalasnya. "Bi, Andrea mau pergi keluar dulu membeli persedian makanan kita." " Oia, bibi hampir lupa tadi den Azka memberikan uang untuk mengisi kekosongan kulkas. Biar bibi saja yang pergi." Aku menahan bi Ayu." Jangan!! Biar Andrea saja." Bi Ayu memberikan uang dan catatan kecil apa saja yang harus dibeli. " Hati hati di jalan,Andrea." Aku mengangguk semangat. **************** Disinilah aku memilih buah dan sayuran untuk keperluan makanan kami. Kutatap sepasang suami-istri yang sama- sama memilih buah jeruk. Sesekali sang suami mengelus perut istrinya yang kutaksir mungkin dia hamil 7 bulan, dilihat dari perutnya yang sudah membesar. "Aku ingin hamil dan punya anak," batinku lirih mengelus perutku yang masih rata. Lagi lagi aku berkhayal sesuatu hal yang tak mungkin lagi. Bagaimana bisa hamil, Menyentuhku saja tidak. Setiap kali bunda menanyakan tentang kehamilanku, aku selalu menjawab belum rizki. Kupalingkan mataku dari suami istri yang harmonis itu, kulanjutkan memilih keperluan yang lainnya. "Aku rasa ini cukup," pikirku melihat keranjang yang sudah hampir penuh. Aku menuju kearah kasir, langkahku tertahan karena dibelakang seseorang memanggil namaku. " Andreaaa" teriaknya di belakangku. Aku menoleh kearahnya, dibilang kaget itu tak perlu lagi karena ini selalu terjadi kepadaku. "Hi, Sea," sapaku. Aku lihat dibalik punggung Sea sahabatku berdiri Azka suamiku dan 1 pasangan lagi yaitu Cinta yang juga sahabatku dan kekasihnya Yudha. "Andrea, kamu sendiri?" tidakkah dia melihat yang sebenarnya. Aku menjawab dengan senyuman "Iya...aku juga sudah selesai belanjanya." "Oh..kami baru mau membeli sesuatu." "Kalau begitu aku duluan," sahutku berlalu dari hadapan mereka. Dia bahkan tak melirikku. Keluar dari supermarket ternyata hari hujan, aku tak membawa payung.jarak halte bus dan supermarket cukup jauh. Jadi aku menunggu agar hujannya sedikit reda. Hampir 1 jam menunggu tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Aku berencana untuk lari menuju halte yang berada disberang sana. "Ikut kami saja, Andrea." ajak Sea mengagetkanku. Aku meliriknya, dia membuang muka terhadapku. "Tidak,terima kasih Sea, aku bisa pulang sendiri." Aku berlari hujan-hujanan menuju halte, air mata sudah bercampur dengan air hujan yang telah membasahi wajahku. Aku harus tegar, inilah resiko yang harus aku ambil. Aku yakin ini akan terjadi, tapi cinta lah yang mebuatku buta. Sesampainya di halte aku terduduk menangis menumpahkan segalanya. Kenapa dia begitu tega melihatku seperti ini. "Bunda..."lirihku " Andrea kangen bunda," rengekku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD