2.Hans Cedric Churchill

1321 Words
“You always fall for the most unexpected person at the most unexpected time and sometimes for the most unexpected reason.” "Hans? Apa yang kau lakukan di sini?" Heran Ella melihat laki-laki yang baru beberapa menit berpisah dengannya sudah berdiri di depan pintu kamar hotelnya. "Kau meninggalkan sarung tanganmu." Hans menunjukkan sarung tangan Ella yang dibawanya. "Aku bahkan tidak sadar jika tertinggal. Terimakasih, Hans." Ella mengambil sarung tangan itu. Ella melihat di sekeliling lorong. Tubuhnya seketika membeku saat melihat sosok yang keluar dari lift. Sebelum pria itu melihat, Ella menarik Hans masuk dalam kamarnya. "Ada apa, Ella?" Bingung Hans melihat wanita itu tampak panik. "Cium aku, Hans." Pinta Ella.  Hans terkejut mendengar permintaan Ella. Pria itu memang ingin mencium bibir merah muda Ella sejak pertemuan pertama mereka. Tapi dia tidak menyangka Ella sendiri yang memintanya. "Aku tidak tahu kau memiliki sisi agresif, Ella." Senyum Hans. TOOKK...TOOKK..TOKKK.... "Ella buka pintunya." Suara laki-laki terdengar dari balik pintu. "Siapa dia?" Hans menatap Ella kebingungan. "Aku akan memberitahumu nanti. Tapi sekarang tolong bantu aku, Hans. Cium aku." Tentu saja Hans tidak akan menolaknya. Dia meraih tengkuk dan pinggang Ella secara bersamaan. Menyatukan bibir mereka dalam pagutan yang dalam. Bibir Ella jauh lebih nikmat dari bayangan Hans. Lembut dan kenyal. Membuat Hans tak ingin melepaskannya. Namun suara dobrakan pintu menghentikan ciuman mereka. Pria dengan kacamata bertengger di hidung berjalan masuk. Bahkan dari cara berpenampilan dan gaya rambut, jelas pria itu adalah tipe pria kantoran. "Ella, siapa pria ini?" Pria itu terlihat geram melihat pemandangan di dalam kamar itu. "Tentu saja kekasihku Aaron. Apa kau tidak lihat kami sedang berciuman?" Ella berusaha setenang mungkin, meskipun tangannya gemetar menempel di bahu Hans. "Kau tidak mungkin memiliki kekasih secepat itu. Kau hanya berusaha memanas-manasiku saja 'kan?"  "Apakah kau dan Gail hanya sekedar untuk memanasiku, Aaron?" Rahang Aaron menegang dan Ella tahu dia sudah menyerang pria itu dengan tepat sasaran. Bahkan wajah pria itu memucat saat Ella menyebutkan nama wanita yang sudah merusak hubungan mereka.  "Aku akan menjelaskan soal Gail. Berikan aku kesempatan." Aaron berusaha keras tidak tersulut emosi kalau tidak rencananya datang kemari akan sia-sia. "Tidak perlu repot-repot, Aaron. Apa yang kulihat sudah memperjelas semuanya." "Aku mohon, Ella." "Sebaiknya kau pergi, Bung. Ella tidak ingin bicara denganmu. Dan aku akan menelpon penjaga hotel untuk mengusirmu jika kau tidak segera pergi." Kedua tangan Aaron terkepal di samping. Ingin sekali pria itu bersikeras meminta waktu Ella. Tapi melihat Hans, pria itu tahu saatnya tidak tepat. "Aku belum selesai denganmu, Ella." Aaron berbalik pergi. Ella merosot duduk di atas kursi dan menghela nafas lega. Hans duduk di samping Ella dan menyentuh tangannya. "Kau baik-baik saja?" Cemas Hans melihat wajah Ella begitu pucat. "Ya aku baik-baik saja. Terimakasih sudah membantuku Hans. Soal pria itu..." Sorot mata Ella menjadi sedih ketika membicarakan Aaron. "Jika kau tidak ingin mengatakannya, tak perlu memaksakan diri. Aku juga memiliki rahasia. Dan aku merasa tidak nyaman jika membicarakannya. Seperti pertemuan awal kita. Hanya Ella dan hanya Hans." Ella tersenyum mendengarkan ucapan Hans. Pria itu tahu dirinya merasa sangat tidak nyaman membicarakan masalah pribadi dengan orang yang baru dikenalnya. "Aku menyukai ide itu. Hanya Ella dan Hans." Hans mengalihkan pandangannya pada pintu kamar Ella yang didobrak Aaron. Kecemasan jika pria tadi datang kembali merasuki pikiran Aaron. "Sepertinya kau tidak bisa tinggal di sini lagi. Pria itu pasti akan datang lagi." Hans menunjuk pada kerusakan pintu. "Kau benar. Aku akan berkemas dan kembali saja." Mata Hans seketika membulat. Dia menahan tangan Ella. "Jangan." Spontan pria itu mengatakannya. Dia tidak ingin kebersamaannya dengan Ella begitu cepat berakhir.  "Jangan apa maksudmu Hans?" Ella menatap pria itu bingung. "Jangan pergi dulu. Bukankah kita memiliki janji untuk pergi ke festival pelepasan lampion bersama besok? Tinggallah di sini sampai acara itu selesai." "Aku tidak bisa memesan hotel lagi Hans. Hotel di sekitar sini pasti sudah penuh dengan turis yang berlibur." "Kalau begitu tinggal saja di kamar hotel tempat aku menginap." Seketika tatapan wanita itu tertuju pada Hans. Oh tidak. Membayangkan dirinya akan tidur di ranjang Hans saja sudah membuat darahnya berdesir. Bahkan sentuhan intim yang terjadi beberapa menit lalu sudah membuat tubuhnya mendamba. Bagaimana jika dia harus tidur di kamar yang sama dengan Hans? Ella takut tidak mampu mengontrol dirinya. "Jangan memandangku seolah aku orang jahat yang hendak mencari kesempatan. Tenang saja aku akan tidur di kamar temanku. Jadi kau tak perlu cemas." Ella menghela nafas lega. "Baiklah aku terima tawaranmu Hans. Aku tidak mau menyia-nyiakan liburan ini." "Keputusan yang tepat. Sebaiknya kau berkemas dan aku akan mengurusnya."  "Ok. Terimakasih Hans." Ella melihat senyuman merekah di wajah Hans sebelum akhirnya menghilang dari pandangannya.  **** Thomas memandang Hans yang berbaring di atas ranjangnya. Mendengar Hans akan tidur di kamarnya malam ini membuat pria itu terheran-heran. "Mengapa tiba-tiba kau ingin tidur di sini?" Tanya Thomas. "Hanya ingin saja. Lagipula kamarmu lebih nyaman." Hans asal menjawab. "Jangan bercanda Hans. Kamarmu jauh lebih besar. Kau menempati kamar paling bagus di hotel ini. Aku menantikan penjelasanmu yang sebenarnya." "Mengapa aku tidak bisa membohongimu?" Heran Hans. "Karena kau tidak pandai berbohong sobat." Thomas terkekeh melihat kekesalan di wajah sahabatnya. "Baiklah. Aku akan berkata jujur tapi kau harus membantuku. Kamarku ditempati wanita itu." "Wanita itu? Wanita yang mana?" "Wanita yang menolakku." "Kau pasti sedang berbohong. Jika dia di kamarmu mengapa kau tidak tidur bersamanya saja." "Apa menurutmu setelah dia menolak ajakanku untuk makan bersama, dia akan bersedia merebahkan tubuhnya di ranjang agar aku siap menerkamnya?" "Aku pikir tidak." "Kalau sudah tahu jadi kau mengerti bukan mengapa aku tidur di sini?" "Oh ayolah Hans. Jika kau tidur di sini lalu aku harus bermain di mana? Mengapa kau tidak pesan kamar lagi saja? Tidak sulit bagi hotel untuk menyediakan kamar bagi pangeran sepertimu." "Dia tidak tahu aku adalah Pangeran, Thomas. Dan aku juga sudah membujuknya dengan mengatakan akan tidur dengan temanku. Jadi kau harus berbagi kamar denganku sobat." "Aku jadi semakin penasaran dengan wanita itu. Dia sudah membuat pangeran menyerahkan kenyamanan kamar hanya untuknya. Aku mau melihatnya." Thomas berjalan menuju pintu dan dikejar oleh Hans. Dia tidak akan membiarkan Thomas macam-macam dengan Ella. **** "APA? DIA BERANI MENEMUIMU?" Teriakan Kay membuat Ella harus menjauhkan ponsel dari telinganya. "Iya. Aku terpaksa meminta seseorang untuk berpura-pura jadi kekasihku untuk mengusirnya." Ella berkeliling untuk melihat kamar hotel yang mewah itu. "Tunggu dulu. Seseorang ini adalah pria bukan?"  "Tentu saja pria Kay. Aku masih memiliki orientasi seksual yang normal okay." Terkadang Ella hanya bisa geleng-geleng kepala jika otak Kay sedang konslet. "Jadi siapa pria ini? Aku jauh lebih penasaran dengan pria ini dibandingkan Aaron." "Aku hanya tahu namanya Hans. Kami memutuskan untuk tidak mengungkit hal-hal yang berhubungan dengan masalah pribadi. Kami bertemu saat bermain ski salju." Jelas Ella. "Apakah dia tampan? Jauh lebih tampan dengan Aaron bukan?" "Ya dia memang jauh lebih tampan dan lebih berkarismatik dibandingkan Aaron. Tapi jika kau berpikir hubungan kami akan menuju hal yang bernama status itu aku rasa tidak Kay. Buang pikiran itu jauh-jauh dari otakmu." "Kau memang cenayang Ella. Lalu kau akan kembali setelah Aaron di sana?" "Aku memutuskan akan kembali setelah pergi ke festival pelepasan lentera bersama Hans." "Kau tahu Aaron tidak akan menyerah begitu saja kan Ella?" Kay mengingatkan peringai Aaron yang ambisius. Bahkan karena sifatnya inilah pria itu mengkhianati Ella dengan tidur bersama anak bosnya untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi.  "Aku tahu. Karena itu aku menerima tawaran tidur di kamar hotel Hans. Dan jangan berpikir aku akan tidur bersama pria itu. Karena dia tidur di kamar temannya." "Kau jadi cenayang lagi Ella." Ella tertawa membayangkan sahabatnya itu tengah cemberut. TTOOKK...TOOKK... "Aku harus menutup telpon ini Kay. Ada seseorang yang datang. Aku akan menelponmu lagi." Ella meletakkan ponselnya di ranjang lalu beranjak menuju pintu. Dia melihat Hans bersama seorang pria mengulurkan tangan padanya. "Halo nona. Aku Thomas Caldwell. Teman Pa.. Maksudku teman Hans." Thomas menjerit dalam hati merasakan injakan di kaki akibat ulah Hans. "Aku Ella." Ella menjabat tangan pria itu. "Baiklah Ella. Aku ingin mengajakmu makan malam dengan kami. Bagaimana?" Tawar Thomas. "Jika kau memberiku waktu untuk membersihkan diri, maka aku mau." "Ok. Kita bertemu di restoran hotel ini." Thomas menyeret temannya yang tak mau berhenti memandang Ella. Sedangkan Ella kembali masuk dan segera bersiap-siap. "Cantik, polos dan memiliki aura yang mengatakan dia tidak lemah. Sangat menarik." Nilai Thomas saat mereka berada di lift. "Aku akan memukulmu jika berani mengincarnya." Hans memberikan tatapan tajam pada temannya. "Wow santai bung. Aku tidak akan berani mencuri wanita sang pangeran."  "Baguslah jika kau mengerti." Hans kembali tersenyum membayangkan akan makan malam bersama Ella.  Hans memang perayu ulung yang bisa membuat wanita manapun luluh wkwkwk....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD