15. Pias

1107 Words
"Hal yang kemudian terjadi setelah kehilangan seorang yang kita cinta, adalah hanya bisa mengingat mereka dalam kenangan." . Faris tersenyum lega ketika akhirnya Dinda mau tidur di sebuah tempat mirip ranjang, tapi jenis yang paling dibencinya, yaitu brankar rumah sakit. Dia menaikkan selimut ke tubuh Dinda hingga sebatas d**a, lalu merapikan poni Dinda itu hingga terlihat jelas wajah putri cantiknya itu. Rasa bersalah seketika menyeruak saat menyadari perubahan wajah Dinda yang menjadi tirus saat ini. Faris menyesali dirinya yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan tak memperhatikan dengan baik keadaan putri satu-satunya itu. Sebagai seorang ayah, dia merasa tidak becus untuk memahami apa yang tengah Dinda rasakan saat ini. “Maafkan Papa, Sayang...,” gumam Faris dengan suara lirih. Dengan pelan Faris berjalan keluar dari kamar inap Dinda. Lalu ia duduk dikursi tunggu yang ada di lorong rumah sakit itu. Semua ini benar-benar menjadi pelajaran untuknya, dimana ia harus bisa membagi waktu antara pekerjaan dan putrinya. Ia tak mau hal seperti ini terjadi lagi. Karena tadi pagi ia mendapati Dinda yang jatuh pingsan di dapur dengan suhu tubuh yang tak bisa dikatakan biasa. Dan Faris baru pernah melihat Dinda yang seperti ini, karena semalam pun Dinda masih baik-baik saja ketika ia mengantarkan tidur ke kamarnya. Entah apa yang sedang terjadi pada putrinya itu, Faris berharap Dinda mau berbagi masalah padanya. Namun dia sendiri takut untuk memulai bertanya pada putrinya, sebab dia takut Dinda masih ingin menyendiri saja. "Faris ...." Faris membuka matanya ketika indra pendengarannya menangkap suara seorang wanita memanggil namanya. Dia menolehkan kepalanya ke kanan, lalu secara otomatis Ia tersenyum ketika menyadari siapa itu. Dan ia pun baru teringat bila rumah sakit ini adalah tempat Kinan, ibu Azha bekerja. . /// Takdir Kedua | Gorjesso /// . Semilir angin meniup dedaunan hingga bergerak pelan mengikuti arah angin yang menerpa mereka. Seolah sedang memberi iringan musik yang menenangkan. Dan itu semakin membuat segar suasana di taman rumah sakit yang terlihat ramai oleh pasien-pasien yang keluar dari kamar inap mereka untuk sekedar menghirup udara segar yang sesungguhnya. Bukan udara-udara yang tersimpan di dalam tabung-tabung yang tampak membuat napas menjadi sangat mahal. Betapa berharganya sehat dan oksigen sesungguhnya, ketika tubuh kehilangan fungsi untuk menikmatinya. "Saya turut khawatir mendengarnya," ucap Kinan setelah Faris menceritakan apa yang terjadi pada Dinda. Kini Faris dan Kinan berdiri bersebelahan menikmati pemandangan taman rumah sakit. Halaman rumput dengan banyak pohon rindang dan besar menjadi tempat berteduh dan bersantai, sekaligus bisa menghilangkan penat di pikiran. Faris membalasnya dengan senyuman tipis. Setidaknya ada yang bisa diajaknya bicara ketika seluruh pikirannya diisi oleh Dinda, putrinya yang terbaring lemah di salah satu ranjang rumah sakit tempat Kinan bekerja ini. "Saya benar-benar menyesal...," ucap Faris dengan kepala yang tertunduk. Kinan menoleh pada Faris yang masih tampak menyesali sesuatu hingga tak sanggup mengangkat kepalanya. "Menyesali apa?" tanyanya, ia menyaksikan Faris yang terlihat dari wajahnya yang terlihat lesu dan gusar. "Saya menyesal karena kurang memberi waktu untuk Dinda... Kurang memberi perhatian untuknya juga... Saya sebagai ayah tidak bisa melingdunginya. Sepertinya saya ini ayah yang begitu buruk," jawab Faris, mencurahkan isi hatinya. Setelah itu ia menghela nafasnya guna memberinya kekuatan untuk menghalangi desakan air mata yang tengah mencoba memaksa keluar dari pelupuk matanya. Rasanya memang selemah ini jika berkaitan dengan Dinda. Kinan menatap prihatin pada pria di sebelahnya ini sekali lagi. Dirinya berpikir, sebenarnya yang dialami Faris, hampir sama dengan apa yang dialaminya. Sebagai orang tua tunggal, Kinan tak selamanya bisa memberi perhatian, kasih sayang, waktu dan apa saja yang diinginkan Azha ketika putranya itu memintanya untuk melakukannya. Sebab selalu ada hal yang membuat kebersamaan mereka menjadi terusik atau tertunda oleh banyak faktor. Namun mungkin bedanya ia memiliki Azha, Azha adalah seorang anak laki-laki, beda dengan Faris yang memiliki Dinda sebagai putrinya. "Jangan berkata seperti itu. Karena itu juga menyinggung saya lho," ujar Kinan diikuti kekehan tawa. Berusaha mengalihkan pembicaraan yang sarat akan rasa bersalah ini. Faris sontak menoleh pada Kinan dengan tatapan terkejut. "Ah, benarkah? Maaf kalau begitu,” sesalnya. Namun Kinan justru kembali terkekeh karena wajah Faris yang terlalu serius. "Hahaha... tidak apa-apa... lagi pula menjadi orang tua tunggal itu memang resikonya harus seperti itu,” ujarnya. “Sebagai satu-satunya orang tua untuk anak kita, kita diharuskan memilih antara pekerjaan yang akan dijalani untuk kelangsungan hidupmu dan anakmu. Atau justru memberi waktu dan perhatian pada anakmu sepanjang waktu. Walau sebenarnya semua itu akan berefek pada mereka juga, karena yang dilakukan kita pasti demi kebahagiaan anak-anak," sambung Kinan. “Atau kadang juga tanpa pilihan dimana itu jarang ditemui, dan saya berharap bisa menjadi orang tua yang seperti itu juga,” tambahnya berandai. Faris sempat tercengang mendengar penjelasan panjang Kinan itu. Benar, ia setuju dengan apa yang dikatakan Kinan. Semua yang dilakukannya memang demi Dinda. Dan mungkin sama dengan Kinan, dimana ia dan Kinan sama-sama orang tua tunggal. Membuat Faris menggeleng cepat ketika ia mengingat kembali celetukan Dinda yang menginginkan Kinan menjadi ibu untuk Dinda tempo lalu. Yang otomatis menjadikan wanita di sampingnya ini istrinya. "Kalau boleh aku tahu, kapan ayah Azha berpulang?" tanya Faris pada Kinan dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan wanita ini. Tapi Kinan tersenyum mendengar pertanyaan Faris ini, tampak santai seolah sudah terbiasa mengharapi pertanyaan semacam ini. Walau sebenarnya Faris sudah mampu membuat pikirannya kembali berkilas balik pada peristiwa 4 tahun yang lalu. Kinan menghela nafanya, karena paru-parunya serasa mulai sesak saat ini. Ternyata dia tidak sepenuhnya santai, hanya di luar saja. "Tanggal 16 Agustus 2010. Sudah 4 tahun yang lalu," jawab Kinan dengan senyum getirnya yang berusaha dia sembunyikan. Faris terhenyak, 16 Agustus 2010? Itu adalah tanggal yang cukup berbekas juga bagi Faris, dimana istrinya juga mengalami kecelakaan saat itu. "Benarkah? Istri saya juga saat itu mengalami sebuah kecelakaan," ujar Faris, membuat Kinan tertarik untuk mengetahui lebih tentang kecelakaan yang dialami istri pria ini karena terjadi di tanggal yang sama. "Kecelakaan apa itu?" tanya Kinan kemudian. “Jika boleh tahu....” Faris menganggukkan kepalanya kalau Kinan boleh mengetahuinya. "Sebuah kecelakaan pesawat yang akan mengantarkan dirinya sebagai seorang konsultan perdana mentri yang akan bertugas di Amerika,” jawabnya. Kecelakaan pesawat? Amerika? Mungkinkah bila suaminya, Adrian dan istri Faris kala itu ada di dalam sebuah pesawat yang sama? Dan mereka turut menjadi korban kecelakaan pesawat itu? "Kamu bilang istrimu seorang konsultan untuk perdana mentri kala itu?” tanya Kinan dan langsung diangguki oleh Faris. Dan Kinan bertanya lagi, “apa istrimu juga berangkat dengan pesawat kenegaraan milik Indonesia saat itu?" Pertanyaan Kinan membuat Faris menyerit bingung ketika melihat wajah Kinan yang juga tampak sangat penasran. "Iya... memangnya ada apa? Kejadian itu memang sempat menjadi sorotan di Indonesia bahkan luar negeri sampai waktu yang lama,” ujar Faris. Dan wajah Kinan justru menjadi pias. . /// Takdir Kedua | Gorjesso /// .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD