14. Kakak Ganteng

2050 Words
Azha menuruni tangga menuju dapur. Ia merasa haus pada tenggorokannya. Tapi sesuatu begitu saja menarik perhatiannya saat ia melewati ruangan kerja ibunya. Dengan Langkah pelan dia berjalan ke sana. Dan di sana Azha bisa lihat kalau ibunya—Kinan—tengah berdiri dengan memegangi sebuah pigura berwarna hitam di tangannya. Dari posisinya di ambang pintu pun bisa melihat kalau aura kerinduan begitu pekat di dalam kamar ini. Dan ia tahu persis apa yang sedang dilakukan ibunya saat ini. Jadi Azha memutuskan lanjutkan saja langkahnya menuju dapur untuk mengambil minum. Namun kembali lagi langkahnya berhenti karena suatu hal. Bahkan tubuhnya terasa kaku dan menegang seketika saat ini. Matanya terasa panas ketika sayup-sayup ia mulai mendengar isakan tangis dari dalam ruang kerja ibunya. Azha membalikkan tubuhnya cepat, kembali pada ruang kerja Kina. Ia berdiri di ambang pintu dengan air mata yang sudah menetes dan mengalir deras di pipinya. "Mama...," lirih Azha. Tubuh Azha bergetar kuat ketika melihat Kinan yang sudah terduduk di lantai dengan tubuh yang sama bergetar hebat seperti dirinya. Isakan tangis ibunya kini semakin terdengar jelas di telinga Azha, sampai menyayat ulu hatinya. “Ma….” Segera saja Azha berlari menghampiri ibunya. Mendekap posesif wanita yang paling ia hormati sekaligus dia cintai di dunia ini. "Mama...," lirih Azha sekali lagi namun kini dengan mencoba menahan sekuat mungkin agar tidak ikut menangis. Ia semakin mengeratkan pelukan pada tubuh ibunya, untuk membiarkan dirinya menjadi tempat bersandar bagi Kinan yang terlihat kuat dan tampak selalu memberikan kesan positif, namun rapuh di dalamnya. Seorang Kinan juga berhak menangis karena terlalu merindukan suaminya, ayah dari putranya. "Hiks… hiks.. hiks...,” isak Kinan. Dia juga tetap memeluk pigura hitam yang ditempati selembar foto keluarga kecilnyanya yang diambil saat   Adrian masih ada. Kira-kira 4 bulan sebelum kecelakaan pesawat itu merenggut nyawa suaminya ini. Dengan lembut dan tegar Azha tetap menjadi tumpuan untuk ibunya. Azha juga mengecupi puncak kelapa ibunya. Mencoba mencari cara untuk menenangkan Kinan saat ini. Sudah sering ia mendapati keadaan ibunya kembali terpuruk seperti saat ini. Kinan akan menjadi wanita yang sangat rapuh, lalu Azha hanya mampu menenangkan ibunya, karena ia tak mampu menyembuhkan penyebabnya. “Hanya jika Papa kembali ke sisi kami... mungkin mama nggak akan pernah menangis kaya kini lagi,” gumam Azha di dalam hatinya. Sebab hatinya harus teriris perih tiap melihat mamanya seperti demikian. 15 menit kemudian akhirnya tangis Kinan reda. Ibu dari Azha ini sudah merasa tenang dan bahkan menyunggingkan senyum kecil pada putranya. Dengan pelan Azha membantu Kinan untuk berjalan menuju sofa. Azha kemudian menyerahkan segelas air putih hangat pada ibunya yang sudah berbaring di atas sofa yang panjang berwarna cokelat muda. Kinan menerimanya dengan senyum tipis di wajahnya yang menjadi pucat karena terlalu banyak menangis. "Kamu istirahatlah... Mama sudah lebih baik, Nak," ujar Kinan seraya mengusap tangan putranya yang kini juga memegang tangannya. Tapi Azha justru menggeleng cepat. "Nggak, Ma! Aku pengen di sini sampai mama tidur,” katanya menolak. "Enggak, Sayang... karena besok masih sekolah, kamu harus tidur cepat!" perintah Kinan dengan suara yang masih lemah dan sedikit bergetar karena sehabis menangis tadi, namun tetap tegas. "Sekali aja ya, Ma?" ucap Azha memelas dan memasang tampang—yang kata mamanya—imut andalannya. Kinan terkekeh geli melihat wajah putranya yang dipaksakan menjadi imut. "Baiklah," putus Kinan yang akhirnya mengizinkan Azha menungguinya hingga ia sampai tertidur. “Tapi lebih baik Mama juga tidur di kamar jangan di ruang kerja,” ujar Azha yang dibalas anggukkan setuju oleh Kinan. . /// Takdir Kedua | Gorjesso /// . "Kamu merindukan papa?" tanya Kinan pada Azha saat mereka sudah berada di kamarnya. Mata Azha menjadi menerawang jauh ketika ditanyai soal demikian. Hal yang sulit untuk dia jabarkan jawabannya. Tapi karena ibunya yang bertanya, maka dia akan menjawab dengan jujur. "Bahkan aku nggak tahu dengan cara apa aku bisa berhenti merindukan Papa, Ma...,” jawab Azha dengan muka yang menjadi sendu. Dia juga memainkan tangan ibunya. Kinan menatap sedih pada putranya. Dia mengerti perasaan yang Azha rasakan saat ini walau tidak secara pasti. Sebab dia tidak pernah mengalami ditinggal seorang ayah diusia semua Azha. Namun dia tetap mengangguk mengerti. “Nggak masalah Azha nggak menemukan caranya... Karena merindukan seseorang buka sebuah dosa. Kamu bisa melakukannya setiap detik... tapi orang yang kamu rindukan pasti ingin kamu bisa hidup bahagia dan melanjutkan hidup meski dia sudah nggak ada,” ujar Kinan memberi pengertian pada Azha. Mata Azha langsung menatap pada ibunya sehingga mereka saling bertatapan. Mereka sama-sama merindukan sosok Adrian tapi mereka tidak bisa menemukan cara untuk berhenti agar tidak ada air mata mengalir seolah mereka belum juga rela akan kepergian Adrian. Karena nyatanya mereka sudah merasa baik-baik saja akan keputusan Tuhan untuk memanggil Adrian lebih dulu. Hanya saja, kenangan yang terukir pasti tidak akan mudah terhapuskan selama otak ini masih berfungsi dengan baik. "Mama...," panggil Azha dengan suara yang lembut di tengah keheningan kamar Kinan. "Ya?" sahut Kinan. "Jangan seperti ini lagi,” cetus Azha setelah menimbang masak-masak apa yang akan ia katakan. Namun Kinan justru menjadi terdiam mendengar perkataan putra satu-satunya itu. Ia menatap dalam pada manik mata Azha yang seolah membuat perkataannya seperti terdengar sebuah permintaan yang harus Kinan penuhi. Sorot yang sama sekali belum pernah Kinan lihat dari mata putranya. Tapi bisakah ia memenuhinya? Sedangkan setiap detik seluruh pikirannya terus terisi oleh sebuah nama, Adrian. Meski waktu terus berjalan? Bahkan hanya dengan mengingat janji yang mereka ucapkan di altar pernikahan saja membuat mata Kinan tergenang oleh air mata. Betapa janji Adrian terpenuhi karena mereka berpisah karena kematian dan bukan suatu yang lain. "Mama... Mama hanya perlu lebih terbuka sama Azha kalau mama mulai rindu Papa... Jangan biarkan Mama sendiri yang merasakannya, kita ini merasakan hal yang sama... kita sama-sama merindukan Papa, Ma...," tutur Azha panjang. Ia mengelus rambut ibunya pelan, menyisiri dengan penuh sayang. Hal yang Azha ingat kalau ini selalu dilakukan ayahnya dulu. Dan mungkin akan bisa membuat perasaan ibunya membaik. "Berjanjilah padaku, Ma... Janji kalau Mama akan menjadi lebih tenang ketika merindukan Papa. Biarkan rasa bahagia melingkupi hati Mama saat Papa teringat di dalam pikiran Mama," pinta Azha sekaligus meyakinkan Kinan. Lagi-lagi Kinan masih terdiam, namun matanya terus menatap lurus pada putranya itu. Mendengarkan dengan saksama permintaan yang serasa bergitu sulit untuk dilakukannya. Mungkin bisa, tapi itu pasti tak akan berjalan cepat. Merelakan Adrian saja buth waktu hampir satu tahun. Namun melihat bagaimana putranya yang masih berumur belasan ini berpikiran terbuka dan mau dirinya juga bahagia, Kinan akhirnya menganggukan kepalanya. Dia juga menyunggingkan senyum penuh arti pada Azha.  "Apapun untukmu, Nak," ujar Kinan, ia mengecup kening putranya lalu menyuruh Azha untuk kembali ke kamarnya karena dirinya akan benar-benar tidur. "Selamat malam, Ma," ucap Azha sebelum dirinya menutup pintu kamar Kinan dan kembali ke kamarnya sendiri. . /// Takdir Kedua | Gorjesso /// . Di sekolah Azha berdiri di ambang pintu kelas bersama Kevin, otak jahil mereka kembali berputar. Dengan sangat kurang kerjaan, mereka menghalangi tiap orang yang akan masuk ke kelas mereka itu. Sehingga mendapat u*****n kesal dari teman-teman sekelas mereka, tapi itu lah resikonya dua ini sedang kumat jahilnya. “Azha, ih! Gue mau masuk!” teriak Sabrina pada Azha yang menutup pintu kelas dengan tubuh besarnya. “Brisik, Sab! Nggak usah teriak pake suara toa lo itu!” balas Azha acuh dengan tetap melintangkan kakinya di ambang pintu. Begitu juga dengan Kevin. “Lo juga, Vin! Pengen gue jejek nih burung lo, hah?” teriak Sabrina lagi, siswa paduan suara ini tahu sekali cara menggunakan suara merdunya. “Kagak takut gua sama anceman anak piyik kek elu,” cibir Kevin yang menghindar juga ketika Sabrina hampir merealisasikan ancamanannya. “ANJIR! Lo bener-bener ya!” pekiknya kemudian. Lalu terjadilah kejar-kejaran antara Kevin dan Sabrina di lorong sekolah. Dan tentu saja Sabrina yang memiliki tinggi kurang lebih 150 cm itu segera tertangkap oleh Kevin. Setelah membuat Sabrina misuh-misuh karena rambutnya diacak-acak oleh tangan jahil Kevin, dia segera kembali pada Azha yang tertawa puas. Mereka sudah selesai membuat acara jahil di depan kelas. "Lo masih diem-dieman ama Dinda?" cetus Kevin membuka pembicaraan. Azha menoleh pada sahabatnya itu dengan senyum yang tak bisa diartikan oleh Kevin. "Eh, ngapa lo malah senyum jijik kek gitu?!” tanya Kevin sewot. “Cepet gih ceritain! Atau gue juga bakal diemin elo!" ancam Kevin PLETAKK "Ancaman lo itu kagak bakal kejadian!" kata Azha dengan santai dan tanpa rasa bersalah telah memukul belakang kepala sahabatnya. "Kuy ke kantin!" ajak Azha kemudian, ia segera saja meniggalkan Kevin yang menganga tidak percaya kalau ancamannya tidak ada artinya sama-sekali dan malah mengajaknya nongkrong. Namun Azha memang sengaja mengubah topik pembicaraan di antaranya dengan Kevin dengan mengajar sahabatnya itu ke Kantin. Kevin yang masih menggerutu akhirnya sudah berada di samping Azha yang sedang melambai-lambaikan tangannya pada siswi-siswi sekolah mereka. Mereka kini tampak sangat terpesona dengan Azha, apalagi adik-adik kelas yang belum saja tahu kelakuan absurd murid cowok yang terkenal satu sekolah ini. "Cih! Dasar tayi kambing!" umpat Kevin yang sudah muak melihat gaya fakboy sahabatnya ini. “Brisik, lo juga sama-sama tayi kuda!” balas Azha pada Kevin yang kemudian memukul belakang kepalanya. Ini sekaligus balas dendam karena tadi Azha juga melakukan hal yang sama. Kevin baru saja teringat ketika ia dan Azha sudah berada di lorong menuju kantin. Namun sebelum menuju kantin, ada sebuah kelas yang juga ada di lorong itu, mereka akan segera melewatinya. “Mau ke mana, lo?” kata Kevin yang sudah tahu niat dan gelagat Azha. Membuat Kevin cepat menarik Azha yang ingin berbalik ketika Azha menyadari mereka akan melewati kelas Dinda. Orang yang sejak kemarin-kemarin menjadi musuh perang dingin dari sahabatnya ini. Mungkin bila pertengkaran ini tak terjadi, semuanya akan biasa saja. mereka bahkan kadang mengajak Dinda turut serta untuk nongkrong. Namun bukan Kevin bila akalnya tak cerdik saat Azha terus saja pergi menghindar dari cengkramannya. Ia menarik Azha untuk masuk ke dalam kelas Dinda seperti biasanya bila mereka akan mengajak Dinda ikut serta bersama mereka ke kantin. Dengan susah payah Kevin terus menyeret Azha yang terus ingin lari darinya. Lebih tepatnya menghindar untuk bertemu Dinda. "Maria, Dinda ke mana?" tanya Kevin pada teman sekelas Dinda. "Hm? Dinda? Dia nggak masuk hari ini," jawab Maria setelah ingat tadi saat absen Dinda diumumkan sakit. Alis Kevin bertaut ketika mendengarnya. Dinda tidak masuk? Kenapa anak itu? "Lah... kenapa kagak masuk tuh bocah?" tanyanya lagi. "Eh, gue belum slese tanya, b**o!" umpat Kevin ketika Azha terus saja berusaha kabur dari cengkramannya. Azha sama sekali tak peduli, ia ingin segera keluar dari kelas ini. Namun tak sengaja Azha mendengar ketika Maria berbicara pada Kevin. Dan hasil mengupingnya itu mampu membuatnya terdiam sejenak. "Dia sakit. Papanya tadi dateng dan kasih surat dokternya ama Pak Anton, Kak," jawab Maria sambil tidak bisa menahan senyum kala bertemu dan berbicara dengan kakak kelas ganteng. Bahkan bukan cuma satu, tapi dua. Teman sekelasnya sudah menatapnya penuh rasa iri. Dan Kevin langsung menoleh pada Azha yang terlihat sedang diam tak lagi menarik-narik tangannya untuk berusaha kabur. Kevin melihat dengan jelas perubahan air wajah sahabatnya itu. Azha seperti tengah terkejut dan khawatir. Ia tahu pasti apa yang dirasakan Azha saat ini. Biarpun mungkin Kevin tahu ada masalah di antara Azha dan Dinda yang tak ia ketahui, namun ia tahu betul bila Azha begitu menyayangi Dinda. Karena Dinda sudah dianggap adik oleh Azha walau juga mereka tidak berhenti bertengkar jika bertemu. "kita ke kantin," ucap Azha kemudian setelah tidak berkata apapun sejak tadi. Meski kecewa melihat respon Azha yang terkesan biasa saja, namun Kevin hanya menuruti perintah Azha ketika sahabatnya itu memintanya untuk kembali melanjutkan rencana mereka untuk ke kantin. Kevin pikir saat mendengar berita Dinda sakit Azha akan segera menelfon gadis itu, menanyakan keadaannya, memarahinya, mengumpat pada Dinda karena tak menjaga kesehatan dengan baik seperti biasanya. Tapi ternyata dugaan Kevin begitu meleset saat ini. Azha terlihat tak akan melakukan hal-hal itu. Membuatnya harus penasaran akan apa masalah yang membuat hubungan di anatara Dinda dan Azha menjadi renggang seperti ini. “Makasih, Maria... jepit rambut kamu cocok dipakai di wajah manis kamu,” ucap Kevin dengan senyum memikat di hadapan Maria sebelum melenggar pergi keluar kelas Dinda. Namun di kelas itu terjadi keriuhan karena Maria yang mendapatkan gombalan dari Kevin. Apalagi ada juga Azha bersama Kevin tadi. Teman-teman sekelasnya sudah kepo akan apa yang mereka bicarakan tadi. Namun Maria sendiri justru kemudian merasa iri pada Dinda yang bisa selalu dikelilingi dua murid ganteng tadi. . /// Takdir Kedua | Gorjesso /// .  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD