3. Renungan

1194 Words
Malam yang sulit untuk dilewati oh Dewa dan keluarganya. Tak disangka dan tak pernah mengira, jika kini Arman mendekam di balik tahanan. Sungguh sangat tiba-tiba, pihak berwajib membawa Arman untuk dilakukan pemeriksaan atas tuduhan tindak pencucian uang. Kesunyian bukan hanya dirasakan di dalam ruangan itu. Namun di dalam lubuk hati mereka, jauh lebih hampa karena fitnah seseorang pada Arman yang membuatnya merasa sangat terluka. “Dewa tidak percaya Ayah melakukan penggelapan dana perusahaan.” Tak kuasa menahan beban, air mata Dewa mulai menetes, ia langsung mengusapnya kasar. “Sungguh Demi Tuhan ... Ayah tidak pernah menggelapkan dana perusahaan! Ini fitnah, Nak! Ayah dijebak!” Tegas Arman pada Putranya. “Maksud Ayah?” Dewa kembali menatap Ayahnya. “Bonus yang diberikan pimpinan kantor cabang pada Ayah dan beberapa staf Ayah, ternyata hasil dari tindak korupsi Syamsudin ... salah satu pencucian uangnya melalui rumah dan mobil yang diberikan pada kita.” Arman sama sekali tidak menyangka, dirinya yang jujur telah dijebak oleh atasannya sendiri. “Padahal ... beberapa waktu yang lalu, Ayah akan dipromosikan untuk naik jabatan ... tetapi, Syamsudin menjebak Ayah dan berakhir di sini.” Arman merasa sangat lemas dan hanya bisa menghela napasnya. “Ayah harus buktikan bahwa Ayah tidak bersalah! Atau kita sewa pengacara? Buat membantu kita!” Dewa memberi saran pada Ayahnya. “ Itu sangat mustahil, Nak!” Arman tersenyum penuh kecewa. “Mus—mustahil? Bagaimana?” Dewa merasa bingung menatap Ayahnya. “Semua aset Ayah dibekukan, besok kalian harus keluar dari rumah itu dan kembali tinggal bersama Nenekmu! Entahlah, Nak! Rekening Ayah pun mereka bekukan untuk diperiksa ... maafkan Ayah! Ayah sudah menyusahkan kalian yang Ayah sayangi ... Ayah tidak tahu harus bagaimana lagi untuk membuktikan kalau Ayah tidak bersalah!” Arman terdiam dan menunduk. “Ayah! Dewa berjanji akan membersihkan nama baik Ayah dan keluarga kita! Dewa janji akan memikirkan cara untuk membantu Ayah!” Dewa merasa sangat bersalah atas sikapnya selama ini. “Dewa ... Ayah hanya berpesan padamu, Nak! Jaga Ibu dan adikmu! Gelombang cemooh dari orang-orang pasti akan segera menerpa kalian ... Ayah yakin, sesungguhnya sikap kamu jauh lebih baik dari yang Ayah pikirkan! Ayah yakin, kamu bisa menjaga keluarga kita! Biarlah Ayah menerima semua ini! Mungkin dengan begini, sikapmu akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik.” Arman memberi pesan pada Dewa. Mendengar pesan yang disampaikan Arman, Dewa merasa tidak bisa berkutik. Ia menyadari semua kesalahannya selama ini. Acuh, semaunya sendiri, seakan sudah menjadi sikap yang Dewa cerminkan dalam kehidupan sehari-harinya. *** Semua sikap urakan Dewa berubah seratus delapan puluh derajat, saat ayahnya dituduh korupsi oleh perusahaan di tempat ia bekerja. Arman yang tidak merasa melakukan tindakan korupsi, terus menentang tuduhan tersebut. Namun dirinya tidak bisa berbuat banyak, karena semua aset miliknya sudah dibekukan. Jangankan untuk menyewa pengacara, untuk menyewa rumah saja tidak ada biaya. Sehingga Fitria kembali memboyong anak-anaknya ke rumah orang tua Arman yang berada di sebuah desa terpencil. Semakin hari, perlakuan Nenek membuat Fitria dan kedua anaknya tidak nyaman. Ibu mertua Fitria selalu menyalahkannya atas penangkapan Arman yang dituduh melakukan tindak pencucian uang. Seperti lagi ini ketika semua berkumpul sarapan bersama. “Ingat! Beras mahal! Makan secukupnya biar irit!” jelas Nenek Puri pada Fitria dan kedua cucunya. Mereka hanya menatap sembari menelan pil pahit dari ucapan Nenek Puri. Sedangkan mereka menyaksikan, Nenek Puri memberikan lauk yang banyak pada kedua cucunnya yang lain. Dewa hanya meneguk ludah karena makanan yang ia makan hanya nasi dan sayur saja tanpa lauk ikan Nila seperti yang Nenek Puri berikan pada dua cucunya yang lain. Semua perlakuan Nenek Puri mereka terima dengan lapang d**a. Lantaran lada kenyataannya mereka menumpang tinggal dan makan selama rekening mereka dibekukan. Kecewa tetap terasa dalam hati mereka. Namun mereka tetap tegar dan menebarkan senyuman. *** Dicap sebagai anak seorang koruptor, membuat Dewa menjadi pendiam. Sikapnya benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Bahkan di kampusnya ia jarang bergaul dengan teman-temannya. Lantaran banyak teman yang justru menjauhinya karena dicap sebagai anak koruptor. Dewa hampir putus asa memikirkan cara untuk membebaskan Ayahnya. Demi mengurangi penat dalam benaknya. Dewa memilih mengikuti kegiatan pencinta alam seperti hobinya yang senang bertualang. Ia berjalan menuju ruang sekretariat Pencinta Alam di kampusnya untuk mendaftarkan diri sebagai calon anggota pencinta alam. Sesampainya di sana, Dewa meminta formulir untuk diisi. Tak lama kemudian seseorang menghampirinya. “Dewa!” “Eh ... Acong! Ngapain di sini?” Dewa tersenyum pada teman satu jurusannya. “Aku mau daftar jadi calon anggota pencinta alam juga! Kamu ikut juga?” Cahyo yang sering disapa Acong ini tulus berteman dengan Dewa. Lantaran Acong mengerti bagaimana rasanya saat keluarga terkena musibah. Seperti keluarga Acong yang tak lama ini terkena musibah tanah longsor. Itulah alasan mengapa Acong mendaftar menjadi anggota pencinta alam, agar lebih mencintai alam serta lingkungan demi bumi yang sehat. “Iya, Cong! Aku penat banget menghadapi kenyataan ... apalagi cemoohan orang tentang keluargaku ... untung aja, aku udah kebal omongan orang!” jelas Dewa menutupi kesedihan hatinya. Setelah mereka berdua mengumpulkan formulir, seseorang yang berpapasan dengannya, kembali mencemooh Dewa. “Anak koruptor! Nggak tahu malu! Ikutan pencinta alam kayaknya disuruh Bapaknya buat jadi mata-mata ilegal logging!” ujar mahasiswa yang bernama Windu dengan sedikit memicingkan matanya. Tangan Dewa sudah mengepal. Sorot mata elang berkilat bagai cahaya kemarahan. Namun ia mengingat pesan Ayahnya untuk selalu menahan amarah, walau itu menggebu sekalipun. Ditambah juga Acong memberikan dukungan pada Dewa untuk bersabar. “Dewa ... sabar! Udah nggak usah digubris! Dia memang terkenal culas!” Acong berusaha melerai kemarahan Dewa. “Ya sudah! Kita pergi saja!” Dewa berusaha bersabar menghadapi perlakuan Windu padanya. *** Malam ini, Dewa termenung sembari duduk di Pos Ronda yang tidak jauh dari rumah Nenek Puri. Sinar bulan purnama kali ini terasa menyejukkan jiwa. Lolongan mirip serigala terdengar jelas di telinga Dewa. Bulu kuduknya mulai merinding seiring bersama desir angin yang menerbangkan dedaunan malam itu. “Dewa! Jangan melamun!” pinta seseorang yang baru saja tiba di Pos Ronda. “Eh ... Pak Bagus! Tugas jadwal ronda, Pak?” Dewa menyapa seseorang yang sudah dikenal sebagai tetangga Nenek Puri. “Iya ... tapi yang lain belum pada datang.” Pak Bagus duduk di sebelah Dewa. “Udah malam kok masih duduk di sini?” tanya Pak Bagus penasaran. “Iya, Pak ... di rumah sumpek, jadi cari angin aja ... cuma tadi agak merinding sih, dengar lolongan suara mirip serigala.” Dewa mengatakan apa yang baru saja terjadi sesaat sebelum Pak Bagus menyapanya. “Saya nggak heran! Sekarang malam purnama ... biasanya makhluk di hutan sana sedang berkeliaran menikmati cahaya bulan purnama itu,” jelas Pak Bagus pada Dewa. “Memangnya itu suara lolongan dari mana, Pak?” Dewa semakin penasaran dengan desa tempat tinggalnya saat ini. “Lolongan itu terdengar dari bukit Rembul ... itu yang ada di sana, bukit yang paling tinggi ... terhalang dua bukit dari sini.” Pak Bagus menunjukkan pada Dewa dengan jari telunjuknya. “Konon katanya, di Bukit Rembul menyimpan banyak misteri yang tidak terpecahkan ... banyak orang yang tersesat setelah masuk ke sana, akhirnya hutan di dalam bukit Rembul menjadi salah satu hutan terlarang untuk dilalui para pendaki ... Justru posko pendakian menuju gunung, adanya di bukit Bunton yang ada di sebelah bukit Rembul.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD