Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika terjadi kesamaan tempat atau nama, hanya sebuah kebetulan. Cerita bergenre fantasi, bertema petualangan yang diakulturasi kebudayaan Jawa kuno. Sehingga pembaca akan merasa di bawa ke suatu wilayah antah berantah bernuansa magis. Semoga suka, jangan lupa tap love untuk memasukkan cerita ini ke dalam perpustakaan Anda. Terima kasih.
***
Secercah sinar matahari menyelusupi celah dedaunan, di antara kabut yang mulai memudar. Hangatnya sang mentari perlahan menghapus embun yang menemani pagi, selepas temaram subuh ini. Dewa menyibak tirai dari balik jendela kamar itu. Tatapan matanya mengedar melihat pemandangan di luar jendela. Perbukitan berbaris dan menjulang. Hijau indah memesona sejauh mata memandang. Dewa menghidu aroma kabut yang menguar bersama embusan angin. Tatapan Dewa terpaku pada satu bukit yang ada di ujung sebelah timur.
Sejak semalam, Dewa merasa ada sesuatu yang berbeda dari suara lolongan mirip serigala, yang ia dengar dari arah bukit Rembul. Sebelumnya Dewa tidak pernah mendengar suara lolongan itu, walau telah melewati ratusan purnama di desa Midodari. Namun, pada malam bulan purnama kali ini, Dewa mulai mendengarnya. Suaranya seakan memanggil-manggil Dewa agar datang ke sana. Entah apa yang sebenarnya Dewa dengar malam itu. Namun aura magis seakan memanggil Dewa sebagai tamu mereka.
***
Saat ini, Dewa dan keluarganya tinggal di kawasan lereng gunung. Tepatnya di desa Midodari yang terletak tidak jauh di antara barisan bukit Rembul dan bukit Bunton. Kawasan tempat tinggalnya sangat sejuk dan asri. Namun di balik keasriannya, kawasan tersebut menyimpan banyak misteri.
Semenjak Fitria menikah dengan Arman dua puluh tahun lalu, dirinya sudah tinggal di rumah pondok mertua. Nyaman atau pun tidak, Fitria harus menerimanya. Begitulah kehidupan rumah tangganya yang tidak luput dari campur tangan Ibu mertua Fitria. Bukan hanya ikut campur, bahkan setelah Fitria melahirkan Dewa dan Nirmala, Ibu mertuanya malah membanding-bandingkan anak-anak Fitria, dengan cucunya yang lain. Sangat jelas terlihat kalau Nenek Puri begitu menganak emaskan anak bungsunya yang bernama Mita, dibandingkan dengan Arman. Penyebabnya hanya karena Arman lebih memilih menikah dengan Fitria seorang gadis dari keluarga biasa. Berbeda dengan Mita yang menikah dengan sosok pria bernama Reno yang berasal dari keluarga berada. Hingga Nyonya Puri selalu membanding-bandingkan kehidupan Arman dengan Mita.
Bertahun-tahun lamanya Arman dan Fitria menantikan saat di mana mereka memiliki rumah sendiri dan hidup bahagia bersama. Baru saja mereka merasakan bahagianya menikmati hasil kerja keras Arman, justru mala petaka menghampiri mereka. Arman ditangkap dan dijebloskan ke dalam sel tahanan, atas tuduhan korupsi pencucian uang yang terjadi di perusahaan tempat Arman bekerja.
Arman mendapat fitnah dan sekarang terjebak di balik jeruji besi. Tak banyak hal yang bisa mereka perbuat. Marah dan hancur itulah yang dirasakan istri dan anak-anak Arman. Dengan berat hati, Fitria kembali membawa anak-anaknya ke rumah pondok mertua indah.
***
Pagi itu semua penghuni rumah dipertemukan di dalam satu meja makan. Dewa sudah bersiap untuk menerima cemooh atau ucapan tajam dari neneknya, seperti hari-hari sebelumnya. Lantaran hampir setiap hari, Dewa selalu dibanding-bandingkan dengan Arya, sepupu Dewa yang usianya tidak berbeda jauh darinya.
Terlihat hidangan yang menggoda selera di sana. Tentu saja rasa dan aroma hidangannya sangat nikmat, karena di masak dengan bumbu cinta oleh Fitria. Hanya dengan membantu memasak atau membersihkan rumahlah yang bisa Fitria lakukan, sebagai kesadaran diri karena sudah menumpang di rumah itu.
Dengan penuh ketulusan, Fitria membantu mengambilkan nasi dan menaruhnya di atas piring-piring kosong itu. Mengambilkan lauk dan sayur yang mereka suka. Namun ketika Fitria mengambil makanan untuk anak-anaknya, Nenek Puri langsung berkoar.
“Fitri! Ambil saja secukupnya!” tegas Nenek tua itu.
“Oh ... i—iya, Bu ... saya mengambil secukupnya!” Fitria menatap Dewa dan Nirmala.
Dewa beranjak dari kursinya. “Bu, jatah makan untuk Dewa, Ibu berikan saja untuk Nirmala! Walau Dewa sangat doyan masakan Ibu, tapi pagi ini Dewa masih kenyang ... Dewa pamit berangkat ke kampus, Bu ... Nek, Tante, Om.” Dewa mencium punggung tangan Ibunya, lalu bergegas pergi dari rumah itu.
Hatinya teriris melihat perlakuan neneknya pada Ibu dan adiknya. Dewa memendam perasaan marah dan kalut yang semakin berkecamuk dalam hatinya. Dewa melajukan motornya dengan cepat agar segera sampai di kampus.
***
Dewa terlihat melamun setelah kegiatan perkuliahan selesai. Acong menghampiri Dewa yang sedang melihat pemandangan di luar jendela lantai dua itu dengan tatapan kosong.
“Dewa!” Acong menepuk bahu Dewa.
Seketika Dewa terperanjat dari lamunannya. “Eh?”
“Kamu melamun?” Acong menatap temannya itu.
“I—iya ... nggak sengaja juga sih ... mau bagaimana lagi, Cong! Aku merasa nggak berguna sama sekali.” Dewa menatap temannya yang kini berdiri di dekat jendela bersama Dewa.
“Sama, Wa ... aku juga merasa tidak berguna, setelah musibah bencana alam menimpa keluargaku ... tapi Mama justru memintaku untuk melanjutkan kuliah! Padahal aku ingin bekerja.” Acong tersenyum pada Dewa.
Mereka saling menepuk bahu untuk menyemangati.
“Hei! Kalian di sini?” ucap seorang mahasiswi yang bernama Mia. Mereka satu jurusan Matematika di Universitas Teratai Abadi.
Mia berjalan tertatih-tatih lalu duduk dan mengambil satu botol air mineral yang ia simpan di dalam tasnya. Gadis tomboy itu kini tengah meneguk air mineral tanpa basa-basi di hadapan dua teman lelakinya.
“Seger banget kelihatannya?” Acong yang melihat Mia menenggak air mineral seakan ikut merasakan kesegarannya.
“Lah? Emang seger banget! Kalian tahu nggak sih? Dari tadi aku cari kalian! Aku pikir kalian sudah pulang atau keluar kelas ... ternyata masih di sini!” Mia mengusap keringat yang mulai menetes di keningnya, dengan lengan pakaian yang ia kenakan.
“Memangnya ada apa, Mia?” Dewa menatap Mia dengan penasaran.
“Kalian sudah baca Mading?” Mia menatap mereka berdua secara bergantian.
“Mading? Majalah dinding di lobi kampus? Belum ... kamu, Cong?” Dewa menatap Acong.
“Sama aja, aku belum membaca.” Acong mengernyitkan dahinya.
“Semua calon anggota pencinta alam Buana Sejati diminta berkumpul di depan Basecamp.” Jelas Mia.
“Wah ... kayaknya ada pengumuman penting! Yuk kita ke sana aja!” Dewa mengajak kedua temannya menuju Basecamp pencinta alam Buana Sejati.
***
Semua mahasiswa calon anggota pencinta alam Buana Sejati sudah berkumpul di depan Basecamp. Mereka dibariskan untuk diberi pengarahan serta pengumuman dari para senior.
Salah seorang senior memberitahukan beberapa informasi penting. Salah satunya, mereka memberitahu bahwa akhir pekan ini, pencinta alam Buana Sejati akan melangsungkan acara Diksar alias pendidikan dasar bagi seluruh calon anggota pencinta alam. Sebagai syarat awal sebelum mereka dilantik secara resmi menjadi anggota pencinta alam Buana Sejati.
“Perhatian untuk seluruh calon anggota pencinta alam Buana Sejati ... akhir pekan ini kami selaku panitia mengundang semua calon anggota untuk mengikuti kegiatan pendidikan dasar pencinta alam selama lima hari di bukit Bunton ... silakan kepada panitia untuk membagikan surat izin yang harus ditandatangani oleh orang tua atau wali, sebagai tanda kalian legal, sudah diizinkan oleh keluarga untuk mengikuti kegiatan Diksar ... bagi kalian yang masih ragu, lebih baik mengundurkan diri saja! Kami tidak butuh anggota yang tidak sepenuh jiwa berada di sini! Apa kalian mengerti?” teriak salah seorang panitia bernama Tyo.
“Mengerti, Kak!” jawab seluruh anggota.
***
Setelah barisan seluruh calon anggota pencinta alam dibubarkan, di sana hanya menyisakan Dewa, Acong, dan Mia. Mereka masih berdiri di depan Basecamp pencinta alam. Dewa mematung sembari menggenggam secarik kertas yang baru saja ia dapatkan. Begitu pula dengan Acong yang masih sibuk membaca surat permohonan izin keluarga dalam kegiatan pendidikan dasar. Mia menyadari tatapan kosong seorang Dewa. Sehingga Mia menepuk bahu Dewa dan menyadarkannya dari lamunan.
Plakkk!!!
“Dewa?”
“Eh?”
“Hei ... kamu melamun?” tanya gadis tomboy itu.
“Bu—bukan ... tet—tapi ... iya!” Dewa menunduk lagi.
“Masih terpikirkan masalah Ayah kamu, ya?” Mia berusaha menatap Dewa yang masih murung.
“I—iya ... apa aku harus mundur?” Dewa menatap Kia yang memang sedang berbicara dengannya.
“Wa! Jangan mundur ... memang masalah yang sedang dihadapi keluargamu sangat sulit ... tapi bukan berarti masa depan kamu berhenti sampai di sini ... nggak begitu, Wa.” Acong berusaha memberikan semangat walau dirinya pun baru saja mengalami musibah.
“Benar apa yang Acong katakan, Wa! Kamu harus meraih masa depan dan impianmu! Aku yakin salah satu motivasi kamu mengikuti kegiatan pencinta alam, karena memang kamu ingin menapaki tanah pencakar langit, menginjakkan kaki di atas pasak Bumi ... melewati terjalnya kehidupan, meraih puncak kesuksesan ... bahkan ada yang bilang gunung itu bagai Ibu, tempat kita melepas penat, untuk kembali meraih semangat ... mencari makna tentang arti menapaki kehidupan.” Mia memberikan dukungan pada Dewa.
“Kalian benar ... hidup itu ibarat mendaki suatu gunung ... bukan hanya perkara menikmati keindahan alam di atas puncaknya, melainkan berjuang memaknai setiap jengkal perjalanannya ... sebelum sampai pada tujuan.” Dewa sudah mantap dengan keputusannya untuk melanjutkan sesuatu yang sudah ia mulai.
***
Dewa merasa penat tinggal bersama neneknya. Terlebih lagi musibah baru saja dialami keluarga Dewa, atas penahanan Arman dengan tuduhan yang sama sekali tidak pernah Arman lakukan. Dewa memiliki caranya sendiri, untuk merenung dan berusaha bangkit dari kepedihan yang tengah dialaminya.
Hingga tiba satu hari sebelum akhir pekan yang sangat ia nantikan. Dewa menatap wajah sendu Ibunya yang sedang memasak di dapur. Dewa meminta izin kepada Ibunya untuk mengikuti kegiatan pendidikan dasar pencinta alam di kampusnya. Fitria sangat mengerti bagaimana merajuknya hati dan pikiran Dewa setelah mengetahui kenyataan kalau Ayahnya harus rela mendekam di balik jeruji besi selama menunggu proses persidangan. Pahitnya lagi, rumah yang baru saja mereka tempati harus disita, rekening mereka juga dibekukan sementara untuk proses penyelidikan. Fitria memahami betul bagaimana perasaan Dewa saat ini. Fitria mematikan kompor lalu mereka duduk di sebuah kursi kayu yang berada di dapur.
Ketika Dewa baru saja menyodorkan secarik surat permohonan izin kepada Fitria, Nyonya Puri datang dan menyambar kertas itu dari tangan Fitria.
“Eh?” Fitria terkejut karena Ibu Mertuanya tiba-tiba datang merebut kertas itu.
“Nenek?” Dewa melongo tak dapat berbuat apa-apa selain menatapnya.
“Apa-apaan ini?” Nyonya Puri bergegas membacanya.
Semua terdiam terpaku menatap ekspresi wajah Nyonya Puri.
“Surat permohonan izin kegiatan pendidikan dasar pencinta alam? Lima hari? Apa-apaan?” Nenek Puri menatap Dewa.
“Itu kegiatan kampus, Nek.” Dewa mencoba bersabar.
“Heh! Pikir baik-baik! Ayahmu sedang mendekam di penjara ... seharusnya kamu mikir! Bagaimana cara agar Ayah kamu dibebaskan! Atau bekerja kek! Bukan malah naik gunung, lalu bersenang-senang!” tegas Nenek Puri.
“Astaga ... Nek, apa yang bisa Dewa perbuat? Dewa juga mau, Nek! Menolong Ayah ... mencari pekerjaan tidak semudah memerintah atau bahkan berucap yang akhirnya menyakiti perasaan orang lain!” jelas Dewa pada Nenek Puri. Fitria merebut kertas itu dari tangan Nenek Puri, saat Nenek Puri lengah.
“Cukup! Dewa! Pergilah, Nak! Jika mengikuti kegiatan itu bisa membuat pikiranmu tenang dengan kegiatan positif ... Ibu tidak mau kamu depresi dengan mendapat banyak tekanan dari luar ... lalu akhirnya kamu terjerumus dalam hal negatif ... Pergilah! Jika bisa membuatmu lebih tenang,” jelas Fitria kepada putranya setelah Fitria memberi tanda tangan di atas kertas itu.
Dewa melangkah pergi dari rumah itu menuju kampusnya dengan membawa surat izin yang sudah ditandatangani Ibunya. Nenek Puri tak tinggal diam.
“Fitria! Bagaimana bisa kamu memberikan izin pada Dewa begitu saja? Di mana empati Dewa? Arman mendekam di dalam penjara itu semua gara-gara membela kalian! Bukanya prihatin malah mau bersenang-senang?” bentak Nenek Puri lada Fitria.
“Maaf, Bu ... saya sangat mengerti dan memahami bagaimana Dewa, melebihi siapa pun di dunia ini ... Dewa bukannya tidak memiliki empati ... Justru saya tidak mau kalau Dewa tertekan, stres, dan terjebak dalam hal-hal negatif, Bu! Biarlah Dewa menenangkan dirinya di atas bukit atau gunung ... selama hal itu positif.” Jelas Fitria
“Memang sudah menjadi tabiat Dewa yang selalu membangkang!” Nenek Puri pergi begitu saja meninggalkan Fitria.
Perasaan menyesak muncul dalam hati Fitria yang lama-kelamaan ikut merasa tertekan tinggal di sana. Fitria terus berdoa agar diberikan jalan kemudahan melewati semua yang tengah terjadi.
***
Hari Sabtu sudah tiba. Dewa membawa semua perlengkapan yang dibutuhkan selama menjalani pendidikan dasar di bukit Bunton. Pagi itu, ia berpamitan pada Fitria dan juga adiknya, Nirmala. Dewa berharap akan menemukan kegiatan baru sesuai dengan hobinya untuk melepas penat beban pikiran yang menggelayut dalam benaknya.
Dewa pun bertekad akan berusaha mencari pekerjaan paruh waktu jika itu memungkinkan. Satu hal yang pasti, petualangan Dewa baru saja akan dimulai.
***
Bersambung ...