Duduk Berdua

1152 Words
Let me tell you something: You can live in a broken home, you can play with a broken toy, but you cannot love with a broken heart Bella Pollen . . Doni memelankan laju motornya begitu masuk ke dalam komplek rumahnya, sebab terkadang ada beberapa anak kecil yang bermain di luar rumah dan mereka kebanyakan bermain di jalan. Dia juga melihat seorang anak SMA mengayuh sepeda berwarna merah yang terlihat sudah lama dipakai, tapi Doni tidak memandang jelas seperti apa wajah anak SMA itu. Tiba di depan gerbang, Doni memencet bel lalu dari dalam rumah dibukakan gerbang karena otomatis, dia lalu mendorong motornya masuk dan parkir di halaman rumah yang teduh oleh pohon. Doni langsung masuk ke kamarnya setelah mengumumkan dirinya sampai di rumah dengan suara yang ogah-ogahan. Tentu dia masih belum nyaman dengan semua keadaan ini. Dirinya belum cukup melapangkan dadanya untuk memasukkan dua orang yang menurutnya hanya orang asing, mama tiri juga adik tirinya. Selain pintar bermain basket, Doni cukup mahir bermain gitar. Hal ini juga yang menjadikannya populer di SMA nya dulu. Banyak siswi yang mengelu-elukan dirinya dan tiap tanggal 14 Februari yang dikenal dengan hari kasih sayang, Doni akan kebanjiran hadiah. Coklat yang paling banyak, lalu yang akan kecipratan jelas teman-temannya. Mereka dengan senang hati merampas hadiah Doni karena Doni tidak terlalu suka makanan manis. . “Cause if you like the way you look that much Oh, baby, you should go and love yourself And if you think that I'm still holdin' on to somethin' You should go and love yourself.”  . Suara nyanyian terdengar memenuhi kamar Doni sembari memetik senar gitarnya. Mendadak dia merasa rindu untuk mengasah tangannya dan bernyanyi mengungkapkan perasaan resah yang dia rasakan. Ada tentang ayahnya yang tetap bersikap dingin padanya, padahal laki-laki itu yang membawa Doni ke rumah ini. Ada tentang perempuan yang berstatus menjadi ibu tirinya, perempuan itu terus saja memberi perhatian yang tidak bisa Doni terima. Dan terakhir tentang bocah perempuan yang selalu memanggilnya “Abang” dengan nada ceria dan akan memeluk kakinya saat ingin meminta gendong. Kedekatan yang terjadi secara tiba-tiba ini membuat perasaan Doni campur aduk. Sedih, rindu, marah, kecewa menjadi satu. Dia seperti memakai topeng di luar rumah karena berusaha bersikap biasa saja. padahal saat di rumah dia merasa kehilangan semua semangat hidupnya. Menyudahi pikirannya yang terus berkelana karena merasa haus, Doni keluar dari kamarnya untuk mengambil air minum di dapur. Dia masih menggunakan celana seragam sekolahnya, tapi bagian atasan sudah berganti dengan kaus berwarna hitam bertuliskan salah satu merek pakaian olahraga terkenal. Saat sudah melintasi setengah undakan tangga, Doni memelankan langkahnya lalu berhenti karena melihat sosok yang dia kenal. "Andin...," gumamnya. Lalu Doni baru ingat kalau hari ini jadwal adik tirinya untuk les.  Semakin dekat dia menuju ruang tengah, Doni dapat mendangar jelas suara adiknya yang sangat semangat membaca sebuah cerita dongeng dengan tokoh hewan. “Hebat banget, Sinta!” pekik Andin, memberikan apresiasi setelah Sinta selesai membacakan dongeng secara singkat. Sinta juga ikut girang, sebab dia berhasil menghapal dongeng yang akan dia sampaikan padalomba antar kelas di sekolahnya. Bocah kecil ini seperti tidak pernah ingat kalau baru saja sakit. “Abang!” Menyadari ada kakaknya di ruang tengah, Sinta langsung saja memanggil Doni dan mendekati kakaknya itu. Seperti biasa dia akan memeluk kaki Doni sambil mendongakkan kepala. “Abang! Abang!” panggil Sinta dengan semangat pada Doni. Bertolak belakang dengan Doni yang merespon dengan senyum tipis saja. Namun Sinta tidak memedulikan itu dan terus berceloteh. “Abang! Aku mau lomba lho... nanti baca dongeng. Aku dilatih sama Kak Andin dan sekarang udah hapal!” ceritanya, meski bibirnya sampai belepotan liur saking semangatnya berbicara. Doni yang tidak tahu harus merespon apa, hanya bisa menarik sudut bibirnya lebih lebar. Dia tanpa sengaja kemudian bertatapan muka dengan Andin yang sepertinya juga menunggu respon lebih darinya. Salah tingkah, Doni memegang tengkuknya. “Mm.. semoga Sinta bisa menang, ya,” katanya dengan kaku setelah berpikir keras. Mendapatkan sambutan begitu dari kakaknya, justru semakin membuat Sinta semakin bersemangat. Dia sampai minta gendong pada Doni yang terpaksa harus dia turuti karena ada Sinta di sini juga. Doni jelas tidak mau mengumbar betapa tidak rukunnya keadaan di rumah ini. Atau mungkin hanya dia sendiri yang tidak merasa rukun? Entahlah... Doni sendiri masih mencari alasan sebenarnya ayahnya membawanya kemari, kalau hanya untuk dicueki seperti tidak ada dirinya di rumah ini. “Loh, Doni udah pulang?” Rina, ibu tiri Doni muncul dari ruangan dapur dan ruang makan yang menyatu. “Kamu ini manja banget suka minta gendong Abang,” seloroh Rina pada putrinya. “Kangen Abang, Maa... sekolahnya lama kaya kak Sinta sih,” sahut Sinta. Rina hanya tertawa, diikuti juga oleh Andin. Sedangkan Doni tentu saja diam. Setelahnya Rina memeriksa bagaimana belajar putrinya pada Andin. Andin sendiri mengatakan kalau Sinta seperti biasa semangat memperoleh ilmu baru darinya. Bocah itu aktif untuk menanyakan sesuatu jika bingung akan sesuatu. “Hujan...,” gumam Andin ketika dia melihat kaca jendela di ruang tengah memperlihatkan keadaan di luar yang basah. Melihat curah air yang jatuh, pasti hujannya sangat besar. Mendadak Andin merasa khawatir dia tidak bisa pulang cepat. Dia juga lupa membawa jas hujannya karena sempat dia jemur kemarin agar tidak berjamur. Raut wajahnya yang menjadi kalut ini, tertangkap oleh pandangan Doni dan juga Rina. “Andin pulang diantar Doni, ya?” cetus Rina yang membuat Doni dan juga Sinta langsung menoleh ke arahnya dengan kompak. Andin yang akhrinya bisa mencerna kalimat Rina pun segera menggelengkan kepalanya. Ekspresi wajahnya menunjukan kalau dia tidak setuju dan merasa tidak enak akan tawaran Rina. “Tidak usah, Bu. Saya bisa pulang sendiri, kok. Bisa pesan ojek online nanti,” sahut Andin. Namun Rina tidak menerima penolakan. Dia segera meminta kesediaan putra tirinya. “Gimana, Doni? Bisa ‘kan anterin Andin ke rumahnya? Pake mobil mama aja yang kebetulan parkir deket teras,” katanya. Kini mata Doni dan Andin kembali bertemu. Andin secara sadar mengirim sinyal kalau Doni harus menolak permintaan Rina, tapi yang ada Doni justru menganggukkan kepalanya tanpa penolakan. “Nah, Doni juga mau tuh, Andin,” ujar Rina yang merasa senang Doni mau menyambut tawarannya.  “Tapi sebelum pulang, makan dulu yuk, saya sudah selesai masak tadi,” tambahnya. Andin makin merasa tidak enak,  dia ingin menolak tapi tangannya sudah ditarik oleh Rina menuju meja makan. Doni akhirnya mengikuti dua perempuan itu bersama Sinta yang ada di gendongannya. Di meja makan, karena Sinta masih harus disuapi oleh mamanya, maka Andin duduk di sebelah Doni. Keadaan tampak canggung untuk keduanya, karena sebelum ini mereka tidak saling mengenal. Tapi sekarang seolah ada benang yang saling menghubungkan walau belum tahu apa artinya. “Ma, katanya kalau duduk dua-dua perempuan sama laki-laki, mereka pacaran, ya?” celetuk Sinta sambil menunjuk kakaknya dan guru lesnya. Doni langsung tersedak daging tumis lada hitam masakan mamanya. Sedangkan Andin hanya bisa meringis saat mendegar kosa kata murid lesnya yang semakin bertambah dan perlu bimbingan lebih lanjut. . /// Epiphany | Gorjesso /// . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD