Cinta Pada Pandangan Pertama

1327 Words
Bagaimana cinta timbul pada pandangan pertama, jika cinta itu buta? -Steph Axton . “Apa mungkin Gatra minta Andin gambar buat bikin konten di instagramnya?” gumam Doni sambil berpikir keras sampai dahinya berkerut. “Jadi secara nggak langsung... Gatra nyuri gambar Andin?” Setelah menanyakan hal yang terpikir di kepalanya sendiri, Doni segera menggelengkan kepalanya. Dia harus berpikir lebih luas sebelum memberi kesimpulan dan tuduhan dari hanya mendengarkan sepotong percakapan. “Nggak mungkin, lah... mungkin mereka kerjasama. Toh juga di nama kartunnya nggak pake nama Gatra. Nama ‘Komikelas’ bisa jadi nama brand gabungan mereka,” pikir Doni. Doni segera bangkit dari posisi tidurnya ketika mendengar suara asisten rumah tangga yang memberikan info, kalau makan malam sudah siap. Hal yang selalu kemudian Doni sesali karena tidak pulang larut malam jadi dia bisa menghindari waktu tidak bertemu orang-orang di rumah ini. Mendadak dia ingin mendaftar ikut bimbingan belajar agar tidak perlu terlalu awal pulang, dan yang pastinya bisa punya alasan jelas untuk mangkir dari makan malam “keluarga”. “keluarga” yang bukan keluarga bagi Doni. Begitu langkahnya sampai di ruang makan, Doni melihat kalau Sinta tengah dipangku dan disuapi oleh ayahnya. Pemandangan yang mendadak membuat hati Doni terasa sesak, sebab dia tidak pernah memiliki kenangan itu di dalam otaknya. “Duduk, Don. Mau makan cumi asam manisnya?” tawar Rina yang hendak mengambilkan nasi dan lauk untuk putra tirinya, namun Doni segera menyela dengan nada suara datar tapi langsung menusuk hati. “Saya masih punya sepasang tangan untuk melakukannya sendiri,” sela Doni. Dia segera mengulurkan tangannya untuk menjangkau piring, mengambil nasi, cumi asam manis dan sayur kangkung. Ada satu menu lagi yaitu chiken katsu, tapi sepertinya itu khusus untuk Sinta, namun Doni tidak memikirkan hal itu dan kemudian langsung menyuap lauk dan nasi ke dalam mulutnya. Sedangkan Adi, ayah Doni, tengah menatap tajam putranya itu. Dia tahu putranya ini masih belum menerima istri barunya, Rina. Tapi tidak juga dengan bersikap demikian, dia tidak suka dengan cara penolakan Doni ini. Hendak saja dia menegur putranya ini kalau Rina tidak menggelengkan kepala, meminta suaminya untuk tidak membuat perdebatan di tengah makan malam. Doni sendiri tidak peduli, secepat mungkin dia menghabiskan makan malamnya lalu berpamitan untuk masuk ke dalam kamar. Dirinya tidak akan membiarkan ayahnya berbicara mengenai petuah dalam keluarga. Karena itu hanya omong kosong. Jika memang apa yang ayahnya katakan itu berbobot, maka ayahnya tidak akan pernah meninggalkan mamanya demi wanita lain. “Apa dia masih berharap gue sudi mendengarkan nasehatnya itu?” gumam Doni saat berdiri di tengah undakan tangga dan melihat keakraban ayah, mama tiri dan adik tirinya selepas dia meninggalkan meja makan. “Harusnya kalau dia ingin gue bahagia, nggak udah jemput gue dan pura-pura jadi wali buat gue,” kata Doni pelan. Rasa sakit hati dan kali ini ditambah rasa cemburu, membuatnya hampir saja meluapkan emosi. . /// Epiphany | Gorjesso /// . TOK TOK Suara penghapus papan tulis yang diketukkan ke atas meja, bergema di sebuah ruangan. Seorang guru perempuan dengan pakaian yang modis, memberikan isyarat untuk murid yang berada di ruangan itu untuk diam. “Halo semua... Bunda hari ini bawa teman baru,” kata guru bernama Silvi ini, seorang guru yang lebih akrab disapa Bunda ole murid-murid sekolah. “Udah kenal sih kita, Bun,” celetuk seorang murid cowok di ujung ruangan. Silvi segera mengangguk khikmat, memahami kalau murid yang berada di sisi kirinya, si teman baru, memang punya popularitas begitu menjadi murid pindahan. “Bunda tahu, tapi sebagai formalitas, Bunda ingin mengenalkan Doni  sebagai salah satu kandidat  debat bahasa inggri 2 bulan lagi,” ujar Silvi pada murid yang dipilih dalam lomba serupa. “Wuhu... akhirnya  klub debat punya angin surgawi juga,” celetuk seorang murid cewek yang langsung disoraki teman cowoknya. “Hus! Udah! Udah!” Silvi segera menenangkan keadaan ruang klub debat agar tidak ricuh. “Nah karena Doni ketinggalan materi 2 bulan, maka saya minta bantuan teman-teman memberikan info dan materi yang belum Doni dapat. ASAP, yaa... Bunda nggak mau dengar ada yang merasa iri karena da anggota baru,” sambung Silvi, memberi peringatan. “Baik, Bundaa...,” sahut semua murid di ruangan tersebut termasuk Doni. Di ruangan club debat ini memiliki bentuk meja yang bundar. Satu meja bisa diisi 5-6 murid dan ada 5 meja di ruangan ini. Doni langsung ditarik oleh Jamal, salah satu murid cowok di antara 5 cewek di meja sebelah kanan ruangan. “Lo mending temenin gue menghadapi para betina ini,” ujar Jamal yang langsung diberi cubitan dan timpukan buku oleh teman satu mejanya. “Pengen gue cubit juga ginjalnya, ya?” kata seorang murid cewek bernama Asha dengan sinis. Jamal mengusap kedua lengannya yang menjadi sasaran empuk teman semejanya. “Galak banget buset dah jadi cewek! Nggak malu apa di depan anak baru?!” cibir Jamal. “Bodo amat!” balas Asha lagi. Doni memperhatikan interaksi keduanya dengan terkekeh. Selama 1 jam berdiskusi, dia bisa membaca situasi kalau meja ini tampak paling aktif ketimbang meja lain. Murid cewek bernama Asha ini juga selalu bisa menjawab dengan lugas dan tepat pertanyaan dari Silvi. Teman satu mejanya yang lain, Regita, Widuri, Hasna dan Jamal juga punya kemampuan serupa. “Doni, coba Bunda minta kamu jelaskan materi debat yang pernah kamu bawakan. Maju ke sini,” pinta Silvi pada muridnya. Doni segera bangkit dengan perasaan malu, sebab ini pertama kali dia tampil di depan murid sekolah lain bukan dalam situasi lomba. Tapi karena dia murid pindahan, mungkin saja Doni bukanlah kriteria tepat untuk masuk ke club ini. “First of all, thank you very much to Ms. Silvi, for trusting me to join this English debate club. And also to my friends who welcomed me so well,” ucap Doni begitu dia berdiri di depan kelas. Usai mengucapkan terima kasih, Doni segera menjalankan permintaan Silvi untuk mengungkapkan materi yang pernah dia kuasai dalam debat di sekolah sebelumnya. Dan dengan lancar, Doni membagikan itu dan membuat teman-temannya sedikit terpukau, sebab aksen bahasa inggris Doni terdengar sangat alami sekali. Di jam makan siang, Doni segera ditarik oleh Jamal yang ingin mengajaknya makan siang. Doni ingin menolak sebab dia sudah ada janji dengan Anjar dan Bagus yang akan mentraktirnya makan bakso usai kalah dalam game online yang mereka lakukan semalam. Tapi mungkin saja Jamal bisa masuk dalam pertemanannya, sebab murid cowok ini juga langsung mengiyakan tawarannya. Tapi saat dia ingin keluar dari ruangan, punggungnya ditepuk oleh seseorang. Doni pun akhirnya membalikkan tubuhnya untuk melihat siapa yang melakukan itu padanya. “Ini materi dua bulan lalu, udah gue bikin jadi satu buku. Ntar lo bisa fotocopy buku ini,” ujar Asha, teman satu meja Doni di klub debat bahasa inggris ini. Namun meski teman, Doni dan Asha baru bertemu dan berkenalan satu setengah jam yang lalu, sehingga pasti masih ada kecangungan. Namun itu tidak tampak di wajah Asha yang justru sangat cerah, ditambah senyumnya juga. “Elo mah kalo sama yang gud luking langsung cerah, Sha. Gue dijadiin samsak tinju mulu!” ptoes Jamal tiba-tiba. Asha langsung mendengus lalu menginjak kaki Jamal. “Brisik lo buaya darat! Nggak udah sok lupa sama kelakuan lo dulu, ya!” tukas Asha dengan kekesalannya. Dan entah bagaimana, Jamal langsung diam. Mungkin ada sesuatu di antara Jamal dan Asha sebelumnya. “Oke, gue pinjem ya, Sha. Lusa pas latihan debat lagi, gue balikin,” sela Doni saat suasana menjai canggung. Asha langsung menganggukkan kepalanya  lalu meninggalkan Doni dan Jamal bersama Regita, Widuri dan Hasna. “Dia suka sama lo kayaknya, Doni,” celetuk Jamal saat mereka berdua masih memandangi Asha yang mulai menjauh. Karena celetukan Jamal, Doni sukses terbahak. “Hahahah! Jangan ngaco lo!” “Ck! Asha tuh ketebak banget kalo suka sama cowok. Dia yang jadi salah satu princess sekolah ini jarang kasih barangnya ke cowok kalau bukan karena dia tertarik,” jelas Jamal. Doni hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seolah mengerti. Lagi pula masih terlalu dini menarik kesimpulan kalau Asha suka padanya. Sebab Doni bukan penganut cinta pada pandangan pertama. . /// Epiphany | Gorjesso ///  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD