4. Sekolah Baru

1615 Words
Arin menunduk, melangkah di belakang sang pacar. Ini hari pertamanya ia masuk ke sekolah barunya. Arin bisa merasakan murid-murid menatapnya penasaran. Mungkin mereka bingung dengan sosok nerd di belakang Erlan, cowok berwajah dingin itu. Arin memang selalu berpenampilan seperti ini. Kepang dua, kaca mata berbingkai besar, tas gemblok, kaus kaki panjang, dan jam tangan.Yang berbeda dari Arin hanyalah rambutnya yang berwarna pink. "Selamat pagi, Erlan," sapa seorang siswi membuat langkah mereka terhenti. Erlan tak menyawab. Ia hanya menghela napas malas, sementara Arin menahan tawanya saat melihat dandanan siswi itu. "Eh, Cupu! Ngapain lo senyum-senyum gitu?!" bentak siswi itu. Arin menggeleng. Ia sudah tak tahan lagi. Tawanya pun pecah. "Alis lo tuh tinggi sebelah!" "Ayo, Seblak!" seru Erlan. Bisa runyam kalau mereka jambak-jambakan karena mulut gadisnya. Erlan melanjutkan langkahnya, meninggalkan Arin yang melotot ganas ke arahnya. "Santen, lo nyebelin!" Arin meraung kesal. Ia menghentak-hentakan kakinya lalu berlari menyusul sang pacar. "Woy! Santen Basi! Tungguin!" Arin merengut saat Erlan tak juga berhenti, tapi malah mempercepat langkahnya. Ah! Ia punya ide! Pasti Erlan akan langsung berhenti. "Aduh!!" ringis Arin keras. Ia sengaja mengencangkan suaranya agar Erlan dengar. Ia pun menjatuhnya dirinya ke lantai. Erlan langsung berhenti mendengar suara ringisan Arin. Ia berbalik. Matanya melebar saat melihat gadisnya terduduk di lantai. Ia pun langsung berlari menghampiri gadisnya. "Kenapa, Seblak? Apanya yang sakit?" tanya Erlan kelewat cemas. Arin bersorak dalam hati. Benarkan perkiraannya. Ia tersenyum menatap raut wajah khawatir dari pacarnya itu. Sebuah kekehan pun lolos dari mulutnya. "Lo lucu banget sih, Santen," kata Arin sambil mencubit hidung Erlan. Erlan mendengus. Ternyata Arin hanya mengerjainya. "Gak usah merajuk gitu, Santen. Lagian, jalannya cepet banget kayak takut ketinggalan kereta. Kalau gue punya asma gimana? Bisa semaput gue ngejar lo," ucap Arin. Erlan menghela napas. Benar kata gadisnya tadi. Beruntung gadisnya tak punya penyakit asma. Erlan bangkit lalu mengulurkan tangannya. "Ayo, Seblak." Arin membalas uluran tangan Erlan. Senyumnya mengembang saat Erlan menggenggam tangannya erat. Sebentar lagi pasti akan ada gosip tentang dirinya. Semakin banyak pula hatersnya nanti. Taukan haters? Itu loh pembantu paling ikhlas gak di gaji, tapi rela ngurusin hidup kita. "Serius gak ada yang sakit, Seblak?" tanya Erlan. Arin menengok lalu menggeleng. "Gak kok, Santen. Gue cuma bercanda doang tadi." Kini mereka pun telah sampai di ruangan kepala sekolah. "Masuk gih, Seblak!" Arin mengangguk lalu masuk ke dalam. Ia berbalik saat mengingat sesuatu. Ternyata Erlan sudah melangkah pergi, padahal ia ingin minta Erlan untuk menunggunya. Arin pun kembali ke dalam. Sudah ada seorang wanita di dalam sana.  "Pagi, Bu," sapa Arin. "Pagi, kamu Arin?" Arin mengangguk. "Silakan duduk!" Arin pun duduk. "Saya Bu Ratna. Kamu sudah tau kan kalau kamu masuk eskul drama?" tanya Bu Ratna to the point. Arin kembali mengangguk. "Kamu masuk eskul drama itu buat dispensasi rambut kamu itu," jelas Bu Ratna. Arin tau sekarang. Mommy-nya memang paling pengertian, tau saja ia sangat cinta rambutnya yang sekarang. Ia tak akan rela bila harus mengganti warna rambutnya. "Baiklah, silakan kamu ke kelas, kelas XI-E," kata Bu Ratna. "Baik, Bu. Saya permisi," pamit Arin. Ia bangkit lalu melangkah ke luar. Astaga! Ia lupa! Ia kan belum tahu tata letak sekolah barunya. Ia pun merutuki Erlan yang tak mau menungguinya. Dengan kesal ia melangkahkan kakinya entah ke mana. Ia terus melangkah, hingga akhirnya ia terpaku pada sebuah ruang yang berada di pojok sekolah. Dengan perlahan Arin membuka pintu ruangan itu. Ia melongo. Ternyata ini ruang musik. Mata Arin berbinar saat melihat sebuah piano yang berada di dalam rungan tersebut. Bukan hanya piano, tapi juga ada alat musik lain. Arin masuk lalu duduk di depan piano itu. Tangannya mulai menyusuri tuts-tuts piano itu. Ia lupa dengan tujuannya. Pikirannya melayang ke kedua sahabatnya. Chlora dan Fio. Mendadak ia kangen dengan mereka. Dentingan piano pun mengalun. Arin terhanyut dalam permainannya. [Arin] Hatiku sedih Hatiku gundah Tak ingin pergi berpisah Hatiku bertanya Hatiku curiga Mungkinkah ku temui kebahagian seperti di sini Sahabat yang selalu ada Dalam suka dan duka Sahabat yang selalu ada Dalam suka dan duka Tempat yang nyaman Hangat terjaga Dalam tidurku yang lelap [Chlora] Janganlah sedih Arin tersentak saat mendengar suara seseorang yang ikut bernyanyi juga. Ia menoleh, tapi jemarinya tetap menekan tuts-tuts piano. Senyumnya mengembang saat mendapati sosok kedua sahabatnya. Janganlah resah Chlora dan Fio melangkah mendekati Arin. Tadinya mereka sedang mengitari sekolah baru mereka. Namun, tiba-tiba mereka mendengar suara dentingan piano. Mereka pun menuju asal suara itu dan mendapati Arin sedang bermain piano sambil bernyanyi. Mereka belum bilang ke Arin, bahwa mereka juga ikut pindah. Jangan berlalu Cepat berprasangka [Fio] Janganlah gundah Janganlah resa Lihat segalanya Lebih dekat Dan kau bisa menilai lebih bijaksana [Arin, Chlora, Fio] Mengapa bintang bersinar Mengapa air mengalir Mengapa dunia berputar Lihat segalanya lebih dekat Dan kau akan mengerti Mengapa bintang bersinar Mengapa air mengalir Mengapa dunia berputar Lihat segalanya lebih dekat Dan kau akan mengerti (Lihat Lebih Dekat – Sherina) Nada terakhir pun selesai dimainkan. Arin bangkit lalu memeluk kedua sahabatnya. Dilepaskan pelukannya lalu menatap kedua sahabatnya tak percaya. "Kok kalian ada di sini sih?" tanya Arin. Chlora dan Fio pun terkekeh  "Karena kita gak mungkin biarin lo sekolah sendirian," jawab Chlora. Fio mengangguk. "Maksudnya?" Arin mengerutkan dahinya. Fio menyentil dahi Arin gemas. "Dasar lemot!" Arin mencebik. Ia kan bertanya, memangnya salah? Tunggu dulu deh! Gak mungkin biarin ia sekolah sendirian kata Chlora tadi? Arin kembali menatap sahabatnya. "Kalian pindah ke sini juga?" Chlora dan Fio menepuk dahi mereka masing-masing. Kalau lemot Arin lagi kumat, mereka harus memperbanyak stok kesabaran saat berbicara dengan nerd jadi-jadian itu. "Coba lo telepon nyokap lo deh, Rin!" suruh Chlora. "Ngapain?" tanya Arin. Diambil handphonenya lalu mencari kontak sang Mommy. "Tanya sama nyokap lo, kali aja otak lo ketinggalan di kamar," jawab Chlora. Fio terbahak, sementara Arin menatap Chlora bengis. Tolong seseorang bawakan Arin es krim. Bukan! Bukan untuk menimpuk Chlora, tapi untuk ia makan. Emosinya bisa turun hanya dengan makan es krim dan kawan-kawannya, seperti bakso, mie ayam, gorengan, somay, batagor, dan lainnya. "Kalian jahat!" seru Arin dramatis. "Masih pagi! Gak usah ngedrama! Ayo ke kelas kita!" seru Chlora lalu menarik Arin pergi diikuti Fio. "Ih, pe'de banget! Emangnya kita sekelas?" Arin mendengus. "Lo kelas XI-E kan?" ucap Fio. Arin mengangguk. "Kok lo tau sih?" jerit Arin histeris. Koridor sekolah sudah tampak ramai dengan siswa-siswi yang berlalu-lalang. Beberapa murid menatapnya karena mendengar suara jeritannya tadi. Langkah Arin terhenti membuat Chlora dan Fio juga berhenti.  "Apa sih yang gak kita tau tentang lo, Rin?" tanya Fio. Mereka kembali menarik Arin pergi. "Oke! Kalian mulai mengerikan!" Arin menatap kedua sahabatnya ngeri. "Ntar dulu deh! Emangnya kalian tau kelasnya di mana?" "Sebelum lo datang, kita udah datang duluan kali!" sahut Fio gemas. "Jangan-jangan lo masuk ruang musik gara-gara nyasar?" Arin menyengir lebar, sementara kedua sahabatnya menggeleng. "Astaha, Rin! Otak lo benaran ketinggalan kayaknya," cibir Chlora. "Kok berhenti sih?" tanya Arin saat kedua sahabatnya berhenti di depan sebuah kelas. "Kan kelasnya di sini, Arini," sahut Chlora gemas. "Ayo, masuk!" Chlora pun membuka pintu. Bel masuk telah berbunyi tadi. Semua mata menatap ke arah mereka termasuk sosok wanita yang berada di depan kelas. "Permisi, Bu," kata Chlora. "Oh, kalian murid baru itu kah?" tanya wanita itu. Mereka bertiga mengangguk. "Saya Bu Uci, guru IPS sekaligus wali kelas kalian. Ayo, silakan perkenalkan diri kalian!" "Halo, saya Chlora." "Saya Fio." "Saya Arin." "Halo Chlora, Fio, Arin," teriak anak murid serempak. "Selamat bergabung." Bu Uci menggeleng. Ia berasa mengajar anak SD kalau seperti ini. "Silakan duduk!" *** "Kalian tau gak sih kalau ada tiga anak baru?" kata Dennis pada Gio dan Erlan saat mereka makan di kantin pada waktu istirahat. Gio dan Erlan tak menanggapi. Mereka sangat tahu siapa yang di maksud oleh Dennis. "Eh! Itu tuh murid barunya!" seru Dennis sambil menunjuk tiga sosok siswi yang sedang berjalan menuju meja sambil membawa makanan. "Cantik-cantik yah. Itu yang penampilannya kayak nerd juga cantik. Beda aja gitu. Apalagi rambutnya." Erlan menatap Dennis tajam. Ia paling tak suka bila ada yang menatap gadisnya. Apalagi memuji gadisnya terang-terangan. "Jaga mata lo itu!" Dennis melongo lalu mengerjap. Ia menengok lalu memegang kedua bahu Erlan. "Lo seriusan Erlan kan?" Dahi Erlan mengerut. Ditempelkan telapak tangannya ke dahi Dennis. "Gak panas, tapi kok kayak orang sakit sih?" "Kan yang sakit otaknya, Lan," sahut Gio. Dennis merengut. "Gue serius, Njing! Kok lo pada kayak tae sih! Secara gitu, Erlan yang gue kenalkan dingin banget sama makhluk ber-oppai yang bernama cewek. Kaila si primadona sekolah aja dicuekin. Gue kira kan Erlan belok." "Dasar otaku! Banci Thailand juga beroppai, b**o!" cibir Erlan. "Tapi kalau beloknya sama lo, gue mau deh." "Oh, jadi gitu! Ayang Erlan jahat! Depan aku malah godain cowok lain!" seru Gio cemberut. Oke! Drama macam apalagi ini? Dennis melambaikan tangannya. Ia benar-benar menyerah menghadapi otak sableng Gio dan Erlan bila sudah berkolaborasi. "Tolong Dennis Ya Tuhan dari manusia-manusia nista ini." Sementara itu di meja Arin, Chlora dan Fio. "Rin, itu bukannya Gio sama Erlan?" kata Chlora. Arin menoleh ke arah yang ditunjuk Chlora. Ia mengangguk. "Iya, tapi pura-pura gak kenal aja." "Kenapa?" tanya Fio. "Gakpapa,"jawab Arin singkat. Mulutnya tetap mengunyah. "Eh, liat deh! Itu cewek ngapain nyamperin Erlan?" celetuk Chlora. Pergerakan tangan Arin pun terhenti. Ia kembali menatap Erlan dan kawan-kawannya. Sepertinya ia mengenal cewek itu. Ah! Ia ingat! Itu cewek yang tadi pagi. Arin mendengus lalu kembali melahap makanannya dengan cepat. "Itu cewek apa panu sih? Gatel banget kayaknya." "Sabar, Rin, sabar," sahut Fio. Ia mendadak kenyang melihat Arin makan dengan lahapnya. Setelah makanannya habis, Arin langsung menenggak minumannya dan bangkit lalu melangkah pergi. Chlora dan Fio pun mengikuti Arin. Bisa bahaya kalau Arin sampai ngamuk nanti. Arin sudah berada di depan meja Erlan. Ditatapnya cewek itu sebal. "Lo siapa sih? Dari tadi nyamperin Erlan mulu!" "Gue Kaila. Wajar kali kalau gue nyamperin calon pacar gue," kata Kaila. Arin cemberut melihat Erlan yang terlihat biasa saja. Ditatapnya cowok yang duduk di samping Erlan. "Hai, gue Arin, nama lo siapa?" sapa Arin pada Dennis sambil mengulurkan tangannya. Dennis dengan senang hati menerima uluran tangan Arin. Ia lupa dengan perkataan Erlan tadi. "Gue Dennis " Arin tersenyum manis. "Abang odong-odong namanya Lolo, mau dong jadi pacar lo." Dennis melongo. Bukan karena gombalan Arin tadi, tapi karena tiba-tiba Erlan melepaskan tangannya dari tangan Arin dengan kasar. "Main-main sama gue! Panaskan? Makanya jangan sok cuek!" Arin berkata tajam lalu pergi diikuti Chlora dan Fio. "Lo benar-benar dalam masalah, Bro," kata Gio membuat Erlan mengusap rambutnya gusar.              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD