3. Pagi

912 Words
Gio menggeleng melihat kembarannya yang masih bergelung di dalam selimut. "Rin, bangun!" seru Gio berusaha membangunkan Arin. Gio berdecak sebal saat Arin hanya bergumam tak jelas dan kembali meringkuk. Gio menggaruk kepalanya. Bukan! Bukan karena gatal, tapi karena ia bingung harus dengan cara apa membangunkan kembarannya itu. Gio tersenyum saat sebuah ide melintas di otaknya. Biasanya ini selalu berhasil membuat Arin bangun seketika. Gio pun mengambil napas. "ARIN ADA AYAM TERBANGGG!!!" teriak Gio kencang. Arin sontak membuka matanya. Tanpa aba-aba, ia loncat ke pelukan Gio dengan kaki melingkar di pinggang Gio. Untung Gio cukup sigap menangkap Arin. Kalau tidak pasti mereka sudah jatuh sekarang. Arin menyembunyikan wajahnya di leher Gio, sementara tangannya mengalung erat di leher Gio. "Huaaaaaa, usir! Cepet usir ayamnya!!" jerit Arin histeris. Tak ada jawaban. Arin hanya merasakan tubuh Gio bergetar. Tak lama kemudian pun suara tawa Gio pecah membuat Arin menatapnya bingung. Arin tersadar. Ia turun dari gendongan kembarannya itu, sementara Gio masih tertawa geli sambil memegang perutnya. Arin merutuki dirinya. Harusnya ia sudah hapal dengan kejahilan Gio yang satu itu! Lagi pula, mana ada ayam terbang ke kamarnya yang berada di lantai dua. Hiks, kenapa ia baru sadar yak? Arin mendelik sebal menatap Gio yang masih terkikik geli. "Ketawa aja terus sampai mampus!" Gio menghentikan tawanya saat kembarannya itu cemberut. Diacak-acaknya rambut Arin. Kembarannya itu sebenarnya sangat mengemaskan. "Liat tuh udah jam segini! Mending lo mandi sana! Lo bau iler!" "Enak aja! Yang ileran kan lo bukan gue!" seru Arin sewot. Arin pun kembali ke kasur. Baru saja Arin ingin tidur kembali, Gio menariknya bangun. "Mau mandi sendiri atau mandi berdua?" Gio menyeringai. Kalau tidak seperti itu pasti Arin akan tidur kembali. Arin tak menanggapi ancaman Gio. Ia berusaha tidur kembali. Ia menjerit saat Gio menggendong tubuhnya. Ingatkan ia kalau Gio tak pernah main-main dengan ucapannya! "Turunin gue, Bodoh! Iya gue mandi sekarang!" Gio pun menurunkan tubuh Arin. Ia terkekeh saat Arin langsung ngibrit ke dalam kamar mandi. "Inget mandi! Bukan semedi! Jadi, jangan lama-lama!" "Bawelll!!" teriak Arin dari dalam kamar mandi. "Mandinya jangan sambil main bebek-bebekan!" teriak Gio. Pasti sebentar lagi. "GIIOOOO!!" jerit Arin kencang. Nah, benarkan! Gio terbahak. Menggoda kembaranya memang menyenangkan. Ia pun keluar dari kamar Arin. Arin melengok keluar dari kamar mandi. Gio sudah tak ada di kamarnya. Ia pun langsung keluar dari kamar mandi. Mungkin setelah ini ia harus selalu mengunci kamarnya agar Gio tak bisa sembarangan masuk ke dalam kamarnya. Arin menatap dirinya di cermin. Seragam sekolah barunya sangat cocok di tubuhnya. Arin memakai kacamatanya. Ia pun tersenyum puas. Setelah di rasa cukup, ia pun keluar dan turun menuju ruang makan. "Pagi semuaaa," sapa Arin lalu duduk di bangku biasanya. Mom, Dad, dan Gio sudah ada ternyata. "Ciuman untuk Daddy mana?" kata Vando. Arin terkekeh lalu mencium pipi sang Daddy. Vando tersenyum, sementara Ara menggeleng melihat tingkah anak dan suaminya itu. Apalagi saat Arin berbinar menerima suapan dari Vando. Oh, sebentar lagi pasti si bungsu Gio akan protes. "Daddy curang! Masa cuma Arin doang yang disuapin!" Tuh, kan benar perkiraan Ara. Kedua anaknya memang sangat manja ke Vando karena Vando selalu menuruti kemauan mereka. Berbeda dengan dirinya yang sedikit bersikap keras ke kedua anaknya. Bahkan ia ingat betul Vando pernah menangis hanya gara-gara Arin terjatuh saat belajar sepeda. Vando terkekeh lalu menyuapi si Bungsu juga. Ia selalu suka saat anak-anaknya bermanja ria kepadanya, mengingat istrinya tak akan pernah bermanja dengan dirinya. Lagi pula, ia tak rela bila ada yang bermanja dengan istrinya selain dirinya. "Oh, iya!" seru Ara saat teringat sesuatu, membuat suami dan anaknya menoleh. Ara pun menatap Arin. "Kamu udah Mommy masukin ke eskul drama di sekolah baru kamu." "Aku?" ulang Arin. Ara mengangguk. "Mommy pasti bercanda kan?" Arin menatap sang Mommy ngeri. Selama ini, ia tak pernah mengikuti eskul apapun, lalu tiba-tiba Mommy-nya memasukan ia ke salah satu eskul, drama pula! Yang benar saja! "Apa, Mommy, kelihatan lagi bercanda?" Arin menggeleng. Mommy-nya serius kali ini. "Mom, yang cocok masuk eskul drama itu, Daddy, bukan aku!" "Lah kok, Daddy?" Vando mengerjap bingung. Kok ia dibawa-bawa juga sih! Arin mengangguk semangat. "Iya, kan, Daddy, lebay-nya over dosis. Suka banget mendramatiskan sesuatu." Ara dan Gio tertawa, sementara Vando merengut tak terima. "Kan kamu juga suka mendramatiskan sesuatu!" seru Vando tak mau kalah. "Kemarin siapa coba yang nangis kejer cuma gara-gara skateboardnya patah?" Skatmat! Arin mingkem. "Lo mau bareng gue apa Erlan?" tanya Gio. "Bareng Santen aja," jawab Arin. Mereka pun pamit dan menyisakan Vando dan Ara di meja makan. "Gue gak nyangka ternyata mereka udah besar yah, Nona," gumam Vando membuat Ara menoleh. "Ya kali mereka kecil terus!" dengus Ara. Ia bangkit lalu membawa piring kotor ke bak cuci piring. Ara tersentak saat tiba-tiba sebuah tangan melingkar di pinggangnya. "Lepas, Alien!" ketus Arin. "Berangkat sana!" "Kok tiba-tiba aku  jadi males berangkat yah, Nona," kata Vando sambil mengeratkan pelukannya. Ditaruh dagunya di pundak istrinya. "Jangan macem-macem, Alien!" seru Ara. Ia telah selesai mencuci piring, tapi ia masih berdiri di tempat semula. Tubuh Ara meremang saat napas Vando menerpa lehernya. "Sebentar, Nona, aku kangen berat sama kamu, Nona," gumam Vando membuat Ara pasrah dan membiarkan suaminya mendekap dirinya.  Sementara itu Arin dengan riang melangkah menuju rumah Erlan yang berada di sebelah rumahnya. "Pagi, Mama Santy, Papa Ardo," sapa Arin. "Pagi juga, Sayang," sahut Santy, Mama Erlan. "Kamu udah sarapan?" tanya Ardo. Arin mengangguk. "Udah, Pah, Erlannya mana?" "Kenapa, Seblak?" tanya Erlan yang tiba-tiba datang. Ara menengok dan mendapati Erlan di belakangnya. "Gakpapa, Santen." "Ayo berangkat, Seblak." Erlan pun melangkah keluar. "Tunggu kenapa, Santen! Mama dan Papa calon mertua, calon menantu berangkat dulu yah," pamit Arin lalu berlari mengejar Erlan. Saat jarak sudah dekat, Arin melompat ke pungung Erlan, membuat Erlan reflek memegang kaki gadisnya itu. Sementara Santy dan Ardo hanya menggeleng melihat tingkah mereka berdua. "Aku juga berangkat yah, Sayang," pamit Ardo lalu mengecup kening istrinya. Santy mengangguk. "Hati-hati yah."                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD