2. Mewek

1619 Words
"Berhenti!!" teriak Bu Sri, sang kepala sekolah. Arin menghentikan pukulannya. Dengan kasar ia melepas cengkramannya di kerah baju Bagas. Arin mendengus, menatap Bagas yang sudah tak berdaya di lantai. "Udah gak bisa ngomong kan lo! Punya mulut makanya dijaga! Jangan asal nyablak!" Napas Arin memburu. Dadanya masih bergemuruh karena emosi. Ia kembali menendang Bagas dengan keras, membuat Bagas terbatuk dan meringkuk. "Saya bilang berhenti, Arin!" teriak Bu Sri kembali. Chlora dan Fio pun mencoba menahan Arin yang masih ingin menghajar Bagas. "Udah, Rin, udah," gumam Chlora. "Iya, Rin, udah," timpal Fio. "Dia harus dikasih pelajaran! Dia udah ngatain lo berdua! Gue gak terima!" Arin meraung ganas. Demi kerang ajaib, ia tak terima sahabatnya dihina! "Kita gak papa kok, Rin," kata Chlora disambut anggukan Fio. Arin menghela napas kasar. Ia memijit pelipisnya, berusaha menenangkan otaknya yang diliputi emosi. "Bawa Bagas ke UKS! Kamu, Arin, ikut Ibu ke ruangan!" perintah Bu Sri. Arin memutar bola malas. Ia mengikuti langkah Bu Sri dengan santai, sementara Chlora dan Fio menatap Arin cemas. Mereka pun kembali ke kelas. Dengan gelisah, mereka menunggu Arin kembali ke kelas. Di tempat lain, Arin menatap Bu Sri jengah. Sudah hampir 10 menit berlalu, tapi Bu Sri tak juga bersuara. Bu Sri menghela napas lelah. Ia menyerah. Sudah segala macam hukuman yang ia berikan ke muridnya yang satu itu, tapi tak juga membuat muridnya kapok! Malah ia yang kapok sepertinya. Dengan berat hati ia pun memutuskan sesuatu. "Ibu capek, Rin, ngehukum kamu terus. Kemarin kamu tawuran. Sekarang kamu mukulin Bagas sampai babak belur!" "Dia duluan yang mulai, Bu!" seru Arin. "Walau dia duluan, apa perlu kamu memukulnya seperti itu? Poin pelanggaran yang kamu buat udah melampaui batas, Arin! Untuk kali ini, dengan sangat terpaksa ibu harus mengambil keputusan--," ucapan Bu Sri terpotong. Bu Sri menatap Arin lekat. "Kamu Ibu DO!" Apa Arin menjerit karena kaget? Tidak! Ia bukan Daddy-nya yang dramatis. Bahkan ia tak kaget lagi dengan kata yang satu itu. "Oke," kata Arin lalu bangkit. "Arin," panggil Bu Sri sebelum Arin sampai di depan pintu. Arin pun menengok. "Ibu minta maaf," sesal Bu Sri, tapi keputusannya sudah final, karena Bu Sri sudah tidak tahu lagi mau menghukum Arin apa. "Ibu gak perlu minta maaf. Saya juga udah muak kok berada di antara orang-orang yang bermulut manis di depan, tapi saling berlomba menancapkan tombak saat di belakang." Arin berbalik lalu keluar dari ruangan Bu Sri. Ia melangkahkan kakinya menuju kelasnya. Pelajaran di kelasnya sedang kosong sekarang. Ia pun membuka pintu kelas dengan perlahan. Matanya langsung tertuju pada Chlora dan Fio, sahabatnya. Chlora dan Fio langsung bangkit saat mendapati Arin di depan kelas. Mereka berlari menghampiri Arin lalu memeluknya. Sebuah isakan pun lolos dari mulut Arin, membuat Chlora dan Fio melepas pelukan mereka dan menatap Arin tak percaya. Bahkan kelas yang sedang ramai itu mendadak hening. Tak ada yang berani bersuara saat di nerd jadi-jadian itu menangis. "Ada apa?" tanya Chlora cemas. "Bu Sri ngomelin lo apa?" timpal Fio. Mereka bingung. Tak biasanya Arin menangis seperti ini. "Gue di-DO," isak Arin. Kini air matanya sudah mengalir deras di wajah. "Gak mungkin gara-gara di-DO. Ada apa?" tanya Chlora pelan sambil mengusap air mata Arin. Fio mengangguk. Ia pun sangat kenal dengan sahabatnya yang satu itu. "Demi Dewa! Kalian itu sahabat gue, bukan kacung gue," ungkap Arin. Percuma, ia tak akan bisa berbohong dengan kedua sahabatnya itu. "Harusnya tadi gue bikin Bagas gak bisa ngomong lagi, karena udah berani ngomong kayak gitu," isak Arin "Dengerin gue!" Chlora memegang kedua bahu Arin. "Terserah orang mau ngomong apa, gue gak peduli. Karena yang terpenting buat gue kita itu tetap sahabat." Fio kembali mengangguk. "Betul, Rin, kata Chlora. Kita gak peduli orang mau ngomong apa. Ini cara kita nunjukin persahabatan yang kita punya. Mereka mau nganggep gimana, kita gak peduli, Rin." Arin mengusap air matanya lalu memeluk Chlora dan Fio kembali. "Makasih yah." Chlora dan Fio pun melepas pelukan Arin dan menatap Arin geli. "Udah, ah! Masa jagoan nangis! Ingusnya tuh ke mana-mana!" dengus Chlora. "Tau, dasar lebay!" timpal Fio membuat Arin cemberut. "Kayak Om Vando aja." "Kan gue anaknye, Njing!" seru Arin sebal "Oh iya yah! Pantesan mirip!" Chlora dan Fio terkekeh, sementara Arin semakin cemberut. *** Santen, gue di tempat biasa. Seblak Erlan mengerutkan dahinya saat membaca pesan dari Arin, gadisnya. Bel sekolah telah berbunyi dari tadi, dan baru saja ia ingin menjemput Arin di sekolahnya. Namun, belum sempat ia melaju ke sekolah Arin, Arin telah mengirimnya pesan bahwa dia berada di tempat biasa. Erlan sangat tau tempat itu. Sebuah tempat di pinggir danau yang berada di taman adalah tempat favorit Arin. Ia pun langsung melajukan motornya menuju tempat di mana gadisnya berada. Setelah sampai, Erlan langsung memakirkan motornya lalu mencari gadisnya. Tak perlu cari sana-sini karena ia tau di mana posisi gadisnya berada. Ia pun langsung melangkah ke sana. Senyumnya mengembang saat ia melihat sosok gadis berambut pink menghadap ke danau. Ia langsung menghampiri gadisnya lalu duduk di sampingnya. Mata Erlan terbelak saat mendapati gadisnya sedang menangis. "Ada apa, Seblak?" tanya Erlan membuat Arin tersentak kaget. Arin menoleh. Ia langsung memeluk Erlan erat. Hari ini sudah dua kali ia menangis. Erlan mengusap lembut rambut Arin. Ia mengeratkan pelukan gadisnya. "Ada apa, Seblak?" "Gue di-DO, Santen," isak Arin. Lagi-lagi ia menggunakan alasan itu. "Ada apa, Seblak?" tanya Erlan lagi. Arin menyerah! Sepertinya ia memang tak bisa berbohong dengan orang-orang terdekatnya. "Hiks, mereka jahat, Santen." Arin menangis sesenggukan. Ia menenggelamkan wajahnya di d**a Erlan. Erlan melepas pelukan Arin. Ia menatap Arin lekat. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal. "Bilang sama gue mana yang sakit!" "Di sini, Santen." Arin menunjuk dadanya. "Rasanya sakit banget saat mereka ngerusak skateboard gue." Erlan menunggu Arin melanjutkan ucapannya. "Mereka malak skateboard gue, yah gue gak kasihlah, Santen! Ini kan skateboard dari lo, kasayangan gue. Mereka marah terus rebut skateboard gue secara paksa dan di banting ke aspal sampai patah jadi dua. Gue marah. Jadinya, gue iket mereka di sana," lanjut Arin sambil menunjuk ke salah satu pohon. Erlan menatap pohon yang ditunjuk gadisnya. Ada tiga anak cowok yang terikat di sana. Ia kembali menatap gadisnya lekat. "Lo-nya gakpapa kan, Seblak?" Arin menggeleng. "Gue-nya gak papa, tapi skateboard gue rusak, Santen." Erlan menghela napas lega. Ia kembali menarik gadisnya ke dalam dekapannya. "Gue bakal kasih pelajaran ke orang itu karena berani bikin lo nangis, Seblak!" Arin menahan Erlan saat Erlan ingin menghampiri anak-anak cowok itu. "Gue gakpapa, Santen, pulang aja yuk!" Arin menatap Erlan dengan tatapan memohon. Bisa gawat kalau Erlan menghampiri anak-anak itu. Erlan mengerikan guys kalau lagi marah! Ia saja takut. *** Arin membuka pintu rumahnya dengan perlahan. Saat dirasa kondisi sudah aman, ia langsung masuk dengan langkah pelan. "Ehem!" Arin menghentikan langkahnya. Ia pun menengok sambil menampilkan cengiran konyolnya. "Eh, Mommy," sapa Arin. "Ganti baju buruan! Mommy tunggu di ruang keluarga!" kata Ara tajam. Arin mengangguk lesu. Pasti berita ia di-DO sudah sampai di telinga Mommy-nya. Setelah ganti baju ia pun langsung turun menuju ruang keluarga. Ternyata sudah ada Daddy dan Gio di sana. Arin merengut, sementara Ara terus mengoceh dengan kecepatan di atas rata-rata. Ada dua pria yang menatapnya. Salah satu dari pria itu menatapnya sambil menyeringai. "Besok kamu bakalan Mommy masukan satu sekolah dengan Erlan!" keputusan final dari sang Mommy. "Tapi, Mom," rajuk Arin. "Tapi apa? Bagus dong! Kan ada pacar kamu yang bisa jagain kamu biar kamu gak ikut tawuran dan berantem mulu! Harusnya dari dulu aja Mommy masukan kamu satu sekolah dengan Erlan!" seru Ara. Ia benar-benar gemas dengan anak gadisnya yang satu itu. "Inget, Arin, kamu itu cewek! Cewek! Dewasa dikitlah! Kamu itu kan udah SMA! Jangan cari masalah mulu!" "Masalahkan bisa buat kita dewasa, Mom, makanya aku sering buat masalah," celetuk Arin. Ara mendelik ganas. Astaga! Kenapa gen menyebalkan si Alien Sinting itu turun ke anaknya sih! Ia pun menghela napas, mencoba sabar menghadapi anaknya yang satu itu. "Pokoknya kamu mulai besok satu sekolah dengan Erlan!" "Daddyyyyy," rengek Arin pada Vando sang Daddy. Vando tersenyum kikuk, merasa bersalah. "Kalau itu udah jadi keputusan Mommy kamu, Daddy gak berani bantah, Sayang," gumam Vando membuat Ara tersenyum menang. Arin lupa kalau Daddy-nya tak berani membantah sang Mommy. Arin bergidik membayangkan satu sekolah dengan Erlan. Bukan! Bukan karena ia tak sayang dengan Erlan, tapi ah, sudahlah! Nanti kalian juga tau! "Penampilan doang lo kayak kutu buku, tapi tingkah laku kayak berandal!" cibir Gio, sang adik kembarnya. Iya, Gio dan Arin itu anak kembar. "Pokoknya gue gak mau sampai ada yang tau kalau lo itu kembaran gue! Bisa jatuh image gue di sekolah! Gue bingung, kok Erlan tahan yah sama lo?" Arin mendelik tajam, menatap sang Adik. "Kok lo jadi adek durhaka sih! Itu mulut belum pernah dicium sama sendal gue yak?" "Daripada sama sendal, mending sama lo aja diciumnya," goda Gio. Sebuah bantal pun mendarat cantik di wajahnya. Sementara Ara dan Vando hanya menggeleng melihat tingkah anak mereka. Arin melangkah menuju kamarnya sambil menghentak-hentakan kakinya. Setelah sampai, ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Arin mengambil handphone-nya saat teringat sesuatu. Setelah dapat, ia langsung mengirim pesan ke sahabatnya perihal sekolah barunya, hingga akhirnya ia pun larut dalam chat-an absurd bersama sahabatnya. "Arin, ada Erlan tuh di luar!" teriak Gio dari luar kamar Arin. Arin melirik jam weker di samping kasurnya. Sudah pukul 10 malam. Ngapain Erlan datang ke rumahnya? Dengan sigap, ia pun langsung keluar kamar dan menuju teras depan. "Ada apa, Santen?" tanya Arin saat memdapati Erlan duduk di teras rumahnya. Ia pun ikut duduk di samping Erlan. Erlan menoleh lalu mengambil sesuatu. "Buat lo!" Mata Arin terbelak tak percaya menatap sesuatu yang diberikan Erlan. "Gue udah kunjungin satu per satu toko yang jual skateboard, tapi gak ada yang sama kayak skateboard lo yang rusak. Akhirnya gue beli yang warnanya sama doang. Kenapa? Lo gak suka yah, Seblak?" kata Erlan saat Arin hanya menatap skateboard yang diberikannya. Arin pun tersadar. Ia tersenyum riang lalu mengambil skateboard yang diberikan Erlan. "Gak kok, gue suka, Santen, makasih yah." Erlan tersenyum lalu mengangguk. "Udah malam, gue pulang yah." Kini gantian Arin yang mengangguk. "Inget! Jangan suka begadang, Santen, itu gak baik!Mending lo suka sama gue aja, itu lebih baik." Erlan terkekeh. Ia pun mengacak-acak rambut gadisnya gemas. "Lo tau kalau lo lebih dari itu, Seblak, good night." "Good night too, Santen." Arin tersenyum lebar. Dipeluknya erat skateboard baru miliknya.                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD