•Tetangga Baru•

2621 Words
"Cemburu itu racun paling mematikan yang menyerang sebuah hubungan." -Akilla Ainina Gardiawan- °°°°°°°°°°° Suasana hari ini di keluarga Barra begitu berbeda, selain karena rumah baru mereka juga karena Rere yang minta diajak jalan-jalan. Di rumah lama mereka, Al dan Rere biasa diajak jalan-jalan pagi sekaligus untuk berjemur agar mengaktifkan pro vitamin D dengan bantuan sinar matahari pagi. Rere menarik-narik tangan Killa saat baru bangun tidur. "Mam, alan-alan." "Sana sama Papamu. Mama repot ini mau bikin sarapan." Rere cemberut. Bibirnya mengerucut lucu hingga terlihat lebih manyun beberapa sentimeter ke depan. Si kecil itu berjalan seraya jingkrak-jingkrak ke arah bagian depan rumah. Di sana ada Barra, Heksa, dan Al yang sedang membenahi pemasangan ayunan. Ada dua pasang baut dan mur yang terlepas di ayunan itu. Al duduk dengan tenang di sana menikmati udara pagi dengan wajah fresh karena sudah dimandikan oleh Killa, sedangkan Rere belum mandi. Anak perempuan Barra itu bangun tidur kesiangan hari ini. Mungkin terlalu lelah. "Selesai," Barra meletakkan obengnya di bawah ayunan. Setelah Barra mengatakan itu, Al langsung mengambil tempat duduk di ayunan itu. Heksa yang berada di belakang Al refleks mendorong ayunannya secara pelan. Rere yang melihat itu pun ingin ikut-ikutan. "Hati-hati," Heksa membantu adiknya itu untuk duduk dengan benar di tempatnya. Lalu Heksa mulai mendorongnya secara bersamaan dengan ritme pelan. Barra sengaja memberi ayunan di depan rumah mereka untuk anak-anaknya berjemur, terutama Al dan Rere. Mereka terlihat senang dengan mainan barunya. Jadi, mereka tak perlu ke taman bermain saat ingin bermain ayunan. Setiap harinya mereka bisa bermain di sana. "Duh, Yeye bau, ya." Barra merunduk. Menghentikan ayunan Rere. "Yeye belum mandi pasti." Rere menyengir tak berdosa menunjukkan deretan gigi susunya yang formasinya belum lengkap. "Kak Al udah mandi, dong. Masak Yeye belum mandi." "Ma, yepot..." Barra mengusap puncak kepala Rere. Ia tahu, istrinya sedang sibuk-sibuknya sekarang ini. Laki-laki itu mendongak, mendapati tatapan kosong Heksa. "Kamu suka rumah barunya?" Heksa mengerjap sebentar lalu tersenyum. "Suka, Pa." "Ehm, gimana desain kamar kamu sesuai?" tanya Barra basa-basi lagi yang hanya ditanggapi sebuah anggukkan kecil dari Heksa. Keluarga kecil sahabat Barra secara tidak sengaja melewati rumahnya. Mereka saling sapa. "Udah pindah ternyata, pantesan rame." "Iya, kemarin malam." Xabiru dengan istri dan dua anaknya itu sedang lari pagi mengelilingi kompleks. Melalui pandangan matanya, Xabiru terfokus pada Heksa. Ia sering mendengar tentang Heksa dari Barra, tapi tak pernah bertemu secara langsung dengan anak angkat sahabatnya itu. Pandangan pertama Xabiru terhadap Heksa itu anak baik dan tampan, pastinya. Apalagi, saat Heksa dengan sopan menyalami tangan Xabiru dan Xavira seraya tersenyum tipis. Senyum yang menerbitkan kedua lesung pipitnya. "Duh, lesung pipinya..." Xavira tersenyum ramah nan akrab. "Kenalin ini anaknya Tante. Namanya Xaxa sama Xio. Kalian kayaknya seumuran." "Iya kah?" Barra menanggapi. "Heksa baru kelas dua." "Xaxa juga kelas dua. Kalau Xio masih kelas satu." "Kalian bisa jadi temen, nih." Lalu adegan selanjutnya hanya diisi dengan sebuah perkenalan. Xabiru menjelaskan keadaan di sekitar kompleks mereka, sedangkan Xavira lebih kepada mendekatkan Xaxa dan Xio pada Heksa. Xavira juga menawarkan untuk Heksa sering berkunjung ke rumahnya. Rumah mereka bersebelahan. "Kalian bisa sering main bareng nantinya," lalu tatapan mata Xavira beralih pada si kembar. "Ini pasti Al sama Rere, ya?" Berbeda tanggapan dengan Al yang biasa-biasa saja terhadap interaksi dengan orang baru. Rere langsung turun dari ayunannya dan bersembunyi di belakang Barra. "Rere, itu Tante Xavi namanya. Baik kok." Rere menggelengkan kepalanya tidak percaya. Tepat saat itu Killa baru saja selesai memasak dan bersiap akan memandikan Rere, melihat ada Xabiru dan Xavira ia segera bergabung dan berbincang-bincang sebentar. Rere merengek meminta ASI, terpaksa Killa pamit masuk ke dalam untuk mengurusi kerewalan Rere dan akan memandikan putri kecilnya itu. Keluarga Xabiru pun pamit pulang dan berniat meneruskan olahraga pagi mereka. Xabiru juga mengajak Heksa untuk ikut dengan mereka agar bisa lebih dekat dengan Xaxa dan Xio, apalagi mereka tahu kalau Heksa nantinya juga akan satu sekolah dengan anak-anak mereka. Jadi, bisa lebih akrab lagi. Setelah kepergian Xabiru dan anggota keluarganya, Barra mengajak Heksa dan Al masuk ke dalam rumah untuk sarapan. "Hem, nanti jadi beli gitarnya?" tanya Barra. Siapa tahu Heksa berubah pikiran dan tidak menginginkan memiliki gitar lagi. "Menurut Papa?" Heksa malah bertanya balik. "Aku pantas Papa beliin gitar nggak?" Deg. Bukan maksud Barra tidak ingin membelikan Heksa gitar. Ia bisa membelikannya. Namun, siapa nantinya yang akan mengajari Heksa untuk memainkan alat musik itu? Barra 'kan tidak bisa main gitar. Itu yang ada di pikirannya. Barra mengulas senyumnya, mencairkan suasana. "Nanti kita beli, ya. Setelah sarapan." Lalu mereka semua sarapan dengan tenang. Rere juga sudah kenyang dengan makanan pendamping ASInya, sama seperti Al. Barra berniat mengajak Killa, Al, dan juga Rere. Namun, suatu insiden setelah sarapan ini membuat Killa marah besar. Kemarahan terbesar Killa adalah dengan terdiamnya perempuan itu di dalam kamar. "Rere, nggak boleh nakal." Barra menengadahkan kepalanya ke atas. Anak perempuan satu-satunya itu selalu saja membuat masalah. Entah itu dengan Heksa atau Al, kini Rere juga membuat masalah dengan Killa. Entah sengaja atau tidak. Yang jelas, lebih kepada tidak sengaja, mungkin. Rere memang pernah ingin menyentuh kalung milik Killa, tapi segera mamanya itu tepis. Dan benar saja, Killa membiarkan Rere awalnya menyentuh kalungnya saat ia sedang menggendong anak itu. Rere gemas dengan kalung itu lalu ia menariknya hingga kalung itu terlepas dari leher Killa. Kalung yang Killa jaga itu akhirnya putus, patah. Killa marah. Ia langsung mendiamkan Rere. Meninggalkannya di ruang tengah dan langsung membanting pintu kamar. "Rere, itu kalungmya Mama kenapa kamu rusak? Astaga." Barra tak bisa berkata apa-apa lagi. Ingin memarahi Rere? Percuma saja. Gadis itu seperti tak berdosa. Memainkan seutas rantai perak milik Killa di tangannya. Barra dengan perlahan mengambil alih kalung itu dari tangan Rere dan menggantinya dengan mainan baru. "Mama marah, ya, Pa?" Barra menoleh pada Heksa setelah menatap kalung Killa yang ada di tangannya dengan mengenaskan. "Ini kalung kesayangan Mama kamu." Dari awal, Heksa juga sudah tahu itu. Killa selalu menghindarkan kalungnya dari Al dan Rere yang berpotensi menarik kalung mamanya itu. Kalung itu terlihat pas sekali di leher Killa, menurut Heksa. Pantas saja Killa sangat cinta terhadap kalung itu. Barra memegangi kepalanya dengan pusing. Kenakalan Rere dari hari ke hari semakin bertambah. °°°°°°°°°° "Masih marah?" Barra diam-diam menyelinap masuk ke dalam kamar. Killa tak menjawab. Hanya diam saja. Barra berdeham sebentar. Lalu memberanikan diri memeluk istrinya itu dari belakang dengan mesra. "Maafin Rere. Dia nggak sengaja." Killa menghela napas berat. Memang benar Rere tidak sengaja. Namun, rasa kesal itu ada di hati Killa saat ini. "Tenangin pikiran kamu. Aku mau ajak anak-anak jalan-jalan dulu." "Al sama Rere kamu ajak juga?" "Iya," jawab Barra. "Kamu butuh sendiri dulu sekarang ini." "Memangnya mau ke mana?" "Beliin Heksa gitar. Dia kayaknya tertarik sama dunia musik." Killa mengangukkan kepalanya paham. Lalu Barra melepaskan pelukannya saat dirasa Killa sudah cukup tenang dan tidak marah lagi. Tangan Barra mengusap puncak kepala istrinya lalu mengecup pipi Killa. Cup... Bola mata Killa memerah, menahan tangisannya. Wajahnya pun sudah seperti kepiting rebus. Kalung itu tak ternilai harganya bagi Killa. Pertama, karena peninggalan dari almarhumah sang mama, juga satu-satunya kenang-kenangan dari keluarganya yang ia punya. Kedua, karena itu juga ada campur tangan dari Barra yang sudah memodifikasi kalungnya. Bagimana awal kemanisan tingkah Barra terangkum dalam kalung itu. Killa mengingat jelas setiap detail kejadiannya kala mengusap liontin yang ada di sana. "Jangan ngambek, kamu kelihatan jelek." °°°°°°°°°° Barra dan ketiga anaknya sudah tiba di Nuansa Musik, tempat yang menyediakan berbagai alat musik lengkap. Mulai dari drum, keyboard, piano, biola, dan yang paling menarik di mata Heksa adalah gitar. Ia langsung menuju ke tempat di mana aneka macam gitar berada seraya menggandeng Al. Rere sendiri dengan manjanya ada dalam gendongan Barra. "Kak, kalau milih gitar dipercepat, ya. Takutnya Rere rewel." Bisik Barra di telinga Heksa kala baru menyadari tak membawa ASIP untuk Rere. Heksa mengangguk. Al dan Rere mulai tertarik pada piano yang ada. Menekan-nekan tuts piano hingga menimbulkan nada-nada yang amburadul, membuat mereka tertawa riang. Barra memberi Al dan Rere piano berukuran kecil, lebih tepatnya piano mainan satu per satu. Si kembar itu pun mulai mengkolaborasi tuts warna putih dan hitam yang ada di sana. Heksa kebingungan memilih gitar yang ada. Mengapa Heksa tiba-tiba ingin bisa bermain gitar? Papa pengin... suatu hari nanti kamu bisa wujudin cita-cita Papa yang tertunda. Kata-kata dari papa kandungnya itu selalu terngiang di kepala Heksa. "Mbak, perbeadaan gitar sama ini apa, ya?" Barra menunjuk gitar dengan ukuran yang lebih kecil. Ia yakin, itu bukan gitar mini karena... pasti ada yang membedakannya. Belum sempat pelayan toko itu menjawab Heksa menyentuh benda yang menjadi pertanyaan Barra. "Ini namanya ukulele, Pa." Heksa menyatukan jemarinya pada senar yang tercantum di sana. "Bedanya sama gitar, ukulele cuma punya empat senar aja. Ehm, ukurannya juga lebih kecil." "Ya, udah. Kamu beli ini aja. Jadi, kamu nggak keberatan kalau mau dibawa ke mana-mana." Heksa menggelengkan kepalanya, menolak. "Kalau main ukulele itu bisanya cuma di beberapa lagu aja. Nggak semua lagu bisa diiringi sama alat musik ini. Kebanyakan genre musiknya reggae." "Wah, anak bapak wawasannya luas, ya, soal musik." Pelayan toko itu tak menyangka Heksa bisa selancar itu berbicara untuk menjelaskan suatu hal di usianya yang masih sangat dini. "Saya juga baru tahu, Mbak." Barra tersenyum canggung seraya menggaruk tengkuknya. "Ya, udah. Terserah kamu mau pilih yang mana." "Mbak, ini harganya sama yang ini kok beda harga, ya? Padahal warna sama ukuran gitarnya sama." Heksa bertanya heran pada sang pelayan toko tentang gitar model klasik yang ada di hadapannya itu. Yang paling menarik di mata Heksa. "Senarnya beda, Dek." Pelayan toko itu menunjukkan perbedaannya pada Barra dan Heksa. "Ini pakai senar nilon. Untuk seukuran anak-anak lebih baik pilih gitar ini karena empuk pas dipetik." Heksa mengangguk-anggukkan kepalanya paham. "Sedangkan, orang dewasa biasanya pakai gitar yang senarnya dari baja." "Kamu nggak tertarik sama yang ini aja?" Barra memilihkan gitar listrik berwarna hitam yang mengkilap. "Oh, ini gitar listrik, Pak. Bagus juga. Tergantung selera masing-masing." "Heksa penginnya gitar klasik, Pa." Akhirnya, keinginan Heksa itu terlontarkan. Lalu pilihan Heksa jatuh pada gitar klasik berwarna cokelat muda yang berukuran setengah dari ukuran gitar standar. "Pa, mahal banget harganya." Heksa tak pernah menyangka bahwa harga gitar bisa semahal itu. Nominal uangnya banyak sekali. Pantas saja saat keluarganya bangkrut, satu-satunya harta yang papa kandungnya tak mau jual adalah sebuah gitar. Heksa tak tahu, bahkan tak ingat itu jenis gitar apa. "Nggak apa. Kamu pilih aja sesukamu," sesekali Barra melirik Al dan Rere yang masih asyik pada pianonya. Rere menyingkirkan piano miliknya. Lebih memilih merecoki Al. Jadi, ketika Al selesai menekan tuts yang satunya, maka Rere akan ikut menekan tuts itu. Lalu saat Al mempercepat tekanan-tekanan pada pianonya, Rere memberengut kala tak bisa menyeimbangi kakaknya itu. Barra yang melihat tingkah si kembar pun hanya bisa menyunggingkan senyum tipis. Pelayan toko itu merekomendasikan gitar Squier buatan Fender yang memiliki keselarasan nada sangat baik dengan harga yang terbandrol lumayan mahal. Rekomendasi dari pelayan toko itu sama seperti apa yang Heksa pilih. "Ini beneran nggak apa, Pa?" "Nggak apa, tapi kamu beneran belajar, ya, nantinya. Jangan dianggurin gitarnya. Sayang aja gitu kalau nantinya cuma dianggurin di kamar." Heksa menggigit bagian bawah bibirnya. "Hem, Heksa tapi belum bisa main gitar sama sekali. Kalau ukulele bisa." Dulu, Heksa pernah diajari main ukulele. Namun, hanya permainan bagi pemula. Belum terlalu mahir. "Di sini juga ada sekolah musik. Setiap satu minggu sekali masuknya. Mungkin anak bapak tertarik untuk ikut." Tawar pelayan toko itu yang langsung membuat binar kebahagiaan meletup-letup di hati Heksa. "Kamu mau kursus main gitar? Soalnya, Papa pribadi nggak bisa main musik." Barra jujur, ia tak bisa. Bahkan, tak tertarik. Barra lebih mewarisi gen dari Atta. Seandainya Barra mewarisi gen dari Vei, pastilah ia bisa menjadi gitaris terkenal saat ini. Jadi keputusannya, Heksa membeli gitar klasik itu dan ia juga didaftarkan ke sekolah musik oleh Barra. Bukan hanya gitar klasik yang Barra belikan untuk Heksa. Ia juga membelikan aksesoris seperti senar tambahan, pick tambahan, amplifier sederhana  dengan daya 10 watt, kabel, tas, strap, dan tuner gitar. Semua lengkap. Menurut Barra, mumpung Heksa masih muda ia harus banyak mengenali bakatnya sejak dini. Siapa tahu di kemudian hari itu akan berguna. Setelah selesai mengisi formulir pendaftaran, Barra melirik Al dan Rere yang juga sudah diawasi oleh Heksa. "Mama, nana?" Rere menyadari tak ada Killa di sampingnya. Ia mencari-cari keberadaan sang mama. "Papah! Mama, manah!?" "Ssstt..." Barra mengalihkan perhatian Rere. "Mama, lagi marah sama Rere." Rere tak paham maksud Barra. Ia terus saja memanggil nama sang mama seraya merengek. Bisa dipastikan sebentar lagi anak itu akan meraung nangis. "Rere, sih, nakal. Mama jadi marah sama Rere." "Mamah!" Rere pun menangis. Tadinya firasat Rere sudah tidak enak. Merasa ada yang hilang. Namun, ia baru menyadarinya sekarang ini. Kala rasa bosan terhadap mainan barunya mulai menjalar. Kerewelan Rere pun dimulai. Barra sudah menduga bahwa Rere akan menangis mencari Killa, seperti sekarang ini. Ia tadi sempat bernapas lega, Rere tidak langsung menangis saat memasuki toko alat musik itu. Untung saja Rere rewelnya saat sudah akan pulang. "Mamah! Mamah Yeye mana?!" Rere mulai histeris. "Rere lihat Papa," Barra menghadapkan Rere pada kedua manik matanya. "Rere nanti kalau ketemu Mama harus minta maaf dulu, ya. Mama sedih gara-gara Rere." °°°°°°°°°° Barra lupa kapan terakhir kali ia merasa terbakar seperti sekarang ini. Dengan kedua bola matanya, Barra melihat sendiri Killa bersama dengan seorang laki-laki seumuran dengannya. Dan Killa sedang menggendong anak kecil. Tentu saja bola mata Barra langsung berapi-api. Ia melewati Killa dengan menginjak pedal gas lebih kencang. Rere yang melihat Killa dari kaca jendela pun mulai meneriaki mamanya itu. Yang bersikap biasa saja hanya Heksa dan Al. Heksa pulang membawa gitar klasik, sedangkan Al membawa piano mainannya dan punya Rere juga. "Mamah!" Rere langsung memeluk Killa erat seakan tak bertemu satu abad lamanya. Ini memang baru kali pertamanya Barra mengajak anak-anak jalan-jalan tanpa Killa ikut serta. Barra langsung menutup pintu mobil dengan keras dan melenggang pergi, membuat Killa mengernyitkan keningnya bingung. "Papa kalian kenapa?" tanya Killa tak mengerti. Seharusnya, Killa yang masih marah sekarang ini, bukan Barra. "Yeye minta maap. Yeye akal ngeyusak kalung Mammah!" seru Rere sungguh-sungguh sesuai apa yang Barra perintahkan tadi saat di mobil. "Mamah angan mayah sama Yeye." "Mama nggak marah kok," Killa mengusap kepala Rere lalu mengajak anak-anaknya untuk masuk ke dalam rumah. Yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Dari tadi Killa mencoba meredamkan amarahnya sendiri. Lagi pula apa yang akan didapat, jika Killa terus mendiamkan Rere? Kalungnya tak akan pernah utuh lagi. Kalung itu memang harta berharga yang Killa punya, tapi Barra, Al, Rere, dan Heksa lebih berarti dalam hidupnya. Killa ingin langsung berbicara empat mata dengan Barra. Namun, Rere yang menjadi kendala. Ia harus menidurkan Al dan Rere lebih dulu. Sudah waktunya jam tidur siang si kembar. Barra sendiri lebih memilih mengurung diri di dalam ruang kerjanya. Setengah jam kemudian, Killa baru bisa meninggalkan si kembar karena sudah tertidur dengan tenang. Killa sempat mengobrol secara sekilas dengan Heksa tadi, anak pertamanya itu mengatakan akan mengikuti sekolah musik mulai minggu depan. "Barra..." Killa menutup kembali pintu ruang kerja Barra. Suaminya itu tak menoleh sedikit pun. Tetap menghadap layar monitor di hadapannya. "Kenapa, sih, kok pulang-pulang marah? Anak-anak rewel, ya, selama nggak ada aku?" Barra tetap diam. "Barra, kenapa sih?" tanya Killa sedikit lebih menuntut. "Ada yang salah sama aku? Apa?" "Kamu masih tanya?" Killa mengangkat sebelah alisnya. Tak paham. "Aku di luaran sana sibuk ngurusin anak kita, sedangkan kamu di sini malah gendong anak tetangga? Iya?!" Barra naik pitam. Killa menggelengkan kepalanya pelan, mengikuti langkah kaki Barra yang mondar-mandir. "Nggak gitu, Barr. Lena tadi tuh nangis terus. Eh, dia diem pas aku gendong." "Lena?" Barra menyeringai tak biasa. "Kamu bahkan tahu nama anak itu." "Dia itu tetangga kita, Barr. Tadi sempet kenalan sebentar..." "Kamu kenalan sama bapaknya anak itu juga?" "Kenapa enggak? Kan, aku udah bilang kalau dia itu tetangga kita, Barr. Rumahnya dua rumah ke kanan dari sini." "Stop it!" "Aku harus jelasin..." Killa menahan lengan Barra. "Kamu cemburu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD