•Perpindahan•

2150 Words
"Usaha berbanding lurus dengan gaya dan perpindahan." -Barrabas Mahesa- °°°°°°°°°° Kadang, kita tak menyadari perubahan yang ada di dalam diri ini. Penilaian dari kacamata orang lain lah yang menjadi tolok ukurnya, seperti yang terjadi dalam diri Al dan Rere. Si kembar itu kini sudah bisa mengucapkan kalimat yang sedikit lebih panjang seiring bertambahnya usia mereka. "Re!" Al berteriak tak terima. Ia mencengkeram tangan Rere yang tengah mengacak tatanan bongkar pasang robot-robotannya itu. "Mama, Rere nakal!" Rere sendiri hanya nyengir, kembali merusak mainan milik Al. "Al, Rere, jangan bertengkar." Killa masih sibuk membenahi barang-barang mereka. Nanti malam mereka akan pindah ke rumah baru. Sebagian perabotan rumah yang berat-berat sudah diangkut tadi pagi mulai dari kulkas, mesin cuci, televisi, lemari pakaian Barra-Killa, Heksa, Al, dan Rere. Juga meje belajar Al, buffet, AC, ranjang, dan masih banyak lagi. Sekarang, kondisi rumah Killa kosong. Hanya tinggal beberapa pakaian, mainan Al dan Rere. Tidak banyak yang harus dibawa nantinya. Kata Barra, semua keperluan di rumah baru mereka sudah ada yang mengatur. Ya, Barra selalu mengusahakan yang terbaik untuk keluarga kecilnya. Setelah melihat rumah baru itu beberapa minggu yang lalu, Killa semakin senang. Dan tidak sabar untuk segera menempati rumah baru itu. "Kak?" Killa berjalan menghampiri anak-anaknya. Di sana sudah ada Heksa. "Udah pulang? Tumben." "Iya, Ma. Gurunya rapat," Heksa salim pada Killa. "Tadi, Heksa sama Bu Yuli suruh ngasih salam perpisahan." Killa tersenyum, tangannya mengusap bahu Heksa. "Papa kamu yang ngurus perpindahan sekolah kamu. Kita sebentar lagi akan pindah, ya." Heksa menganggukkan kepalanya. "Kamu nggak apa 'kan pindah sekolah juga?" "Nggak apa, Ma..." Ya, selain menyetujuinya Heksa bisa apa? Ia tidak bisa apa-apa. Heksa menghentikan pertengkaran yang terjadi pada adik-adiknya. "Dari tadi Al sama Rere kok bertengkar terus?" Baru saja Heksa masuk ke dalam rumah, mengucapkan salam. Dan hidangan pertama yang tersaji adalah pertengkaran Al dan Rere. Kedua adiknya itu sedang berebut mainan. Rere menginginkan robot-robotan milik Al, sedangkan Al sendiri tidak mau barangnya disentuh oleh Rere. Adiknya itu si pengacau dan pengrusak. "Hua!" akhirnya Rere menangis histeris kala mainan milik Al berhasil diambil kembali oleh kakaknya. "Jangan bertengkar. Kak Heksa nggak suka, ah." Heksa menjadi penengah. Killa menghela napas. Membawa Rere dalam gendongannya. Anak perempuannya itu masih berusaha meraih-raih mainan milik kakaknya. "Rere biasanya 'kan main Barbie. Kenapa sekarang minta robot?" "Yobot! Yeye mau ntuh!" Rere lagi-lagi menunjuk robot-robotan Al yang langsung disembunyikan oleh kakaknya. Tak mau Rere membongkar pasang mainannya lagi. "Rere nggak boleh nakal, ya." Killa mendiamkan Rere. Mengalihkan perhatian dengan memberinya boneka Barbie dengan dua wajah yang berbeda. Biasanya, Rere akan suka dengan bonekanya itu. Heksa yang melihat Rere masih menangis, menginginkan mainan robot-robotan ia pun berinisiatif memberikan punyanya. Ia juga mempunyai robot yang seperti milik Al. Namun, dengan ukuran yang lebih besar. Rere menggelengkan kepalanya dengan tegas, masih menunjuk milik Al. "Ntuh! Yeye minta ntuh!" "Ini sama kayak punya Kak Al. Sama aja," kata Heksa kembali merayu adiknya itu. "Yeye mauh ntuh!" "Al, pinjemin dulu robotnya ke Dek Rere." Pinta Killa. "Gak!" tolak Al sambil mencibir. Al tahu, mamanya itu selalu berada di pihak Rere. Ia yang selalu disuruh mengalah. "Al..." nada suara Killa terdengar begitu memerintah. Ia kesal menghadapi dua buah hatinya itu yang selalu bertengkar akhir-akhir ini. Mempertengkarkan hal-hal kecil. Heksa mendekat pada Al. "Pinjemin robotnya dulu, ya." Kakaknya itu berbisik pelan di telinga Al yang langsung dihadiahi sebuah gelengan keras. "Nanti Mama marah." Al mendongakkan kepalanya, melihat bola mata Killa berapi-api. Rere begitu mengesalkan berada dalam gendongan mamanya. "Al main robot-robotan punyanya Kak Heksa aja. Lebih besar. Lebih bagusan ini," kata Heksa mencoba merayu adiknya. "Nih, lihat." Al mengerucutkan bibirnya lalu mengusap robot miliknya sekilas. Ia berdiri, memberikannya pada Rere. "Nih, jangan nangis lagi." Meskipun dengan kesal, Killa tahu Al sayang dengan Rere. Al berbalik dan menerima robot dari Heksa. "Kak Heksa ganti baju dulu, ya. Nanti kita main lagi." Killa menurunkan Rere dari gendongannya, anak itu sudah berhenti menangis. Ia mendekatkan diri pada sang kakak. "Rere... nggak boleh nakal." Killa memperingatkan lagi. Al sudah mulai asyik bermain dengan dunianya sendiri, sedangkan Rere selalu hadir sebagai pengecoh. "Yeye mauh tukey... obot ini..." Killa mendengus, sepertinya perebutan robot-robotan itu tidak akan pernah berakhir untuk sekarang ini. °°°°°°°°°° "Kenapa minta beliin robot-robotan banyak banget? Bukannya Heksa sama Al mainannya udah banyak?" Barra bertanya heran kala menginjakkan kakinya ke dalam rumah. Sebelum pulang tadi, Killa meminta Barra untuk membelikan banyak robot-robatan baru. Dan itu membuat Barra heran. Untuk apa? "Lihat nih anak kamu seharian ini bertengkar masalah robot." Killa menyerahkan Rere pada Barra. "Uh, anak Papa matanya sembap," Barra mengusap kelopak mata Rere. "Kenapa nangis?" "Yobot..." ucap Rere lirih. "Kak Al ndak mauh kasih Yeye yobotna..." "Rere 'kan biasanya mainan boneka. Kenapa sekarang minta robot?" Rere hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, tak mau bermain dengan boneka Barbie-nya. "Bosen kali dia, tuh." Killa membereskan mainan anak-anaknya yang berserakan di lantai. Memasukkannya ke dalam kardus dibantu Heksa. Barra mengusap-usap punggung Rere. Dari ketiga anak-anak mereka, yang paling manja pada Barra adalah Rere. Ia seperti permen karet yang langsung menempel, jika ada Barra di hadapannya. Seperti sekarang ini. Rere tidak mau jauh dari Barra. "Rere, sini sama Mama dulu. Papa mau mandi." "Nda mauh!" Rere malah semakin asyik dengan robot-robotan miliknya di pangkuan Barra. "Rere..." Barra menciumi leher putrinya itu. "Papa mau mandi dulu, ya. Papa bau baru pulang kerja." Rere menghentikan jemari tangannya sebentar, menoleh pada Barra. "Papah nda boyeh mandiih..." "Kenapa ndak boyeh?" Barra mengkuti gaya bicara Rere. Rere hanya mengedikkan bahunya. Tak tahu harus memberi alasan apa. Yang ia mau, Barra selalu ada di sampingnya. Makanya, saat berangkat kerja Barra langsung melajukan mobilnya dengan cepat sebelum Rere menyadari ketidak hadiran papanya itu. "Rere mau ke rumah baru nggak?" Rere tak menghiraukannya. "Di sana ada banyak ikan hias." "Iykan?" Rere mulai tertarik. "Iya, Rere mau lihat ikan banyak nggak?" "Mauh!" "Makanya, Papa mandi dulu." "Ndak mauh." Barra mendesah. Bagaimana caranya membujuk Rere? "Mamah, Yeye pen liyat iykan banyak..." "Makanya, biarin Papamu mandi dulu." "Ndak mauh. Nti Papa yama ndak balik agi. Yeye ditinggal teyus." Barra mengacak pelan rambut Rere yang baru tumbuh sedikit. "Nggak bakal lama. Cuma sebentar." "Ndak mauh!" Barra memutar bola matanya, mencari cara. Memeras pikirannya. "Rere hitung sampai sepuluh, ya. Nanti kalau udah sampai sepuluh, Papa pasti bakalan udah selesai mandinya." Killa dan Heksa yang tahu trik Barra itu hanya bisa menahan tawa di kedua pipi mereka. "Ya? Setuju?" Rere memerhatikan kesepuluh jarinya lalu menganggukkan kepalanya. Barra pun mendudukkan Rere di samping Killa. Putri kecilnya itu mulai berhitung. "Atu... uwa... iga..." Tangan mungil Rere ia mainkan sendiri seraya mulutnya tak berhenti mengoceh. Ia tidak sadar saja. Apa yang dikatakannya itu hanya itu-itu saja. Diulang-ulang terus, tanpa henti. Killa beranjak dari tempatnya setelah selesai membereskan mainan milik anak-anaknya yang jumlahnya lebih banyak dari yang ia perkirakan. Ada tiga kardus berukuran besar dan dua kardus berukuran sedang berisi hanya mainan milik Heksa, Al, dan Rere. Paling banyak boneka milik Rere beserta baju dan alat rias untuk Barbie-nya. "Ma..." Rere mulai merengek. Capek sendiri berhitung tak ada hentinya. "Pah, na?" Papa, mana? Killa tersenyum ke arah Rere. Lalu memberinya mainan puzzle. "Papa masih mandi. Rere main ini dulu, ya." Rere menggelengkan kepalanya, membuang puzzle itu ke samping lalu berdiri. Berlari kecil menuju kamar orang tuanya seraya memanggil "papa" tanpa henti. Killa mengikuti Rere dari arah belakang dengan langkah pelan. "Papa masih mandi, Sayang." "Pa! Pa! Pa!" "Rere 'kan berhitungnya belum sampai sepuluh. Jadi, Papa belum selesai mandi." Rere cemberut. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kembali terfokus pada sepuluh jari tangannya. "Atu... uwa... iga... atu... awu... iga... atu..." ia lalu mendongakkan kepalanya, menatap sang mama dengan jemari tangan yang siap berhitung lagi. "Habis tiga berapa?" "Atu?" "Em..." Killa memancing Rere untuk melanjutkan ucapannya. "Em... pat..." "Pat, Ma... Ga..." "Duh, salah semua." Killa tertawa lalu menggendong Rere dengan gemas. Membuka knop pintu kamarnya, saat itu Barra ternyata telah selesai membersihkan tubuhnya. Suaminya itu terlihat lebih segar dan bersemangat. Barra hanya mengenakan pakaian santai di malam hari ini. "Pap! Papah!" Barra ganti menggendong Rere. Putri kecilnya itu bergelayut manja pada leher Barra. "Rere udah selesai ngitungnya sampai sepuluh?" Rere merentangkan jemari tangannya. "Dah! Atu... uwa... iga... atu... uwa... iga... ma... pan... juh... atu..." Barra tertawa melihat tingkah menggemaskan Rere lalu memeluknya lebih erat lagi. Dulu, Barra tidak suka aroma bayi. Rasanya aneh saja saat hidungnya mengendus aroma minyak telon bercampur baby powder, biasanya Barra menghirup aroma alkohol yang menguar kental. Kini, aroma baby oil Switzal yang rutin ia hirup. Minyak telon khas milik si kembar yang menjadi parfum di tubuh Barra karena Rere sering menempel padanya. Barra sepenuhnya menjadi seorang papa bagi anak-anaknya. "Kita makan malam di luar aja, ya." Barra mengangguk. Lalu mereka semua mulai bersiap-siap akan pindah rumah. Semua sudah disiapkan. Tinggal kepindahan pemiliknya saja yang belum terlaksana. °°°°°°°°°° Mereka baru saja makan malam di restoran dengan segala kehebohannya. Bagaimana tidak heboh? Tadi, saat Killa akan menikmati pesanan makananya, Rere dengan tanpa bersalahnya meraih jus jeruk di samping piring mamanya lalu menuangkannya ke makanan Killa. Mulut Killa sudah terbuka, akan mengomel. Namun, segera Barra tahan. Rere itu berbeda dari Al. Jika Al sangat penurut, maka Rere itu kebalikannya. Ia begitu membangkang apa yang dikatakan padanya. Barra tak mau malu dengan membuat ribut di sana. Jadilah ia yang memangku Rere, mendiamkan putri kecilnya itu dalam lengan kekarnya. Dalam bawah pengaruh Barra, Rere baru bisa diam tak berkutik. Dan sekarang mereka semua sudah kembali berada dalam mobil, menuju rumah baru. Al sudah tertidur di pangkuan Heksa karena kelelahan. Al dan Rere dipisahkan tempat duduknya karena dua pasang itu pastinya akan adu cekcok lagi, jika disatukan. Rere sendiri masih terjaga. Hanya saja ia sudah diam seribu bahasa, tak banyak tingkah lagi karena tengah menyusu pada sang mama. Sebenarnya, meredakan kerewelan Rere itu mudah sama saat Killa mengatasi Barra. Diberi ASI, Rere langsung lupa apa yang ia minta. Sama seperti Barra, 'kan? Mobil Barra berhenti di lampu merah berjejer dengan mobil-mobil lainnya yang memang patuh terhadap rambu-rambu lalu lintas. Heksa menoleh ke samping jendela, di sana ada beberapa anak seumuran dengannya tengah mengamen. Heksa memerhatikannya dengan saksama. Lalu saat satu di antara mereka mengetuk kaca jendela mobil tepat di bagian Heksa bersandar, Barra memberinya lima puluh ribuan untuk diberikan pada pengamen itu. "Kasih, Kak." Barra kadang memanggil Heksa dengan sebutan Kakak untuk membiasakan Al dan Rere mengatakan itu, perintah dari Killa. Berbanding terbalik dengan Killa yang sampai saat ini masih memanggil Barra dengan sebutan namanya langsung, padahal Vei sudah menasihatinya. Kata Killa, susah merubah pelafalannya. Selama bertahun-tahun Killa terbiasa memanggil Barra, ya, Barra. Tanpa ada embel-embel apa pun di depannya. Heksa memberikan uang itu setelah si pengamen menyanyikan sebait lirik lagunya. Lalu Heksa kembali menutup kaca jendela mobil yang ia tumpangi. "Pa, Heksa pengin kayak anak itu. "Hah?" Killa menoleh pada Heksa dengan bola mata yang melebar sempurna. "Kamu pengin ngamen kayak dia?!" Heksa menelan salivanya. Bukan itu yang ia maksudkan. Baru kali ini Killa membentaknya. Benar-benar membentak, tak ada nada lembut yang selalu ia lontarkan pada Heksa. Barra mengusap lengan Killa untuk menenanngkan istrinya itu. "Heksa... kamu kenapa?" tanya Barra akhirnya. "Emh..." Heksa menimbang. Sudah lama ia ingin mengatakannya pada Barra dan Killa. Namun, ia tak punya keberanian lebih untuk itu. Kedua orang tua angkatnya itu terlalu baik padanya. "Kamu nggak senang tinggal sama Papa-Mama? Kenapa kamu berpikiran pengin mengamen seperti anak itu?" nada suara Barra lebih lembut dari biasanya. Oh, Heksa baru sadar ada kesalahpahaman yang terjadi. Pa, Heksa pengin kayak anak itu. Bisa main gitar. Ya, seharusnya Heksa memperjelas kalimatnya agar tidak ambigu. Dari tadi penglihatan Heksa tak pernah terlepas dari gitar milik si pengamen tadi. Bukan berarti, Heksa ingin mengamen seperti anak tadi. Heksa hanya ingin gitarnya. "Heksa pengin... gitarnya tadi. Bukan..." Heksa menunduk tak berani melanjutkan ucapannya. Dada Killa merosot turun, seketika merasa bersalah. Ia menatap kearah Barra. Meminta maaf. Barra berdeham. "Besok hari Minggu kamu nggak ada acara, 'kan?" Heksa hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban tidak. Barra kembali melajukan mobil saat lampu lalu lintas itu sudah berubah menjadi hijau kembali. "Kita beli gitarnya besok. Oke?" Heksa mengangguk seraya menyunggingkan senyumnya. Senyum yang sekaligus bisa memperlihatkan dua lesung pipitnya itu. Hari sudah larut malam saat Barra dan Killa tiba di rumah baru mereka. Setelah menidurkan Al dan Rere di dalam, Barra dan Killa sibuk membawa masuk barang-barang yang ada di dalam kardus ke dalam rumah mereka. Merasa tak enak karena hanya memandang dan tak melakukan sesuatu, Heksa pun mulai membantu membawa barang-barang yang sekiranya tidak terlalu berat untuknya. Killa menahan tangan Heksa yang akan membawa tas kecil berisi perlengkapan mandi Al dan Rere masuk ke dalam rumah. "Maafin Mama, ya, tadi udah bentak kamu." Heksa hanya bisa menganggukkan kepalanya. Bagi Killa, keterdiaman Heksa malah semakin membuatnya takut. Takut, jika Heksa malah jadi pemberontak secara diam-diam. "Kamu marah sama Mama?" Heksa menggerakkan kepalanya menyerupai sebuah gelengan. Merasa Heksa tak banyak merespons dirinya, Killa pun memeluknya. "Mama sayang kamu. Mama pikir... kamu tadi mau pergi ninggalin Mama," banyak sekali pikiran-pikiran negatif yang bergelayutan di benak Killa. "Jangan pernah tinggalin Mama, ya. Kamu anak Mama. Selamanya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD