"Mimpi-mimpi kita masih berupa wacana semata, belum terealisasikan dengan sempurna."
-Akilla Ainina Gardiawan-
°°°°°°°°°°°
"Barra, udah, ya..."
"No... aku belum puas."
Killa menghela napas pasrah. Barra selalu saja lebih dominan. Berawal dari Killa yang tidak bisa tidur, membuatnya terjebak dengan nafsu gila Barra. Setelah beberapa malam ini terjaga menemani Rere yang sering rewel di malam hari, kini Killa terbiasa tidak tidur malam. Mungkin, hanya satu sampai tiga jam saja Killa bisa terlelap, selebihnya ia terjaga sepenuhnya. Tadinya, Killa hanya mengusap-usap lengan Barra. Hanya sekadar mengusap, tidak bermaksud lebih karena ia memang tidak bisa tidur dan tahu Barra kelelahan.
Namun, itu salah Killa. Karena usapan-usapan lembut itu lah yang membuat Barra bangun dan meminta haknya.
Terhitung sudah dua jam pergumulan panas mereka terjadi dengan berbagai gaya, sesuai fantasi liar Barrabas Mahesa. Meskipun, umurnya sudah tidak muda lagi, Barra tetap lah Barra yang penuh dengan nafsunya yang berapi-api.
"Hah... hah... hah..." Killa mencoba menetralkan napasnya yang terengah, melirik ke arah box bayi. Takut-takut kegiatan panas mereka mengganggu buah hatinya. "Kamu minum obat kuat, ya, Barr?"
Barra menyeringai lalu terkekeh. "Nggak perlu. Nantinya kamu malah kewalahan."
Ah, Killa tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Barra mengkonsumsi obat yang seperti itu. Tanpa obat itu saja Barra sudah sangat full energinya luar dan dalam.
"Apa? Ngebayangin aku minum obat kuat? Iya?" tebak Barra.
"Apaan, sih." Killa menenggelamkan kepalanya pada d**a bidang Barra. Mengakhiri sesi percintaan mereka.
"Again?"
"Udah, ah. Mau tidur. Capek."
Barra membiarkan Killa tertidur dengan lengan kirinya sebagai bantal. Ia juga mengusap rambut Killa lalu beralih pada kening perempuan itu, mengecupnya dengan lembut dan hangat.
Killa membuka kelopak matanya sebentar. "Tumben Al sama Rere malam ini nggak rewel?"
Biasanya, kalau bukan Al yang haus minta ASI, gantian Rere yang berlaku seperti itu. Di malam-malam sebelumnya, sulit bagi Killa mendapatkan banyak waktu untuk tidur. Ada susah dan senangnya mempunyai dua anak kembar. Susahnya karena membesarkannya dalam waktu bersamaan, juga membagi perhatian dan kasih sayang orang tua supaya berlaku adil itu tidak semudah yang ia kira. Sementara sisi senangnya adalah kebahagiaannya terbayar lunas kala melihat si kembar tumbuh sehat seakan hidupnya bisa lebih bermakna lagi.
"Al sama Rere lagi ngasih waktu buat kita berdua."
Killa mengarahkan jari telunjuknya pada bibir Barra, sebelum suaminya itu berbicara panjang kali lebar lagi. Ia hanya ingin tidur dengan tenang.
°°°°°°°°°°
Barra memijit pelipisnya sebentar. Masalah klien yang komplain akan produk perusahaan Mahesa Group.
Mahesa Group baru saja mengeluarkan produk terbaru dalam brand pakaian. Hoodie untuk laki-laki dan perempuan.
"Batalin aja kontraknya. Nggak usah ambil pusing." Putus Barra kemudian.
"Tapi, Barr..." Xabiru menahan tangan Barra yang akan menutup dokumen di tangannya itu. "Kalau kita batalin kontraknya, perusahaan kita yang rugi."
"Ter-se-rah." Ucap Barra tidak peduli. Ia mengedikkan kedua bahunya seraya memutar kursi kerjanya. "Toh, perusahaan kita nggak bakalan bangkrut hanya karena gue batalin kontrak sama tuh klien."
"Lo bisa bicarain baik-baik sama dia, Barr."
"Lo 'kan yang udah ngomong dari hati ke kati sama klien itu?" Barra memutar bola matanya malas.
"Dia maunya ngomong berdua sama elo, Barr."
"Gue tahu, niat dia itu bukan jadi klien gue. Kentara banget mau ngegoda gue," Barra terlalu percaya diri. Xabiru menahan kekehannya. "Inget, ya. Kehidupan rumah tangga gue udah cukup bahagia, bahkan sangat bahagia. Jadi, kalau ada yang kayak gitu lagi... yang cari masalah sama gue, mending langsung dimusnahin aja."
Xabiru menghela napas pasrah. Mengambil dokumen dari tangan Barra dan akan membatalkan kontrak perusahaan sesuai yang diperintahkan oleh atasannya itu.
"Setelah ini, nggak ada meeting lagi 'kan?"
"Yap, urusan sama klien juga udah kelar semua." Xabiru beranjak berdiri. "Oh, ya... gue lihat rumah lo udah mau jadi. Tinggal ngecat aja, kayaknya."
"Oh, ya?" Barra melirik kalender. Ya, sesuai perkiraannya. Rumah itu akan selesai dibangun akhir bulan ini. "Nanti deh gue cek ke sana. Udah lama juga nggak lihat perkembangan rumah gue."
"Kita nantinya jadi tetangga, dong?" akhir katanya di akhiri dengan tawa oleh Xabiru.
"Ya, bisa jadi. Selama lo juga masih menetap di sana."
"Mau tinggal di mana lagi gue, selain di sana? Itu aja rumah masih nyicil."
Barra membeli tanah di daerah yang sama dengan tempat tinggal Xabiru. Ia mendapatkan info itu juga dari Xabiru, jikalau ada tanah kosong yang siap dijadikan lahan perumahan. Xabiru sendiri sudah tinggal di sana sejak anak keduanya lahir. Karena tinggal di apartemen itu bukan pilihan terbaik. Anak-anak akan nyaman tinggal di sebuah rumah dengan berbagai fasilitasnya, terutama fasilitas taman bermain dan teman-teman sebaya di sekitar rumah mereka.
"Gue cabut dulu." Xabiru pamit. Ia keluar dari ruang kerja Barra.
Laki-laki itu sendiri langsung membereskan barang-barangnya, bersiap akan pulang ke rumah. Barra mengirimkan sebuah pesan pada Killa yang berisikan ia pulang kerja lebih awal dari biasanya.
Nyonya Rumah
Lho, tumben? Aku belum masak buat makan malam.
Mr. BarBar
Nggak apa. Kita makan di luar aja, sekalian aku mau ajak kamu ke... suatu tempat.
Nyonya Rumah
Ke mana? Ngajak anak-anak juga? Nggak usah, ah.
Belum juga Barra memberitahukan mau mengajak pergi ke mana, Killa sudah menolaknya terlebih dahulu.
Mr. BarBar
Iya, ngajak anak-anak. Ke tempat yang bikin kamu seneng nantinya.
Nyonya Rumah
Ke Pulau Nawangi?
Mr. BarBar
Bukan...
Seingat Killa, hanya Pulau Nawangi lah tempat terindah yang bisa membuatnya berbunga-bunga. Setiap kali Barra mengajaknya ke sana, ia seperti menjadi ratu di sebuah kerajaan terpencil. Di mana rakyatnya hanya ada anak-anaknya saja dan Raja serta Ratunya adalah Barra dan dirinya.
Mr. BarBar
Nggak usah protes.
Nyonya Rumah
Sedang mengetik...
Killa tetap akan mengetikkan balasan pesannya.
Mr. BarBar
Kamu sama anak-anak siap-siap aja. Aku bentar lagi sampai. Nurut sama suami, Killa.
Kalimat terakhir itu yang membuat Killa mengurungkan niatnya untuk membalas pesan dari Barra dengan sebuah kalimat protesan tajam. Ia menghapus balasan pesan yang sudah ia ketik lalu mengganti dengan satu huruf penuh makna.
Nyonya Rumah
Y
°°°°°°°°°°
"Barr, tolong ambilin sepatunya Rere."
"Yang mana?" Barra mengangkat dua pasang sepatu Rere. "Yang putih atau yang pink?"
"Putih aja biar sama kayak Al," kata Killa sembari menyisir rambut Rere lalu mengecup pipinya. "Ah, anak Mama udah cantik."
"Pah... dong!" Rere merentangkan tangannya pada sang papa. Si kecil itu hanya bisa mengucapkan sedikit kosa kata.
"Kebiasaan banget kalau sama Papanya minta gendong," gerutu Killa. "Bentar, pakai sepatu dulu."
Setelah itu, Rere sudah berada dalam gendongan Barra. Killa menghampiri Al yang berada di lantai. Anak laki-lakinya itu sudah siap. Memakai kaus warna cokelat dan celana jeans bayi, juga sepatu berwarna putih mirip milik Rere.
Barra dan Killa memang sengaja membelikan mereka pakaian, sepatu, stroller bayi, dan hal-hal lain yang serupa agar berlaku adil. Selain dalam hal mainan. Karena boneka milik Rere macamnya ada lebih banyak, daripada mainan milik Al.
"Heksa, kamu udah siap belum?" teriak Killa dari luar kamar.
"Bentar lagi, Ma..." jawab Heksa dari dalam kamarnya.
Lima belas menit kemudian, mereka semua sudah ada di dalam mobil menuju suatu tempat yang masih Barra rahasiakan. Heksa pun beberapa kali bertanya mau dibawa ke mana mereka, tapi Barra hanya tersenyum simpul lewat kaca yang Heksa lihat.
Mobil Barra pun memasuki kawasan perumahan elit, Killa seketika langsung tersenyum senang tahu mereka ada di mana sekarang.
Mereka ada di kawasan rumah baru mereka.
"Tara!" Barra membukakan pintu untuk Killa kala mobilnya sudah berhenti dan terparkir sempurna di halaman rumah baru mereka. Walaupun dalam keadaan malam hari, tapi kemegahan rumah mereka bisa dilihat dengan jelas. Meskipun ada beberapa bagian di rumah itu yang masih belum terbangun sempurna, tidak mengurangi keindahannya.
"Rumah siapa, Pa?" tanya Heksa memandang heran ke arah rumah baru mereka.
"Rumah kita, Sayang." Barra mengusap puncak kepala Heksa. "Yuk, masuk." Lalu ia menggandeng Rere diikuti Killa, Heksa, dan Al di belakangnya.
Para petugas yang membangun rumah itu sudah pulang, menyisakan alat-alat bangunan yang berserakan di sana. "Al, hati-hati kakinya." Killa memperingatkan. "Heksa, kamu jaga Adekmu. Jangan sampai lari-lari jauh dari sini."
Heksa mengangguk. Lebih memilih mengajak Al hanya masuk di bagian depan rumah mereka. Laki-laki berusia delapan tahun itu memandang kosong rumah mereka. Pikirannya terlampau pada masa itu. Masa di mana ia juga seusia Al, sebelum keluarga kandungnya hancur dan menemukan keluarga lain, yaitu Killa.
Heksa mengusap bagian bawah matanya. Rasa rindu itu ada, setiap hari. Setiap waktu. Hampir setiap saat di kala ia sedang sendiri atau berdiam diri. Ia membawa Al dalam pelukannya saat adiknya itu akan menaiki tangga. "Al di sini aja sama Kakak."
Al menunjuk ke atas, penasaran.
Killa sendiri tidak menyangka bahwa rumah yang dimaksudkan Barra bisa seluas ini. Ada beberapa ruang yang tersedia, itu baru ada di lantai bawah. Yang niatnya mau dijadikan ruang tamu oleh Barra.
"Nanti... kamarnya anak-anak ada di atas," jelas Barra. "Cuma kamar kita aja yang ada di bawah. Eh, Al sama Rere juga masih di bawah dulu tidurnya, selama umur mereka masih di bawah tujuh tahun."
Rere berlari-lari kecil memasuki ruang kosong di sana, senang dengan suasana baru yang ada.
"Mama, Al nakal." Ucap Heksa membawa Al pada kedua orang tuanya. "Al minta ke atas."
"Sini Al sama Mama," Killa menggendong Al lalu bersama Barra dan Rere menaiki tangga menuju lantai dua. "Al jangan nakal, ya."
"Ma..." ucap Heksa pelan, di sebelah Killa. "Nanti kita pindah ke sini?"
"Iya. Kamu seneng nggak?" karena niat Killa dari awal adalah untuk mempermudah jalur sekolah Heksa dan punya banyak teman sebaya di sana. Karena kompleks perumahan mereka ini ramai penduduk.
"Nanti Heksa juga pindah sekolahnya?"
"Iya..." Killa meneliti raut wajah Heksa. "Kamu nggak seneng, ya?"
Heksa memaksakan senyumnya. "Seneng kok, Ma. Cuma... harus kenalan sama temen baru lagi nantinya."
Beradaptasi lagi.
Itu yang ada di pikiran Heksa. Dua tahun tinggal bersama Barra dan Killa, Heksa baru bisa menyusuaikan diri beserta lingkungan pergaulan dan di lingkungan sekolahnya. Lalu sekarang ia harus beradaptasi lagi nantinya di lingkungan yang baru untuk ke sekian kalinya. Ia menghela napas, mengikuti Barra dan Killa yang sudah selesai melihat-lihat ruang di lantai dua.
Barra menjelaskan wacana-wacana, rencana yang akan ia lakukan pada setiap ruang yang ada di sana. Suami Killa itu layaknya arsitek yang tengah mendesain rumah impiannya. Kata Barra, ada kolam renang di bagian belakang rumah mereka.
"Nanti... taman atau tempat bermain Al sama Rere bisa pilih mau ada di bagian depan rumah atau di sini aja kali, ya." Barra menggaruk kepalanya. Sadar, ia banyak bicara malam ini.
Killa mengamit lengan Barra, kedua orang tua itu mulai terlihat lebih intim interaksinya, Heksa memilih keluar dari ruangan itu. Membawa serta Al dan Rere ke depan rumah mereka. Sepenglihatan Heksa, tetangga mereka cukup banyak. Ramai. Tidak seperti di rumah yang di tempatinya saat ini yang tetangga serba tertutup, individualisme.
Beberapa tetangga mereka lalu lalang.
Killa mengecup pipi Barra setelah Heksa, Al, dan Rere tidak ada di sana. "Makasih, ya."
"Ini juga buat kita semua, bukan buat kamu aja." Barra menarik pelan hidung Killa.
"Tetep aja... 'kan aku duluan yang minta pindah rumah."
"Iya," Barra ganti mengecup puncak kepala Killa lalu memeluknya lebih erat lagi. "Aku akan lakuin apa pun buat kamu. Buat kamu bahagia selalu."
"Aku, sebagai istri kamu nggak bisa kasih apa-apa," Killa menenggelamkan kepalanya pada d**a bidang Barra. "Selalu nyusahin kamu minta ini-itu."
"Nggak masalah. Selama itu kamu yang minta akan aku turutin," Barra menangkup kedua sisi wajah Killa. "Lagipula, apa yang kamu kasih ke aku itu nggak sebanding dengan semua ini."
Killa menatap penuh binar kedua bola mata Barra yang bening dan terpancar pantulan akan dirinya. Di sana tertera sekali bagaimana cara Barra memandangnya penuh kasih.
"Kamu ngasih aku Al dan Rere, para malaikatku. Menjadikan aku sebagai Papanya Heksa. Awalnya aku nggak siap dan nggak mau... kamu buat aku mau. Kamu udah ngerubah aku, Killa."
"A-aku..."
"Jangan ucapin apa pun. Aku udah tahu," potong Barra lebih dulu. "Aku juga sayang kamu."