DIMAS POV
Aku mendekati Dewi yang sedang menangis. Aku berusaha menenangkannya tetapi dia menghindariku.
" Ngapain mas deketin aku?! Sana pergi!"
" Dewi, kenapa kamu seperti itu? Mas minta maaf jika membuatmu sedih"
" Aku ga suka mas berurusan dengan keluarga Laras! Mereka ga tau malu!"
" Dewi, jaga omonganmu! Selama ini aku banyak berhutang budi kepada kedua orang tua Laras. Selama ini mereka yang membiayai sekolahku hingga aku bisa lulus sarjana"
" Bela aja terus! Aku selalu salah di mata mas!"
" Mas minta maaf, mas terbawa emosi. Sebenarnya mas tidak mau menikahi Laras tetapi..."
" Tetapi apa mas?! Karena hutang budi?! Begitu kan maksudnya?!"
" Sudah! Sudah! Aku ga mau membahas soal ini! Aku ga mau kita bertengkar karena masalah ini"
" Mas yang mulai duluan! Aku ga rela di madu!"
" Sebaiknya kita bereskan barang - barang kita karena besok kita harus kembali ke Jakarta"
Sebagai seorang suami aku sangat bingung menghadapi Dewi yang emosinya tidak stabil. Aku berusaha menenangkannya sampai ia berpikir jernih.
" Mas, kamu jangan lagi berhubungan sama Laras. Aku ga suka sama dia"
" Iya sayang"
Tiba - tiba Dewi sakit kepala dan aaku mengambil minyak kayu untuk meredakan sakit yang di alami Dewi.
"Mas, kepalaku pusing banget"
" Sini mas usapkan minyak kayu putih supaya ga pusing"
" Aku mau istirahat"
" Ya sudah, mas mau siram tanaman di luar"
Saat aku ingin menyiram tanaman, tiba - tiba Laras datang dan menghampiriku.
" Laras, ngapain kamu kesini?"
" Laras mau bahas soal yang kemarin"
" Jangan sekarang, aku banyak kerjaan"
" Ayolah mas, sebentar aja. Kita ngobrol di rumahku aja"
Akhirnya aku mengikuti Laras ke rumahnya. Banyak warga yang melihat kami sambil berbisik.
" Lihat deh, si Laras ga tau malu! Masa gandeng tangan si Dimas yang suaminya orang!"
" Iya ya, kasian mbak Dewi kalau liat suaminya sama si Laras"
Aku langsung melepas tangan Laras dan ia terlihat kesal.
" Kenapa tangannya di lepas?"
" Kamu ga denger banyak warga yang mengejek kamu karena kita jalan berdua"
" Ga usah di dengerin mas. Biasa orang - orang disini pada iri sama Laras"
Tidak beberapa lama aku sampai di rumah Laras. Bapak dan ibunya menyambut kedatanganku dengan baik.
" Nak Dimas, silakan masuk. Tunggu sebentar ya, ibu buatkan wedang jahe"
" Terima kasih bu"
" Apa istrimu tau kamu kesini?"
" Istri saya sedang beristirahat"
" Sebenarnya bapak ingin melanjutkan pembicaraan yang kemarin. Laras bercerita jika ibumu ingin sekali kamu menikahi Laras. Tetapi jika itu terjadi, bagaimana dengan istrimu?"
" Mohon maaf, saya tidak bisa menikahi Laras meskipun ibu saya berwasiat kepada saya agar menikahi Laras"
" Mas ga bisa kayak gitu! Pernikahan harus tetap berjalan! Pokoknya aku mau mas menikahiku!"
" Laras, aku ga bisa menikahimu karena aku sangat mencintai istriku!"
" Apakah mas pernah berpikir jika istri mas mandul dan tidak bisa memberikan keturunan karena selama mas menikah dengannya, mas belum memiliki anak"
" Jaga ucapanmu! Aku tidak suka ada yang menghina istriku!"
" Maafkan perkataan Laras, nak Dimas. Bapak yang salah tidak mendidiknya dengan baik. Laras! Cepat minta maaf sama Dimas"
" Aku ga mau minta maaf!"
Laras berlari ke dalam kamar. Sedangkan ayahnya hanya bisa menunduk tanpa berani menatapku.
" Tidak apa - apa, pak. Saya memaafkan Laras"
" Terima kasih nak Dimas"
Aku berharap bisa segera kembali ke Jakarta dan menjauh dari Laras