05 - Rencana Williams - √

1524 Words
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Brian memutuskan untuk pulang ke rumah. Padahal tadinya Brian akan pergi untuk bertemu dengan teman-temannya, tapi niat itu ia urungkan karena moodnya yang sudah hancur. Tak sampai 15 menit kemudian, mobil yang Frank kendarai akhirnya sampai di kediaman kedua orang tuanya. Brian memasuki rumah dengan langkah gontai. Pauline menoleh begitu mendengar suara langkah kaki mendekat. "Brian, kamu kenapa?" Brian hanya menggeleng, lalu menaiki tangga menuju kamarnya, mengabaikan kedua orang tuanya yang kini menatap kepergiannya dengan raut wajah bingung. Sebenarnya yang memasang raut wajah bingung hanya Pauline, tidak dengan Williams yang memang sudah tahu apa penyebab raut wajah putranya itu berubah masam. Brian memasuki kamarnya, tak lupa untuk mengunci pintu kamarnya, mencegah siapa pun untuk memasuki kamarnya, terutama Victoria yang terkadang selalu saja mengganggunya. Brian menaruh tasnya di sofa, lalu melangkah menuju tempat tidur, menghempaskan tubuhnya yang terasa lelah juga letih di tempat tidurnya yang empuk dengan mata terpejam. Sejak tadi, pikiran Brian terus tertuju pada Brianna, Brianna, Brianna dan Brianna. Tak sedetikpun Brian tak memikirkan perempuan yang berhasil membuat perasaannya jungkir balik hanya dalam waktu sekejap. Brian meraih ponselnya, lalu mendial nomor orang yang akan membantunya dalam mencari tahu tentang Brianna. Brian bisa saja melalukannya sendiri, tapi otaknya sudah penuh dengan beban pekerjaan kantor, jadi akan lebih baik kalau ia meminta Dave mencari informasi tentang Brianna. Setelah hampir 15 menit berbincang dengan Dave, Brian memutuskan untuk pergi mandi dengan harapan semoga saja setelah ia selesai mandi, Dave sudah mengirimkan informasi tentang Brianna. Brian memutuskan untuk berendam, guna menghilangkan rasa penat yang ia rasakan. Brian merasa lega, karena begitu ia mengecek ponselnya, ia melihat sebuah pesan dari Dave. Isi dari pesan tersebut adalah info lengkap tentang Brianna Callista Addison, adik dari Duke, sahabatnya. Brain duduk di sofa, mulai membaca dengan seksama informasi yang baru saja ia dapatkan dari Dave. Entah Brian harus senang atau sedih saat tahu kalau ternyata Brianna sama sekali belum pernah berpacaran. Brian yakin kalau Duke pasti terlibat dalam hal ini, karena sebenarnya banyak sekali pria yang mencoba untuk mendekati Brianna tapi mereka selalu mundur, mengurungkan niatnya untuk mendekati Brianna. Jika Brian sibuk membaca info tentang Brianna, maka lain halnya dengan Williams dan juga Pauline yang kini sedang duduk berdampingan di sofa. "Mom." Pauline yang sedang menonton televisi lantas menoleh, menatap Williams dengan Kneing berkerut. "Apa?" tanyanya dengan nada yang sama sekali tidak bersahabat. Beberapa jam yang lalu, Williams membuat Pauiline kesal, jadi wajar saja kalau nada bicara Pauline sama sekali tidak bersahabat. Bukannya merasa bersalah karena sudah membuat Pauline kesal, Williams malah tertawa. "Masih marah, hm?" tanya Williams seraya mencolek gemas dagu istrinya. Mata Pauline melotot, menepis tangan Williams dari dagunya, tapi bukannya takut saat melihat Pauline memberinya tatapan tajam, Williams malah tertawa, membuat Pauline semakin kesal saja. "Ada apa?" Pauline kembali bertanya karena Williams yang malah tertawa dan belum menjawab pertanyaannya. "Bagaimana kalau kita jodohkan Brian dengan rekan bisnis Daddy?" Williams sontak mengaduh saat tangan kanan Pauline mendarat tepat di pipi kanannya. Astaga! Pauline baru saja menamparnya. Memang apa salahnya? Kenapa Pauline tiba-tiba saja menamparnya? "Mom, kenapa Daddy di tampar?" tanya Williams seraya mengusap pipinya yang terasa sakit mengingat kuatnya tamparan yang baru saja sang istri layangkan. Kekuatan Pauline memang tidak perlu di ragukan lagi, tapi kalian tenang saja. Jika mereka beradu kekuatan di atas ranjang, maka pemenangnya tetap Williams. Jadi kalian tidak perlu khawatir kalau Williams akan kalah oleh Pauline. "Maksud Daddy apa hah? Daddy pikir Brian enggak normal makanya mau di jodohin sama rekan bisnis Daddy, iya?" Pauline emosi, bahkan kini deru nafas Pauline mulai tak beraturan karena emosi yang kini sedang Pauline rasakan. Williams benar-benar keterlaluan, kenapa tega sekali pada Brian? Williamas mengerjap, mencoba mencerna ucapan Pauline dan Williams langsung mengumpat begitu ia sadar kalau ucapannya tadi ada yang salah. Pauline kembali menampar Williams dan untuk kedua kalinya Williams meringis, seraya mengusap wajahnya dengan pelan. Kini lengkap sudah penderitaannya, tadi pipi kanannya yang di tampar, sekarang pipi kirinya. "Kenapa di tampar lagi Mom?" tanya Williams dengan raut wajah memelas. "Makanya jangan mengumpat," sahut Pauline penuh emosi. Lagi-lagi Williams mengumpat, kali ini benar-benar dalam hati. Sebenarnya tadi Williams pikir kalau ia mengumpat dalam hati, tapi ternyata tidak dan apesnya Pauline mendengar umpatannya. Padahal umpatan itu Williams tunjukan untuk dirinya sendiri, bukan untuk Pauline. "Maaf Mom," lirih Williams di sela ringisannya. Rasanya panas sekali. "Pokoknya Mommy enggak setuju kalau Brian mau Daddy jodohkan dengan rekan bisnis Daddy. Daddy saja sana, jangan Brian, Brian terlalu berharga." Mata Williams membola dengan sempurna begitu mendengar rentetan kalimat yang baru saja Pauline ucapkan. Ucapan Pauline yang membuat Williams shock adalah di bagian kata kalau Brian terlalu berharga, apa itu artinya kalau ia sama sekali tidak berharga? Wah, Pauline benar-benar keterlaluan, tega sekali mengucapkan kalimat yang mampu membuat Williams kini merasa iri pada Brian. "Jadi maksud Mommy, kalau Daddy itu enggak berharga?" Tanpa ragu Pauline mengangguk. "Iya, Brian lebih berharga dari pada Daddy, usia Brian masih muda, masih tampan tanpa ada keriput di wajahnya, nilai jualnya masih tinggi bila di bandingkan dengan Daddy yang udah tua," jawabnya ketus. "Astaga! Jadi Brian mau Mommy jual?" Plak... Kali ini giliran perut Williams yang menjadi sasaran dari pukulan Pauline. "Itu perumpaan doang Daddy, mana tega Mommy jual Brian!" Teriak Pauline penuh emosi. Lagi-lagi Williams meringis, kini sekujur tubuhnya terasa sakit akibat kebodohannya sendiri. "Maksud Daddy, bagaimana kalau Brian kita jodohkan dengan anak dari rekan bisnis Daddy." "Anak rekan bisnis Daddy laki-laki atau perempuan?" Dalam hati tak henti-hantinya Williams mengucap kata sabar begitu mendengar pertanyaan Pauline. Ya kali Williams akan menikahkan Brian dengan laki-laki, mana bisa ia menimang cucu kalau Brian menikah dengan sesama jenis. "Ya anaknya perempuan Mom, ya kali Daddy mau menikahkan Brian dengan laki-laki," sahut Williams ketus. "Mommy ikut keputusan Brian, kalau Briannya mau ya silakan, tapi kalau Briannya enggak mau tolong jangan di paksa." Williams mengangguk, dalam hati tersenyum puas begitu mendengar jawaban Pauline. Kini rencana Williams untuk menjodohkan Brian dengan anak rekan bisnisnya semakin kuat. Williams tak mau tahu, pokoknya rencananya untuk menjodohkan Brian dengan anak dari rekan bisnisnya harus berjalan sesuai dengan rencana yang sudah ia susun. Seteleh itu tidak ada lagi obrolan antara Williams dan Pauline. Pauline sedang fokus menatap layar televisi yang sedang menampilkan film kesukaannya. Entah kenapa sebuah ide untuk menjahili Pauline tiba-tiba muncul dalam benak Williams dan Williams akan merealisasikan idenya tersebut. "Mom." "Apa lagi sih?" tanya sinis Pauline, kesal karena Williams selalu saja mengganggunya. Sepertinya Williams akan kesepian jika 1 jam saja tidak menganggunya. "Kalau Daddy mau menikah lagi boleh, atau tidak?" "Sama siapa?" Tanya Pauline dengan fokus mata yang masih tertuju pada layar televisi. "Sama perempuan pastinya, boleh?" "Boleh dong, kenapa enggak boleh?" "Tapi nanti Mommy enggak bakalan marahi istri kedua Daddy kan?" "Engga, kenapa harus di marahi? Kan kita pisah rumah," sahut Pauline ketus. "Ingat ya, dulu sebelum kita menikah kita sudah membuat perjanjian yang inti dari isinya adalah Daddy bakalan miskin kalau cerai sama Mommy," lanjut Pauline sinis. Williams seketika bungkam. Astaga!Kenapa ia bisa melupakan fakta kalau dulu sebelum ia meminang Pauline ia dan Pauline sama-sama membuat perjanjian yang sah di mata hukum. Isi inti dari perjanjian tersebut adalah, jika salah satu dari mereka selingkuh atau berniat untuk menikah lagi, maka mereka tidak akan mendapatkan uang sepeser pun dari harta kekayaan yang kini mereka miliki. Pauline tidak mau di madu, dan Jika Williams ingin menikah lagi, maka Williams harus menceraikan Pauline terlebih dahulu. "Sudah mengingatnya?" tanya sinis Pauline yang langsung di jawab anggukan oleh Williams, tak lupa memberi senyum manis andalannya pada Pauline yang Pauline balas dengan dengusan. Tapi Williams tak patah semangat, ia kembali menjahili Pauline dan Pauline tentu saja kesal. Moto hidup Williams adalah, tidak ada hari tanpa menganggu atau manjahili Pauline. Rasanya akan terasa sangat aneh jika sehari saja ia lalui tanpa mengganggu Pauline. Apalagi jika melihat raut wajah Pauline yang berubah masam, rasanya Williams gemas dan ingin sekali membawa Pauline ke kamar. Tanpa Williams dan Pauline sadari, sejak tadi keduanya sudah di perhatikan oleh Brian dan juga Victoria yang kini sedang duduk di anak tangga, menyaksikan perdebatan antara kedua orang tuanya. Ini bukan kali pertama Brian dan Victoria melihat Williams dan Pauline berdebat, tapi memang hampir setiap hari kedua orang tuanya itu berdebat. Selalu ada saja hal yang keduanya perdebatkan, dan akan selalu merembet ke berbagai topik obrolan yang menurut Brian dan Victoria tidak lagi harus di perdebatkan. "Kok Daddy bisa betah ya nikah sama Mommy? Padahal selalu menjadi sasaran samsak Mommy," ujar Brian yang sontak saja di angguki oleh Victoria yang kini duduk tepat di sampingnya. "Entahlah, Athasya juga bingung." Brian dan Victoria kembali meringis saat melihat Pauline menjewer telinga Williams, tapi kali ini keduanya malah mendukung Pauline untuk menjewer telinga Williams. Salahkan Williams yang memuji perempuan lain dengan sebutan cantik di hadapan Pauline, tentu saja Pauline murka tidak terima begitu mendengar Williams memuji perempuan lain tepat dihadapannya. "Terus Mom, jangan kasih ampun!" Teriak Brian menyemangati Pauline begitu juga Victoria yang juga ikut menyemangati Pauline. Tentu saja Pauline semakin kuat menjewer telinga Williams begitu mendapat dukungan dari Brian dan juga Victoria. Brian dan Victoria kompak tertawa begitu mendengar teriakan dari Williams yang semakin lama semakin kencang. Brian dan Victoria memutuskan untuk menghampiri kedua orang tua mereka, memperhatikan dari dekat bagaimana eksperi wajah Williams yang sedang kesakitan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD