“Mending kamu bunuh diri sekarang!”
Anya tidak mengubris. Dia menyendok penuh es krim, lalu menyantapnya dengan malas. Chocholatechipcookieicecream yang biasa membuatnya tenang, tak begitu mempan kali ini.
“Aku bakal sediain tali, racun tikus, kapak, silet, bensin, korek api. Kamu pilihlah mana yang mau dipake nanti.”
Anya menelan es krim yang berada di mulutnya, lalu menatap datar sahabatnya, Alden Prasetya, yang sedang bersedekap.
Saat ini, mereka sedang duduk berhadapan di kedai es krim yang cukup terkenal di Jakarta Pusat. Suasana kedai tidak begitu ramai. Masih ada beberapa meja yang kosong.
“Bikin sakit kepala,” keluh Anya.
Alden mengangkat bahu acuh tak acuh “Hanya itu saran yang kupunya.”
"Hey! Kalo nggak bisa hibur diri ini dengan bijak, mending diem!" seru Anya.
Alden tertawa. “Aku punya satu saran lagi. Ini bener-bener manjur.”
Anya mengibaskan tangan.
“Kamu butuh duit banyak buat ... intinya biar restoran keluargamu itu nggak kolaps,” kata Alden.
“Jangan bilang suruh aku ngepet,” tebak Anya, menyipitkan mata curiga.
Alden menggeleng. “Nggak, nggak.”
"Terus?"
Alden menjentikkan jari. "Open BO."
"b******n!" umpat Anya seraya melempar sendok ke arah Alden yang dengan lihai menghindar.
Alden tertawa terbahak. Anya menghela napas panjang berkali-kali dan mencoba menyabarkan diri.
"Open BO masih laris manis meski pandemi gini," kata Alden.
Anya memutar bola matanya malas.
"Kalo nggak ya, cari om-om tajir." Alden mengendikkan bahu. "Jadi, sugar baby. Dijamin makmur deh."
Anya mengambil sendok milik Alden, lalu menyuap secuil es krim miliknya.
"Kamu masih muda. Cantik sih. Badan oke sih. Gampanglah," komentar Alden.
"Salahku yang percaya kalo kamu bakal hibur kegundahan hati ini," ucap Anya dramatis, lalu segera menghabiskan es krim miliknya.
Alden mendesah. "Aku nggak tahu ini bakal bantu restoranmu bangkit atau nggak."
Anya yang sudah terlalu malas dengan sahabatnya, hanya menatap Alden tanpa kata.
"Bikin giveaway. Ya, kecil-kecilan aja. Sebagai bentuk promosi di medsos," kata Alden, kali ini serius.
Anya menegakkan duduk, menyimak.
"Kalo nggakpengin ada karyawan yang dipecat, semuanya turun ke jalan! Jemput bola!" tegas Alden. "Maksudku, mereka jualan di jalan. Depan resto aja atau paling jauh lima puluh meteranlah dari resto. Dibungkus dan harga otomatis harus miring. Sebelas dua belas nggak beda jauh dari harga warteg. Untuk menunya bisa dibicarain sama kokinya. Harus bisa improvisasi."
Anya masih menyimak.
"Aku nggak tahu bakal bertahan berapa lama, tapi harus selama mungkin sampai ada investor bodoh yang mau menyuntikkan uangnya ke resto kamu. Untuk saat ini, bertahan itu hal yang terpenting," tandas Alden.
Mata Anya berkaca-kaca. Dia merasa terharu.
"Ya, nggak usah berterima kasih," ucap Alden. "Bukan hanya resto kamu yang begini. Hampir semua sektor juga kena. Sabar aja."
Anya meraih tangan Alden dan menggenggamnya.
Alden menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Lebih baik kita pulang. Kamu butuh diskusi dengan karyawan-karyawan kamu. Kamu yang kuat, ya!"
Anya mengangguk, lalu mereka bersiap untuk membayar.
"Biar aku yang traktir," kata Anya, menahan lengan sahabatnya.
Satu alis Alden meninggi. "Ada duit?"
"Ada," sahut Anya. "Kamu tunggu di tempat parkir aja."
Alden hanya bergumam, lalu Anya segera ke kasir. Namun, hal yang tak terduga terjadi. Gadis itu tanpa sengaja bertabrakan dengan seseorang.
"Antre dong!" semprot Anya kepada seorang laki-laki berperawakan tinggi dan tegap. Di samping laki-laki itu ada seorang wanita cantik yang sepertinya habis menangis.
"Main serobot aja!" dumel Anya.
Si laki-laki terdiam, sementara petugas kasir bingung. Mau ikut campur takut kena semprot juga.
"Ngalah sama perempuan. Lagian saya dulu yang sampe kasir," kata Anya tak mau kalah.
Si laki-laki tetap diam. Dia terlalu malas untuk meladeni hal yang tak penting menurutnya.
"Pakai masker! Jaga jarak!" seru Anya seraya merogoh tasnya untuk mengambil handsanitizer dan tisu.
"Patuhi prokes!" tandas Anya sengit seraya menyemprotkan handsanitizer ke udara, kea rah lelaki itu.
Anya berdecak sambil menyipitkan mata tak suka. Dia meraih tangan si wanita cantik dan meletakkan tisu di sana.
"Putus aja, Mbak. Jangan mau sama lelaki model kaleng biskuit. Bisanya bikin nangis doang," kompor Anya, membuat si wanita tersenyum, lalu berterima kasih.
Si laki-laki tertawa sekali, mengejek Anya. "Patuhi prokes? Kamu sendiri lalai."
"Apa?"
"Pakai masker!" seru si laki-laki jutek, lalu memakai masker sebelum akhirnya mengantre di belakang Anya.
Anya memegang pipinya, lalu sadar bahwa dirinya belum memakai masker. Membuang rasa malunya jauh-jauh, Anya segera membayar.
Sebelum Anya keluar dari kedai es krim, sempat-sempatnya gadis itu melirik si lelaki dengan judes, lalu membuang muka ketika tanpa sengaja pandangannya tertangkap si laki-laki.
***
"Dari mana kamu?"
Anya menipiskan bibir, lalu berbalik untuk menatap Sinta, tantenya, yang sudah merawatnya dari umur dua belas tahun.
"Habis jajan," jawab Anya seadanya.
"Jajan terus," komentar Tante Sinta. "Kamu tuh harusnya mikir. Harus berhemat."
"Iya," ucap Anya tanpa mau membantah karena bakal panjang urusannya jika begitu.
Tante Sinta memijit pelipisnya. "Panggil om kamu. Suruh ke ruang keluarga."
"Iya," kata Anya.
Tante Sinta menunjuk Anya. "Kamu juga ikut."
"Iya," jawab Anya.
"Jangan iya-iya terus. Lakuin!" seru Tante Sinta, lalu berjalan menuju ruang keluarga.
Anya memanyunkan bibir seraya pandangannya mengedar ke sekeliling. Dia tidak tahu omnya berada di mana sehingga satu ide muncul di benaknya. Dia merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Dicarinya kontak milik omnya, lalu segera menelepon.
"Assalamualaikum. Om, disuruh Tante ke ruang keluarga. Penting," kata Anya begitu sambungan terhubung.
"Iya."
Setelah mendengar ucapan omnya, Anya segera memutus sambungan secara sepihak dan menyusul tantenya.
Tante Sinta duduk dengan menyilangkan kaki. Jari telunjuknya berkali-kali mengetuk meja. Wajahnya terlihat serius bercampur gusar. Anya tahu pasti apa penyebabnya. Namun, dia juga tidak begitu mengerti dengan bisnis.
"Duduk sini," pinta Tante Sinta kepada Anya.
Tak berapa lama, Om Dedi datang. Tante Sinta memberi isyarat kepada suaminya untuk duduk di samping dirinya.
"Kita langsung aja," kata Tante Sinta.
"Maksudnya, Tan?" tanya Anya tak mengerti.
Tante Sinta dan Om Dedi saling berpandangan sesaat.
"Kamu sudah besar," ucap Om Dedi, memulai percakapan.
"Harus bisa bantu-bantu resto," lanjut Om Dedi.
"Ya, Om, tapi masalahnya aku belum tahu mau bantuinnya gimana. Aku rencananya mau diskusi sama karyawan-karyawan resto. Aku punya ide," jawab Anya.
Om Dedi menggeleng. "Nggak, nggak. Cukup kamu lakukan satu hal sudah bisa membuat resto kita bangkit dari keterpurukan."
"Apa?" tanya Anya merasa waswas sendiri.
"Menikah," jawab Om Dedi mantap.
Refleks, Anya berdiri. Dia sangat terkejut. "Apa?"
"Tante dan Om berencana akan menjodohkan kamu dengan anak orang kaya," ucap Tante Sinta, senyumnya mengembang sempurna.
Anya melongo, menatap tantenya yang kini terlihat sangat bahagia.
"Kamu nggak ada kapasitas untuk menolak," kata Om Dedi.
Anya beralih menatap omnya. Pikirnya, om dan tantenya sudah gila karena memiliki ide seekstrem ini.
"Semua sudah diatur. Kamu tinggal nurutaja," ucap Tante Sinta.
Anya tidak bisa berkata apa-apa. Dia mendesah panjang dan berat. Mau membantah sekarang pun rasanya percuma.
"Calon kamu ini, punya coffee shop sendiri dari umur dua puluh lima tahun. Bisnisnya berkembang pesat melalui digital marketing. Di umurnya yang sekarang, udah punya cabang di empat kota. Hebat, kan?" puji Tante Sinta.
Anya menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. Dia hanya tersenyum kaku.
"Lusa, kita udah janjian mau ketemu sama calon kamu di restoran Eatboss. Jangan lupa ke salon. Dandan yang cantik. Buat calonmu kepincut pada pandangan pertama," tandas Tante Sinta semringah, membuat Anya mual seketika.