Anya tiba sepuluh menit lebih awal. Berusaha menghindari ocehan Tante Sinta yang mengganggu ketentraman telinganya. Sejak pagi tadi, Tante Sinta sudah bolak-balik mengingatkan Anya. Mulai dari mengajak ke butik sampai menata rambut di salon. Baru mau ketemu calon, tetapi prosesnya panjang bukan main. Apalagi kalau menikah?
Anya menatap setiap inchi desain interior restoran yang dia anggap unik. Terlihat, sepasang kekasih sibuk berswafoto di sudut resto yang memang cukup instagramable. Anya tersenyum lalu mengambil ponsel. Ikut berswafoto. Mungkin bisa jadi referensi untuk restorannya sendiri.
“Anya ... jangan main ponsel terus. Tuh, lihat siapa yang datang!” Tante Sinta menarik lengan Anya. Ponselnya terjatuh di meja. Setengah kesal, Anya mendengkus lalu menatap seseorang di depannya.
“Kamu?”
Anya menatap lelaki di hadapan dengan canggung. Siapa yang menyangka dunia ini begitu sempit? Dari ratusan juta laki-laki penduduk Indonesia, kenapa harus kaleng biskuit itu yang berdiri di hadapannya? Perjodohan? Menikah? Hah! Yang benar saja!
“Ternyata kamu?” tanya Bima mencoba ramah, sama terkejutnya dengan Anya.
“Hemm.” Anya menjawab sambil menyunggingkan bibir. Matanya melirik sinis ke arah Bima yang menarik kursi dan duduk tepat di hadapannya.
“Lho, ternyata kalian berdua sudah saling kenal, toh?” tanya Tante Sinta. Basa-basi.
Bima menggeleng. “Hanya kebetulan.”
Sementara Anya masih mempertahankan wajah tak acuhnya. Dia kembali memainkan ponsel yang membuat Tante Sinta berdeham beberapa kali dengan keras.
“Tapi Anya kok diem aja?” Kali ini Om Dedi yang menyeletuk. Mencairkan suasana.
“Hus ... ya namanya juga perempuan, Pah. Pasti malu-malu. Nanti juga kalau udah kecintaan bakal ngejar-ngejar,” ucap Tante Sinta sambil menata rambutnya.
Anya mendesah. Rasanya, ia ingin tenggelam saja. Berharap ada lubang besar yang menguburnya dalam-dalam. Agar segera keluar dari lingkaran obrolan tak penting yang memuakkan.
Bima menyerongkan tubuhnya sedikit, seakan berbisik kepada Om Dedi. Lalu mereka berdua tertawa pelan. Mungkin saling melempar jokes bapak-bapak yang garingnya tak karuan.
Cuih, sok akrab! Pikir Anya.
“Anya ... seperti yang tante bilang, Nak Bima ini pengusaha sukses di usia muda, lho,” ucap Tante Sinta dengan mata berbinar.
Sejenak, jemari Anya berhenti menggulir layar ponsel. Dia melirik Bima dengan ujung matanya. Cih, muda dari mana? Tampang om-om begini dibilang muda, ucapnya dalam hati. Detik berikutnya ia menggeleng pelan dan menggidikkan bahu. Geli.
“Emm, sepertinya saya harus memperkenalkan diri lagi di hadapan Anya, Om dan ... Tante. Kesan pertama saya saat bertemu Anya kurang baik, jadi—“
“Ah, udahlah kita pesan makan aja. Anya udah laper. Lagian, aku juga sudah tahu kok. Namanya Om Bima, ‘kan?”
“Huusss ... Anya!” Tante Sinta langsung mendelik. “Nak Bima ini masih muda. Masa dipanggil Om, sih?” lanjut Tante Sinta semakin membela.
“Hanya beda 10 tahun, kok. Tidak terlalu jauh Anya.” Om Dedi dengan sabar menambahi.
“Iya, benar. Lagian usia tante sama om juga berjarak. Tapi tetap cocok-cocok aja kan, Pah?” Om Dedi hanya mengangguk mengiyakan.
“Kita langsung makan aja, ya, Tan. Mau pesan apa?” tanya Anya dengan nada tinggi karena sudah mulai bosan.
“Saya ... pesan Fetucini dan kopi saja. Vietnam Drip dengan rasio satu banding seperempat, air panas sembilan puluh lima derajat dan tiga sendok teh s**u kental manis.” Pelayan resto mengangguk sambil mencatat setiap detail pesanan Bima. “Oh, satu lagi. Air mineral juga,” tambah Bima. Pelayan kembali mengangguk.
“Dasar om-om, banyak maunya!” bisik Anya—masih aktif menelusuri sosial medianya.
“Oh, maaf. Saya terbiasa menyeduh kopi dengan takaran saya sendiri.” Bima membalas celetukan Anya.
“Oh, iya. Tante sudah bilang ‘kan kalau Nak Bima ini pu—“
“Punya coffee shop sendiri di usia 25 tahun. Mengembangkan bisnisnya melalui digital marketing dan di usia sekarang coffee shop-nya sudah punya cabang di empat kota.” Anya tersenyum masam lalu bersedekap sambil melirik ke arah tantenya. “Tante sudah puluhan kali cerita tentang itu sejak kemarin.” Tante Sinta terdiam lalu menarik bibir. Memaksa senyumnya tetap keluar. Walau hatinya sudah cukup kesal dengan tingkah laku Anya yang seperti gadis tak berpendidikan.
“Terus kamu mau pesan apa, Nya? Dari tadi bolak-balik buku menu terus, tapi nggak pesen-pesen.”
“Iya, Tan ... iya. Beef Tenderloin Steak aja, deh. Laper. Nggak makan dari kemarin. Apalagi kelamaan basa-basinya. Katanya mau makan, tapi dari tadi ngobrooool teruuuus.” Anya menatap Bima dengan sinis.
“Kayaknya Anya ini sangat suka daging ya, Tan.” Bima membalas canggung.
“Banget. Tapi tenang aja. Aku nggak suka sama daging om-om, kok. Udah alot soalnya.” Anya menyeringai, puas.
Pelayan di sisi mereka tertawa tipis. Lalu buru-buru menutupi mulut dengan jari telunjuk. Berpura-pura mengusap hidung. Tante Sinta melirik tajam. Ia memberi kode agar pelayan segera pergi dan menyiapkan makanan.
Lima belas menit berlalu dengan senyap. Tante Sinta dan Om Dedi sibuk mengobrol sendiri. Sedangkan Bima dan Anya fokus pada ponsel masing-masing. Bima sibuk membalas pesan rekan kerjanya, tapi Anya masih betah bermain sosial media. Menyukai beberapa postingan artis favoritnya. Menelusuri laman explore, menyukai postingan acak dan tertawa saat melihat video lucu. Diam-diam, Bima memperhatikannya. Entah kenapa, Bima merasa senang melihat tawa Anya yang spontan. Gadis itu sepertinya menyukai hal-hal sederhana.
Satu persatu pesanan mereka datang. Segera, Anya menaruh ponselnya di atas meja. Matanya berbinar melihat potongan steak yang seakan berteriak meminta dilahap.
“Ayo makan, Nak Bima!”
“Ah iya, Tante. Terima kasih.” Bima masih memperhatikan Anya diam-diam. Gadis itu semakin tak peduli dengan keberadaannya. Sepotong daging itu benar-benar menariknya ke dunia yang berbeda. Entah karena benar-benar lapar atau mungkin karena jengah dengannya.
Anya tak butuh waktu lama untuk menghabiskan makanannya. Ia tersenyum lega sembari mengusap perut yang kini tenang setelah dimanjakan.
“Maaf, Tante ... Om.... Anya mau keluar dulu. Mau cari angin segar. Agak pengap di sini,” ucap Anya sembari mengipas-ngipas lehernya dengan jari.
“Mau keluar ke mana? Kan kita belum selesai makan.”
“Emm, rooftop mungkin. Sebentar aja, kok, Tan. Nggak apa-apa, kan? Begah nih.”
Bima meraih sapu tangan dan mengusap mulutnya. “Saya ikut.” Lalu berdiri tiba-tiba.
Anya mendelik. Sial. Niat hati mau menjauh, tapi manusia kulkas itu malah mendekat.
Dengan kesal, Anya mempercepat langkah meninggalkan meja dan Bima segera menyusul.
Anya mengumpat dalam hati. Mempertanyakan pelet apa yang dipakai Bima hingga tante dan omnya bisa tunduk dan begitu menyukainya.
Pintu lift terbuka. Bima mempersilakan Anya masuk duluan. Sigap, Anya langsung merapatkan tubuh ke dinding lift. Bima meliriknya tanpa ekspresi. Hanya berdeham satu kali. Lalu menilik jam tangan di pergelangan kiri.
“Masih jam 8,” ucapnya pelan.
“Yakin mau ke rooftop?” Menit berikutnya, Bima mulai membuka obrolan.
“Hemm..” Anya hanya berdeham. Kosa katanya seakan hilang di telan bumi. Biar bagaimanapun keadaannya, dia takkan pernah mau menerima perjodohan ini. Bersikap cuek mungkin bisa membuat Bima mundur dan membatalkan perjodohan. Tunggu! Bukankah bersikap cuek itu adalah keahlian Bima?
Anya bersedekap lalu mendecih. Dia mulai menata satu persatu rencana untuk membuat Bima mundur darinya.
“Emmm ... tentang perjodo—“
Tiinggg ....
Anya menarik napas lega saat pintu lift terbuka. Ia tidak perlu mendengar ocehan Bima terutama tentang perjodohan. Anya berjalan mendahului Bima dengan lantang. Sedikit berlari menuju rooftop, tempat favoritnya.
“Kamu suka ke sini?”
“Heemm....” Masih dengan sekali dehaman ia menjawab. Lalu kembali tersenyum saat ia memunggungi lelaki itu.
Rasain. Pembalasanku baru dimulai, ucapnya dalam hati.
Sementara itu, Bima terdiam di belakang Anya. Ia melihat gadis itu dengan saksama. Anya tampak anggun mengenakan gaun sebetis berbahan satin warna nude mengilap. Rambutnya yang tempo lalu acak-acakkan kini tertata rapi menjuntai dengan poni tipis yang tersebar di dahinya.
“Cantik.”
“Apa?” Anya tersentak langsung berbalik. Namun, Bima seketika mendongak menatap langit.
“Langitnya cantik sekali jika dilihat dari sini.” Bima kembali menatap Anya yang sudah berpaling lagi.Ternyata gadis ini manis juga, lanjutnya dalam hati lalu tertawa kecil sambil mengingat sikap Anya tempo lalu.
Anya risih dan melirik sedikit ke arah Bima. Dasar om-om setres!
•••
Sepanjang perjalanan pulang separuh wajah Anya dilekatkan pada kaca jendela mobil. Dia sudah lelah mengumpat dalam hati, saat om dan tante menyuruhnya pulang bersama Bima. Matanya fokus melihat setiap bias cahaya dari lampu mobil yang melintas melewati mereka. Sekian menitnya, laju mobil membuat pemandangan berganti.
Mulai memasuki area perumahan tempat tinggal Anya. Di masa pandemi seperti ini, kendaraan yang keluar masuk komplek harus melalui pemeriksaan di pos satpam. Hal ini membuat perasaan Anya tak karuan. Ia mendongakkan wajah sembari mengintip diam-diam. Memastikan siapa satpam yang bertugas menjaga pintu masuk hari ini.
Anya menarik napas lega, setelah mendapati pak Ahmad keluar dari pos. Lalu sontak memejamkan mata saat mendengar suara tak asing menyambanginya.
“Eh, Neng Anya ... eleu-eleuh .... saha ieu, Neng? Pacar baru?” tanya Pak Bambang dengan logat Sunda.
“Jangan kepo, deh, Pak Bambang! Sopir doang, nih.”
“Kalau sopir, kok Neng Anya nyaman banget duduk sebelahan?”
“Ah, udah deh, Pak. Bapak, tuh, kebanyakan nonton drama Korea sama baca puisi? Jadi makin menjadi halunya. Udah cepetan ukur suhunya. Saya mau pulang. Udah ngantuk.” Anya mendengkus kesal. Satpam kompleknya begitu beraneka ragam. Dan yang paling ajaib ya Pak Bambang.
Suka sekali mengurusi urusan orang. Kepo berakar. Jika dijawab satu pertanyaan, akan muncul pertanyaan lainnya. Bisa jadi, tidak akan ada habisnya jika diladeni terus.
Terlebih hobinya yang tak biasa. Sangat suka menonton drama korea dan membaca puisi. Karena itu, gaya bicaranya terkadang bak pujangga.
Tiba-tiba Anya bergidik. Tersenyum geli. Minggu lalu ia mendapati Pak Bambang memakai kaos Sanbox. Mengklaim dirinya sebagai Han Ji Pyeong cabang Thamrin. Pak Bambang benar-benar tak tertolong.
Sesampai di depan rumah, Anya bergegas menuruni mobil. Hanya mengucap terima kasih tanpa basa-basi lain. Bima yang hendak turun dan membukakan pintu mobil langsung urung. Kakinya dia naikkan lagi. Bima melambaikan tangan meskipun tak digubris oleh Anya.
Anya membuka pintu rumah lalu menutupnya dengan keras. Dia harus segera mandi kembang tujuh rupa. Takut ada virus yang menempel atau guna-guna. Seram.
***
Hari berlalu. Tiga hari sejak pertemuan Anya dengan Bima malam itu. Sejak saat itu, Anya belum mendapat kabar dari Bima. Kata Tante Sinta, Bima sedang mengontrol cabang coffe shopnya di kota lain. Padahal, Anya jelas tidak peduli. Mau di negara atau di dunia lain pun tak masalah. Malah semakin bagus untuknya.
“Bu Anya ... lagi ngelamunin apaan, sih?” tanya Hani, pelayan restorannya.
“Oh, nggak-nggak. Nggak apa-apa. Udah, kamu jangan panggil ibu. Kan kita seumuran. Cuma beda bulan doang.”
“Ya, biarpun seumuran ‘kan tetap aja, Bu Anya bosnya Hani di sini. Jadi, ya Hani harus tetap hormat.”
“Iya, terserah kamu deh, ya.”
Lonceng berbunyi. Tanda seseorang memasuki pintu restoran. Dentingnya memecah lamunan Anya sejak tadi. Akhirnya, ada tamu yang datang setelah tiga jam ia membuka restoran.
“Selamat dat—“ Sapaan Anya terhenti begitu melihat Bima di antara beberapa lelaki berjas rapi. Bima mengelap tangan dengan tisu setelah melakukan protokol kesehatan. Mencuci tangan pada tempat yang disediakan di depan restoran.
“Ini restoran teman saya yang saya ceritakan tadi, Pak. Bagaimana? Suasananya lumayan nyaman buat meeting.” Bima berjalan melewati Anya. Anya hanya mengangguk mempersilakan masuk. Bukan saat yang tepat untuk bersikap dingin. Apalagi Bima membawa rekan bisnisnya kemari. Ya, lumayanlah. Siapa tahu, bisa membantu mempromosikan restorannya yang kian sepi.
Anya langsung menyuruh Hani membawakan daftar menu ke meja Bima dan tiga kawannya tadi. Diam-diam, Anya memperhatikan dengan saksama. Bima memakai kemeja biru muda menambah kesan cerah pada wajahnya.
“Jangan senyum-senyum terus, Bu. Nggak enak kalau dilihat pengunjung,” tegur Pak Azka—manager restoran, membuat jantung Anya hampir copot.
“Pak Azka apaan, sih?” balas Anya salah tingkah.
Tak berlangsung lama, lonceng berbunyi lagi. Kali ini dua orang ibu-ibu memasuki resto. Sigap, Anya menyapa dengan ramah. Mempersilakan mereka untuk duduk di bangku ternyaman di restonya.
“Kok sepi, ya, Jeng?” celetuk ibu berbaju merah.
“Iya, sepi banget. Udah mau bangkrut kali ya,” timpal ibu berbaju hijau muda.
Sigap, Hani kembali melayani dengan ramah. Anya masih memperhatikan dari kejauhan. Tidak ada yang salah, Anya kembali duduk dan berkutat dengan ponselnya.
Dua puluh menit setelahnya, semua baik-baik saja. Bahkan beberapa pengunjung juga ikut berdatangan. Meja yang tadinya kosong, kini mulai terisi walau tak penuh. Anya menarik napas lega sembari bersyukur.
“Aaaaaa ... apa ini!!!” Tiba-tiba situasi menjadi riuh. Pelanggan di meja delapan berteriak histeris.
“Itu ... itu apa. Ampun dah. Geli. Jorok banget!!!”
Anya sigap menghampiri. Baru saja menanyakan apa yang terjadi, Anya sudah kena semprot habis-habisan. Pelanggan lain juga ikut memperhatikan.
“Resto nggak jelas. Jorok! Masa ada semut hitam di makanan saya. Dua lagi! Kalau sudah ada yang tertelan bagaimana? Pantesan sepi! Jorok, sih!” Wanita paruh baya itu terus mengomel sambil mengentakkan kaki. Matanya memelotot menatap Anya. Anya masih mencoba setenang mungkin. Menawarkan ganti rugi sebagai kompensasi. Tapi si pelanggan malah terus memaki.
Sementara itu, Bima memperhatikan Anya dari mejanya. Dia setengah tak percaya, gadis yang sering berperilaku tak sopan dan sok tahu itu kini berubah jadi sangat ramah dan sabar. Bima tersenyum diam-diam.
Pelanggan lain ikut menimpali. Membuat Anya semakin terpojok. Dia semakin merasa tak berguna. Hanya bisa menunduk sambil meminta maaf tanpa jeda. Tanpa sadar, setitik air matanya jatuh sebelum berhasil dia tahan.
“Cukup!”
Anya mengangkat kepala. Dia mengusap matanya yang berkaca-kaca.
“Tolong jangan dibesar-besarkan lagi. Ikuti protokol kesehatan. Jangan buat gerombolan seperti ini. Mohon kembali ke tempat masing-masing. Jika sudah tak mau lanjut makan, silakan pergi.”
Beberapa pelanggan langsung mengambil tas masing-masing. Keluar dari resto setelah membayar dengan wajah kusut.
Mata Anya berbinar. “Te ... terima kasih,” ucapnya pada Bima.
“Saya nggak ngelakuin ini untuk ngebela kamu. Saya cuma nggak tahan sama berisik!” Bima kembali ke mejanya dengan santai. Lalu mengajak rekan-rekannya untuk pergi.
Anya kembali terdiam. Dia mengepalkan kedua tangan. Buku-buku jemarinya memutih.
“Makanya, kalau resto mau sukses, perhatikan kebersihannya. Jangan jorok!” bisik Bima di telinga Anya saat melewatinya.
Cukup! Hilang sudah harga dirinya!