Jakarta pastilah termasuk kota paling sibuk di Indonesia. Jam kemacetan sudah tercatat sejak tujuh pagi, belum lagi udara dipenuhi asap. Orang-orang berpikir dapat mengubah nasib jika pergi ke sini. Dapat bekerja di gedung perkantoran dan menerima jabatan tinggi. Nyata mereka mengadu nasib dan berjuang mati-matian.
Di tengah keramaian kota metropolitan yang sesak, Bima memilih tidak menyibukkan diri hari ini. Dia baru bangun dan berjalan ke dapur, hal pertama yang dibutuhkannya kafein. Bima membuang sisa air dari mesin kopi, lalu memasukkan biji kopi yang sudah digiling dan menyalakan mesin.
Setelah air direbus hingga sembilan puluh tiga derajat, Bima menuangkan 30 ml espresso ke dalam cangkir dan menambahkan air panas. Cangkir kopi diletakkan di atas meja yang menghadap jendela dengan pemandangan gedung-gedung pencakar langit.
Bima menyesap kopinya, menikmati aroma yang pekat. Setiap pagi dirinya menyempatkan diri membaca berita. Laman berita tidak jauh berbeda dari biasanya, Covid-19 masih menjadi headline meskipun masyaratkan kini lebih santai. Dulu orang-orang sampai takut keluar rumah, bahkan lockdown di mana-mana.
Kekacauan dalam dunia bisnis menawarkan peluang di pemasaran digital. Bima ingat bagaimana kontennya menjadi ide kreatif dan mendatangkan banyak partner bisnis. Segalanya berjalan dengan cepat. Digital marketing berkembang pesat dan menjadi alternatif dengan cakupan global.
Ponsel Bima berdering, manajernya menelepon memberitahu kalau ada beberapa purchase order yang memerlukan persetujuannya. Bima mandi dan bersiap-siap. Begitu keluar apartemen, ibunya menelepon, karena tidak mau wanita itu mendatangi kafenya, maka Bima terpaksa menerima.
“Halo.”
“Kamu kok belum ketemu Anya hari ini?”
“Kayaknya berlebihan kalau aku ketemu dia setiap hari. Nanti bikin dia risih.” Harinya sudah buruk sejak kemarin, bahkan langit hari ini mendung.
“Kamu tuh harus meyakinkan dia, bantuin Anya, dia lagi susah.”
Bima menahan rahangnya tetap terkatup, takut terdengar mendesis. Ini buruk. Dia punya firasat buruk, maka Bima beralasan, “Aku sibuk. Ibu tahu aku kerja dari matahari terbit sampai terbenam.”
“Pokoknya kamu harus temuin Anya hari ini. Bikin dia nyaman dan bantu. Kamu sukses juga berkat siapa? Ingat itu.”
Panggilan terputus. Bima menatap layar ponselnya yang gelap. Interaksi mereka hanya terjalin di permukaan dan tidak pernah berlanjut lebih dalam.
Bima tidak pernah melakukan sesuatu yang bisa mengancam bisnisnya. Binisnya terlalu penting baginya. Lagi pula tidak ada yang bisa diobservasi di sana. Kemarin dia hampir bertaruh dengan mengajak rekan bisnisnya makan siang di restoran itu. Jika bukan permintaan ibunya, Bima tidak mau merusak reputasi di hadapan rekan bisnis karena memilih restoran yang sepi, bahkan dikomplain tamu.
Kemarin Bima melihat Anya dalam mode sopan dan berani. Memasang senyum palsu sepanjang pelanggan itu marah-marah, menenangkan karyawannya bahwa dia bisa mengendalikan situasi.
Bima memikirkan jika restoran itu bangkrut, mungkin Anya bisa mencari perkerjaan karena usianya masih muda dan lulusan universitas. Banyak perusahaan bangkrut, tetapi banyak perusahaan juga yang membuka lowongan.
Pintu lift berdenting. Bima masuk dan bergabung dengan dua orang lainnya menuju lantai dasar. Dia sadar mereka dalam keadaan berbeda ketika memulai, dulu dia sudah memiliki pengalaman, persiapan, dan modal. Namun, wanita itu terjun bebas tanpa persiapan dan mendapati landasannya sudah rusak. Lalu, kenapa dia harus peduli?
***
Bima sampai ke kafenya dan naik ke ruang kerja di lantai atas. Di mejanya sudah ada beberapa lembar kertas yang menunggu persetujuannya. Daftar pertama mengganti kabel chiller, Bima membaca detail kerusakannya lalu menelepon bagian maintenance menanyakan berapa lama waktu untuk perbaikan.
Pintunya diketuk, kepala Hikam menengok. “Siang, Bos!”
“Ada apa?” tanya Bima sembari membereskan berkas.
“Lagi sibuk?”
Tangan Bima kini sibuk membalas pesan di ponselnya. Dia berdeham, lalu menanggapi, “Sesantai yang terlihat.” Melihat Hikam datang dengan tangan kosong, Bima bertanya, “Nggak bawa kopi?”
Hikam duduk di depan meja Bima. “Tergantung dari jawabanmu. Aku mau diskusi serius.”
Sebelah alis Bima terangkat heran. Teman sekaligus baristanya ini jarang sekali serius. Biasanya jika sudah serius menyangkut pekerjaan atau masalah pacarnya.
“Pacarku kan mau buka restoran gitu sama teman-temannya, awal konsepnya cozy, tapi dia berubah pikiran dan minta konsep yang unik.”
Tuh kan tentang pacarnya. “Jadi?”
“Jadi dia mau minta saran kamu.” Hikam tampak tidak setuju. “Aku bilang jangan habiskan banyak uang cuman untuk tanya ke kamu.” Hikam bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. “Aku yang akan minta saranmu dan menyampaikan lagi. Semuanya bisa gratis.”
Mata Bima menyipit, ikut tertawa bersama Hikam dan menepuk tangan lambat-lambat. “Aku sibuk. Kau boleh keluar sekarang!”
Tawa Hikam sirna, masih tetap duduk dan berkata lagi, “Dia pengin konsep yang unik dan viral.”
Tangan Bima mengusap pelipisnya. “Hobi apa yang dia suka?”
Hikam berpikir sejenak. “Suka masak makanan Cina.”
“Ada lagi?”
“Dia suka melihara ikan koi.”
Bima menjentikkan jari. “Kalau gitu buat restoran kolam ikan saja.”
Hikam mencebik, menilai Bima sedang iseng.
“Itu pasti viral, setiap pengunjung akan duduk di antara kumpulan ikan. Sanggahan kaki akan dibuat lebih tinggi dari kedalaman kolam. Mereka bisa merendam kaki atau tidak,” jelas Bima.
Hikam menjadi tertarik. “Itu keren, beda dari yang lain, pasti viral. Aku udah ngebayangin duduk di restoran Cina yang di lantainya banyak ikan. Oke deh, makasih nih.”
Bima memanggil Hikam yang sudah berjalan ke pintu. “Konsep itu tidak cukup praktis dan viral sifatnya tidak permanen. Orang datang ke restoran karena makanannya.”
Hikam mengangguk mengerti.
***
Sore hari, Anya duduk lemas di meja sudut restorannya bersama Pak Azka, membuat beberapa rencana, karena rencana-rencana sebelumnya tidak berhasil. Dua bulan telah berlalu dan restoran mereka belum membaik.
“Waktu yang baik pasti akan datang,” ucap Pak Azka. “Kita memang membutuhkan modal dan membuat promosi yang lebih baik. Makanan Eropa lebih banyak diminati di hotel berbintang sekarang, tapi tempat ini punya cerita tersendiri.”
Anya menatap sekeliling resto. Jendela-jendelanya berpanel kayu khas zaman koloni. Lantainya dari papan kayu yang dipernis. Ada pohon dalam pot besar di dekat meja kasir. Pohon kacang saba yang menjadi saksi hidup dari tempat ini dulu ramai sampai begitu sepi.
Ada dua lemari rak sebagai partisi meja tamu. Satu rak berisi jam weker kuno, stample, vas vintage, bingkai foto, dan beberapa miniatur besi yang membentuk patung burung. Lemari lainnya diisi buku-buku. Buku-buku cerita anak sampai majalah bisnis yang disukai ibunya. Spot itu menjadi tempat favorit Anya setiap ke restoran.
Bibir Anya menarik senyum. Dia harus semangat. “Menu baru dari Pak Daffa akan kita beri potongan harga dan kita akan coba promosi di aplikasi online. Oh, ya, bagus juga kalau restoran ini bagi-bagi giveaway.” Itu saran sahabatnya yang patut dicoba.
Pak Azka tampak mempertimbangkan. “Apa hadiahnya?”
Hani datang ke meja mereka. “Maaf, Bu, itu … itu tamu yang kemarin datang lagi ke sini. Mau ketemu Bu Anya.” Wajahnya semringah. “Yang ganteng itu loh.”
Pak Azka dan Anya menengok ke ambang pintu. Mata Anya terbelalak. Ya, ampun, om-om itu ngapain datang lagi ke sini. Anya menahan tangannya agar tidak menutupi wajah. Dalam dunia di mana laki-laki itu tidak ada, Anya bersedia tinggal di sana. Cukup jelas pertemuan mereka kemarin sangat memalukan.
Anya berdiri, memaksa tersenyum. Hanya singkat, mungkin lebih tampak seperti ringisan. “Kami sedang meeting.”
Pak Azka membereskan kertas di atas meja. “Kita udah beres. Silakan kalau mau ngobrol. Saya permisi.” Pak Azka tersenyum ramah, buru-buru meninggalkan meja.
Anya bersedekap. “Mau ngapain Om ke sini?”
Bima duduk dengan santai, pandangannya mengedar ke sekeliling restoran. Hanya ada beberapa pelanggan, lalu mereka bertatapan. “Saya disuruh ke sini. Panggil Bima aja.”
“Ih, siapa yang nyuruh ke sini?” Pasti tantenya, tebak Anya. “Ya, udah, kan udah ke sini, bentaran aja. Kalau mau pulang sekarang boleh.”
Hani datang ke meja mereka sembari membawa dua minuman dingin. “Yang seger-seger buat teman ngobrol,” ucapnya dengan senyum genit, lalu pergi karena mendapat pelototan dari Anya.
Penampilan Bima memang bisa membuat para wanita meleleh. Rambut gelapnya berpotongan pendek dan mengilap, kancing teratas kemeja abu-abunya terbuka. Bahkan kemeja yang dijahit begitu rapi dan mahal begitu jelas memperlihatkan bahu lebar dan kekuatan yang dipancarkan tubuhnya.
“Restoran ini bisa ramai lagi, saya mau nawarin bantuan.” Melihat respons Anya yang terkejut, Bima menambahkan, “Bidang kuliner dan digital marketing itu perkerjaan saya.”
Anya kaget mendengar tawaran itu. Laki-laki itu pastinya super sibuk. Dia tidak perlu bergerak, orang-orang yang akan datang kepadanya. Namun, dirinya ditawari bantuan?
Anya meneguk ludah. “Om serius mau bantu?”
Bima mengernyit tidak suka karena masih dipanggil om. Kepalanya mengangguk mengiyakan. “Kalau boleh tahu, apa program yang kalian punya?”
Tanpa sadar Anya meneguk ludah. Ini pertemuan bisnis pertamanya dengan orang luar restoran. Seorang pengusaha bukan kaleng-kaleng. Dengan bingung, Anya mengambil beberapa catatan miliknya. “Kami akan membuat menu baru dan mempromosikannya di online dengan diskon.”
Sebelah alis Bima terangkat. “Membuat menu baru membutuhkan lebih banyak biaya, perhitungan harga, data baru, dan promosi. Itu tidak efektif.”
Anya menatap Bima yang memeriksa dokumen amatirnya dengan begitu cepat membuatnya gelisah dan malu. Hampir tak butuh waktu lama bagi laki-laki itu untuk melihat sekilas program restorannya, sama sekali tidak ada tanda-tanda di wajahnya yang menyiratkan ketertarikan. Mungkin baginya kertas itu hanya sampah.
“Kalau begitu dengan membuat giveaway akan mendatangkan banyak pelanggan,” ucap Anya dan menggigit bibir ketika Bima menatapnya.
Bima bingung bagaimana memberi pendapat buruk tanpa membuat orang lain kecewa. Di sisi lain, dia selalu mengatakan apa yang ada dalam pikirannya, tidak peduli pada waktu dan tempat.
“Giveaway hanya menaikkan engagement pada rank sosial media, lebih mudahnya menarik follower dan keaktifan sosial media. Itu hanya menarik peminat, bukan pembeli.”
“Kami memiliki promo makan malam romantis untuk pasangan. Rencananya sudah matang untuk dipublikasi awal bulan depan. Setiap meja pesanan akan dihias bunga dan lilin,” ucap Anya antusias. Namun, melihat binar di mata Bima, dia curiga laki-laki itu sedang menertawakan dirinya. “Apakah itu ide yang nggak bagus?”
Bima tertawa sesaat. “Kamu mau buat tempat korek api ini kebakaran ternyata.”
Pernyataan itu menyinggungnya. Nyali Anya ciut. Teori dan praktik berbeda. Dia seperti remaja bodoh melebih-lebihkan tawaran aneh itu. Dari awal Bima tidak akan menolongnya. Dengan kesibukan perkerjaannya saja sudah menyita banyak waktu. Jelas laki-laki itu hanya ingin mengejeknya lagi.
Ada keheningan menegangkan. Seluruh situasi ini tidak nyaman, seperti memakai celana jeans ketat. Bima tahu perkataannya sudah menyinggung. Dia bergeser di kursi. “Begini, saya butuh beberapa data untuk menganalisa--”
Anya mengertakkan gigi. “Nggak, makasih. Saya bisa mengurus semuanya sendiri. Om nggak usah bantu.”
Mulut Bima terbuka, lalu menutup lagi. “Saya tidak berniat menyinggung, maaf.”
Anya memalingkan wajah. “Kami punya arah tujuan. Kalau saya butuh saran juga, saya bisa minta dari orang lain, banyak orang-orang yang paham, bukan Om aja ahlinya.”
Tangan Bima menggaruk pelipisnya. “Dengar, kalau tadi menyinggung itu nggak ada niatan dan udah minta maaf, oke? Saya cuman mau nawarin bantuan, jadi kamu nolak? ”
Dalam pikiran Anya hanya bagaimana menyingkirkan kaleng biskuit ini atau bertingkah menyebalkan, jadi ia bersedekap dan menatap dengan tatapan menantang. Setidaknya perlu untuk menjaga harga dirinya. Kepala Anya menggeleng. “Makasih udah mau repot-repot.”
Dan pandangannya beralih ke pintu keluar.