5. Perjodohan

1929 Words
Jam yang tertempel di dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Anya baru saja selesai mandi. Gadis itu menepuk-nepuk kedua pipinya pelan. Tubuhnya merasa segar, tetapi pikirannya masih carut-marut. Anya menyambar ponselnya yang berada di atas nakas dan menghubungi seseorang. "Ide kamu kayaknya nggak bakal terwujud deh, tapi aku bakal usahain apa pun semampu aku." Anya mendesah panjang setelah mengatakan itu. Gadis itu berjalan menuju lemari pakaian dan membukanya. Di seberang sana Alden mengerutkan kening bingung. "Den, aku punya kabar buruk," kata Anya ketika tidak ada tanggapan dari sahabatnya. Dia penjepit ponselnya dengan pundak, lalu mengambil kaus lengan panjang dan celana kulot. "Apa?" tanya Alden kemudian. "Aku dijodohin," aku Anya seraya duduk di tepi ranjang dan meletakkan baju dan celana yang sudah diambilnya di pangkuan . "APA?" teriak Alden. Anya menjauhkan ponselnya sesaat seraya mengosok kupingnya yang terasa pengang. "Aku tahu kamu dengar," kata Anya seraya memutar bola mata meskipun sahabatnya tidak melihat. "Dengan siapa?" tanya Alden setelah meringis. Anya memanyunkan bibir, lalu bergumam pelan, "Kamu nggak lihat sih ya waktu di kedai es krim. Nyebelin banget orangnya." Pikiran Anya berkelana saat di kedai es krim. Waktu dirinya menyanggupi untuk membayar pesanan mereka, Alden terlebih dulu pergi ke parkiran. Anya juga teringat saat bertemu di restoran, membuat kepala Anya pening seketika. "APA?" teriak Alden. "Ngomong apa sih?" "Budek," komentar Anya. Alden tertawa sesaat. "Dengan siapa? Kamu mau kawin dengan siapa?" tanyanya begitu tawa cowok itu mereda. Anya memberengut. "Bentar-bentar, mau ganti baju," katanya. Anya melempar ponselnya di ranjang, lalu sesegera mungkin memakai baju yang sudah dipilihnya. "Sibuk nggak?" tanya Anya begitu selesai. Sekarang dia duduk di meja rias  dan menyisir rambutnya. "Ada gitu yang mau ngawinin kamu? Sama siapa sih? Deketin cowok aja nggak pernah sukses," sindir Alden, tidak menjawan pertanyaan Anya. "Sama orang kaya raya," jawab Anya, lalu mendesah panjang. "Bagus dong. Nggak perlu capek-cepek cari duit. Derajatmu akan meroket dengan sendirinya," komentar Alden. Anya tidak menjawab. Kembali gadis itu mendesah panjang dan berat. "Ide siapa sih pake acara jodoh-jodohan?" tanya Alden. "Kayak Siti Nurbaya aja." "Aku nggak mau kawin sekarang. Apa lagi sama kaleng biskuit. Orangnya tuh nyebelin abis," keluh Anya, tidak menjawab pertanyaan Alden "Oh, namanya kaleng biskuit? Ibunya pasti waktu melahirkan punya hajat pengin makan biskuit," kelakar Alden. "Bukan ih," kata Anya. "Udah terima nasib aja. Sama orang kaya raya ini kawinnya. Syukur-syukur bukan om-om buncit. Instan sih, tap—" "Bisa nggak sih jangan ganggu pacar orang mulu?" potong Bella kesal, pacar Alden, setelah merebut ponsel cowoknya. "Nggak ada orang lain apa yang bisa diganggu? Lagi pacaran, telepon mulu. Telepon yang lain sana!" Sambungan telepon terputus sepihak. Anya kembali mendesah panjang, lalu merebahkan diri ke ranjang. Anya sangat mengerti. Gadis itu tidak marah dengan Bella. Bella memang akan seperti itu jika kencan bersama Alden terganggu. Apalagi lagi musim begini. Intensitas mereka bertemu sangat jarang. "Telepon yang lain?" gumam Anya kepada diri sendiri. "Siapa?" Anya mengulirkan ponselnya. Melihat kontak yang ada di sana. Tidak banyak Anya menyimpan nomor ponsel seseorang. Anya punya beberapa teman. Akan tetapi, dia tidak bisa seterbuka itu. Seperti halnya dia dengan Alden. Teman-temannya hanya perlu tahu kebahagiaannya saja. Suara teriakan seseorang yang membahana membuat Anya trsentak kaget. Sekarang teriakan itu bercampur dengan tangis yang terdengar mengerikan. Dari suaranya, sudah jelas itu adalah Tante Sinta. Diganggu rasa penasarannya, gadis itu keluar kamar dan menghampiri tantenya. Pandangan yang ada di depannya membuat Anya tidak percaya jika bukan dari mata kepalanya sendiri. Tante Sinta berteriak-teriak kesetanan seraya menangis sambil memukul-mukul lantai marmer berwarna putih. "Ada apa, Tante? Tante kenapa?" tanya Anya, lalu berjongkok seraya mengelus-elus punggung tantenya. Tante Sinta menatap Anya penuh nelangsa. "Berlian, Tante," erangnya. Kening Anya mengerut. "Berlian?" "Hilang sudah. Berlian Tante hilang," kata Tante Sinta, lalu kembali memukul-mukul lantai marmer. "Kok bisa? Emang Tante taruh di mana?" tanya Anya. "Itu .... " Tante Sinta mengantung ucapannya. Dia tersedak oleh tangisnya sendiri. "Sabar, Tante," ucap Anya, mencoba menenangkan. "Sabarr, sabar!" semprot Tante Sinta. "Orangnya kabur gimana mau sabar?" Anya melotot. "Maksudnya, Tante ditipu?" Tante Sinta tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia kembali meraung seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. "Berapa harga berliannya?" tanya Anya hati-hati. Belum sempat Tante Sinta menjawab pertanyaan Anya, Om Dedi datang tergopoh-gopoh sambil memanggil-manggil istrinya. "Sayang! Restoran kita yang di Bogor bakal diambil alih!" seru Om Dedi. Anya berdiri, menatap kaget omnya. "APA?" teriaknya. "Kamu gadaiin restoran kita ke siapa?" tanya Om Dedi. "Apa? Tante gadaiin restoran?" tanya Anya kepada omnya. "Iya, Om harus ke bogor sekarang. Om harus tahu masalahnya lebih jelas," kata Om Dedi. Tangis Tante Sinta semakin menjadi dan menggila. Disela tangisnya, beliau meracau bahwa dia ditipu. Berlian yang dibelinya hasil dari gadai salah satu restoran. Om Dedi marah besar. Namun, marahnya kalah dengan amarah Tante Sinta yang menggunung. Tante Sinta bahkan berteriak menyalahkan suaminya karena tidak bisa menyenangkan dirinya seperti dulu, yang bisa membelikannya berlian atau hal mewah lainnya. Anya memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Dia ingin berteriak, tetapi tidak ada suaranya yang keluar. Bisa-bisanya tantenya melakukan hal setega itu. Restoran yang susah payah dibangun oleh orang tuanya kini semakin terpuruk dan Anya tidak tahu harus melakukan apa. "Berlianku," racau Tante Sinta di sela tangis dan isaknya yang tak berguna. Sial! Sial! Sial! Nyuruh hemat, tapi dia sendiri beli berlian pake gadai restoran. What the f**k! rutuk Anya dongkol dalam hati. Anya kesal dengan tantenya. Anya marah dan marahnya lebih besar dari siapa pun. Akan tetapi, gadis itu tidak bisa melampiaskannya. Sepuluh tahun sudah dia dirawat oleh om dan tantenya dengan baik. Om dan tantenya tidak pernah membuatnya kekurangan. Namun, kali ini dia sangat kecewa dengan tindakan yang dilakukan oleh tantenya yang tidak bisa menahan diri saat pandemi seperti sekarang. Anya melipir. Bisa gila dan membabi buta jika dia tetap berada di sekitar tantenya. Dirinya juga terlalu lelah untuk mendengar ocehan tantenya yang terus-menerus menyalahkan omnya. Kepala Anya rasanya seperti mau pecah mengetahui kenyataan yang ada. "Anya! Anya! Anya!" panggil Tante Sinta. Anya membalikkan badan. Dia melihat tantenya terseok-seok menghampirinya. "Kamu harus nikah dengan Bima," ucap Tante Sinta berlinangan air mata seraya menggenggam tangan Anya terlalu kuat. "Secepatnya!" ***   Anya ingin mabuk. Hal yang ingin dia lakukan saat ini, tetapi terhalang oleh dirinya sendiri yang melarang keras untuk tidak merusak tubuhnya. Saat ini Anya sedang berjalan menggilingi kompleks perumahannya. Gadis itu ingin pergi jauh, tetapi kemauannya lagi-lagi terhalang. Dia butuh uang yang banyak untuk menyelesaikan masalah tanpa mengorbankan dirinya. Anya belum ingin menikah. Demi Tuhan! Dia saja baru berumur dua puluh dua tahun. Anya pernah bermimpi akan menikah muda, tetapi dengan pria yang mencintainya, bukan dengan orang asing yang menyebalkan. "Memangnya menikah itu mudah?" tanya Anya lebih kepada diri sendiri. Anya ingin menghubungi Alden, tetapi urung soalnya mungkin sampai sekarang masih kencan dengan pacarnya. "Kenapa bukan tante aja yang nikah dengan kaleng biskuit?" tanya Anya lagi mulai ngawur, tetapi tidak ada jawaban. Anya geregetan. Dia menempelkan keningnya di atas meja. "Kenapa harus aku yang jadi tumbal?" "Tumbal?" ulang Anya. "Apa aku harus ngepet dulu biar dapet uang banyak?" Anya merengek. Hal yang lagi-lagi terhalang untuk dilakukan. Karena lelag dan letih yang dirasakannya, Anya memilih duduk di salah satu bangku taman yang berada di komplek perumahannya. "Anya, ngapain di sini sendirian?" tanya seseorang yang Anya kenal. "Baru pulang kerja?" Anya balik bertanya basa-basi kepada Arga. Arga mengangguk. Anya mengamati laki-laki yang usianya baru memasuki awal tiga puluhan. Badannya bagus, tinggi, dan tegap. Memakai kemeja yang masih rapi dan terlihat seperti eksekutif muda, padahal Arga bekerja di salah satu rumah sakit. Wajahnya lumayan ganteng, tetapi kelakuannya minus karena sering gonta-ganti pasangan. "Mau ONS sama aku nggak?" tanya Anya tiba-tiba dan terdengar serius. "Mau," jawab Arga cepat. Anya tertawa. "Geblek, tapi nggak gratis." "Gratis dong," kata Arga. Tiba-tiba belakang kepala Anya ditepuk, membuat gadis itu mengaduh. "Kurang ajar! Cari mati, ya?" semprot Anya, menatap bengis siapa saja yang telah mengeplak belakang kepalanya. Anya mendesah panjang setelah tahu siapa pelakunya. Alden Prasetya. Gadis itu menunjukkan jari tengahnya, lalu menempelkan kening di atas meja. "Lo kalo mau gratisan, sama yang lain aja!" seru Alden kepada Arga sambil menatap tajam. Arga tertawa saja, lalu pamit undur diri diiringi oleh tatapan tajam Alden. "Udah gila? Seputus asa itu sampe ngajak ONS sama Arga, si tauge hidup?" tanya Alden seraya duduk di samping Anya. Anya mengangkat kepala, menatap Alden sambil mengangguk. "Bego!" seru Alden seraya menonyor kepala Anya. Anya mengusap keningnya seraya memanyunkan bibir. "Kok kamu tahu aku di sini?" tanya Anya. "Tahulah. Tinggal cari perangkat. Email-mu login di ponsel aku," kata Alden. Anya mencibir. "Sori, soal ucapan Bella," kata Alden. Anya mengangguk. "Nggak sakit hati seperti pertama kali kok." "Bella hanya khawatir. Padahal udah dijelasin ribuan kali kalo kita nggak mungkin ada apa-apa," ucap Alden. Anya menjentikkan jari. "Emang harus khawatir! Kata orang-orang nggak ada pertemanan antara cewek dan cowok." Kening Alden mengerut, tidak setuju dengan ucapan sahabatnya. "Adalah." Anya merengut. "Kamu ngomong gitu jangan-jangan suka sama aku. Kamu lagi ngasih kode?" tebak Alden. "Ih, najis!" seru Anya tak terima. Alden tertawa terbahak. "Atau kamu kali suka sama aku," kata Anya. "Cintaku sepenuhnya telah tercurah untuk Bella," sahut Alden. "Bucin," sindir Anya seraya menyipitkan mata. Alden mengamati sahabatnya itu dengan saksama. Mereka sudah bersahabat lebih dari sepuluh tahun. Alden merasa kasihan dengan apa yang menimpa Anya, tetapi tidak bisa membantu banyak. Kalau saja dirinya seorang milyader, sudah pasti akan memberikan segepok uang dengan cuma-cuma. Alden baru lulus kuliah. Semua kebutuhan masih ditanggung orang tua. Cowok itu sudah melamar kerja ke mana saja, tetapi belum ada yang menerimanya. Hanya sebatas interview, habis itu tidak ada kabar lagi. Orang tua Alden sanggup meminjaminya modal untuk usaha. Namun, Alden tidak percaya diri akan mampu mengembalikan atau mengembangkan usahanya di tengah pandemi seperti ini. Jadi, yang dilakukannya sehari-hari sambil menunggu panggilan kerja adalah membantu usaha orang tuanya yang merupakan pengrajin. "Den, kamu kalo punya sertifikat tanah, rumah, jangan main gadai-gadai aja!" seru Anya tiba-tiba. "Masih kismin gini gimana mau gadai surat-surat?" tanya Alden. "Siapa tahu kamu mau gadaiin rumah ortumu buat kawin sama Bella," kata Anya. Alden tidak menanggapi. "Tanteku sinting. Aku sakit hati. Aku butuh uang bermilyar-milyar!" cerocos Anya. Alden hanya mendengarkan karena sepertinya yang dibutuhkan Anya adalah didengarkan. "Den, anterin aku ke gunung, yuk? Jawab ya, jangan diem mulu," kata Anya terdengar random. "Emang pendakian buka?" tanya Alden. Bukannya menjawab, Anya balas bertanya, "Siapa yang mau ndaki?" "Lah, terus ngapain ngajak ke gunung?" tanya Alden, keningnya mengerut dalam. "Cari pesugihan," kata Anya mulai ngawur. Alden menonyor kepala Anya. Kali ini lebih keras. "Geblek! Emangnya gampang apa? Harus ada tumbal." "Ada tahu pesugihan yang nggak ada tumbal," kata Anya seraya merogoh ponselnya yang ada di celana. "Nih, aku pernah dapet sms. Katanya ada pesugihan tanpa tumbal. Hubungi Ki Sunteng. Bagi yang punya hutang, bisa lunas. Tuh ana nomer hapenya. Cepet gih hubungi." Anya menyodorkan ponselnya kepada Alden yang segera menerimanya. "Gini kok dipercaya," komentar Alden, lalu meletakkan ponsel di pangkuan Anya. Anya mengacak rambutnya frustrasi. Dadanya terasa sesak oleh perasaan yang campur aduk. Marah, kesal, sedih. "Kalo udah dirasa buntu, ya kawin aja udah sama yang mau dijodohin. Nggak ribet. Nggak rugi. Tinggal kawin doang. Bisa ngerasain nananinu nanti," kata Alden bercanda. Anya menangis. Air matanya menitik satu dua membasahi pipi. Melihat itu, ada sesuatu yang kasat mata menghantam hati Alden. "Ngomong mah gampang. Nggak tante, nggak kamu, sama aja. Nggak ngerti perasaan aku," ucap Anya di sela tangisnya. Dia melipat kedua tangan di atas meja, lalu menyembunyikan wajahnya di sana. "Yah, yah, yah, kok nangis," kata Alden panik. "Cep-cep-cep jangan diem." Tangis Anya semakin keras. Alden mendesah panjang dan menepuk-nepuk lembut punggung Anya. Dia akan membiarkan sahabatnya menangis hari ini. Besok atau besoknya lagi, Alden percaya bahwa sahabatnya bisa melewati dan akan baik-baik saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD