6 Salah Sangka

1964 Words
Pagi itu, sudah dua puluh menit Anya berdiri di balik pohon mangga depan kafe Bima. Berulang kali meyakinkan diri, bahwa hati dan kakinya tak melangkah ke tempat yang salah. Harga diri urusan belakangan. Yang penting nyawanya bisa selamat. Sejenak Anya mengingat, tatapan tajam tante Sinta yang seakan menembus jantungnya. Tiba-tiba d**a Anya merasa nyeri. Dia berjongkok di bawah pohon mangga sambil menggeleng dan kembali meyakinkan hati. "Oke, ini demi keselamatan dan kesejahteraan jiwa dan raga. Lupakan soal gengsi. Lupakan harga diri," ucapnya berkali-kali. Anya terus meremas ujung blus yang dikenakannya sebelum benar-benar mantap melangkah ke kafe Bima. Matanya celingak-celinguk memperhatikan keadaan. "Maaf, Mbak. Tapi kami belum buka." Salah satu pegawai perempuan di kafe Bima menghentikan langkah Anya. “Emm, saya mau ketemu sama Pak Bima, Mbak. Pak Bimanya ada?” Pegawai perempuan itu tampak bingung. Dia melirik Anya dengan tatapan menyelidik. Lalu melihat jam tangan di pergelangan kanan. “Sudah buat janji, Mbak?” Spontan, Anya menggeleng. “Belum, Mbak.” “Kalau belum ... Mbak pacar barunya pak Bima, ya?” Anya tersentak. Seakan terkena tendangan bebas, dia merasakan lambungnya tiba-tiba nyeri. Pacaran dengan kaleng biskuit itu? Yang benar saja! “BUKAN, MBAK!” Anya sedikit lepas kendali. "Oh, maaf deh, Mbak. Saya pikir pacarnya pak Bima. Soalnya pagi-pagi udah nyariin. Tapi ... Pak Bima sedang ada tamu di dalam, Mbak. Kalau Mbak mau menunggu ... silakan masuk. Saya antarkan ke lantai dua," tawar Rani dengan cengiran yang membuat Anya tak nyaman. "Oh, nggak perlu. Saya bisa nunggu di sini aja sambil lihat-lihat sedikit. Siapa tahu bisa dapat ide baru." "Hah? Maksudnya, Mbak?"  "Emm, saya juga mau bahas konsep design interior restoran saya dengan Pak Bima. Makanya mau lihat-lihat konsep kafe pak Bima dulu." "Hah?" "Saya ... punya restoran, Mbak. Saya ...." Anya menjelaskan sambil menepuk-nepuk dadanya. "Nah, saya ini punya restoran. Makanya saya mau bahas sesuatu yang penting sama si Bima itu. Eh, Pak Bima maksud saya." Seperempat emosi Anyasemakin terpanggil keluar. Jiwa kekepoan pegawai Bima benar-benar berakar. Tak ada habisnya. "Oooooh... Mbaknya punya restoran, toh. Terus Mbaknya mau lihat-lihat konsep kafe di sini?" "Ya ... kira-kira begitu." Anya mengangguk ragu. "Tapi nggak ada niat buat plagiat 'kan, Mbak?" Anya menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan suara. Nggak Bima, nggak pegawainya. Sama ajanyebelinnya!  ***  Tepat pukul delapan pagi. Kafe Bima sudah dibuka. Salah satu pegawai lelaki mengeluarkan standingboard bergaya retro yang bertuliskan OPEN. Tanda bahwa mereka siap melayani pelanggan lain setelah Anya. Anya masih nyaman menatap sekeliling. Secangkir latte yang disuguhkan Rani baru dia seruput dua kali. Konsep interior kafe Bima lebih menyita atensinya. Di langit-langit, tampak beberapa lampu gantung berukuran besar disusun sejajar dan wallpaper sederhana yang menghiasi satu bidang dinding. Sedangkan sisi dinding yang lain dipenuhi kaca yang menambah kesan hangat karena pencahayaan alami dari sinar matahari yang masuk. Di sudut yang berbeda, tampak rak besi bejajar berisikan pot-pot kecil tanaman hijau yang menambah kesan asri. Sementara itu, marmer dijadikan pilihan untuk lantai. Mungkin karena terbentuk dari material alami, tekstur dan coraknya semakin berkilau saat terkena bias cahaya matahari. Menampilkan kesan elegan dan berkelas yang membuat Anya tak henti mengagumi. Tak tahan terlalu lama menunggu, Anya memutuskan untuk melihat lebih jauh. Dia menatap lantai dua beberapa saat, sebelum memutuskan untuk pergi ke sana. Kantor Bima. Seperti yang pegawainya katakan tadi. Anya penasaran. Siapa tamu yang Bima temui sepagi ini. Dirinya saja sudah standby sejak jam setengah delapan tadi. Berarti tamu Bima datang lebih awal dari dirinya? Tamu macam apa? Pikiran Anya semakin dipenuhi pertanyaan seiring kakinya menapaki satu per satu anak tangga. Interior pada lantai dua sepertinya mengusung tema unfinishedstyle. Dipertegas oleh dinding bata pada tiga sisi dan lantai dengan material kayu. Anya melihat sekeliling dengan decak kagum. Ruangan bernuansa netral seperti abu-abu, cokelat, merah bata dan hitam ini ternyata dapat menghangatkan hatinya. Tiba-tiba Anya tersentak. Suara mengaduh dari balik pintu cokelat muda di ujung ruangan menganggu pikirannya. "Kantor Bima," ucapnya pelan nyaris tak terdengar. Semakin mendekat, semakin rasa penasaran itu menyerbak. Anya nekat mendekatkan telinga ke pintu kantor Bima. Terdengar suara wanita sedang berbincang samar dengan Bima sambil terus mengaduh lalu sesekali tertawa bersama. Saking semangatnya menguping. Tubuh Anya terhuyung mendorong pintu yang memang tak tertutup rapat sedari tadi. Air muka Anya mendadak berubah. Dia menyaksikan pemandangan yang tak seharusnya. Seorang wanita duduk di bahu sofa sambil menunduk. Sedangkan Bima berdiri tepat di hadapannya sambil memegangi kepala wanita itu. Anya menutup mulut, sedangkan matanya memelotot. Bima dan 'tamu'  wanitanya juga ikut tersentak.Cukup lama mereka saling menatap. Kemudian Anya mengernyit. Jijik sekaligus kesal. Yang benar saja jika dirinya harus dijodohkan dengan om-om c***l seperti Bima? Lebih baik jadi perawan tua! Tepat pada tarikan napas ketiga, Anya langsung mengambil langkah seribu untuk kabur tanpa sepatah kata. Dasar, Om-om m***m! Pagi-pagi sudah skidipapap! erang Anya dalam hati sambil memukul kepalanya berkali-kali. Jijaaaay!Arrrrghh! Pantesan cepat kaya. Ternyata rahasianyangejerat tante-tante kaya! umpatnya lagi sambil menuruni tangga secepat kilat. "Sudah ketemu dengan Pak Bi—" "Nanti aja, Mbak." Sanggah Anya cepat. Anya berusaha mendorong pintu kaca kafe Bima. Namun, usahanya tak membuahkan hasil. Kepalang kesal campur deg-degkan karena telah mendapat sarapan pagi yang membuat perutnya mual, Anya memukul pintu kaca itu sambil mengutuk. "Maaf, Mbak. Pintunya yang sebelah sana." Rani mengubah kekesalan Anya menjadi malu yang teramat. Tanpa menoleh apalagi mengucap terima kasih, Anya bergegas pergi. “Pasti ada cara lain. Pasti ada cara lain,”ucapnya meyakinkan diri sendiri sambil berusaha menghentikan taksi. Beberapa kali Anya melambaikan tangan, tapi tak ada satu pun taksi yang berhenti. Anya kesal. Menendang kerikil tak berdosa jadi pelampiasan. Ketika memutuskan untuk menyebrang jalan, Anya tersentak. Bima menarik tangannya. Spontan, Anya menarik tangan. Mengusap pergelangan tangannya beberapa kali. Anya masih merasa jijik jika membayangkan situasi tadi. Dia mundur beberapa langkah menjauhi Bima. “Maaf, ya om. Tadi sudah ganggu ritual paginya.” “Tunggu dulu, Anya. Kita harus bicara.” “Lain kali aja deh, Om. Sekarang ada urusan mendadak di resto,” jawab Anya asal, lalu bergegas pergi. "Tunggu! Biar saya antar."Tanpa permisi, Bima meraih tangan Anya. Membawa gadis itu menuju mobilnya. “Apaan sih, Om! Jangan pegang-pegang terus! Bukan muhrim!”Anya mengikuti Bima sambil memberengut. * * * Sepanjang perjalanan, Anya tak berbicara sedikit pun. Melirik Bima pun enggan. Sekian menit berlalu dalam kebisuan. Bahkan hingga hampir sampai di restoran Anya, mereka masih mempertahankan ego. Kecepatan mobil mulai berkurang ketika masuk ke area restoran. Bima melepas rem secara bertahap dan pelan sebelum mobilnya benar-benar berhenti. "Emh, Anya ... sebenarnya ada apa?" Pertanyaan Bima membuatnya urung menurunkan kaki. Ditutupnya kembali pintu mobil sepelan mungkin. Anya bingung harus menjawab apa. Bukankah terlalu canggung untuk membicarakan hal-hal yang baru saja dilihatnya? "Nggak kenapa-kenapa. Emangnya kenapa?” jawab Anya sengaja mutar-mutar. "Ya, maksud saya, ada apa pagi-pagi datang ke kantor saya. Kalau mau minum kopi aja 'kan bisa di bawah? Kenapa datang ke ruangan saya? Ada perlu apa?" Anya terdiam. Merangkai alasan yang tepat. “Itu ... Tante Sinta nyuruhsaya datang buat bawain Om makanan. Tapi saya bingung Om sukanya makan apaan. Bukan kemenyan, ‘kan?” selidik Anya. “Lagi pula, Om ngasi pelet apa sih ke Tante Sinta. Sampai Tante Sinta kecintaan banget sama Om?” Anya mendumel kesal. “Kamu nggak perlu repot-repot. Dan saya juga nggak pakai pelet. Saya memang calon menantu idaman ibu-ibu. Wajar aja kalau tante kamu suka sama saya.” “Ya sudah,  kalau gitu Om nikah aja sama tante saya!” Di detik yang sama Bima terbatuk. Gadis di sampingnya memang blak-blakan. Asal bicara tanpa memikirkan. Spontan, Anya meraih botol air mineral di sisinya. Membuka tutupnya lalu memberikannya pada Bima. Bima menenggak air mineral hingga tandas. Kemudian menyeka bibirnya yang basah terkena sisa-sisa air mineral. “Lagian om juga jangan suka m***m kalau di kantor. Untung ajasaya yang lihat. Kalau karyawan om yang nge-gap, bisa ancurimage om.” “Emang kapan saya m***m di kantor, Anya? Jangan suka mengarang cerita!” sanggah Bima tak terima. “Lah, tadi ... barusan. Di kantor. Sama wanita itu ....” Anya meletakkan kedua telunjuknya di depan hidung sambil melirik Bima dengan tatapan sinis. "Oh, wanita tadi?" Bima menyeletuk menganggap remeh. "Itu hanya rekan bisnis saya," lanjutnya lagi. Rekan bisnis apa yang bertemu pagi-pagi, mengaduh lalu tertawa juga meringis? "Kami membicarakan tentang investasi. Ya, karena keasyikan ngobrol jadi terkandang lepas kendali." Bima tersenyum, menyipitkan matanya. Mencoba tampak polos tak berdosa. “Nggak ada hal-hal m***m! Pokoknya jangan sampai kamu nyebarin berita aneh-aneh tentang saya, ya!” ancam Bima. Anya yang semakin banyak mengumpat dalam hatinya.Rekan bisnis, palamu peyang! Terkadang lepas kendali? Hah! Yang benar saja.“Iya, iya ... saya nggak akan ngomong aneh-aneh tentang om. Lagian saya juga nggak suka ngegosip. Apalagi ngegosipin om. Ih, nggak penting banget. Sudahlah. Bye!” “Jangan panggil saya om terus. Saya belum setua itu!” titah Bima yang tak dipedulikan sama sekali oleh Anya. “Ya ... ya ... ya.” Sambil melempar senyum masam, Anya turun dari mobil. Namun sial! Tali tasnya tersangkut pada pengunci sabuk pengaman. Anya harus menunduk masuk ke mobil lagi, untuk melepas tali tasnya. Melihat Anya kesusahan, Bima tak tinggal diam. Bima mendekatkan badan. Membantu Anya melepaskan kaitan tali tasnya. Tiba-tiba, sekujur tubuh Anya mendadak kaku. Darahnya berdesir saat melihat tengkuk Bima yang dibalut kerah kemeja. Anya menggigit bibir, perasaan aneh mendadak muncul. Entah kenapa, waktu seakan terhenti. Terlebih saat Bima mendongakkan kepala, menatap Anya terlalu dekat. "Anya ...." "I ... iya, Om eh Pak." Anya meneguk liur, bersiap jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan. "Kamu bisa mundur aja? Nggak enak kena napasnya," ucap Bima sambil mengipas-ngipaskan jari. Om-om kampret! *** Sudah enam gelas air putih Anya habiskan sejak lima belas menit lalu. Perutnya yang biasa rata kini terlihat buncit. Gembung. Kekenyangan minum air, kata pak Daffa. Suhu tubuhnya seperti melonjak naik dua kali lipat sejak datang ke restoran. Lebih tepatnya, sejak turun dari mobil Bima. Sungguh! Anya juga tak peduli jika Bima tak menyukainya. Namun, mengatakan napas Anyanggak enak dalam artia  bau itu sudah keterlaluan. Toh, Anya hanya menyantap kopi di kafe Bima pagi ini. Belum makan apa-apa. Kalaupun bau ya berarti bau kopi Bima. Busuk seperti pemiliknya. "Dasar-dasar om-om setres! Om-om m***m! Om-om c***l!!!" Anyamenggeberak meja dua kali. Enam gelas kosong ikut bergetar, bahkan hampir terjatuh. Untunglah Hani sigap menahannya. "Ibu ada masalah apa? Pagi-pagi udah uring-uringan." Anya langsung menatap Hani. Sorot matanya tajam. Hani ciut. Takut diterkam. "Ma—maf, Bu. Kalau saya lancang. Saya cuma—" Tiba-tiba, Anya berdiri. Mencondongkan kepala ke leher Hani. Lalu mengembuskan napasnya beberapa kali. Hani terdiam. Bahkan napasnya pun tak berani keluar. "Napas aku bau nggak sih?" Hani menggeleng cepat. "Eng—enggak, Bu. Enggak. Enggak bau, kok." Raut wajah Anya berubah. Senyumnya kembali menghiasi wajah. Tampak rasa puas menyambanginya. Anya kembali duduk sambil bersedekap dan menyilangkan kaki. "Emangnya kenapa, Bu? Ada yang bilang napas Ibu bau, ya?" "Terus terus ... penampilan akugimana? Akunggak menarik, ya?  Jelek, ya?" tanya Anya. Masih dengan mata memelotot seperti ingin menerkam. Hani belum menjawab. Masih mengolah kata dengan hati-hati. "I—ibu menarik, kok. Ibu cantik. Rambut ibu hitam panjang berkilau, kayak model iklan shampo. Kulit putih bersinar. Napas segar wangi sepanjang hari, terus—" "Stop, stop, stop! Kamu mau ngeledek, ya? Kurang-kurangindehnonton iklannya." Anya kembali duduk dan cemberut. Lalu merogoh ponselnya di dalam tas dan membuka mediasosial. Mencari sesuatu untuk menghibur diri. Sedangkan Hani sudah pamit pergi membawa enam gelas kosong dengan nampan di tangan kiri. Begitu cekatan. Mata Anya mendadak fokus. Saat melihat sebuah postingan foto muncul di laman explore. "Kenalkan si Cantik Ratu Amanda. Investor cerdas yang sukses di usia muda." Anya membaca tajuk postingan itu dengan sangat pelan. Matanya menyipit, seakan mengenali wajah wanita di dalam foto. "Ini 'kan ... perempuan yang tagi pagi? Yang skidipapap sama Om Bima?" Anya terbelalak setengah tak percaya. Kemudian menggigit bibir. Menyusun rencana yang tiba-tiba mampir di kepalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD