1. Demi Move On
"Mas Jagad?" Kinara menatap lelaki di hadapannya itu lekat. Ia baru saja dari toilet resto, hendak kembali ke mejanya, tapi sesosok lelaki yang wajahnya begitu familiar mengusik pandangannya, membuat langkahnya terayun mendekat. Seorang wanita bergelayut manja di lengannya. Ia paham betul, kekasihnya tak punya saudara kandung perempuan, lalu siapa wanita itu?
Wajah Jagad pucat. Bergantian ia menatap waita di sampingnya lalu Kinara. "Kinara, ini-"
"Ini, calon istri Jagad." Belum selesai lelaki itu bicara, seorang wanita paruh baya yang berjalan dari arah belakang buru-buru menyambar ucapanya.
Kinara menelan ludah.
"Wah, kita bertemu di sini Kinara," ucap wanita itu berbasa-basi. Wanita itu cukup mengenal Kinara. Sudah beberapa kali Kinara ke rumahnya untuk mengantarkan pesanan makanan. Hingga kedatangannya yang ketiga, membawanya bertemu Jagad, anak si pemilik rumah, kakak kelasnya semasa SMU.
"Sandra namanya, sedang menempuh S2 di Australia." Dengan bangga, Mama Jagad mengenalkan calon menantunya. "Sebentar lagi mereka menikah."
Berusaha melawan bulir yang hampir tumpah dari pelupuk mata, Kinara menyambut uluran tangan Sandra. Bersamaan dengan itu, secara refleks otaknya sibuk membandingkan dirinya dengan wanita yang tampak sempurna di hadapannya. Sudah cantik, berpendidikan tinggi pula. S2 Australia versus lulusan SMU Surakarta. Kinara merasa kalah telak.
"Selamat ya," ucapnya setenang mungkin sambil menoleh pada Jagad. Raut lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama enam bulan itu tampak bingung.
"Kinara, sebenarnya aku-"
"Nanti, pasti kamu diundang." Kembali wanita itu memotong ucapan putranya, tak memberi kesempatan untuk bicara.
"I-iya, tante." Kinara berusaha tersenyum. Ia tak tahu apakah Mama Jagad sudah mengetahui perihal hubungannya dengan anaknya. Atau justru sengaja ingin memisahkan mereka karena tak merestui.
"Saya permisi dulu." Tanpa menunggu jawaban, Kinara pergi. Ia bahkan tak pamit pada Marsha, yang bersamanya datang ke resto ini.
"Kinara, tunggu!" Jagad ingin mengejar Kinara, namun tangan sang Mama menahannya. Memberi kode agar lelaki dua puluh tujuh tahun itu kembali duduk.
Kinara berjalan cepat. Sesekali ia menoleh, berharap Jagad mengejar. Ia sampai rela pulang berjalan kaki, supaya Jagad tak kehilangan jejaknya. Namun, yang ditunggu tak jua hadir.
"Ah, aku tak seberharga itu untuk pantas diperjuangkan, ternyata." Kinara membatin sedih.
???
Kinara meremas koran dengan gemas. Sudah tiga bulan putus dari Jagad dan ia belum juga mendapat pekerjaan yang mapan. Padahal malam itu juga ia sudah bertekad, akan mencari uang yang banyak lalu kuliah, agar tak ada lagi orang yang meremehkannya. Khusunya Jagad, akan dibuatnya menyesal karena telah memilih wanita lain.
"Kenapa Ra?" tanya Marsha yang sedari tadi duduk di sampingnya bermain ponsel.
"Lowongan di koran nggak ada yang menarik!" Kinara menghempaskan koran di tangannya.
"Koran?" Marsha tergelak. "Ra, hellow, hari gini kamu masih cari lowongan pekerjaan lewat koran? Nggak sekalian nyari di batang pohon sama tiang listrik?"
Gadis manis berkulit kuning langsat itu hanya melirik sinis, sembari menarik napas panjang. Sementara sahabatnya, menggeser duduknya mendekat. "Hari gini tuh, cari lowongan di twitter, i********:, atau linked in," ujarnya sambil memencet tombol ponsel.
"Kamu tau kan, Sha. Aku udah menonaktifkan semua akun socmedku."
Semenjak pertemuannya terakhir dengan Jagad, Kinara memutuskan untuk menutup semua akun sosial medianya. Ia tak mau tergoda untuk mengintip aktivitas lelaki yang kini telah menjadi mantannya. Lagipula, apa gunanya socmed baginya? Agar tetap terhubung dengan kawan lama?
Ya, itu memang alasan ia membuat media sosial beberapa tahun lalu, tapi kini ia justru memilih menjauh dari kawan-kawan lamanya itu. Untuk apa jika terhubung dengan mereka justru membuat ia merasa rendah diri.
"Kinara? Yang selalu juara kelas itu kan? Kerja di mana kamu sekarang Ra? Wah, pasti udah jadi manajer atau jangan-jangan CEO. Dari dulu kamu kan orangnya kompetitif banget."
Gila, itu pujian atau sindiran. Kenyataannya saat ini ia hanya anak seorang penjual nasi uduk yang hari-harinya banyak dihabiskan di pasar untuk jualan. Sementara mereka yang dulu bahkan dapat ranking bontot di kelas, sudah melanglang buana ke mana-mana, entah itu urusan dinas atau sekedar jalan-jalan menggunakan uang pribadi. Gaji mereka besar, jabatan mereka tinggi. Kinara tak ada apa-apanya.
Selepas lulus SMA dan ayahnya meninggal dunia, perekonomian keluarganya carut marut. Uang santunan kematian ayahnya dari kantor ludes, termakan iming-iming investasi bodong. Ia dan keluarganya terpaksa pindah dari Solo ke Bantul, kampung halaman sang ibu. Sebagai anak sulung, tentu saja ia merasa berkewajiban membantu ibunya mencari nafkah, sehingga urusan sekolah menjadi terlupakan.
"Eh-eh lihat nih!" Marsha menyodorkan ponselnya pada Kinara. "Ada lowongan sebagai asisten artis." Ia menekan lama layar ponsel, agar IG story seseakun yang menampilkan iklan itu dapat dibaca dengan seksama oleh sahabatnya.
"Asisten? Maksudnya pembantu?" Kinara mencibir, seolah pekerjaan itu hina sekali baginya. Kinara yang selalu langganan juara umum di sekolah bekerja menjadi pembantu? Apa kata teman-temannya nanti.
"Bukan pembantu, Ra. Ini lebih ke ...." Marsha berpikir sejenak, berusaha meyakinkan Kinara bahwa pekerjaan ini tak seburuk pandangannya. "Ya, semacam orang yang selalu mendampingi si artis, membantu menyiapkan segala keperluannya."
"Sama saja, pembantu namanya!" tukas Kinara.
"Oke, anggaplah pembantu. Menjadi pembantu artis gajinya gede, Ra. Tuh, asistennya Rapi Amad, katanya gaji sebulan aja udah bisa buat beli motor!"
Iming-iming Marsha berhasil membuat Kinara tergiur. Apalagi, ibundanya pun sudah memberi restu. Adik Kinara, si anak lelaki nomor dua sudah kelas dua SMA, sudah bisa menggantikannya untuk membantu ibu berjualan.
Tak apalah jadi pembantu, toh teman-teman sekolahku tak ada yang tahu. Lagipula aku perlu sejenak menjauh dari kota ini. Terlalu banyak kenangan bersama Mas Jagad yang membuatku sulit move on.
Segera Kinara mengirim pesan untuk kontak yang tertera pada info lowker yang dibacanya.
"Maaf, saya mencari asisten laki-laki." Diandra-si pemasang iklan lowongan menjawab pesan Kinara.
"Wah, kenapa Kak? Kenapa harus lelaki? Saya tidak bisa mengubah jenis kelamin menjadi lelaki. Tapi saya bisa melakukan hal-hal yang biasa lelaki kerjakan. Saya bisa ngangkat galon sendiri, bisa berkelahi, dan biasa begadang. Apalagi? Kakak sebutkan saja kebutuhannya apa."
Diandra mengirim emoticon tertawa. Lalu melampirkan draf hak dan kewajiban pada obrolan chatnya dengan Kinara. Memberi kesempatan pada gadis itu untuk mengikuti tahap seleksi.
"Kalau sudah oke, datanglah besok."
Tanpa pikir panjang, Kinara buru-buru membeli tiket kereta Yogyakata-Jakarta. Kalaupun tidak mendapatkan pekerjaan itu, ia sudah berencana akan liburan sambil mencari pekerjaan lain di Jakarta. Ada seorang pamannya yang tinggal di Jakarta, jadi ia tak perlu bingung soal penginapan.
???
Diandra melirik jam di tangannya untuk kesekian kali. "Sebentar ya, Kinara. Adikku sedang menuju ke sini. Aku sih sudah oke, tinggal menunggu keputusannya nanti." Entah mengapa pada pertemuan pertamanya dengan Kinara, Diandra sudah merasa klik. Dia merasa bisa mempercayakan segala urusan adiknya pada gadis itu.
Kinara mengangguk seraya tersenyum memaklumi. Diam-diam, calon bos wanitanya yang terlihat santun, membuat ia berpikir, adiknya pasti tak jauh berbeda.
Ia baru ingat, kalau belum terlalu mempelajari profil calon bosnya. Ia hanya tahu namanya Galang. Itupun dari Marsha. Katanya sih, calon bosnya merupakan pemeran utama sinetron Aroma Cinta yang lagi banyak digandrungi ibu-ibu saat ini.
Ia tak menonton sinetron itu. Mungkin, ibunya yang menonton. Tapi nama Galang sepertinya familiar. Ah, dia kan artis, tentu saja namanya banyak menghiasi infotainment ataupun beranda sosial media. Dalam hati Kinara menertawakan kebodohannya.
"Nah, yang ditunggu sudah datang."
Kinara menoleh, mengikuti arah pandang Diandra. Sesosok lelaki berjalan gagah dengan mengenakan setelan jas semi formal. Kinara menengadah demi melihat wajah calon bosnya dengan seksama, hingga mata mereka bertemu dan keduanya terpaku cukup lama. Waktu seakan berjalan mundur membuat memori tiga belas tahun silam terpampang nyata di depan mata.
"Jadi, Galang ... kamu?" Kinara terbata.
"Flo?"