BCP- 4

2077 Words
Tara kembali ke lantai dasar dengan wajah lebih segar setelah mandi sore. Dia pikir tamu datang tadi sudah pulang, Tara lupa kalau Tyas pasti akan menahan tamu itu karena kedekatan juga sudah lama tak jumpa. "Mbak Erin!" Panggil Tara berpapasan dengan pengasuh Clarie yang diperkerjakan Mami sejak putrinya masih bayi. Erin berusia di pertengahan tiga puluh, masih terbilang muda, tenaganya bisa seimbangi aktifnya Clarie yang tak bisa diam. Kalau Mami sendiri yang jaga Clarie, dia bisa kelelahan. Sang punya nama yang di panggil langsung berhenti, menatap pada Tara. "Ya, Pak?" "Clarie sudah mandi? Di mana anak-anak?" Tara belum melihat juga dengar suara berisik anaknya maupun Aileen. "Clarie sudah mandi, sekarang lagi di ruang keluarga sama yang lain juga tamunya ibu Tyas." Beritahunya, Tara mengangguk lalu menuju ruangan yang di bilang Erin. "Cedaaap, Bu! mau agih" Belum lihat Tara sudah bisa bedakan itu suara Clarie, karena Aileen itu suaranya lembut tak cempreng seperti putrinya. "Makan apa, Bunny?" Tanya Tara pada putrinya begitu lihat Clarie yang duduk di sisi kiri Tyas sementara Aileen di sisi kanan. Kemunculan Tara menarik atensi semua mata di sana. "Agellll!" jawab Clarie dengan mulut penuh. "Calah, nih pudin Papa Talaa!" Aileen membenarkan. Clarie memang belum bisa bedakan Agar-agar, puding mau pun Jelly. Tyas tertawa, "puding mangga yang tepat sayang, buatan siapa coba kasih tau Papa Tara." Tyas mengusap bibir mungil ke dua anak itu. "Nti ia!" tunjuk ke duanya pada Yulia, wanita yang berpakaian tertutup dan longgar itu adalah teman adiknya sejak mereka kerja di salah satu hotel mewah di kota Bandung. "Kalau enak bilang apa?" Tyas selalu ajarkan anak-anak untuk ucapkan terima kasih atau maaf jadi hal-hal penting membentuk karakter mereka nanti. "Maacih!" "Than yuck!" Kata Ai dan Cla bersamaan membuat Yulia tersenyum manis. "Nti Lia juga Happy kalau kalian suka." Adiknya itu memiliki beberapa teman wanita akrab yang lebih di sebut sahabat, bertemu ketika di tempat kerja dan Tara baru di kenalkan ketika pernikahan adiknya. Tyas akan mengabari jika sedang ada di Bandung, mereka sempatkan diri bertemu saling mengunjungi. Kadang Tara tahu mereka kalau ada waktu liburan ke Bali, pasti menginap di rumah Tyas. Yulia, setiap datang pasti akan bawa kue-kue enak. Setahun ini sahabat Tyas itu sedang jalankan usaha kudapan manis tradisional. Mulai terkenal, bahkan Mami jadi pembeli tetap. "Coba sini aku coba." Tara ikut bergabung untuk menikmati puding mangga yang dari aroma saja sudah tercium enak. Tyas menyerahkan sepotong puding mangga, lalu menyiramnya dengan vla vanila. Rasanya memang seenak aromanya. "Rasanya memang lebih enak dari puding buatan kamu, Tyas." Goda Tara. "Tuh Li, Ka Tara saja mengakui." Tyas menyeringai pada sahabatnya, dengan tatapan yang jelas Tara kenali "Jelas bedalah, Lia ahlinya." Lanjutnya detik kemudian mencebik kesal pada Tara. Tyas buatnya juga pakai puding instan yang tinggal tuang air dan gula, lalu masak. Pasti rasanya beda dengan puding dari buah asli. "Hm, Mami tuh suka pesan kue apa tuh yang kayak Mie di bulat-bulat terus di siram air gula merah." "Oh Putu Mayang, bukan ka?"  "Nah iya itu, enak, aku suka." Kata Tara mengakui. "Bicara putu Mayang ada kisah istimewa itu, Ka. Ada sejarah penting." Saut Tyas, pipinya sudah merona. Suara langkah seseorang mendekat terdengar dan Dhito ikut bergabung, mengangkat Aileen dan duduk tepat di sisi Tyas. "Jujur sama saya, Li. Waktu itu Tyas minta kamu tambahkan serbuk cinta di kue Putu Mayang itu, ya?" Dhito ikut bicarakan Putu Mayang, Tara hanya menyimak. Dia tak paham ada sejarah apa di kue tradisional enak dan serbuk cinta yang di bilang Dhito. Tyas kembali tertawa, begitu pula Yulia dan Dhito. "Kakak nggak penasaran?" Tanya Tyas melihat Tara dalam sekejap habiskan puding. "Paling ada hubungannya sama kalian berdua. Males ah dengarnya!" Tara lalu mengusap puncak kepala Clarie dan berdiri. "Mau ke mana, Ka?" "Aku mau keluar, ada ketemu teman. Mau ikut dhito? Kamu pasti senang." Katanya ambigu, Tara memang sudah ada janji dengan temannya. Dhito menggeleng kecil. "Siapa sih, ka?" Tyas yang penasaran. "Ada seseorang." Katanya sok misterius. Tyas memutar bola matanya malas. "Oh sekalian aja, Lia juga mau pulang, Kakak bisa tolong antar Lia?" Kata Tyas lagi. Tara santai saja, tapi Yulia terlihat terkejut atas ucapan Tyas, dia merasa tak enak. "Eh, nggak usah ka! Saya pesan taksi." Yulia terlihat melirik Tyas, dan Tara melihat adiknya malah senyum-senyum dan mengedipkan mata. "Lebih baik ongkosnya kamu simpan, saya antar. Ayo!" Tara tak menunggu Yulia untuk menolak begitu berbalik dan melangkah dia masih dengar protes Yulia pada adiknya yang tertawa. *** Sepanjang jalan Tara menangkap teman adiknya itu duduk kaku, tak mengatakan apa-apa kecuali menatap lurus pada jalan di depan. Tara hanya kenal sebagai teman adiknya, dia sama tak niatnya mencari topik untuk di bicarakan. Jadi membiarkan lagu-lagu mengalun dari stereo mengisi sunyi. "Hm, sori saya ngerepotin Ka Tara." Katanya pelan sekali, nyaris berbisik. "Sekalian saya keluar." Tara menjawab tanpa menoleh. "Kakak pasti sudah di tunggu teman." Meski Tara bilang tak apa-apa, Yulia tetap tak enak. "Dia bisa menunggu." Yulia mengangguk. Lalu sunyi kembali. Sebenarnya jika ada seseorang bersama di mobil, Tara tak suka membiarkan suasana sepi dan semakin canggung, perjalanan akan terasa lebih singkat jika sembari mengobrol dan tak terasa bosan ketika hadapi padatnya jalanan. "Usaha kamu gimana?" Maka dari itu dia akhirnya bertanya. Yulia menoleh padanya, dari ujung mata Tara menangkap wanita itu tersenyum. "Udah stabil Ka, berkat promosi tante Tantri saya punya banyak pembeli tetap." Tara tidak heran mendengarnya, Mami punya kenalan banyak, cara promosi kaum ibu-ibu cukup dari mulut ke mulut saja sudah bisa menarik minat lingkungannya. "Sistem marketing manual itu jitu. Mami cukup yakini teman-temanya, lagi pula kue-kue kamu enak dan berbeda." "Berbeda?" "Iya, kebanyakan orang yang pilih usaha di bidang kuliner kudapan manis pasti larinya ke toko roti modern. Kamu berani beda dengan kue-kue tradisional. Awesome!" Yulia makin tersenyum mendengar pujian dari lelaki itu "Mungkin karena dari kecil saya terbiasa bantu orang tua buat kue tradisional. Udah jualan ini sejak lama, saya hanya meneruskan." "Meneruskan dan memajukan itu beda arti di dunia bisnis. Meneruskan tinggal melanjutkan yang ada, memajukan itu penerusnya memikirkan inovasi produk dan sesuaikan dengan penerimaan masyarakat yang jelas berbeda dari jaman orang tua kamu. Misal dari kemasan, kamu pasti memikirkan agar efisien dan bisa di terima oleh segala lapisan masyarakat, termasuk anak-anak muda sekarang. Biar mereka bisa tetap bangga, posting kue putu mayang seperti mereka sedang makan cake redvelvet." Yulia tentu setuju. "Kakak benar, saya juga pikirkan itu agar kue tradisional ini tetap di kenal di generasi-generasi berikutnya." Katanya. "Usaha itu kuncinya sabar, atur strategi pemasaran, dan tingkatkan kualitas jualan." Yulia mendengarkan dengan sesama dan diam-diam wanita itu mengakui bahwa bicara dengan seseorang yang punya pikiran dan wawasan luas tak akan bosan, seperti Artara Rashid. Dari obrolan usaha kue-kue buatan Yulia, berhasil membuat perjalanan terasa lebih singkat tahu-tahu mobil Tara sudah berhenti tepat di depan toko kue sederhana milik Yulia. "Udah sampai, makasih ka Tara." Yulia melepas seatbelt, menghadap Tara yang kali ini juga menatapnya. Tara perhatikan diantara teman adiknya, penampilan Yulia paling religius. Wajah-wajah perempuan yang kalau di tatap buat hati sejuk. Senyum tipis terlukis di wajah tampan Tara, dia menatap sejenak toko kue tradisional milik wanita ini yang sepertinya sedang ramai. "Sama-sama, terima kasih juga untuk puding mangga enaknya. Clarie dan Aileen sampai nggak bisa berhenti makan." "Saya senang kalau anak-anak suka. Hm kalau gitu saya keluar, and drive safe, Ka Tara." Tara mengangguk kecil, masih memerhatikan wanita itu yang buka pintu. "Lia!" panggilnya begitu Yulia sudah di luar, menutup kembali pintu dan Tara menurunkan kacanya. "Ya, Ka?" "Lain kali kalau ke rumah, saya mau di bawakan putu mayangnya. Don't forget." Yulia tersenyum manis sebagai persetujuan juga mengacungkan satu ibu jari. "Sipp deh! Pasti saya bawakan, atau mau sekarang? Di dalam mungkin masih ada untuk ka Tara." Tara terkekeh, "Nggak, lain kali aja. Saya ada janji dengan teman." "Oh okay, Bye Ka." Tara kembali melajukan mobil menuju salah satu kafe tempat janjian bertemu dengan temannya. *** Langkahnya pasti menuju pintu kafe tempat di sepakati dengan seorang teman. Mencari seseorang, tak sulit menemukan temannya itu yang sudah duduk santai dengan secangkir kopi hangat. "Sori, Bro antar seseorang dulu tadi." Tara menarik kursi tepat di depannya. Lelaki itu menyeringai "Ladies?" "Tepat, temannya Tyas." Gantian Tara tersenyum saat sengaja sebut nama adiknya, pasti berpengaruh padanya. Temannya ini hampir di jodohkan dengan Tyas jika saja tidak punya pilihan sendiri dan mencintai lelaki lain. Rian Hermawan, teman sejawat. Mereka kenal ketika sama-sama kuliah di London, orang tua mereka pun saling mengenal sampai Tara sendiri terkejut dari pengakuan Rian tertarik pada Tyas sejak dikenalkan pada waktu Tyas sendiri masih pakai seragam putih abu-abu. "Oh, Tyas apa kabar?" "Baik, mainlah ke rumah, lo belum kenalan sama anaknya Tyas, Aileen. Dia lagi ada di Bandung." Rian berdecak, "Kenapa sih berat banget? Masih ada perasaan sama adik gue?" Inilah kenapa Tara tadi bilang pada adik iparnya bahwa Dhito akan senang bertemu Rian, dari pengakuan Tyas, mereka pernah bertengkar karena Dhito bilang Rian adalah Rival terberatnya. "Hahah..." Rian tertawa, "kita ketemu bukan mau bahas soal cewek aja, kan?" "I think so, you look masih betah sendiri." "Gue hanya belum menemukan yang sesuai, Man. Gue memang sendiri, tapi bukan berarti kesepian." Ucap Rian mengundang tawa keduanya. "Hahah... untung adik gue nggak jadi sama lo!" Tara menggeleng-geleng kecil "Lo patah hati setelah jatuh cinta dengan berakhir penolakan adik gue yang pilih lelaki jadi suaminya sekarang." Gurau Tara lagi. "Lo tau betul itu, Tara. kenapa harus di perjelas, Man! Hm satu lagi, kalau Tyas nikah sama gue udah pasti gue akan setia." mengatakan itu dengan ekspresi luka yang di buat-buat, membuat dua lelaki berkarisma itu kembali tertawa. Untung Rian teman yang sabar, tak mudah tersinggung karena memang begitu adanya. "Tyas udah bahagia, lo juga yang merelakan." Beberapa tahun lalu Rian pernah cerita soal pembicaraan dengan Tyas yang secara langsung menolaknya karena telah mencintai seseorang yang tak lain Dhito. Tara salut pada Rian yang tak bersikeras untuk bisa bersama Tyas, padahal Rian bisa saja bersikeras dengan dekati Mami pasti akan berpihak padanya. "Gue menghargai keputusan Tyas yang dengan berani langsung bicara jujur sebelum gue berharap terlalu jauh. Pernikahan akan berjalan atas persetujuan kedua belah pihak, gue hanya akan buat pernikahan kami jadi tak benar jika gue memaksa dan dia nggak bahagia, saling menyakiti. Memang bukan jodoh, ya udah." Tara setuju. "Gue yakin lo sepakat dengan ini, bicara soal jodoh sama halnya dengan kelahiran bayi, rezeki bahkan maut. Lo, gue dan manusia mana pun di muka bumi ini nggak akan ada yang bisa perhitungkan itu, bahkan firasat aja nggak, kapan waktunya tiba. Itu rahasia takdir, penelitian mana pun nggak ada yang bisa temukan rumus apalagi teknologi untuk pecahkan takdir." Lanjut Rian. Bukan hanya sepakat, Tara sudah lewati keduanya. Menemukan pasangan tepat lalu terpisahkan oleh maut. "Pada akhirnya, meski telah menemukan. Kata perpisahan selalu ada setelah pertemuan, terlebih di dunia ini nggak ada yang abadi untuk terus bersama dan miliki selamanya." Di Akhir kata, Tara tersenyum super tipis. "Kehilangan istri, lo jadi motivator cinta gini, Tara!" Rian berdecak kagum lalu Rian memanggil salah satu pelayan karena Tara belum pesan apa-apa. Bicara cinta dan kehilangan, Tara selalu merasa sesuatu yang sesak di dalam dirinya. Sadar bahwa kini dia berada diantara suasana yang ramai, tapi orang terdekat yang duduk di hadapannya saja tak tahu bahwa dia merasa sepi. Tara menghela napas kembali, mata Tara lurus menatap mini panggung di depan, bertepatan dengan salah seorang yang sepertinya pengunjung kafe naik ke panggung. Ketika sore seperti banyak kafe, di sini juga ada Live konser. "Lihat apa sih, Bro?" Tanya Rian penasaran ikut bergerak untuk lihat ke panggung. "Gue kira pengunjung itu mau nyanyi." Gumam Tara. Rian sudah kembali ke posisi awal, tak lanjut memerhatikan. Dia menghadap Tara. Tak lama pelayan datang antarkan pesanan Tara, bertepatan dengan sebuah alunan nada yang sangat indah dari biola di mainkan terdengar. Membuat tatapan mata Tara kembali lurus. Menemukan pengunjung itu yang pegang biola. Everything I need dari Skylar Grey di mainkan dengan indah, entah pemain biola yang ahli, dengan nada-nada sudah bisa jelaskan isi lagu tersebut. Tara hafal lirik lagu tersebut, merasa sesuai dengan kehidupannya. Beberapa lirik lagu memiliki arti yang dalam. Cause baby, everything you are. (Karena sayang, apa pun kamu) Is everything I need. (adalah segala yang aku butuh kan) You're everything to me. (kamu adalah semua yang aku butuh kan) [to be continued] Komentar yuk yang seru seperti biasa, selain Next/Lanjut ya. Ternyata, di cerita ini ada Rian Juga lho. Hahah...  Apa jangan-jangan udah ada Team Support nih, Team Tara-Yulia atau masih berharap ada perempuan lain?  Pastinya Ikuti alur aja ya, thank you :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD