BCP- 3

1929 Words
Perubahan dari waktu ke waktu akan terlihat dalam setiap perjalanan hidup. Di usianya, Artara Rashid telah melihat perubahan pada sekitar mau pun dirinya sendiri. Kadang Tara masih tidak percaya bahwa perubahan demi perubahan ada di depan matanya. Hingga dia sampai pada di pijakan hidupnya sekarang, mau tidak mau harus di akui perubahan itu nyata, harus di hadapinya.  Termasuk perubahan pada keluarga-nya. Seperti suasana rumah keluarga Rashid jauh lebih ramai dibanding beberapa tahun lalu sebelum ada si kecil Clarie dan Aileen, bawa warna tersendiri. Dulu, rumah semegah itu hanya di huni pasangan Rashid dan beberapa asisten rumah tangga. Ke dua anaknya bagai burung yang pilih terbang tinggalkan sarang dengan tujuan masa depan masing-masing. Menjalani pilihan hidup masing-masing. Meski prosesnya tidak mudah. Tyas masih di kota yang sama hanya mandiri tinggal di indekos sederhana, bahkan Tara masih terkagum-kagum dengan tekad terbilang nekat yang dilalukan adiknya. Membuktikan pada penilaian orang di luar sana, kalau dia bisa berdiri di kakinya sendiri meski memiliki nama orang tua yang besar. Dengan prinsip itu dan Tyas berani ambil pilihan hidup, menyuarakan keinginannya berhasil membuat ego Tara sebagai laki-laki tersentil dan punya keberanian yang sama dengan pilihan hidupnya. Sedangkan Tara menetap di belahan dunia lain, London, Inggris. Karier Tara ikuti jejak Adam Rashid, sang Papi menjadi Lawyer. Bukan karena paksaan ke dua orang tua, berbeda dengan Tyas yang sama sekali tidak berminat pada profesi ini justru Tara selalu tertarik melihat cara kerja Papi sejak dia masa kanak-kanak. Menjadikan Papi seperti idola, berharap bisa seperti Papi. Papi bukan pengacara yang ambil kasus berdasarkan bayaran dari kliennya, tapi, Papi punya prinsip hanya akan tangani kasus untuk klien yang berani untuk jujur. Papi berhasil lunturkan stigma liar di masyarakat tentang Advokat atau Lawyer yaitu—Profesi yang kerap tidak peduli di pihak benar atau salah, akan bela mati-matian yang penting honorarium tinggi—padahal tidak seperti itu. Tara tidak ikut campur bagaimana setiap orang jalani profesi atau karier mereka. Semua balik ke karakter masing-masing. Lagi pula dalam setiap pekerjaan pasti ada kode etik, termasuk profesi seorang lawyer dan semua orang tak sama, jika di luaran sana ada yang seperti itu bukan berati lainnya tidak punya nurani hingga lakukan hal sama. Masih banyak kok di luar sana yang bekerja dengan hati nurani, bersikap manusiawi dan peduli sesama. Atas prinsip kuat itu, Papi dapat banyak piagam sebagai penghargaan best lawyer tidak hanya di Indonesia tapi International. Setiap itu pula ada rasa menggebu-gebu dan bangga di dalam diri Tara, seperti darah yang sudah dasar ada pada dirinya sampai bertekat untuk ikuti kesuksesan Papi. Rashid sendiri sudah memiliki nama besar sebagai salah satu firma hukum, Tara tentu akan mudah mulai kariernya tanpa perlu bersusah payah from zero to hero. Namun, melihat Tyas berani mandiri dan melepas nama belakang Rashid dalam pilihan hidup, buat Tara malu jika hanya tinggal duduk manis. Lalu dia yang memang lanjutkan pendidikan di London, dapat tawaran gabung di salah satu firma hukum bergengsi di sana meski mulai dari nol. Setidaknya itu bisa jadi pintu menuju kesuksesan hasil kerja kerasnya. Selain itu di negara asing, orang-orang tentu tak akan kenal siapa orang tua dan nama belakangnya. Bertahun-tahun tinggal di negara asing sampai Tara jatuh cinta pada seorang dokter anak bernama Clarisa. Bule cantik dan mandiri, mereka menikah dan punya Clarie.  "Bagaimana menurut kamu, kak?" Suara lembut adiknya buyarkan lamunan Tara akan perjalanan hidupnya. Kondisi Mami sudah membaik, meski Mami hari ini tak di biarkan keluar kamar agar lebih pulih. Tara sudah duduk di sofa santai halaman belakang bersama Tyas dan Dhito, sembari perhatikan anak-anak yang berlarian kesana-kemari diatas rumput terawat, di jaga dengan pengasuh. Suara tawa yang renyah terdengar riang buat suasana tetap hangat meski mendung telah memayungi langit sore ini sampai akhirnya tatapan Tara terhalau banyak kenangan, dan tidak sadari jika itu di perhatikan adik serta adik iparnya. "Ini soal apa? Sori, I not heard apa yang kamu tanyakan barusan." Tyas menghela napas, menoleh pada suaminya yang tersenyum. "Tara melamun." Kata Dhito menangkap jelas kakak iparnya tak fokus, tatapan matanya kosong saat tadi menatap lurus pada rumput hijau tempat para anak-anak main. "Aku melihatnya, Mas. Ka Tara duduk sama kita tapi pikiran melayang-layang entah ke mana. Hati-hati ka, jangan sampai pikiranmu itu lupa jalan pulang." Sindirnya jenaka. Tara mendelik pada adiknya--Tyas dan pikiran uniknya, lalu bicara asal. "kamu sumpahi kakak jadi nggak waras?" "Aku nggak bilang, tuduhan itu!" Tyas pintar sekali menyangkal padahal Tara yakin maksudnya memang ke situ. Tara kemudian menarik cangkir, menyesap kopi yang sudah tak panas lagi. Matanya sesekali awasi interaksi adiknya yang bisa-bisanya sofa lega malah pilih berdesakan dengan suaminya.  "Get a room kalau mau buat adik untuk Ai, jangan live show di sini!" Cibir Tara. Bukannya malu, Tyas malah makin menempel dengan suaminya. Dhito duduk santai dengan bersandar, dan Tyas duduk dengan kaki sepenuhnya naik ke sofa tapi tubuhnya bersandar pada Dhito. Sesekali Dhito mengusap bahu istrinya atau bahkan Tyas yang mengusap-usap suaminya. Tak lupa pandangan cinta di mata mereka ketika saling pandang. Membuat Tara berdecak. God! Tara yakin adiknya itu dulu polos, dan Tyas terlihat sekarang pasti ajaran suaminya yang jelas punya pengalaman lebih banyak.  Tara tentu mudah menilai sesama kaumnya itu. Dhito si buaya darat, julukan Tara ketika itu untuk lelaki yang di cintai adiknya. "Kami memang lagi program anak lagi. Iya kan Mas?" Jawab Tyas minta dukungan Dhito di pihaknya. "Nggak perlu minta pembenaran Dhito segala! Suamimu jelas masuk team horee kamu. Nggak peduli istrinya mau benar atau salah, menyebalkan kayak kamu sekali pun, Dhito tetap bilang iya, dari pada dia nyanyi solo di kamar mandi, nggak dapat jataah." Tyas memutar bola matanya malas, siap mengeluarkan jurus jitu balas cibiran Tara. "Sayang, udahlah kita lagi bahas rumah Mentari." Tegur suaminya yang paling waras diantara saudara kandung tersebut. "Ka Taraaa sih! Aku jadi nggak fokus!" Tara mendengus, padahal jelas-jelas yang cari gara-gara mulai perdebatan adalah Tyas. Prinsip perempuan, walau salah sekali pun tetap benar dan lelaki yang salah! Mereka lupakan perdebatan dan kembali bahas soal perkembangan rumah Mentari. Tyas yang setelah menikah tinggal di Bali bersama suaminya, mengajukan pada Mami buka kelas tari tradisional untuk para perempuan muda yang jadi bagian rumah Mentari. Ide tersebut terbangun karena keluarga suaminya, tak lain mendiang ibu mertua Tyas pun seorang penari profesional yang terkenal di jamannya dan sanggar tarinya masih berjalan sampai sekarang. Bakat-bakat penari tradisional sepertinya juga menurun pada Aileen, putri mereka. Si lincah dan manja itu bahkan sudah pandai mengerakkan tubuhnya menari tarian Bali dan pernah ikut kontes khusus anak-anak usia di bawah lima tahun, keluarga Rashid bangga saat si gadis kecil itu masuk tiga besar. Hasilnya, putrinya, Clarie juga jadi ikut-ikutan ingin kelas menari tradisional padahal Mami pernah masukan Clarie kelas balet. "Kalau kegiatan positif aku setuju saja." "Mami sudah setuju, para perempuan di rumah mentari juga antusias dengar akan ada ini." Tara mengangguk. "Bagus kalau begitu kamu bisa lakukan." Posisi Tara di rumah mentari gantikan Adam yang sebelumnya turun tangan langsung, khusus beri perlindungan bagi para perempuan terkena kasus kekerasan, tapi mereka tak mau dan berani lapor sendiri. Perlindungan hukum ini sudah menangani ratusan kasus sejak berdiri, bekerja sama dengan lembaga-lembaga milik pemerintah dan sejauh ini berhasil usut tuntas bahkan dapat penghargaan. Kini Artara Rashid jadi pemimpin di sana, dia juga terkenal sebagai lawyer yang di segani karena Tara akan buat pelaku kekerasan jera dan tak dapat celaa untuk benarkan apa yang mereka lakukan, lari dari hukum setimpal. "Mau mulai kapan?" Tanya Tara lagi. "Beberapa minggu lagi, masih cari pelatih yang tepat." Tara mengangguk kecil, "kegiatan positif macam ini bagus untuk pemulihan mental efek kekerasan yang pernah di alami." Rumah mentari juga bekerja sama dengan beberapa lembaga khusus penanganan mental healty untuk para korban kekerasan baik secara fisik, psikis, melalui tindakan verbal atau non verbal. Tara sama seperti Tyas, sebelumnya tidak tahu-menahu soal pendirian rumah sosial bernama rumah mentari ini. Mereka tak sangka, Mami dan Papi berjiwa sosial tinggi. Tara semakin bangga pada orang tuanya. Selesai diskusi panjang lebar, Tyas ingat kalau kakaknya di undang sebagai salah satu pembicara pada seminar besar yang akan di adakan sebagai peringatan hari perempuan dunia. "Ka Tara dapat undangan isi seminar?" "Pasti Mami yang kasih tau?" "Iya, ambil aja kak. Bagus juga acaranya?" Tyas semangati Tara. "Aku sedang pertimbangkan." Tara terlihat tidak yakin. Jika dia setuju, maka ini akan jadi seminar pertama Tara setelah pilih menolak beberapa tahun belakangan jadi narasumber. Tara menghela napas, tatapan sepasang suami-istri di depannya jelas menanti dia beri penjelasan. "Narasumber itu sumber informasi, apa yang bakal di sampaikan harus ada pertanggung jawabannya." "Pasti hanya seputar soal perlindungan hukum dan rumah mentari, Ka." Tyas yakin Tara mampu, wibawa dan karisma seorang Tara mirip Papi. Semua orang akan fokus pada dirinya saat bicara. Tara juga punya percaya diri yang bagus, maka ketika di London dulu beberapa kali jadi narasumber sebuah seminar, suatu yang harusnya sudah biasa. "Aku hanya takut kehilangan kata-kata, dan nggak tau apa yang harus di sampaikan jika ada pertanyaan soal kejadian tiga tahun lalu." Sejauh ini, Tara selalu menghindari orang-orang yang membangkitkan kejadian naas itu melalui sebuah pertanyaan yang di ajukan padanya. Tyas maupun Dhito tak ada yang berani komentar karena mereka pun merasa pedih jika ingat yang telah terjadi, apalagi Tara yang hadapi sendiri. Pembicaraan sensitif. "Mami sakit dan minta kamu urus rumah mentari sementara waktu, artinya Dhito akan kembali ke Bali sendirian?" Tara mengalihkan topik sensitif tersebut, ingat perintah Mami pada Tyas tadi siang. "Iya, sampai Mami pulih Tyas dan Ai akan di Bandung." Dhito yang jawab buat Tara menarik sudut bibirnya tipis siap menggoda adiknya. "Kamu nggak khawatir biarkan Dhito di Bali tanpa kamu?" Tara memanasi adiknya, beralih pada Dhito "Man, laki-laki kalau di rumah statusnya suami dan bapak, tapi kalau di luar bujangan. Lo bisa bebas nggak ada Tyas."  Tyas bukannya kesal malah terkikik geli. Membalas Tara dengan memeluk pinggang suaminya, Tyas mendongak dengan dagu menumpuk pada bahu bidang suaminya, benar-benar terlihat bermanja dan Tyas juga mengikat tatapan mata Dhito. "No! aku nggak akan biarkan hal negatif mengubah kepercayaan aku." Ujarnya. Tara berdecak "Ckck!" "I trust you. Nggak ada yang perlu di khawatirkan karena aku yakin Mas sayang aku dan Aileen, kalau macam-macam, kamu tau risikonya Mas?" Tara terkekeh, awalnya memang lembut tapi Tyas tak merahasiakan nada ancaman di akhir kalimatnya. "Poor you, Dhito. Jelas-jelas singa betina ini baru saja mengancam! Elegan banget sih, Tyas." Goda Tara. Dhito ikut tertawa, tak segan sematkan kecupan di sisi kepala istrinya. "Dia memang lain, Tara." Dhito membenarkan, lalu tatapan matanya masih mengunci Tyas. Terlihat sekali meski sudah beberapa tahun bersama, cinta mereka tak berkurang sedikit pun. "Mana berani aku macam-macam, cukup satu macam yaitu kamu aja." "Dasar lovebird!" Tara semakin berdecak saja melihat pasangan di depannya itu. Tidak sadarkah mereka, akan status Tara saat ini. Tapi, Tara tak harus besarkan menjadi rasa iri, meski pernah punya mimpi akan duduk terus berdampingan dengan sang istri. Seperti yang di lakukan Tyas dan Dhito saat ini. Melihat interaksi adik dan suaminya, Tara justru dalam hatinya senang. Mereka memang harus menghargai, mengisi kehadiran satu sama lain, tak perlu segan ungkapkan sayang selagi orang yang di sayang masih ada. Jika sudah tak ada, hanya bisa memeluk rindu seperti yang Tara rasa. Mereka kemudian lanjut diskusi banyak hal sampai seorang pekerja rumah datang di ikuti seorang wanita yang tak asing lagi terutama di mata Tyas. Terbukti, ibu dari Aileen itu langsung menurunkan kaki dan berdiri, agak berlari menyongsong seseorang itu dengan semangat juga rasa rindu. "Astaga! Kangen banget!" Pekik Tyas membuat Tara maupun Dhito perhatikan dua wanita yang tak berusia belasan tahun lagi itu rayakan pertemuan mereka sampai tatapan mata wanita itu bertemu dengan Tara dan tersenyum hangat sebagai sapaan. Tentu saja Tara membalasnya dengan ramah. [to be continued]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD