1. Cinta Dalam Diam

2245 Words
Dari balik pantulan cermin, gadis itu mendapati sosok yang tengah menyisir surai hitam panjang sebatas punggung. Sebelum kemudian, mengumpulkan dalam genggaman dan mengikatnya membentuk ponytail. Merapikan seragam putih abu-abu yang kini melekat dalam tubuhnya. Ia tak menyadari, jika di ambang pintu. Ada seorang wanita paruh baya yang tengah menatapnya sendu. Ningrum menyandarkan sisi tubuhnya didaun pintu sembari bersedekap tangan. Memperhatikan keponakannya yang tengah sibuk di depan cermin. Aktivitas yang setiap pagi rutin dilakukan sebelum bersiap berangkat ke sekolah. Senyumnya merekah, berbarengan dengan satu bulir air mata yang berhasil lolos dan jatuh menuruni pipi kanannya, lalu segera Ningrum seka sebelum terlihat oleh Anin yang belum menyadari keberadaannya. "Lihatlah Minah, putrimu telah tumbuh menjadi seorang remaja cantik yang pintar dan bisa diandalkan." Ucap Ningrum dengan suara berbisik. Seolah Minah sang adik, mampu mendengar apa yang baru saja ia katakan. "Bibi?" Suara Anin membuyarkan lamunan Ningrum. Menegakkan posisi tubuh, ia mengayunkan langkah mendekati keponakannya yang bahkan tinggi badannya sudah melebihi dirinya. "Bibi melamunkan apa?" Tanya Anin dengan kening mengernyit bingung. Saat tengah sibuk merapikan penampilannya. Ia tak sengaja mendapati sosok bibinya melalui pantulan cermin. Wanita paruh baya itu berada di belakangnya. Bersandar pada daun pintu dengan tatapan menerawang. Wajah sendu yang menyiratkan kesedihan membuat Anin ikut merasa pilu. "Siapa yang melamun?" Tanya Ningrum yang berusaha mengelak. Tak ingin membuat keponakannya khawatir dan ikut bersedih.  "Aku lihat sendiri, Bibi melamun." Anin tak mau kalah dengan kembali menyatakan kecurigaannya. "Ck! Bibi itu nyaris mengantuk nunggu kamu selesai dandan," canda Ningrum untuk mengalihkan pembicaraan, sekaligus melepaskan diri dari kecurigaan Anin padanya. "Mau bikin terpesona siapa sih? Sampai dandan cantik begini?" Godanya yang berhasil membuat Anin merasa jika wajahnya memanas dan memerah karena malu. Mencebikkan bibir, Anin bergelayut manja pada sosok bibi yang sekaligus berperan sebagai orangtua untuknya selama ini. "Apa sih Bi? Orang aku dandan biasa aja," protesnya yang membuat sang bibi terkekeh sembari mengelus kepalanya yang kini disandarkan dengan nyaman di bahu wanita itu. "Siapa tau kan, kamu juga punya pacar? Soalnya Non Fany tiap dua minggu sekali kedatangan tamu laki-laki, yang semuanya beda-beda," ungkap Ningrum yang tak bermaksud menggosipkan anak majikannya sendiri. Dia hanya takjub karena begitu ada banyak remaja laki-laki yang bertandang ke rumah utama mencari nona mudanya. Sementara Anin tak pernah sekali pun terlihat izin keluar bersama teman prianya.  Jika boleh sedikit egois. Ningrum merasa lega karena melihat Anin yang lebih tertarik menghabiskan waktu untuk membantu pekerjaannya dan rekan kerjanya yang lain, atau belajar di dalam kamar. Dibandingkan mengikuti pergaulan nona mudanya yang kadang pulang tengah malam. Bahkan beberapa kali dalam keadaan setengah mabuk. Ningrum takut jika Anin terjebak dengan pergaulan yang tak seharusnya. Apa yang akan ia katakan pada mendiang adiknya nanti? Jika sampai gagal menjaga Anin sesuai janjinya dulu. "Fany kan cantik Bi, wajar banyak yang suka. Di sekolah, ada banyak cowok yang antri mau jadi pacarnya," termasuk, pria yang aku suka. Tambah Anin dalam hati. Tapi tak berani mengungkapkan hal tersebut pada sang Bibi. "Kamu juga nggak kalah cantik sama Non Fany," ucap Ningrum pada Anin yang justru membuat keponakannya itu terkekeh, sembari menegakan posisi berdirinya yang tadi bergelayut manja dengan kepala yang disandarkan pada bahunya. "Aku sama Fany ya jauh, Bi. Sama bayangannya aja masih belum setara," gurau Anin yang kemudian berjalan ke arah meja belajarnya, di mana tas sekolahnya yang sudah terisi oleh buku-buku pelajaran hari ini sudah dipersiapkan. Termasuk dua pr dari mata pelajaran matematika dan biologi. Yang harus ia kerjakan dua kali. Miliknya sendiri dan ... Seseorang yang sudah sedari mereka di sekolah dasar ia yang mengerjakan semua tugasnya. Mengenakan tas gendongnya, Anin kembali melingkarkan tangan pada lengan bibinya dan mengajak keluar kamar untuk sarapan bersama. Tak hanya mereka berdua, tapi juga asisten rumah tangga lainnya yang sudah dianggap seperti layaknya saudara. Hari masih sangat pagi, di luar bahkan belum terang benderang. Tapi semua orang sudah sibuk memulai aktivitas. Kecuali para tuan rumah yang mungkin masih nyaman bergelung di bawah selimut. Para pekerja sudah terbiasa memulai aktivitas di pagi buta. Mereka harus bersiap dan mengisi perut, sebelum kemudian membersihkan rumah utama dan memasak sarapan untuk tuan, nyonya, serta nona muda mereka yang biasanya baru akan turun dari kamar masing-masing, pukul setengah tujuh pagi. Usai sarapan dan ikut membantu pekerjaan para asisten rumah tangga lainnya. Anin menunggu Fany yang baru memulai sarapan paginya bersama kedua orangtuanya di meja makan sembari bercengkrama. Hal yang membuatnya tercubit rasa iri. Karena tak memiliki kesempatan, untuk mencecap kebahagiaan bersama kedua orangtuanya.  Tapi pikiran itu Anin singkirkan jauh-jauh. Ia harus bersyukur atas semua hal yang didapatkannya saat ini. Bisa bersama sang bibi dan mengenyam pendidikan di sekolah terbaik, berkat Fany yang merengek pada kedua orangtuanya untuk menyekolahkannya di tempat yang sama. Hal yang tak pernah Anin duga. Meski setelah kian dewasa, Anin tau alasan utama Fany yang selalu ingin satu sekolah dengannya. Bukan sekadar membutuhkan teman, karena jelas, Fany memiliki banyak teman bahkan menjadi sosok populer sedari dulu. Keberadaan Anin, tak lebih untuk menyelesaikan semua tugas yang tak pernah Fany suka. Tapi ia butuh nilai bagus agar kedua orangtuanya bangga dan memberikan apa pun yang diminta. Selagi menunggu Fany selesai sarapan, Anin biasanya menemani Mang Karyo, supir pribadi gadis itu untuk bermain catur. Kemampuan yang Anin dapatkan secara otodidak. Berawal dari rasa penasarannya sewaktu masih duduk di bangku SMP, ia mencoba bermain catur dengan para pekerja laki-laki di rumah ini. Dari security, tukang kebun, hingga supir. Dan kini, ia sudah mahir dan menjadi lawan yang cukup tangguh untuk memainkan permainan catur. Bahkan tak jarang, beberapa pekerja di rumah besar ini ingin menguji kemampuannya. "Karyo, Anin, sudah main caturnya. Itu Non Fany sebentar lagi selesai sarapan. Ayo, berangkat sekarang." Ucap Ningrum yang mendatangi dua orang yang sejak tadi tampak asyik bermain. Karena usianya lebih tua, jadi ia memanggil mang Karyo hanya dengan sebutan nama. Tergopoh-gopoh, Karyo, pria yang berusia dua puluh sembilan tahun itu merapikan seragam supir yang dikenakannya, diikuti Anin yang sudah mengenakan tas gendong miliknya. "Iya Mbak, kami berangkat dulu. Ayo, Nin," pamit Karyo yang sudah pergi lebih dulu untuk menyiapkan mobil. "Aku berangkat ya, Bi," mencium punggung tangan sang Bibi, Anin segera menyusul mang Karyo setelah mendapat anggukan dan pesan untuk berhati-hati dari bibinya. Di dalam mobil yang melaju dalam kecepatan sedang. Anin duduk di kursi depan, samping mang Karyo. Sementara Fany, sejak dulu berada di jok belakang seorang diri. Kali ini, gadis itu tampak sibuk memoleskan lipbam pada bibirnya. "Tugas gue udah lo kerjain?" Tanya Fany setelah selesai merapikan penampilannya. Memasukan kembali peralatan make up miliknya ke dalam tas kecil. Gadis itu menyandarkan punggung pada sandaran jok dengan nyaman, sementara tatapannya terarah pada kursi penumpang bagian depan yang di duduki Anin. "Udah, Fan," jawab Anin sembari menolehkan kepala ke tempat duduk Fany dan mendapati gadis itu tengah mengangguk puas. "Nggak sama kan?" Tanya Fany dengan satu alis terangkat, sembari bersedekap tangan. "Nggak kok, punyaku ada dua soal yang dijawab asal." Jawab Anin yang ia sadari jika Mang Karyo mencuri pandang kearahnya. Meski bukan kali pertama ikut mendengarkan pembicaraan Anin dan nona mudanya. Pria itu kadang masih tak paham pada Anin, yang seringkali sengaja menjawab dengan asal beberapa soal tugas sekolahnya hanya agar tak mendapat nilai lebih bagus dari Fany. Mengedikkan bahu tak acuh. Fany sibuk memainkan ponsel. Berselancar di dunia maya dan tersenyum bangga saat ada begitu banyak orang, terutama pria yang mencoba untuk menarik perhatiannya. Dari yang sekadar memberikan like atau love pada setiap foto yang Fany unggah. Meninggalkan komentar puja-puji untuknya. Hingga yang terang-terangan merayu dan berusaha mendekatinya. Sementara di jok depan. Anin sudah kembali menghadap ke arah jalan. Memilih diam meski ada rasa tak nyaman saat mang Karyo meliriknya dengan raut wajah ingin tau, meski tak ada pertanyaan yang keluar dari bibir pria itu. Atau ... Takut dan segan karena ada Fany di belakang mereka? Ya, mungkin saja seperti itu. Anin hanya berharap, jika mang Karyo tak memberitahukan masalah ini pada bibinya. Karena selama ini, Anin tak menceritakan pada siapa pun, jika sedari dulu, ia selalu mengalah dan berusaha agar tak mendapat nilai yang lebih bagus dari Fany. Terdengar tak masuk akal, tapi ini salah satu bentuk balas budi Anin pada Fany yang membuatnya bisa melanjutkan sekolah. Setelah berkendara beberapa lama. Akhirnya mereka sampai di sekolah. Anin yang sebelumnya berjalan di sisi Fany yang tengah menebarkan senyuman manis, sembari sibuk menjawab salam dari para siswa yang berpapasan dengan mereka. Tiba-tiba terdorong mundur hingga posisinya berada di belakang, saat ketiga teman Fany muncul dan mulai heboh saling berbagi obrolan. Melupakan sosok Anin yang hanya bisa mengekor dalam diam. Sesampainya di kelas. Anin dan Fany yang satu meja, meletakan tas masing-masing di dalam kolong meja. Tapi decakan sebal anak majikannya membuat Anin paham, jika sebentar lagi, gadis dengan surai coklat sebatas punggung dengan bagian ujung yang di Carly itu, akan memuntahkan kekesalan. "Nggak bosan apa, itu celengan ayam ngotorin kolong meja gue sama sampah yang dia kasih?" Sungut Fany sembari memegang sebuah kotak beludru berwarna hitam dengan pita merah yang membuat Anin bisa menebak siapa pengirimnya dengan mudah. "Buang, atau kalau lo mau pungut juga terserah!" Ucap Fany sembari melempar kotak berukuran sedang itu di atas pangkuan Anin yang hanya menganggukkan kepala dan memasukannya ke dalam tas. Ini bukan kali pertama Fany membuang pemberian orang itu padanya.  Di tengah kesal, Fany merekahkan senyuman saat melihat ketiga teman dekatnya sedari kelas satu memasuki kelas. Dulu mereka berada di dalam kelas yang sama. Setelah naik ke kelas dua, sayangnya harus berbeda. Tapi tak apa. Itu tak masalah bagi Fany. Yang penting, jangan sampai Anin yang berbeda kelas dengannya. "Lo mau ikut?" Tanya Fany setelah berdiri untuk menyambut kedatangan teman-temannya. Ia menolehkan kepala pada Anin yang bergeming di tempat duduknya. "Nggak Fan, aku di kelas aja." "Yasudah," mengedikkan bahu tak acuh, Fany beranjak keluar kelas untuk pergi ke kantin bersama ketiga temannya selagi menunggu bel masuk berteriak lantang. Mencoba menyingkirkan rasa bosan, Anin memilih untuk membaca buku. Tapi saat membuka tas, tatapannya tertuju pada kotak hitam berpita merah yang tadi Fany lemparkan padanya. Melepas pita merah yang seolah sudah menjadi sebuah ciri khas sosok itu setiap memberikan hadiah pada Fany. Dengan perlahan, Anin mulai membuka kotak beludru berwarna hitam itu hingga isinya tertangkap penglihatan.  Mengerjap-ngerjapkan mata, Anin menyentuh sebuah gelang perak yang tampak begitu cantik, dengan ukiran rumit yang mengelilinginya. Keningnya mengernyit, apa ini gelang imitasi? Tapi jika diperhatikan, sepertinya bukan. Gelang itu ... Anin yakini terbuat dari emas putih. Astaga, ini pasti mahal sekali. Berbeda dengan beberapa hadiah yang biasanya pria itu berikan untuk Fany. Mulai dari satu tangkai mawar merah setiap pagi yang diletakan di dalam kolong meja. Sampai kemudian berubah menjadi hadiah-hadiah yang beragam. Coklat, jepitan rambut, dan kemarin sebuah jam tangan dengan merek yang membuat Anin meneguk ludah saat Fany memberitahukan harganya. Tapi hal itu masih tak membuat gadis itu tergoda untuk menyimpannya. Dan tetap memberikannya pada Anin dengan tak acuh. ***  Ketika dua sahabatnya sibuk berbincang, Gavin memilih untuk menghabiskan sandwich yang pagi ini dipilihnya sebagai pengganjal perut, selagi menunggu jam makan siang nanti. Gara-gara kesiangan, cowok bertubuh tambun dengan kacamata tebal itu harus melewatkan sarapan. Ia tak mau gagal, untuk meletakan hadiah yang sudah dipersiapkannya untuk pujaan hati. Gavin yang tengah mengunyah sandwich yang telah tandas, nyaris tersedak saat dari bawah meja, Raka menendang kakinya cukup keras. Mendongakkan wajah, sembari memperbaiki letak kacamatanya yang nyaris merosot jatuh. Gavin memelotot kesal pada sahabatnya yang satu itu, "apha shih, Rakh, thendhang-thendhang. Akhit thau," ucapnya tas jelas dengan pipi menggembung lucu karena terisi penuh sandwich. "Noh, pujaan hati lo." Tunjuk Raka pada kumpulan para gadis yang duduk hanya berbeda dua meja dengan mereka. Terbatuk-batuk, Gavin menggumamkan terima kasih pada Ben yang menyodorkan botol air mineral padanya. Meneguk rakus, Gavin lega karena berhasil menelan sandwich yang berada di dalam mulutnya. Ia mengusap bibirnya yang basah dengan punggung tangan, sembari mencuri pandang kearah Fany yang tengah tertawa bersama ketiga temannya. "Astaga, Vin, itu iler lo netes." Ucap Raka mengagetkan hingga membuat Gavin mengusap bagian sudut bibirnya dengan gerakan serampangan. Membuat Raka tertawa puas karena telah berhasil mengerjai sahabatnya yang kini memelotot kesal. "Nggak lucu, Rak," sebal Gavin yang balas menendang kaki Raka di bawah meja hingga sahabatnya itu meringis kesakitan. "Lo masih ngejar si primadona sekolah itu?" Ben yang sebelumnya hanya diam dan memperhatikan interaksi dua sahabatnya. Akhirnya angkat bicara, melempar tanya pada Gavin yang menganggukkan kepala dengan gerakan canggung. "Saingan lo berat, Vin. Noh, si Andre." Mengedikkan dagu kearah meja yang di isi 'cinta diam-diam' sahabatnya, sedari Fany mengikuti masa orientasi siswa, Raka menepuk-nepuk bahu Gavin yang terkulai lemas. Melihat kedekatan Fany yang duduk bersisian dengan Andre, kapten basket sekolah yang juga populer dikalangan para siswa. Gavin bungkam, meski tatapannya tak bisa dialihkan dari Fany yang tengah berbagi tawa dengan Andre. Dia baru saja senang dua hari yang lalu saat mendapat kabar dari Raka yang baginya tak jauh berbeda dengan akun gosip berjalan. Dan memberitahu jika Fany sudah putus dengan Haikal, sang ketua OSIS. Tapi gadis yang sudah disukainya sejak lama itu, sekarang tampak dekat dengan sosok yang baru. Meski enggan, Gavin tak bisa mengelak. Jika mereka berdua tampak serasi saat bersama. Sudah satu tahun terakhir, Gavin diam-diam memberikan hadiah-hadiah yang ia letakkan di kolong meja Fany. Tak ada nama atau hal yang bisa membuat gadis itu tau, jika dialah yang memberikan semua hadiah itu. Ya, itu tampak konyol. Bagaimana bisa Fany berbalik menyukainya, atau setidaknya tau keberadaannya. Jika Gavin hanya berani melakukannya dengan penuh rahasia. Sialnya, dia memang sepengecut itu. Jangankan mengungkapkan rasa, beratap muka saja ia tak bisa. Hanya mencuri pandang dan memperhatikan dari kejauhan. Seperti yang dirinya lakukan sekarang. Tadi pagi, Gavin memberikan hadiah sebuah gelang khusus yang ia pesan. Tapi melihat pergelangan tangan Fany yang tak dihiasi gelang pemberiannya. Membuat rasa kecewa mencubit sudut hatinya. "Kalau suka bilang. Jangan cuma diam, lo nggak akan pernah bisa dapetin dia. Berjuang itu harus penuh totalitas. Jangan setengah-setengah. Karena lo cuma buang waktu dan jadi sosok menyedihkan seorang diri." Ucap Ben yang berhasil membuat Gavin tertohok dengan telak. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD