Prolog

2113 Words
Keriuhan hujan yang masih bersemangat menjatuhkan diri ke bumi. Tak menyurutkan keinginan seorang gadis kecil, untuk bertahan di sisi makam yang dipenuhi taburan bunga segar dan kini teracak hujan. Mata hitamnya menatap gundukan tanah merah yang telah menjadi tempat peristirahatan wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Para pelayat yang ikut menghadiri pemakaman, sudah beranjak pergi satu persatu saat hujan kian deras, membuat mereka yang tak membawa perlindungan panik karena tak mau berakhir kuyup. Sedari pagi, awan hitam menggantung di atas kepala. Seolah ikut merasakan kesedihan seorang Anindira Pratista, yang kini sebatang kara. "Ayo kita pulang," ucapan yang nyaris tak terdengar karena keriuhan hujan membuat Anin mengalihkan atensinya yang sedari tadi terpaku pada gundukkan tanah merah yang telah basah. Menolehkan wajah, gadis bermata sembab dengan wajah pucat itu menatap seorang wanita paruh baya yang memiliki garis wajah seperti Bundanya. Meski tak sepenuhnya sama, tapi hal itu berhasil meluruhkan kembali air mata yang tersamarkan dengan air hujan. "Aku ... Masih ingin di sini, Bi," ucap Anin dengan suara pelan hingga terkalahkan keriuhan hujan. Meletakan kembali atensi pada gundukan tanah merah di depannya. Tangan mungil miliknya mengusap pelan batu nisan bertuliskan nama sang Bunda yang selama ini telah menjalani peran sebagai orangtua tunggal untuknya. Mengingat, sang ayah sudah lebih dulu menghadap sang pencipta karena kecelakaan beruntun di saat dirinya masih berupa bayi merah. Ningrum hanya bisa mengela napas, melihat wajah pucat keponakannya. Dan memilih bertahan untuk berjongkok di samping Anin yang masih enggan beranjak dari makam bundanya. Gadis kecil itu pasti masih terpukul karena lagi-lagi harus kehilangan sosok orangtua. Jam tujuh pagi, Ningrum baru sampai ke kampung halamannya setelah mendapatkan izin dari majikannya di kota, untuk melihat keadaan adiknya yang dikabarkan sakit keras. Tergopoh-gopoh, ia memasuki ruang perawatan dan menemui adik yang sudah cukup lama tak ditemuinya. Membuat Ningrum dihinggapi perasaan bersalah. Hanya karena sakit hati akibat mantan suaminya yang berselingkuh, ia memutuskan untuk merantau ke kota, tak ingin berada di tempat yang sama dengan mantan suaminya yang telah menikahi wanita yang menjadi perusak rumah tangga mereka. Ningrum sudah lama sekali tak pulang. Ia hanya sesekali menghubungi sang adik melalui sambungan telepon. Dan saat terlibat obrolan, adiknya selalu meyakinkan Ningrum jika keadaannya dan Anin baik-baik saja. Dalam keadaan yang kian lemah, sang adik yang diam-diam mengidap sakit parah berupa kanker paru-paru, menitipkan putri semata wayangnya kepada Ningrum setelah dirinya tiada. Tak berselang lama setelah mendapat keyakinan dari kakaknya jika putrinya berada ditangan yang tepat. Wanita yang tampak pucat dengan tubuh kurus hingga membuatnya terlihat jauh lebih tua, bahkan dari Ningrum sebagai kakak. Akhirnya mengembuskan napas terakhir. Di iringi jerit tangis Anin dan isakan hebat dari Ningrum yang melihat sang adik telah menutup mata dengan damai, untuk selamanya. "Bunda sudah tenang. Nggak akan lagi kesakitan. Jadi Anin harus ikhlas dengan kepergian Bunda." Mendengar ucapan Bibinya, membuat gadis itu menghambur ke dalam pelukan wanita paruh baya yang kini menjadi satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki setelah sang Bunda tiada. "Anin sayang Bunda?" Bisik Ningrum ditelinga keponakannya yang mengangguk dalam pelukannya, "jadi sekarang ikhlaskan ya? Ini yang terbaik, Bunda nggak lagi merasakan sakit." Lanjutnya yang berhasil memecah tangis Anin di tengah keriuhan hujan yang membuat keduanya sudah dalam keadaan kuyup. ***  Matahari masih mengintip malu-malu untuk menebarkan terik, ketika Ningrum dan Anin duduk bersisian di sebuah Bis yang melaju bersama para penumpang lainnya yang kebanyakan memilih untuk melanjutkan tidur. Suasana dingin dipagi hari, kian membuat mata terasa berat. Menolehkan wajah pada keponakannya yang duduk di dekat jendela. Ningrum tersenyum sembari mengelus lembut surai hitam sebatas punggung yang telah terikat menjadi kepangan dua, hasil karyanya tadi pagi saat mereka bersiap-siap pergi. Ada rasa takut yang terselip di hati Ningrum, saat ingat jika belum meminta izin pada majikannya membawa Anin tinggal bersamanya. Tapi dia pun tak mungkin meninggalkan Anin sendirian di kampung halaman. Meski begitu mandiri dan bersikap lebih dewasa dari usianya, Anin tetap saja masih seorang bocah. Akan sangat berbahaya jika tak ada orang dewasa yang menjaganya. Dalam hati, Ningrum mulai menghitung sisa uang yang berada di tabungannya. Berjaga-jaga, jika mungkin saja majikannya tak terima dirinya membawa Anin ikut serta. Lalu hal paling buruk kemudian terjadi. Seperti, dirinya yang dipecat dari pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga yang sudah mengabdi selama lima tahun dikeluarga itu. "Anin nggak ngantuk?" Tanya Ningrum saat gadis kecil itu yang sedari tadi melihat pemandangan di luar jendela, kini menolehkan kepala ke arahnya dan menatap dalam diam. Sebelum kemudian, menggelengkan kepala sebagai jawaban, "perjalanan kita masih cukup lama. Anin sebaiknya tidur kalau masih ngantuk. Atau lapar? Mau makan? Tadi cuma makan roti aja kan? Itu juga nggak habis." Ucap Ningrum yang lagi-lagi mendapat gelengan kepala dari keponakannya. Mengela napas, Ningrum hanya bisa tersenyum maklum dengan sikap Anin yang kian pendiam. Setelah perjalanan yang cukup panjang dan membuat pinggang pegal serta p****t panas. Ningrum akhirnya bisa bernapas lega, karena sudah sampai dikediaman megah majikannya. Mencuri pandang kearah Anin, Ningrum mengulum senyum saat mendapati wajah keponakannya yang sebelumnya tampak murung. Kini mengerjap-ngerjapkan mata dengan pandangan takjub. Terlebih saat gerbang yang menjulang tinggi perlahan terbuka secara otomatis. "Ayo masuk," ajak Ningrum sembari menggandeng Anin ditangan kanannya, sementara tangan kiri menenteng tas berukuran cukup besar berisi baju serta keperluan lain untuk keponakannya dan beberapa baju miliknya saat menginap. "Udah balik Rum?" Tanya seorang pria paruh baya dengan seragam security di pos jaga rumah besar majikan mereka. "Iya, Pak No," jawab Ningrum pada Pak Tono yang menganggukkan kepala, tapi tatapannya jatuh pada Anin yang masih menatap takjub bangunan megah bak istana di depannya, "keponakan saya," ucapnya seolah mengerti raut penasaran di wajah pria paruh baya yang beberapa tahun lebih tua darinya. "Oh ...." Jawab pria itu singkat, meski sebenarnya, ada banyak hal yang ingin ditanyakan. Tapi akhirnya Pak Tono urungkan. Tak enak hati jika terlalu ingin tau. Setidaknya, Ningrum sudah memperkenalkan jika gadis kecil yang seusia dengan anak majikan mereka adalah keponakan wanita itu. "Duluan Pak No," pamit Ningrum yang kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat terinterupsi, setelah Pak Tono menganggukkan kepala dan kembali masuk ke dalam pos saat dipanggil dua rekan kerjanya yang lain. Karena ada tiga security yang bertugas berjaga di rumah besar ini. Itu masih belum termasuk dengan dua pekerja kebun, dua sopir pribadi, dan empat asisten rumah tangga, termasuk Ningrum di dalamnya. Hal yang wajar mengingat rumah besar yang majikan mereka miliki. Sudah pasti membutuhkan banyak orang untuk membersihkan serta menjaga keamanannya. Ningrum terus menuntun Anin menuju pintu belakang yang juga merupakan tempat tinggal bagi para asisten rumah tangga. Ya, sebuah bangunan yang terpisah dengan rumah utama majikan mereka. Meski begitu, bangunan yang ditinggali cukup nyaman dan besar. Ada sebuah interkom yang tersambung hingga membuat mereka bisa sigap saat tuan rumah membutuhkan mereka. Setelah bertemu dengan rekan kerjanya yang lain, dan sama seperti Pak Tono yang tertarik pada sosok Anin. Ningrum memperkenalkan sekaligus menjelaskan secara singkat akan tujuannya yang akan memohon agar bisa membawa Anin ikut serta tinggal bersamanya. Jika tak mendapat izin. Ningrum memilih untuk mengundurkan diri. Karena saat ini, Anin adalah tanggung jawabnya. Anin yang tak mau ditinggal bersama rekan kerjanya yang lain akhirnya ikut dengan Ningrum yang hendak menghadap majikannya. Sembari menggenggam tangan mungil keponakannya, mereka mengayunkan langkah menuju halaman belakang. Bermodal informasi dari salah seorang rekan kerjanya yang mengatakan jika nyoya dan tuan, serta nona muda mereka sedang bersantai di sana. Mengingat sekarang adalah hari libur. Dengan jantung yang berdetak kencang, Ningrum berusaha menelan gugup saat akhirnya menghadap tuan dan nyonya dengan Anin yang ia minta untuk menunggu sebentar selagi dirinya berbicara dengan dua majikannya. Mengangguk patuh, Anin yang sebelumnya berdiri di halaman belakang rumah yang tampak luas dan asri, tertarik pada sosok gadis seusianya yang sedang duduk di sebuah gazebo dengan wajah merengut masam. Menolehkan kepala ke arah sang Bibi yang tengah berbicara dengan sepasang suami-istri, duduk nyaman berselonjor kaki di sebuah kursi panjang dengan payung besar yang melindungi keduanya dari terik matahari. Terdapat meja kecil yang di atasnya sudah dipenuhi makanan serta minuman yang sepertinya untuk menemani bersantai keduanya. Anin beranjak menuju gadis kecil di gazebo, dengan buku gambar serta crayon warnai-warni yang berserakan di sekitarnya, tengah bersila kaki. "Menyebalkan! Kalau gambarnya jelek seperti ini, nilaiku juga bisa jelek!" Seru gadis dengan bandana bunga di atas kepalanya itu, "ish! Nggak mau kalah lagi sama Stela!" Kesalnya sebelum kemudian merobek satu halaman di buku gambar dan meremas-remasnya hingga membentuk gumpalan seperti bola dan melempar asal, tapi ternyata mengenai kening Anin. "Aduh!" Anin refleks mengaduh sembari mengusap-ngusap keningnya. Tak terasa sakit, ia hanya terkejut. Tapi suaranya berhasil menarik perhatian gadis kecil seusianya yang kini tengah turun dari atas gazebo dan berdiri di depannya sembari berkacak pinggang. Dengan tatapan yang menelusuri tubuh Anin yang hanya bisa berdiri dengan canggung. "Kamu siapa?" Tanya gadis kecil itu dengan tatapan menyelidik. Alih-alih menjawab, Anin justru membungkukkan tubuh untuk meraih gumpalan kertas yang jatuh di dekat kakinya yang beralaskan sandal usang. Berbanding terbalik dengan sandal cantik yang gadis kecil di depannya kenakan. Membuka gumpalan kertas itu, Anin memperhatikan gambar yang membuat keningnya berekrut dalam. Berusaha untuk menebak gambar yang terlihat tak keruan. Diperparah dengan kertas yang sudah kusut masai, "ini ... Belalang?" Tanya Anin yang membuat gadis kecil di depannya mendelik tajam. "Itu bunga matahari! Bukan belalang!" Serunya kesal dan membuat Anin meringis sembari menggumamkan permintaan maaf. "Aku bisa gambar," ucap Anin yang justru mendapat dengkusan meremehkan, "sungguh," yakinnya. "Kalau begitu buktikan! Gambar bunga matahari yang cantik!" Seru gadis itu sembari berjalan ke arah gazebo yang di ikuti Anin. Keduanya duduk di atas gazebo yang tampak nyaman dengan alas yang terasa empuk dan beberapa bantal. Sementara disudut terdapat meja kecil dari kayu yang berukiran cantik. Di atas meja terdapat gelas berisi jus strawberry yang sudah tersisa setengah. Ada juga piring berisi kue red velvet yang juga nyaris tandas. Sembari menyandarkan tubuh dengan nyaman, gadis kecil itu memperhatikan Anin yang tampak serius menggambar. Setelah beberapa lama, Anin tersenyum puas sembari memperlihatkan hasil karyanya yang berupa gambar bunga matahari yang tampak cantik. "Kamu benar-benar bisa gambar?" Tanya gadis kecil itu dengan mata yang menatap Anin dan buku gambar ditangannya secara bergantian. "Iya," jawab Anin singkat, sembari merekahkan senyuman. "Aku Fany," ucap gadis kecil itu tiba-tiba, "kamu siapa? Kenapa bisa ada di rumahku?" Tanyanya beruntun yang membuat Anin hanya bisa menggaruk pipi dengan senyuman canggung. Anin kemudian menceritakan tentang dirinya yang merupakan keponakan dari Bibi Ningrum, salah seorang pekerja di rumah besar ini. Dan ia berniat untuk tinggal bersama bibinya, "kalau kamu?" Tanyanya pada sosok Fany yang mendengarkan dengan serius. "Aku pemilik rumah ini!" Serunya bangga sembari merentangkan kedua tangannya dengan senyuman jumawa. Menganggukkan kepala, Anin nyaris kembali melempar tanya, tapi terpaksa urung saat mendengar suara bibinya yang memanggil-manggil namanya. "Astaga, Anin. Bibi cari dari tadi." Keluh Ningrum yang sempat kebingungan karena keponakannya itu tiba-tiba menghilang. Turun dari atas gazebo, Anin mendekati bibinya dengan rasa bersalah, "maaf Bi," sesalnya sembari menundukkan kepala. "Yasudah, tidak apa-apa." Ucap Ningrum yang mengelus lembut kepala keponakannya. Ia tak bermaksud marah, tapi pikirannya sedang kacau. Apa yang ditakutkan terjadi. Kedua majikannya merasa keberatan jika Ningrum membawa Anin ikut serta tinggal. Terutama sang nyonya, yang takut dirinya tak bisa fokus karena harus mengurus Anin. Meski sudah coba diyakinkan jika Anin adalah gadis kecil yang begitu mandiri.  "Mbok Rum," panggil Fany yang sudah ikut turun dan berdiri di samping Anin, "nanti dia ikut tinggal di sini?" Tanyanya sembari menunjuk Anin yang juga tengah menatapnya. Ningrum cukup terkejut karena nona mudanya bisa akrab dengan Anin. "Nggak Non, soalnya mama sama papa, Non, tidak mengizinkan." Ucapnya jujur, tak bermaksud untuk mengadu pada gadis kecil yang tiba-tiba merengut masam dan berlari sembari berteriak memanggil mama-papanya. Hal yang mengejutkan Ningrum, hingga membuatnya menggenggam erat tangan Anin dan mengajaknya mengikuti Fany. Ia takut sudah salah bicara.  "Pokoknya Mbok Rum, sama bocah itu harus tinggal di sini, titik!" Seru Fany keras sembari bersedekap tangan saat Ningrum datang tergopoh-gopoh bersama Anin. "Maaf Nyonya, Tuan, saya—" "Baiklah, Mbok Rum dan juga ...." Edi Samitra menatap gadis kecil seusia putrinya yang bersembunyi di belakang punggung sang Bibi. "Anin, Tuan," jawab Ningrum seolah mengerti jika majikannya itu menanyakan nama keponakannya. "Ya, Anin. Kalian berdua boleh tinggal di sini. Lagipula, Anin bisa menemani Fany di rumah." Ucapnya yang membuat sang putri bersorak kegirangan. Membuat Edi hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Fany. Pria itu kemudian mengalihkan pandangan pada sang istri yang sedari tadi tak bersuara. "Bagaimana menurut Mama?" "Memangnya mau gimana lagi? Kalau anak kamu sudah bertitah, siapa yang bisa membantah?" Ucap Elina tak acuh. Ia awalnya keberatan, tapi kemudian menyetujui keputusan sang suami. Ada baiknya juga jika bocah itu di rumah ini. Setidaknya bisa membuat Fany berhenti berulah dan membuatnya pusing kepala, karena memiliki teman sebaya. Ningrum mengucapkan terima kasih, bersama Anin yang ia minta ikut serta. Dalam hati, ia berharap, bisa menjaga dan membuat kehidupan keponakannya lebih baik. Seperti janji yang ia ucapkan pada mendiang sang adik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD