Bab 1 - Menjalankan Hukuman
Tampaknya cuaca malam ini tak mendukung para pejalan kaki untuk beraktivitas di luar rumah. Jarum jam yang menunjukkan angka dua belas pun semakin memungkinkan untuk mendekam di dalam rumah dibanding berkeliaran dengan titik air yang membasahi serta desir angin menggelitik kulit.
Namun, tanpa orang ketahui, turunnya hujan malam ini dikarenakan atas keinginan seseorang yang saat ini melangkah tegap dengan raut ogah-ogahan—di tengah derasnya hujan. Potongan rambut Messy hair-nya lepek dan menitikkan air membasahi garis tegas di wajah yang nihil ekspresi itu. Benda putih bulat yang terselip di antara jari telunjuk-tengahnya pun ikut basah kuyup. Dia berdecak sebal sambil melempar gulungan rokoknya sembarang arah.
Bibirnya menipis kala mata tajamnya menyorot objek kejarannya malam ini. Dia berhenti sejenak sambil menaruh ke dua tangannya di samping perut, lagi-lagi bibirnya berdecak seraya meluncurkan u*****n kesal.
"Jangan kesana!" geramnya sambil memalingkan wajah ke arah kejarannya yang lari pontang-panting di tengah derasnya hujan.
"Hukuman yang menyebalkan," geramnya lagi seraya mendongak—menatap langit yang tengah menumpahkan tetes air. Kemudian beralih ke sebuah lorong gelap, tempat kejarannya itu bersembunyi. "Sudah kubilang jangan ke sana. Haiss, kau harus membayar energiku malam ini," decaknya, lalu melangkah ke arah lorong itu.
Raut muak yang dianalogikan dalam ekspresi datar terukir jelas di garis wajahnya kala mulai melangkah ke lorong sempit dan bau itu. Dia mendengkus kala sepatu mahalnya tenggelam di genangan air bercampur lumpur, semakin memperburuk suasana hatinya.
"Berhenti," titahnya saat seekor tikus got melintas di depan sepatunya. Dia memalingkan wajah jijik seraya menggerakkan tangan seolah mengisyaratkan pengusiran yang direspon lari terbirit-b***t oleh si tikus.
"Sebenarnya kau mau apa hah?" teriak orang yang dia kuntit sedari tadi. Raut frustasi terukir di wajahnya yang pucat pasi di tengah kilatan petir.
Laki-laki itu berhenti dengan jarak lima meter dari objek kejarannya. Dia memasukkan ke dua tangannya ke saku celana seraya menggerakkan kepalanya hingga rambutnya memercikkan air, bersamaan dengan redanya badai menjadi gerimis.
"Jangan coba-coba mendekatiku!" bentak laki-laki itu. Dia mengedarkan pandangannya mencari celah untuk kabur di antara lorong buntu.
"Aku?" Senyum miring tersungging di bibirnya. "Aku mau uangmu. Seorang pencuri yang dicuri, lucu bukan?"
"Jangan main-main!"
Tangannya terulur menggaruk pelipis. "Main-main? Bukannya kau yang sejak tadi mengajakku bermain?" Dia menatap laki-laki itu dengan raut datar, sedetik kemudian dia tersenyum manis. "Hm, pasti menyenangkan menghipnotis orang-orang lalu merebut uangnya," sarkasnya sambil menghampiri laki-laki itu yang menatapnya ketakutan.
"Jangan macam-macam!"
"Aku belum melakukan apa pun."
"Sebenarnya kau siapa, hah?"
Tangan laki-laki itu menggantung di udara saat memojokkan objek kejarannya ke tembok buntu. "Pertanyaan yang bagus, sebenarnya aku siapa?" tanyanya dengan raut lugu, lalu menyeringai.
"Jangan macam-macam denganku ... a-atau kau akan menyesalinya!"
"Hm, aku sedang malas berlama-lama," gumam laki-laki itu dengan raut bosan seraya menggerakkan tangannya di saku celana.
Objek kejarannya terbelalak ketakutan saat kaleng-kaleng di sekitar mereka naik ke permukaan dan melayang di sekitarnya.
"SEBENARNYA KAU SIAPA, HAH? JA-JANGAN COBA-COBA MENYAKITIKU A-ATAU NASIBMU AKAN SA-SAMA SEPERTI MEREKA!"
"Kau akan mencopetku dengan cara menghipnosis, begitu?" Laki-laki itu mendengkus samar. "Kau membuang-buang waktuku!" decaknya dan berniat memberikan pelajaran pada penghipnosis itu yang akhir-akhir ini meresahkan ibu-ibu di pasar.
Akan tetapi, tindakannya urung saat indra pendengaran laki-laki itu menangkap pergerakan seseorang di belakangnya.
"Menyebalkan!"
•
•
•
Di tengah minimnya pencahayaan pinggir jalan, seorang gadis tengah mengejar seorang laki-laki.
"Arghhh! Aku akan melemparmu ke Pluto!" teriak seorang gadis sambil mengejar pencopet yang membawa kabur dompetnya.
Kondisi tubuhnya yang basah kuyup tak meredakan emosi dan tekadnya untuk mengejar pencopet itu, meski harus melewati g**g dan lorong kecil yang gelap dan bau. Namun langkah kakinya langsung terhenti saat mendapati pencopet itu tersungkur di depan sepasang sepatu. Pandangan gadis itu beralih ke belakang, tempat seorang laki-laki lainnya yang meringkuk ketakutan.
Bunyi bedebam antara aspal dan kerasnya kaleng-kaleng mengisi keheningan di lorong itu. Mata gadis itu mengerjap kala kaleng-kaleng yang melayang di sekitar laki-laki tegap tersebut terhempas secara bersamaan.
Minimnya pencahayaan membuat si gadis kesulitan melihat wajah laki-laki tegap itu, ditambah hujan yang tiba-tiba deras menyulitkan pandangannya.
"Ampuni aku! Maafkan aku!" teriak pencopet itu agar suaranya tidak redam oleh suara hujan. Dia berlutut di depan gadis itu sambil menyodorkan dompet curiannya.
Gadis itu mengernyit heran, pasalnya dia belum melakukan apa-apa, tak urung dia langsung mengambil dompetnya dan menyimpannya ke dalam ransel sekolahnya.
Merasa hak miliknya sudah aman, gadis itu berniat keluar dari lorong bau dan gelap ini, meninggalkan pencopet bersama laki-laki tegap yang tak bergerak dari tempatnya. Namun saat ingin berbalik, gadis itu dikejutkan dengan kilatan petir, tampak seperti lampu blitz beberapa detik menampakkan kondisi sekitar.
Gadis itu menggosok matanya saat melihat rupa laki-laki itu. Tanpa pikir panjang, dia melanjutkan langkahnya, meski sorot tajam mengikuti pergerakannya.
•
•
•
Seorang laki-laki melangkah keluar dari kamar mandi seraya menggosok rambut basahnya. Bathrobe abu-abu melekat di tubuh tegapnya, sejenak dia menatap cermin di dinding, menatap pantulan wajahnya, lalu mengembuskan napas panjang.
"Hukuman yang melelahkan," keluhnya sambil melempar handuknya ke ranjang king size miliknya, lalu menyusul handuk itu dengan merebahkan tubuhnya sambil menatap langit-langit kamar.
"Biasakan mengetuk pintu dulu sebelum masuk," ketusnya.
Laki-laki yang tengah duduk di sudut ruangan itu menoleh sekilas, lalu beralih menatap tablet di genggaman.
"Kau tidak mendengarnya," jawabnya.
"Tidak sopan."
"Ada pekerjaan—"
"Aku lelah."
"Jaehan ...."
"Serius kau menyebut namaku?" ketus laki-laki di ranjang. Dia bangun dari tidurannya dan menyorot laki-laki di sudut ruangan dengan pandangan sangsi.
Laki-laki di sudut ruangan itu menipiskan bibir, kemudian menarik napas panjang. "Tuan ...."
"Haisss! Aku geli mendengarnya." Laki-laki bernama Lee Jaehan itu mengibaskan tangannya dan kembali merebahkan tubuhnya.
Sedangkan laki-laki di sudut ruangan itu menatap Jaehan dengan raut datar. "Mungkin kau lupa, kau meminta kami untuk memanggilmu dengan sebutan nama, alih-alih memanggil Tuan."
Jaehan berdecak.
"Apa yang terjadi dengan penghipnosis itu?"
Jaehan menoleh sekilas, kemudian berdiri dan melangkah ke arah wardrobe mengambil piyama. Tangannya terulur menutup wardrobe dengan tatapan mengarah pada asistennya. "Kau mau melihatku pakai baju? Tunggu di luar. Sebentar lagi aku menyusul."
Usai mengenakan pakaian, Jaehan menyusul sahabat sekaligus asistennya ke ruang tamu. Dia mendaratkan bokongnya di sofa sambil membuka selembar koran. Sedangkan Kaezn menunggu dengan sabar di sofa single di samping kanan.
"Jadi apa yang terjadi?"
Jaehan mengedikkan bahu. "Seperti biasa, aku hanya memberinya sedikit pelajaran," ucapnya santai.
"Benarkah?"
Laki-laki yang memiliki lesung pipi itu tak langsung menjawab. Pandangannya menerawang jauh, teringat saat dia memberikan pelajaran pada pelaku penghipnosis itu, bertepatan dengan hadirnya seorang laki-laki yang kemudian disusul oleh seorang gadis.
Kening Jaehan mengerut dalam. Kejarannya malam ini sudah mendekam di pihak berwenang, rata-rata kejarannya akan menyerahkan diri ke pihak berwenang serta membeberkan semua kesalahan mereka secara sukarela. Namun bukan itu yang mengganggunya, melainkan gadis yang melihat aksinya di lorong itu. Tidak menutup kemungkinan gadis itu akan menyebar berita bohong dan menggiring opini manusia awam. Celakanya, Jaehan tidak sempat menghapus ingatan gadis itu.
Koran di tangan Jaehan berpindah ke pangkuan Kaezn. Laki-laki itu meregangkan otot tubuhnya, lalu melipat ke dua tangannya di bawah kepala. "Setiap harinya pelaku kejahatan terus bertambah."
"Pasti terjadi sesuatu," kata Kaezn, membaca gelagat Jaehan yang tak seperti biasanya.
Jaehan menoleh dengan raut bosan. Lalu berdiri dan melangkah ke dinding kaca, menatap rintik hujan di luar sana.
"Aksiku dilihat seorang manusia."
Kaezn ikut berdiri di samping Jaehan. Dia menoleh sekilas. "Kau hanya perlu menghapus ingatannya."
Jaehan mengembuskan napas berat seraya memasukkan ke dua tangannya ke saku piyama. "Situasi dan kondisinya tak memungkinkan," balas Jaehan. Pasalnya saat itu jarak pandangnya terbatas, sulit bersitatap dengan bola mata manusia itu.
"Kau dalam masalah."
Jaehan mengangguk. "Aku harus menemukannya."
Kaezn menyetujui, lalu menyodorkan tablet. "Kasus yang selanjutnya."
Laki-laki berparas tampan itu memalingkan wajah dengan raut malas, meski begitu dia tetap menerima tablet itu dan menggeser layarnya.
"Sekolah?"
Kaezn mengangguk. "Targetmu yang selanjutnya."
"Sekarang apa lagi?"
"Sekolah Menengah Atas. Bernama Moon Star School ...." Kaezn menatap Jaehan sekilas, lalu melanjutkan. "Terjadi aksi ancaman keselamatan siswa-siswi."
Jaehan mengembalikan tablet itu dengan ekspresi tak tertarik. "Masalah sepele, bukan urusanku."
"Aku dan lainnya telah mengecek kondisi sekitar MSS ...."
"Dan kalian tidak menemukan apa pun," potong Jaehan menyimpulkan.
Dia tak tertarik dengan penjelasan Kaezn kali ini. Karenanya pun dia memilih menghampiri lemari pendingin dan menuang milk banana ke gelas dan menyesapnya sambil mengecek ikan hiasnya di akuarium.
"Ada aura berbeda di sekolah itu," lanjut Kaezn.
Gerakan Jaehan mengetuk-ngetuk kaca akuariumnya terhenti. Dia mengangkat kepalanya dan menatap Kaezn sangsi.
"Kalian sengaja mencari masalah untukku?"
Kaezn merapatkan bibir, enggan memberi tanggapan perihal ini.
Decakan lolos di bibir Jaehan. Laki-laki itu menaruh gelasnya sambil menyugar rambutnya asal.
"Tidak bisakah kalian membiarkanku istirahat?"
"Terakhir kali kau istirahat, sepuluh tahun lamanya."
Jaehan mendengkus dan kembali mengamati ikan-ikan hiasnya.
"Jika kau terus menunda-nunda, maka hukumanmu akan terus bertambah lama," kata Kaezn mengingatkan.
Jaehan menoleh sinis. "Aku tau persis."
Kaezn memilih diam. Dia tau persis watak Jaehan yang sensitif bila diingatkan perihal hukumannya.
"Ada lagi?" lirik Jaehan sambil meneguk milk banananya.
"Beberapa hari yang lalu Edgar meminjam mobilmu ...."
"Kemana mobilnya?" tanya Jaehan dengan alis mengerut. Pasalnya masing-masing di antara mereka memiliki mobil pribadi.
"Sedang dalam perbaikan."
"Sekarang karena apa lagi?" tanya Jaehan dengan raut lelah mendengar kesalahan berulangkali yang dilakukan Edgar.
"Menabrak—"
"Cukup," potong Jaehan. "Jadi ada apa dengan mobilku?"
"Dia meminjamnya untuk pergi berkencan, tapi entahlah, yang pasti mobilmu dibawa pergi oleh pacarnya."
Rahang Jaehan mengetat mendengar pernyataan Kaezn. Laki-laki itu langsung menaruh gelasnya dan menggulung lengan piyamanya, siap menyambangi Edgar di villa bagian belakang.
"Aku harus memberinya pelajaran!" geram Jaehan yang langsung ditahan oleh Kaezn.
"Lupakan. Besok pagi aku pastikan mobilmu telah kembali." Kaezn mengembuskan napas berat. "Sekarang kau harus siap-siap."
"Siap-siap? Untuk?"
"Kau akan menyamar sebagai murid pindahan di MSS."
Jaehan terpaku beberapa detik, sebelum mengusap wajahnya secara kasar. "Menyamar jadi anak sekolah, heh?" sinisnya.