Flashdisk

1458 Words
Maila memandang wajah jendela. Kantuk baru saja diuapkan bersama rerimbunan embun pagi. Dua hari sudah ia istirahat di rumah setelah insiden kecelakaan di dekat kantor dinas pendidikan. Tubuhnya kemarin terasa remuk, bahkan ia ambruk di teras. Setelah urusan proposal kelar, ia ijin tidak berangkat. Senyum manis mengembang ketika memandang Puput, ibunya sedang asyik menyiram tanaman. Wanita yang telah menjadi teman selama dua puluh satu tahun dalam kehidupan Maila sangat tertarik pada dunia flora. Setiap pagi dan sore ia sambangi tanaman di halaman rumah layaknya mencium pipi buah hati. "Selamat pagi, Bu. Bagaimana kabar-kabar tanamanmu hari ini? Sehatkah mereka?" ucap Maila sembari membuka pintu jendela. Ia sedikit melongokkan kepalanya keluar. Rambutnya diurai angin. "Tanaman ibu selalu sehat dan tumbuh dengan gembira," balas ibu. Air dimatikan sementara selang diletakkan di atas rumput. Ibu mendekati Maila di depan jendela. Bunga matahari mekar di antara wajah mereka. "Sudah sehat? Mandi dan jangan lupa sarapan!" Maila mengapitkan jari telunjuk dengan jempol membentuk huruf 'O' maksudnya oke. Sebelumnya ia rapikan tempat tidur, selimut dilipat, bantal ditumpuk juga menyapu lantai yang semalam dihinggapi debu-debu liar, sementara mata bergerilya membaca pesan teks di grup w******p. Aplikasi Dapodik (data pokok pendidikan) tahun ajaran baru telah rilis, setiap lembaga sekolah diwajibkan menginstal dan mulai menginput data peserta didik baru. Ia menarik napas berat, mengembuskan pelan-pelan sambil meletakkan sapu di belakang pintu. 'Deadline lagi,' batinnya berbisik menyapa matahari yang masih terbit malu-malu. 'Juli oh Juli!' lagi-lagi ia mengutuk bulan Juli. Ia benci bulan tersebut tanpa menyadari bahwa pada bulan itu pula dirinya lahir. Ibu Maila melawan maut pada tahun dua ribu tepat tanggal pertengahan silam. Bulan semester satu bagi dunia pendidikan. Jika ditelisik, sesungguhnya bulan itu termasuk bulan cerdas ketimbang Desember bulan perpisahan. Yang jelas ia hanya tidak suka dengan segudang pekerjaan di bulan Juli. Isi ransel diperiksa satu persatu, ia khawatir ada data yang tertinggal. Kotak polpen dibuka, flashdisk database sekolah tidak ada di sana. Ia langsung keluar kamar. Berteriak-teriak memanggil ibunya. "Bu, kemarin lihat flashdisk aku di saku seragam hari senin tidak?" "Tidak ada, sebelum memasukkan pakaian ke mesin cuci ibu tidak pernah lupa merogoh saku-saku yang ada, dan cucian kemarin semuanya kosong," kata ibu yakin. "Sungguh ibu tidak lupa?" "Bagaimana ibu lupa? Ibu belum menimang anakmu, tidak mungkin ibu pikun!" "Ibuuu... Maila serius! Tidak sedang bercanda! Ada data penting di sana, SK pembagian tugas mengajar, SK dari yayasan, data peserta didik baru, dan—" "Ibu tidak tahu, sungguh sayang." Kali ini ibu menatap wajah panik Maila. Ibu meletakkan sendok pada tempatnya lalu menutup hidangan dengan tudung saji. "Coba diingat-ingat dengan pikiran tenang," "Ibuuu... Aku tidak bisa hidup jika benda itu hilang! Data-data di dalamnya sama seperti nyawaku, Bu!" "Sembrono kamu ngomong, Ma. Ibu susah payah memperjuangkan kamu lahir hidup-hidup melawan maut, kamu bilang mau mati gara-gara flashdisk?" kali ini wajah ibu sedikit tegang. "Bukan begitu, Bu. Masalahnya data-data di dalamnya sangat penting dan berharga!" "Mandi lalu sarapan, nanti pasti ada solusinya saat pikiranmu dingin." "Oh ya, aku ingat! Laki-laki pembawa kopi itu! Gara-gara dia aku jatuh! Mungkin flashdisknya ada di lobi gedung dinas pendidikan, atau jangan-jangan sudah dibuang Cleaning Service? Aaahhhh... Ibuuu! Aku benar-benar hancur!" Kemarin ia tidak sadar flashdisknya jatuh. Maila sempat menyimpan file di komputer fotokopian, meminimalisir colokan flashdisk jika revisi. Benar saja, dokumennya ketumpahan kopi, tanpa tunggu lama ia langsung mengeprint ulang untuk diberikan kepada Bu Suci. Andaikan ia tidak menyimpan file di komputer umum itu, pasti ia tahu flashdisknya hilang. Tiga hari menjadi masa lalu, ia harap data-datanya bisa ditemukan. Seusai mandi Maila langsung menancap gas menuju dinas pendidikan— bukan! Lebih tepatnya ingin menemui Darel! Menjadi tenaga kependidikan rupanya tak seindah yang dibayangkan. Tempo dulu, ia berangan-angan ingin duduk di hadapan laptop, mengetik-ngetik tugas atau Ilaporan sekolah yang dianggapnya seru. Ia sempat mengidamkan posisi Tata Usaha di sekolahan karena dikira tidak melelahkan juga jauh dari tanggung jawab mengajar. Ia menceburkan diri pada instansi anak-anak agar tidak dituntut meluluskan ujian nasional. Namun takdir berucap lain, menjadi seorang guru anak rupanya berat. Menanamkan karakter pada anak-anak dini bukan perihal gampang, butuh kesabaran besar. Bukan hanya itu saja, bekerja di bagian tendik sekolah memerlukan banyak tanggung jawab, ketelitian, kesabaran, bahkan kecerdasan. Kini, kehilangan flashdisk membuatnya merasa belum mencerminkan sifat teliti. Maila mengetuk pintu kecil di sebelah rolling door. Belum ada tanda-tanda kafe akan buka. Sejujurnya, tempat itu tidak bisa dikatakan sebagai kafe saat tutup jika tidak ada banner yang dilukisi identitas bangunan. Kemarin orang-orang membawanya ke sana pasti beralasan karena pintu gerbangnya tidak ditutup, sama seperti pagi itu dibiarkan terbuka. Siapa pun akan leluasa parkir kendaraan mereka. Tapi Maila berasumsi supaya pemiliknya tidak perlu repot-repot mendorong pintu gerbang ketika mengajak mobilnya jalan-jalan. Sebuah mobil terparkir di halaman kafe, ia meyakini kendaraan tersebut sebagai alat mobilisasi kepentingan kafe, untuk belanja bahan pokok, antar pesanan, misalnya. "Kami buka jam tiga sore!" seruan dari dalam. Suara serak seorang laki-laki kedengaran jelas. "Saya tidak mau pesan kopi, saya mau bertemu Darel!" Pintu dibuka. "Ada apa?" Kesadaran Darel belum utuh diinjakkan di planet bumi, angannya masih lelap dengan bantal dan selimut. Ia menyeret kantuknya demi menemui sosok pengganggu tidur hari itu. Wajah kusut Darel terlihat begitu alami sebagai laki-laki, tak ada kotoran sedikit pun yang singgah. Walau rambut awut-awutan ia tetap tampan, seperti ada aura yang mengeluarkan cahaya hingga membuat pandangan Maila silau. Kaos serupa awan itu memperkuat kecerahan kulitnya. Hanya saja, tatapan tajam kemarin kini redup. "Mohon maaf, apakah kemarin Anda menemukan flashdisk berwarna putih dengan gantungan replika bunga matahari?" Maila bicara formal. Darel tidak menjawab, ia justru menyapu pandangan sekujur tubuh Maila. Rok seatas mata kaki dengan stelan batik cokelat, dengan paduan sebagian rambutnya diikat ke belakang mengesankan kata anggun di hati Darel. "Kamu buruh pemerintah?" "Jangan jawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi!" emosi Maila mulai naik. "Sepenting apa benda itu? Dan alasan apa dirimu mendatangiku pagi-pagi?" "Tuan Darel! Flashdisk itu sangat penting bagi kelangsungan hidup sekolah dan harga diri saya!" Maila geram, rahangnya tegang. "Berapa harga dirimu? Bisa kubeli?" Kesabaran Maila habis, ia memukul permukaan pintu hingga suara berisik keluar di pagi yang lengang. Jalan raya belum seramai menjelang siang. Pejalan kaki trotoar juga masih bisa dihitung dengan jari. Orang-orang sudah berada di tempat kerja masing-masing. Ruko-ruko mulai menunggu rupiah. Pengamen jalanan bersiap-siap keliling mengais koin di lampu merah. Suasana itu membuat perselisihan mereka bisa didengar orang lewat. Daun yang gugur menganggap mereka sepasang kekasih yang hendak putus. "Jawab pertanyaan saya! Kemarin Anda menemukan flashdisk tidak? Anda tahu? Saya belum sarapan! Jauh-jauh dari kampung ke pusat kota jika bukan karena mencari benda penting pasti tidak akan melakukannya! Saya dikejar deadline input data peserta didik, jika melebihi waktu cut off lembaga saya tidak akan mendapat bantuan operasional tahun depan!" "Aku tidak peduli!" Darel menaggapi dengan santai. Suara gadis yang meletup-letup di depannya itu sukses membuat kantuknya hilang. Ia membuka keseluruhan badan pintu, mempersilakan Maila masuk. "Kalau belum sarapan, ayo sarapan!" "Tuan Darel! Apakah Anda melihat flashdisk saya kemarin?" semakin marah, Darel bertambah gemas. Dinding-dinding kafe mempertontonkan karakter pemiliknya. Ada karikatur wajah Presiden Soekarno, lalu banyak tulisan motivasi dengan berbagai jenis huruf yang dibingkai dan dipajang begitu rapi. Lampu-lampu neon lima watt digantung satu-satu setiap meja. Kursi-kursi masih terbalik di atas meja. Darel masuk untuk memancing Maila. Semakin Darel berkelit, semakin yakin flashdisk yang dicari-carinya berada di tangan laki-laki itu. "Darel!" Seketika alam menjadi gelap, seolah-olah pagi gagal bangun. Kesibukan terang musnah seiring melemasnya tubuh Maila. Ia jongkok di depan pintu, memijit keningnya sebentar. Menetralisir emosi. Menarik napas bekali-kali dan mengembuskannya perlahan. "Iya, masuklah biar aku ambilkan sebentar! Berisik!" Sayangnya telinga Maila tidak bisa mendengar. Kesadarannya terbenam. Darel terkejut melihat dirinya tergeletak di lantai. Ia lari menuju pintu depan sementara flashdisk telah dikantongi. "Aku bilang iya! Jangan akting! Orang akan curiga aku mencelakaimu hari ini!" "Hei! Bangun!" Darel jongkok, memandang wajah lembut Maila dengan tenang. Telunjuknya menyibak rambut yang menutup sebagian wajah. Baru sadar jika aura Maila terlihat pucat. Perutnya masih kosong, sementara tubuhnya dipaksa menerobos gigil. Ia pingsan. "Sial! Gadis pembawa beban! Kalau tahu masih sakit, harusnya tidak perlu kemari. Bagaimana mengurus kepercayaan orang lain, kalau urus dirimu saja belum becus!" Darel menggerutu. Mau tak mau ia membopong tubuh Maila. Gadis itu ditidurkan di ruang belakang, tempat istirahat ketika karyawannya sedang sibuk melayani pembeli. Ada sofa dan kasur busa yang cukup untuk rebahan dua orang, juga sebuah almari kecil di sebelah meja kaca minimalis yang diduduki laptop dan ponsel Darel. "Kalau sepuluh menit kamu tidak bangun, aku akan meninggalkanmu!" ancam Darel. Ia duduk di sofa, membaca pesan-pesan masuk sambil sesekali memperhatikan wajah Maila. Lama-lama tumbuh perasaan asing dari dadanya. Ia merasa kasihan dan tidak tega. Khawatir ada hal buruk terjadi maka ia akan dimintai pertanggung jawaban sebab gadis tidak dikenalnya pingsan di tempatnya mencari uang. 'Siapa namamu? Aku bahkan belum tahu identitasmu, tapi kau sudah lancang tidur di kasurku,' Ia simpan pertanyaan pada binar mata luluhnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD