Sebuah Pertolongan

1389 Words
Pagi menjadi kenangan. Pekerja kantor istirahat di kedai-kedai terdekat. Anak sekolah mulai pulang ke orang tua masing-masing. Waktu berputar tanpa memperhitungkan kenyataan. Udara dirasa kerontang. Daun-daun kering di jalanan terhempas sepoi angin, mereka seperti kawanan manusia tua yang berbondong-bondong pulang ke dalam tanah. Penjual kaki lima mengibas-ngibaskan topi di depan wajah. Bisa ditafsirkan hujan tak akan datang, sebab langit melintir kegelapan, dari sudut-sudut yang entah, tiada mendung singgah. Maila mengerjabkan mata. Ia pandangi sekitar ruang. Bau obat menyeruak tercium begitu pekat. Ia terbangun di ruang serba putih yang dihuni dua bangsal dengan sekat tirai biru. Tidak ada televisi, juga sofa, hanya ada dua nakas di sisi bangsal masing-masing. Ia mengingat-ingat tragedi yang membuatnya masuk ke tempat itu, sayang tak ada yang terbesit dalam pikiran. Kepala dirasa pening, sementara napas lamban mengembuskan oksigen, sekujur tubuh seperti terserap ke dunia lain. Ia ingin pulang, tapi tak cukup kuat untuk bangkit. Ia berdamai dengan detik untutk tetap rebah mengumpulkan segenap kekuatan dan ingatan.  Lima menit kemudian, seoranga laki-laki berjas putih dengan stateskop tergantung di leher masuk. Kaca mata yang dikenakan mengesankan dirinya orang berpengetahuan luas. Ia mendekati Maila, memeriksa tensi dan detak jantung.  "Lima belas menit lagi tidak sadar, saya akan merujukmu ke rumah sakit besar," kata dokter terlihat santai, "kondisimu sudah membaik, kau bisa pulang dan istirahat sebanyak-banyaknya di rumah." Lanjut ucapannya.  "Apa yang terjadi tempo lalu, Dok?"  "Entahlah, Darel tidak bercerita banyak kecuali mengatakan dirimu tiba-tiba pingsan dan gerutuan sebal diucapnya berkali-kali,"  Nama Darel mengingatkannya pada flashdisk dan kafe di dekat dinas pendidikan. Suara geramnya di depan pintu kafe terngiang samar-samar. Ingatannya beberapa jam lalu pulang. Ia menghela napas. Tadi— ia tiba-tiba merasa lemas, kepala pening, sementara oksigen seolah tak mau ia hirup. Mendadak kesalnya pada laki-laki itu tumbuh. Namun, bagaimana pun juga laki-laki berambut cepak itu telah membawanya ke klinik. Ada simpati sedikit meski rasa kesalnya tidak hilang barang semili.  "Yang jelas, sakitmu membuat saya beruntung—" dokter berkata diikuti senyuman manis. Pupil matanya membidik wajah Maila yang mendadak berkerut bingung. Pikirnya tidak etis berkata seperti itu di depan pasien. Ia paham betul, orang-orang sakit bagi instansi kesehatan bisa menghasilkan rupiah untuk menghidupi tenaganya. Sayangnya, dokter Farrel, nama yang tertera pada nametag dadanya tidak perlu menjelaskan terang-terangan. Dari konsonan hurufnya, Maila berasumsi bahwa dokter itu dan Darel memiliki ikatan keluarga.  "Darel jadi kesini, setelah bertahun-tahun tidak pernah mau berkomunikasi dengan saya."  "Anda kakaknya?"  "Bisa dibilang seperti itu. Saya akan menghubunginya untuk menjemputmu, lain kali jaga kondisimu baik-baik, jangan kelelahan apalagi sampai lupa makan. Darel bilang kamu pingsan karena lapar,"  'Sial!'  "Tadi dia membelikanmu makanan," mata Farel dipusatkan pada sebuah nakas kecil yang di permukaannya terdapat kantong plastik putih. Langkahnya dituntun keluar setelah merasa cukup bicara dengan pasien.  Maila menatap langit-langit ruangan. Neon bergantung sendirian. Angannya dilayangkan ke pengalaman masa silam. Tentangnya yang berjuang menyelesaikan banyak pekerjaan, meski kadang kacau, tapi tetap selesai dan uang-uang cair. Maila tak ubahnya mesin pencari uang bagi sekolah, ia operator yang mengurus database online sekolah. Beruntung ia masuk di instansi bergengsi yang masuk ke dalam sekolah favorit meski hanya jenjang TK dan KB, upah honorer yang diberikan cukup lumayan, lain kisah jika ia masuk ke sekolah di bawah desa-desa. Upah yang didapatkan konon dianalogikan hanya sekadar untuk membeli garam dan sabun. Anggap saja upah sejalan lurus dengan jumlah siswa. Sekolah di bawah naungan desa jarang muridnya yang mencapai angka seratus, lain kisah di sekolahan Maila, ia bahkan pernah menolak siswa dari kuota yang dibuka, ada sekitar tiga ratus lima puluhan anak yang bermain dan belajar di sekolahnya. Jumlah yang bagi Maila tidak sedikit bagi jenjang TK, lain cerita jika jenjangnya sudah SD, SMP, atau SMA, jumlah itu belum ada apa-apanya di sekolah favorit.  "Ayo bangun! Ambil sepeda motormu di kafe dan pulanglah," kata Darel, entah sejak kapan ia berada di sana, flasdisk berwarna putih miliknya dilempar ke bangsal. Benda itu tergeletak di atas perutnya.   Maila bangkit. Ia turun dari bangsal usai memasukkan flashdisk ke dalam sakunya. Kakinya dituntun keluar pelan-pelan. Tubuhnya masih berat digerakkan, tapi ia tidak mau mempersulit keadaan. Ia berpegangan dengan dinding untuk menjaga keseimbangan. Bibirnya sedang tidak mood diajak ribut dengan Darel.  "Menyusahkan! Aku bahkan belum tahu namamu, tapi sudah membawamu ke klinik ini! Betapa beruntungnya dirimu!"  "Gumaila." Jawab Maila lirih. Ia berjalan menuju ruang dokter Farel.  "Jangan ke sana, langsung keluar! Administrasi sudah kuurus, kau hutang padaku!" "Baiklah, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih," "Resep obat sudah kubawa, tidak usah ucap terima kasih. Aku buru-buru!" "Itu tidak sopan!"  "Pulang sendiri kalau hanya ingin mempertahakan harga diri sebagai guru!" Darel mendahului langkahnya. Laki-laki itu sungguh keluar langsung menuju parkiran. Maila menatap hampa, ia pun memutuskan patuh kepadanya.  "Kalau kamu tidak ikhlas, aku pesan Gojek saja,"  Klakson dibunyikan nyaring. "Masuuukkk!!!"  Tanpa disadari, mata Farel bergerilya mengamati mereka dari balik kaca jendela. Ada senyum kelegaan yang terbesit. Ada rindu mengalir deras pada darahnya, rindu yang nyaris dipupuskan ketidakdatangan Darel, ketidakinginan Darel mengakuinya sebagai seorang kakak, berkurang skalanya. Perasaan itu terobati sedikit. Bisa melihat Darel hari ini seperti mimpi dengan mata terbuka. Ia mengabadikan momen dengan mencuri foto mereka dari jauh.  'Kak Farel, kau pengkhianat paling kejam yang pernah kuketahui!' ucapan Darel dengan linangan air mata memantul pada dinding ruangan.  'Munafik! Pembohong!' u*****n-u*****n Darel beberapa tahun lalu terserap terik matahari.  Maila lebih banyak diam selama di dalam mobil, ia tak berselera merespon ocehan Darel. Pemuda itu antusias sekali mengungkap perilaku yang dianggapnya baik. Suaranya membiak musim kemarau, terasa kering dan sangat hambar. Siang ini panas mencapai 37°C, suhu yang cukup membuat keringat-keringat mengalir deras. Darel menyalakan AC mobil.  "Kau bisa menyetir motor kan?"  Maila diam, pandangannya lurus ke depan.  "Aku tidak mungkin mengantarmu pulang," "Kau layak berterimakasih padaku, jika tidak— mungkin flashdiskmu sudah dipungut orang lain, bisa juga justru dibuang petugas kebersihan,"  Tombol klakson dipencet, ada bocah lari menyebrangi zebra cross. Mengelus sempat tersentak kaget.  "Bocah nakal!"  "Tidak ada anak nakal, semua anak pintar, karakter anak tergantung pola asuh dan lingkungannya, anak tadi mungkin buru-buru mengejar sesuatu, tidak bermaksud menyusahkanmu," kali ini Maila angkat bicara, ia kurang terima dengan u*****n Darel baru saja.  "Baik, aku percaya dirimu seorang guru!"  "Aku bukan guru." Jawab Maila jujur, namun Darel tidak peduli. "Rel, sebelumnya terima kasih sudah membawaku ke klinik, berapa uang yang harus aku kembalikan?" Maila memandang wajah Darel, ia melembutkan nada bicara, kalimat disusun santai seakrab teman dekat. Sejenak pandangan mereka saling bertautan. Wajah manis dengan bulu mata lentik membelah keketusannya, hidung bangir, giginya berderet rapi dengan ginsul sebelah kiri membuat senyumnya madu, rambut panjangnya menyempurnakan kecantikannya sebagai seorang perempuan.  "Berapa?"  Darel kembali fokus mengemudi.  "Aku belum tebus resepmu di apotek," "Biar kutebus sendiri!" "Aku lupa." Dua suku kata yang cukup membuat Maila mendengus kesal.  Mobil Toyota dengan cat silver parkir di halaman kafe Darel, seorang pria dewasa berkacamata hitam berdiri dengan ponsel di telinga, ia terlihat sibuk bicara. Kemeja biru laut dibalut jas biru sepadan dengan dasi mengesankan hormat padanya. Kafe masih tutup, itu tandanya pria tersebut bukan pengunjung yang hendak menikmati seduhan kopi. Darel turun dari mobil, ia membanting pintunya seperti waktu kemarin. Maila ikut turun.  "Maaf, Tuan! Ini bukan tempat parkir umum!" kata Darel sambil mengibaskan tangan artinya mengusir.  Pria itu mengakhiri percakapan lantas memusatkan perhatian pada Darel.  "Rel! Kapan kamu pulang?"  "Pulang kemana? Rumah saya di sini,"  "Darel, mengertilah. Mama ingin bertemu denganmu! Apa yang harus papa lakukan, supaya dirimu mau pulang?"  "Mama saya sudah di akhirat!"  'Plak!'  Maila merekam Darel sebagai laki-laki keras kepala, diperkuat dengan ucapan-ucapannya sejak pertama kali bertemu. Jika dilihat dari penampilan ayahnya, Darel berasal dari keluarga mapan. Maila, tidak peduli urusan orang lain. Kepalanya terlalu mahal untuk memikirkan hal-hal yang bukan urusannya, ia ingin segera pulang, bergegas memeluk guling, istirahat menyongsong hari esok, semoga bisa berangkat ke sekolah untuk menyelesaikan tanggung jawabnya yang belum kelar. Ia ucap terima kasih, membungkukkan badan kepada ayah Darel sebagai salam hormat meski mereka berdua tidak merespons. Ia tidak mau terlibat dalam pertengkaran anak dengan orang tuanya. Kasih sayang keluarga yang kental akan membuat emosi mereka keluar dasyat. Bagi Maila, kegeraman ayah Darel dengan memberi tamparan merupakan hal normal, sebab Darel tidak mencerminkan sikap bakti apalagi hormat pada orang yang mengasuh dan mengasihinya sedari masih dalam kandungan.  Darel memegang pipinya sebentar, kemudian masuk ke kafe, mengambilkan tas Maila. "Pulang sana!" ungkapnya ketus sambil melempar tasnya. Maila berusaha sabar, memperunyam masalah bukan hobi gadis itu. Ia nyalakan sepeda motor, menarik gas pelan-pelan sampai akhirnya lenyap ditelan tikungan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD