Lemah Jantung

2148 Words
Ada pesan masuk pengusik kedamaian petang. Baris kalimat itu membuat mata Darel tidak bisa tidur semalaman. Huruf-hurufnya seumpama jarum yang sedang menusuk ubun-ubun. Pikiran pemuda itu dipenuhi perasaan bersalah kepada sosok tidak dikenal, selain pada bayangan tubuh dan nama panggilan. Pesan yang ia terima justru lebih menakutkan dari amarah ayahnya dua hari lalu. Baru kali ini ia merasa simpati kepada orang yang bukan bagian dari kepentingannya.  Roda kehidupan berjalan dengan kecepatan lamban, detik yang berlalu bagaikan tontonan lomba lari keong-keong penggendong rumah. Seperti biasanya, kafe Darel ramai pengunjung. Kerlap-kerlip lampu beraneka warna semakin menambah nilai artistik wajah Soekarno. Pencahayaan remang menutup kebimbangan-kebimbangan identitas para remaja.  Mayoritas pengunjung hari itu masih bersemayam pada bangku-bangku sekolah, ditelisik dari gaya mereka bicara, tawa yang begitu renyah, kepulan nikotin dilambungkan bebas dengan isap coba-coba, lalu tegukan-tegukan kopi penghantar mimpi indah untuk ciptakan kenang bersama teman-teman. Melodi terus mengajak nampan dan para barista menggerakkan langkah-langkah pengabdian mereka.  Darel keluar dari ruangannya, ia menuju meja bar para barista. Menyeret Rizam, karyawan paling setia dan paling lama di antara rekan-rekan yang lain.  "Ada apa, Bro? Mau kopi?" "Pernah punya keluarga yang jantungnya lemah?" tanyanya begitu antusias. Darel menarik kursi, ia duduk diikuti Rizam. Pengunjung akan mengira mereka berdua karyawan yang sedang berleha-leha. Lihatlah, barista lain sibuk hilir-mudik, antar pesanan, ambil gelas-gelas kotor, catat orderan, dan hitung pemasukan, mereka justru duduk dengan obrolan yang orang-orang lain tak paham.  Kening Rizam berkerut. Pemuda yang pernah menikah namun sudah bercerai dua bulan silam itu tidak mengerti dengan apa yang ditanyakan Darel. Tidak seperti biasanya teman sekaligus bosnya tersebut menanyakan hal-hal tentang kehidupan orang lain.  "Jantungmu lemah? Jangan minum kopi kalau begitu!"  "Bodoh! Siapa bilang jantungku lemah? Aku tanya, ada nggak—" otot rahang Darel kelihatan tegang. Rizam buru-buru memotong kalimatnya supaya tidak meledak. "Tetanggaku lemah jantung, baru meninggal satu tahun yang lalu. Ada apa?" "Apa itu sakit yang serius?"  "Bos! Jantung itu organ vital manusia, tetanggaku tidak bisa kerja dan berpikir berat, pokoknya dikit-dikit sakit, dikit-dikit dirawat, hidupnya susah banget!" cerita Rizam dengan sungguh-sungguh. "Kenapa dirimu tertarik dengan ini?" "Orang itu habis kecelakaan ringan, lalu tiba-tiba dia pingsan dua hari kemudian," mata Darel menerawang jauh, pandangannya lurus ke arah kasir, namun pikirannya tidak di tempat itu. "Dia pulang naik sepeda motor sendiri setelah sadar, menurutmu dia baik-baik saja?"  Farel yang bertahun-tahun tidak berani mengiriminya pesan apalagi telpon, malam lalu mengantarkan satu paragraf kalimat paling hati-hati yang pernah ia ketik. Pesan yang menjadi akar-akar serabut di pikiran Darel. Pesan tentang keberlangsungan hidup seorang perempuan. Pesan tentang orang asing yang mendadak singgah dalam benak.  'Bagaimana kabarmu, Rel? Aku tidak bermaksud mengganggumu, hanya mau memberitahu bahwa jantung kekasihmu lemah, dia perlu melanjutkan pemeriksaan di dokter spesialis jantung, semoga saja hasil pemeriksaanku salah dan kekasihmu baik-baik saja.' Ia melempar ponsel sambil menggerutu semaunya. Baginya Farel telah merendahkan harga dirinya sebab mengira perempuan pingsan kemarin— Maila adalah kekasihnya. Bagaimana mungkin seorang kekasih tega meninggalkan pasangannya di klinik bersama orang yang paling dibenci di dunia? Seleranya terlalu rendah jika sampai tertarik pada perempuan sederhana yang menurutnya bahkan tidak pandai memakai make-up. Kekesalan malam itu membuat jari-jarinya memblokir kontak Farel.  Tanpa ia mengerti isi pesan tersebut membuat dua kelopak matanya terjaga sampai fajar bangun. Ia merasa bersalah karena kemarin menyuruh Maila pulang sendiri, padahal sangat jelas wajah dan gerak tubuh Maila hari itu amatlah lemah. Semua ini juga salahnya, andaikan Maila tidak dipancing sampai marah pasti ia tidak pingsan. Rambutnya diacak-acak sendiri.  "Wah ekstrim sekali, kalau hanya menyetir dekat sih tidak begitu masalah, kalau jauh dia bisa pingsan tiba-tiba lagi di jalan, orang yang jantungnya lemah mudah kaget," ucap Rizam membuyarkan lamunan Darel.  Jauh atau dekatnya ia tidak tahu. Kata-kata yang keluar lincah dari bibir Rizam membuatnya ditumbuhi perasaan khawatir berkali-kalilipat, ditambah lagi ia iseng mengosongkan isi flashdisk Maila. Karena sebal dengan keketusan Maila, bicara lantang padanya, setelah menabrak kopi tidak meminta maaf, justru mengomel tidak jelas, sepulang mengantarkan kopi kedua dari dinas pendidikan hari itu, ia mencolokkan benda mungil tersebut ke laptopnya di kafe, menyalin data di desktopnya kemudian menghapus file asli. Niatnya sederhana, ingin memberi pelajaran, sayang ia justru dirundung perasaan tidak nyaman.  "Savina sakit?" Rizam memotong topik, matanya berbinar tidak sabar menunggu jawaban.  "Bodoh!" kepala karyawannya itu dijitak.  "Hehehe, lalu siapa orang tersebut? Pasti ada hubungannya denganmu, tidak mungkin jika tidak, kau sebegitu tertarik—" "Apa yang harus kulakukan untuk mencari orang yang hanya kuketahui namanya saja?"  "Zaman modern, Bro! Chat saja, mudah kan?"  "Rizaaammm!!!" Darel gemas, ia menggebrak meja bersamaan dengan bergantinya judul lagu yang diputar, ada jeda yang menciptakan hening sesaat, ketika itu suara gebrakan membuat pengunjung menatap mereka heran. Barista mulai menyusun pertanyaan mengenai perselisihan yang sedang terjadi. "Dengarkan baik-baik, Zam!" nada suaranya naik beberapa oktaf, "hanya tahu namanya saja, tidak lebih!"  "Buat apa mencari orang yang tidak jelas? Kau pasti hanya butuh bantuan, kan? Mintalah tolong orang-orang di sini untuk memecahkan masalahmu," Rizam paham dengan karakter Darel, ia tidak mungkin menghubungi orang lain, jika bukan untuk membuatnya repot.  "Capek ngomong sama kamu, Zam!" "Siapa orang itu? Bukan Savina?" pertanyaan retoris. Rizam tahu jika jawabannya adalah bukan. "Sudahlah, kembali bekerja!" perintah Darel. Rizam tertawa melihat bosnya geram. Ia bangkit dari tempatnya duduk sambil membunyikan kalimat terakhir. " Cari ke tempat pertama kali dirimu bertemu dengannya, bisa jadi orang itu akan datang lagi di kemudian hari."  Darel menghela napas berat. Perkataan Rizam dicerna kuat-kuat. Pertama kali bertemu dengan Maila adalah di kafe itu, manamungkin dia mencari Maila di sarangnya sendiri? Tetiba rasa panas pada perut dan dadanya akibat terkena tumpahan kopi muncul kembali, otaknya berputar di lobi dinas pendidikan. Ya! Darel yakin, Maila pasti ke tempat itu lagi.  Tak akan pernah ada yang menyangka, jika pagi-pagi Darel pergi ke dinas pendidikan, membawa sepuluh cup kopi, membagi secara gratis kepada pegawai bagian PNFI, ia yakin sekali Maila termasuk anak buah Bu Suci, pelanggan nomor satu yang selalu pesan kopi tanpa gula. Melacak keberadaan terasa akan mudah. Pagi ini, ia menyapa Bu Suci dengan senyum paling manis.  "Selamat pagi, Bu Suci." Ia meletakkan cup kopi di atas meja, tepat sebelah laptop. Kaca mata tebal menampakkan kesibukannya, berkas-berkas proposal tertumpuk rapi di belakang kursinya, pegawai yang lain menghentikan pekerjaan masing-masing demi melirik sapaan Darel yang aneh.  "Kami belum pesan kopi," kata Pak Dito, pengurus Sarpras (Sarana Prasarana) PNFI Kota Magelang. Kumis hitamnya menampakkan keseriusan dalam memilah-milih data lembaga non formal di kota yang akan diberi bantuan. Proposal keuangan yang akan diaplikasikan untuk Sarpras semuanya masuk ke dalam tangannya. Sementara Bu Suci lebih ke Operasional Sekolah.  "Untuk hari ini, khusus dinas pendidikan jika mau pesan kopi gratis,"  "Sepagi ini sudah buka?" Bu Suci kali ini angkat suara. Ia melepas kacamata. Wajah berlapis bedak tebal, alis seolah hendak mencengkeram, dan bibir dicat gincu merah segar, sangat serasi dengan label killer dari guru-guru.  "Belum buka sih, Bu. Hanya niat berbagi saja. Oh ya, Bu—" Darel mulai menyerang, "ibu tahu nggak guru muda bernama Gumaila?"  "Tidak tahu, banyak guru yang datang dan saya tidak menghafal namanya satu persatu!"  Darel agak sebal dengan sikap Bu Suci, wanita tua itu mengambil kopi, meminumnya lalu kembali memakai kacamata, lanjut kerja. Sinis sekali.  "Yang kemarin revisi proposal," "Yang revisi hampir seluruh lembaga, ada tiga ratus lima puluhan lebih, bagaimana saya tahu?" Bu Suci mengerutkan alisnya. "Kalau tahu, apa yang kamu butuhkan?"  "Alamat atau tempatnya kerja,"  "Tanya sama operator dinas pendidikan, dia bisa melacak, database guru ada di laptopnya," Pak Dito memberi saran, ia menunjuk meja operator dinas pendidikan, tepat di dekat pintu masuk. Darel menghampirinya, tanpa peduli lagi dengan Bu Suci.  "Ada hubungan apa dengannya? Mau mengajukan proposal cinta?" tanya operator itu. Darel melirik name tag yang tertera di saku kanannya, Mahalia. Wanita separuh senja dengan kayu mata tebal itu mematahkan ketegangan suasana batin.  Darel menahan napas. Ia merasa kesal dengan obrolan tidak produktif itu. "Ada hal yang perlu disampaikan padanya,"  "Kalau barang titip saja di sini, kalau perasaan utarakan sendiri!" Bu Mahalia mengajaknya bergurau, karakternya lebih cair dibanding dengan Bu Suci. Darel menahan emosi, ia tidak mau terpancing amarah di depan seragam-seragam pemangku hormat pendidikan. Yang ia butuhkan hanya alamat Gumaila.  Bu Mahalia membuka Dapodik Kota Magelang, mencari nama Gumaila, muncullah sebuah nama yang diharapkan, lengkap dengan NIK dan nomor telepon. Tapi Bu Mahalia tahu aturan kerja, ia tidak mungkin membagikan kontak orang secara cuma-cuma, setiap data menjadi tanggung jawabnya, dan angka yang tercantum adalah privasi yang haram disebarluaskan. Ia hanya memberitahu alamat detail Gumaila, kontaknya tidak, meski Darel memaksa.  *** Meja kantor mengheningkan cipta. Semilir angin dari jendela sayup-sayup menyusup masuk. Anak-anak sudah masuk di kelasnya masing-masing. Lima belas menit lalu sekolah terasa gaduh, jeritan riang terdengar menjelegar, suara tanpa dosa mereka memantulkan kebahagiaan di dinding-dinding ruangan. Mainan berserak di mana-mana, langkah-langkah mungil berlarian mengejar canda. Setelah jam istirahat habis, Gumaila menghidupkan laptop, berselancar di halaman website Dapodik pusat, hendak unduh aplikasi versi terbaru.  "Bu Maila, jika dirimu sudah senggang daftarkan NUPTK guru-guru yang sudah S1 linier, ya?" kata kepala sekolah sambil mengulum senyuman. Ia berada di seberang meja Maila. Matanya sedang sibuk mengoreksi KTSP tahun pelajaran baru yang dibuat oleh tim kurikulum. Meski hanya jenjang TK, tapi pekerjaan di sekolah ini tertata amat rapi dan terstruktur. Tidak lain karena lembaga Maila menjadi contoh dan termasuk dalam sekolah favorit di Kota Magelang.  "Siap, Bu. Saya sedang fokus mengerjakan dapodik, jika sudah sinkron, saya buka verval PTK untuk mendaftarkan NUPTK,"  Maila membuka hasil unduhan dan langsung mengklik run administrator, sambil menunggu hasil instalan aplikasi, ia mencolokkan flashdisk yang kemarin diambilnya dari Darel. Ia bermaksud mengeprint surat pembagian tugas mengajar yang belum dimintakan tanda tangan kepala dinas pendidikan setempat. Sayangnya, loading belum usai, satpam sekolah masuk, ia mengabarkan bahwa ada tamu yang sedang menunggu Maila, sayang tamunya tidak mau masuk ke sekolah, katanya buru-buru. Maila beranjak, membiarkan kepala sekolah bekerja sendirian.  Mobil terparkir sembarang di depan pintu gerbang, pemiliknya bahkan tidak turun. Maila melongok pada kaca jendela, seketika pintu mobil dibuka. Darel mengurai sebuah senyum sinis.  "Masuk! Ada hal penting yang ingin kubicarakan," "Maaf, ini masih jam kerja!" ungkap Maila tegas, ia bermaksud kembali ke kantor, namun lengannya ditarik paksa.  "Pak, ijinkan Bu Maila keluar sebentar, ada hal mendesak yang perlu kami bahas."  "Heiii!!!" Maila berontak, sayang mobil telah berjalan. "Apa-apaan ini?" Darel memacu mobil sampai jalan raya, mereka telah keluar dari wilayah sekolahan. Tak ada yang bisa Maila lakukan selain pasrah. Ia merapikan tatanan rambut, baju dan letak jam tangan.  "Jam kerjaku belum habis! Aku pasti akan membayar biaya di klinik kemarin!"  "Simpan dulu uangmu, aku belum butuh," ucapnya, lalu ia berhenti di tepi jalan. Hamparan sawah terbentang luas. Burung liar sesekali terlihat sedang mencumbui padi-padi yang telah merunduk. Darel membuka pintu, ia turun, diikuti Maila. Angin mengibarkan rambut Maila. Ia terlihat berwibawa dengan seragam cokelat yang membalut sekujur tubuh.  "Kenapa kamu bertindak sesukamu?" Maila bicara dengan nada tinggi. Ia berkacak pinggang sambil menatap tajam wajah Darel, sementara laki-laki itu justru mengabaikan pandangannya, ia fokus dengan pemandangan di depan. Rasanya sudah bertahun-tahun tidak menikmati ketentraman suasana persawahan, lenggokan tubuh yang dihempas angin terlihat begitu gemulai. Dari tempat mereka berdiri, dapat disaksikan kelompok petani yang sedang sibuk memanen hasil jerih payah empat bulan mereka.   "Sekolahmu tidak strategis, jauh dari pusat keramaian. Tapi pemandangan di sini cukup mengagumkan!" katanya sambil menyandarkan punggung pada tubuh mobil.  "Apa yang ingin kau lakukan padaku? Baiklah, aku minta maaf karena pernah menabrakmu di lobi dinas pendidikan, aku minta maaf karena mengganggu tidur pagi juga merepotkanmu, tapi kau tidak berhak mengambilku sewaktu jam kerja! Aku punya tanggung jawab!" protes Maila. Urat-uratnya menegang.  "Diam, jangan berisik! Suaramu membuatku ragu jika kau guru yang baik!"  "Aku bukan seorang guru! Apa maumu? Uang? Kuambilkan di sekolah, dompetku di sana, kemudian pulanglah! Aku tidak punya banyak waktu meladeni dirimu yang tidak kukenal!"  Darel memandang mimik wajah Maila. Ia tersenyum sinis kemudian pandangan dialihkan lagi, kali ini ia tatap langit yang menghampar luas. Birunya amat mempesona. Awan menggumpal-gumpal cerah seperti bunga kol. Hujan sepertinya tidak akan bertamu hari itu, namun tidak menutup kemungkinan senja nanti bisa berlinang dipenuhi titik air.  "Dirimu bukan orang yang simpati, harusnya kau tanya dulu, bagaimana caranya aku bisa menemukan keberadaanmu!"  "Itu tidak penting! Kenyataannya kau sudah di sini!"  "Aku hanya ingin menyampaikan pesan Farel—" hening sekejab, waktu membuat mereka saling bertatapan, suara bungkam, ada hal berat yang sukar diungkap, "maksudku dokter yang kemarin menanganimu, katanya jantungmu lemah, kau perlu melanjutkan pemeriksaan di dokter spesialis jantung dan tentunya di rumah sakit yang fasilitasnya sudah lengkap." Darel menarik napas lega.  "Itu saja? Ada lagi?" Maila seolah tidak peduli dengan hal yang disampaikan pemuda itu. Kaos oblong serupa senja Darel diembus kebosanan, raut wajahnya berubah datar, tidak mengerti dengan respon Maila yang tenang, seolah kabar tersebut hanya angin lalu. "Jika sudah aku pergi,"  Maila memutar badan, ia menyebrang jalan, menunggu angkutan umum melintas. Darel memandang dari balik mobilnya.  "Persetan! Toh dia tidak peduli!"  Darel membawa kepeduliannya pulang, ia angkut kecewa atas sikap Maila kepadanya. Tahu diabaikan, ia tidak mau mengemis data di dinas pendidikan, ia merasa seperkian titik martabatnya sebagai seorang Darel disia-siakan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD