4. Candid

2318 Words
Hari Minggu seperti ini Silvia sangat ingin menghabiskan waktunya di rumah saja. Tidur, makan, nonton, malas-malasan di rumah seperti vampir yang takut sinar matahari. Oleh karena itu selesai salat subuh, Silvia melanjutkan tidurnya yang tertunda. Begitu juga dengan Andra. Kalau urusan tidur, dua makhluk Tuhan berbeda jenis kelamin ini sangat cocok dan serasi. Seandainya saja diadakan perlombaan tidur bisa dipastikan Silvia dan Andra juaranya. Sebelum menikah dulu, hari Minggu adalah harinya Silvia menjadi vampir cantik. Kalau Andra tidak peduli hari Minggu, kalau sudah begadang semalaman, maka dia bisa tidur seharian--malam ketemu malam. Dan hari Minggu ini, keberuntungan sedang tidak berada di pihak Andra, dia harus rela kalah perlombaan tidur dari Silvia. Penyebabnya karena posisi tidurnya tidak menyentuh tembok. Silvia memenangkan permainan batu gunting kertas pada malam harinya, dan sudah nyaman dengan menyentuhkan punggungnya di dinding yang dingin sejak subuh tadi. Bukan Andra namanya yang rela menderita di bawah kebahagiaan orang lain. Dia terus mengganggu tidur Silvia. Dia menggunakan segala cara untuk membangunkan Silvia. Dan anehnya Silvia sama sekali tidak merasa terganggu. Meski hidungnya dijepit dengan jari tengah dan telunjuk Andra, bibirnya digigit oleh Andra, pipinya pun tak terlewatkan untuk dicubit, tapi istrinya itu cuma menggeliat sebentar lalu tidur lagi. Inisiatif terakhir, Andra menyeret Silvia supaya turun dari ranjang. Strateginya menang telak, Silvia terganggu tidurnya dan terjaga sepenuhnya. “Andraaa...KDRT ih, kamu! Aku laporkan ke komnas perlindungan perempuan loh!” ucap Silvia dengan suara seraknya dan mata masih setengah terpejam. “Bangun kebo!” ucap Andra terus menyeret tangan Silvia sampai Silvia turun dari ranjang dan berdiri dengan mata berat menahan kantuk. Andra menahan tawa melihat ekspresi kesal di wajah Silvia. Menarik tangan Silvia lalu mendudukkan istrinya itu di kursi makan. Silvia menurut, duduk bersila di kursinya dengan wajah setengah mengantuk. Andra menuangkan s**u UHT yang ia ambil dari kulkas ke gelas yang ada di hadapan Silvia, tak ketinggalan membuatkan roti selai coklat untuk Silvia. “Kamu itu istri durjana tau.... Masa harus suami yang nyiapin sarapan buat istrinya. Dunia benar-benar sudah terbalik, persis judul sinetron yang sering ditonton Mama,” gerutu Andra. Seketika itu juga Silvia tersadar dari kantuknya dan terkekeh. “Sekali-kali ini. Makasih ya Mas Andra sayang, suami Via yang paling ganteng untuk rotinya,” ujarnya, menerima roti tawar yang telah dibalut selai coklat buatan Andra. “Mandi trus belanja barang-barang yang kita butuhkan, yang waktu itu aku bilang ke kamu. Sekalian aku mau beli speaker aktif.” “Nggak sekalian home teaternya, Pak?” “Kalau ada yang cocok kenapa nggak?” jawab Andra tak ketinggalan menaik turunkan sepasang alis tebalnya. Andra memang begitu menyukai barang-barang elektronik modern. Dia pernah bilang pada Silvia, kalau punya rumah nanti tugas Silvia adalah mengisi rumah itu dengan barang-barang elektronik modern dan canggih tentunya. Daripada gaji Silvia cuma habis untuk membeli lensa dan gadget yang hampir tiap bulan ganti model. “Laptop kamu mana?” Silvia menunjuk meja kaca berbentuk lingkaran di depan televisi dengan dagunya. “Sembarangan banget kalau taruh barang berharga. Kalau ada maling terus dicuri gimana? Emang di laptop itu nggak ada file penting dan data pribadi kamu?” “Nggak ada, sih. Yang sifatnya pribadi dan penting aku simpan di flashdisk. Di laptop paling isinya cuma film, foto-foto random.” Pemikiran yang aneh menurut Andra. Bagaimana bisa lebih merasa aman pada diska lepas, benda kecil yang mudah hilang, ketimbang laptop yang lebih aman dan berkapasitas penyimpanan lebih besar tentunya. Ketika ditanya seperti itu, Silvia menjawab enteng, “semua manusia itu sama, menilai segala sesuatu dari covernya. Flashdisk yang kecil tidak akan dianggap berharga, dibanding laptop yang harganya berkali-kali lipat. Jadi aman karena nggak bakal diambil maling. Maling nggak tertarik barang kecil dan nggak berharga.” “Kalau flashdisknya yang hilang gimana?” “Di situ letak tantangannya untuk lebih berhati-hati menjaga barang-barang berharga milik kita,” ucap Silvia, menjawab tenang. “Dandanan sama pemikiran kamu ternyata lebih ribet pemikiran kamu ya, Sil. Mending nunggu cewek ngukir alis daripada memahami isi kepala kamu,” komentar Andra. Silvia tertawa dinilai seperti itu oleh suaminya. “Berarti aku misterius dong?” ujarnya lagi, ada nada bangga dalam intonasi bicaranya. Andra tak menjawab lagi. Dia menuju kamar mandi untuk melakukan aktivitas kamar mandi paginya. Begitulah. Mereka masih sulit untuk saling memahami. Andra merasa sulit memahami isi kepala Silvia. Hal yang sama juga berlaku bagi Silvia, memahami Andra bukanlah pekerjaan mudah baginya. Aura Andra itu suka berubah dadakan kalau kata Silvia. Bukan mood, tapi aura. Andra bisa menjadi semanis madu, tapi bisa menjadi sedingin es batu tanpa Silvia bisa menebak kapan Andra akan bersikap manis dan kapan Andra bersikap dingin. Hanya Andra dan Tuhan yang tahu. Menjadi istri Andra tiga minggu belumlah cukup untuk mempelajari seperti apa karakter dan watak asli seorang Andra. Namun selama tiga minggu hidup bersama, perlahan Silvia mulai tahu beberapa tabiat buruk Andra begitupun sebaliknya. Seperti Andra selalu tidak mau mencuci piring bekas makannya bahkan tidak mau membawa piring kotornya ke bak cuci piring, membuat Silvia sering berdecak kesal. Andra pun jadi tahu kalau Silvia suka meletakkan handuk basah di atas tempat tidur, membuat Andra mengomel karena tempat tidur jadi basah gara-gara ulah Silvia. Andra suka kerapian, Silvia juga suka rapi, cuma kadang suka sembarangan kalau meletakkan barang. “Siiil, handuknya!” “Siiil, baju kamu ini kotor apa bersih?” Itu suara pagi Andra sejak seminggu yang lalu. Kadang kalau penyakit isengnya sedang kambuh, semua pakaian Silvia yang tergantung di belakang pintu kamar diletakkan di boks khusus pakaian kotor oleh Andra, tak peduli pakaian itu masih bersih atau memang benar-benar kotor. Andra tidak peduli jika Silvia akan mengomel nanti. Andra itu kalau makan wajib pakai sendok, sebaliknya Silvia lebih suka makan menggunakan tangan, kecuali yang berkuah. Andra tidak mau pakaiannya dicuci di tempat laundry, sedangkan Silvia tidak pernah mencuci pakaiannya sendiri kecuali pakaian dalam. Andra tidak suka nasi lembek, Silvia suka nasi lembek. Andra kalau mandi lamanya seperti sedang bersemedi, sedangkan Silvia paling lama lima belas menit, itupun jika keramas, kalau tidak ya paling cuma sepuluh menit. Dan semua hal yang tidak sinkron dengan Silvia ada dalam daftar tabiat Andra. Entah Andra sedang mengerjai Silvia, atau memang inilah karakter Andra yang asli. Namun tidak ada yang pura-pura jaga image di antara keduanya. Baik Andra maupun Silvia berusaha menjadi dirinya sendiri. Meski kadang bisa bersikap saling menyebalkan. ♡♡♡ Menjelang siang Andra memarkir dengan tepat Honda HRV putih miliknya di basement sebuah supermarket khusus barang elektronik dan peralatan rumah tangga lainnya. Mobilnya baru diantar oleh sahabatnya kemarin. Awalnya Andra sendiri yang akan mengambil mobil itu ke Jember, tapi kebetulan sahabatnya itu ada kepentingan di Jakarta jadi sekalian saja. Bunyi bip sudah terdengar Andra berjalan bersisian dengan Silvia. Tangan kanannya otomatis terulur untuk merangkul bahu Silvia. “Kotet*,” bisik Andra menahan tawanya. Silvia menghentikan langkahnya. Mengernyit ia bertanya, “apaan itu?” Andra terbahak, “seksi,” jawabnya asal. Silvia memicingkan kedua matanya. “Bohong!” balasnya tak percaya begitu saja pada jawaban Andra. Keduanya terus melangkah memasuki toko lebih dalam. Memilih beberapa perabotan yang mereka butuhkan. Dua jam berkeliling keduanya sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. “Tadi kenapa semangat banget milih pengering rambutnya?” tanya Andra iseng. Bukannya menjawab Silvia malah blushing. Andra meraih batang leher Silvia lalu menyelipkan kepala istrinya di sela ketiaknya. Silvia mengaduh, sedangkan Andra malah cekikikan puas. “Via?” sebuah suara berat khas pria dewasa menyapa Silvia di jarak tak terlalu jauh dari posisi Andra dan Silvia sedang bercanda saat ini “Eh, Mas Revan? Lagi apa?” Basa basi Silvia bertanya. Andra sedikit mengerutkan sela diantara kedua alisnya. Dia tidak merasa mengenal pria yang memanggil Silvia dengan akrab seperti itu. “Cari televisi nih. Kamu sama siapa?” “Oiya, kenalin ini suami aku.” Keduanya saling menyebutkan nama dengan canggung.Tidak ada alasan khusus yang membuat dua pria berbeda usia itu mendadak menjadi canggung. Berdeham pelan Andra menginterupsi kegiatan istrinya mengobrol dengan Revan. Ada rasa tak enak menyelimuti pikiran Revan ditatap dengan tatapan tak bersahabat oleh Andra. Memang Andra tidak marah, tapi dia sama sekali tidak ikut larut dalam obrolan dua orang di hadapannya. Padahal yang diobrolkan Revan dan Silvia seputar televisi dan kamera. Hanya saja ada satu hal yang Andra kurang suka dari Revan. Caranya Revan menatap Silvia seperti tatapan sarat akan rasa kagum dan tertarik. Andra lega karena akhirnya Revan mengerti kondisinya dan pamit dari hadapan mereka. “Kamu ada hubungan apa sama Revan?” Andra bertanya di sela kesibukannya mengemudi mobil di tengah kemacetan kota Jakarta yang masih asing baginya. Silvia menjawab, “hubungan? Nggak ada. Aku kenal dia aja dari Bang Vino. Dulu sering jemputin Bang Vino kalau mau ngampus. Kosan dia sama rumahnya Mak Angah deketan.” “Yakin? Soalnya Bang Vino juga gitu kan, diam-diam punya hubungan khusus sama adik sahabatnya, kali aja kamu nggak ada bedanya.” Silvia terbatuk tersedak ludahnya sendiri. Apa Andra ini cenayang? Pikir Silvia. Dari mana Andra bisa menebak tentang hal yang belum pernah mereka bahas sebelumnya. “Oh, dulu tuh Mas Revan....emmmh.... pernah suka sama aku gitulah.” “Tadi katanya nggak ada hubungan apa-apa. Sekarang mendadak bilang dia pernah suka sama kamu,” jawab Andra dingin. “Ish...ya emang nggak ada. Cuma sih dia pernah nembak aku, dulu tapi.” “Oh....terus?” “Ya belum sempat aku jawab taunya dia udah jarang lagi nongol di rumah Mak Angah untuk jemput Bang Vino. Kata Bang Vino waktu itu udah lulus. Nggak lama setelah itu aku dengar kabar dia nikah. Begitulah, ceritanya kelar deh,” kenang Silvia. “Emang kamu mau jawab apa kalau seandainya dikasih kesempatan untuk menjawab?” Andra diliputi rasa ingin tahu, tapi juga enggan bertanya seperti itu. Namun terlambat, rasa kepo mengalahkan gengsinya. “Emmmhh...yes i did,” jawab Silvia malu-malu. Andra tersenyum miring. Nggak enak banget senyumnya, kata hati Silvia. “Pernah suka dia juga, dong, kamunya?” Makin lama pertanyaan dan intonasi bicara Andra terdengar semakin nyelekit dan memojokkan. Membuat Silvia malas membahas hal ini. “Ya gitu deh. Tapi itu udah lama banget kok. Sekarang udah nggak lagi.” “Udah nggak lagi tapi blushing. B aja kalau emang udah nggak ada rasa lagi.” Stop, Dra! Pekik Silvia dalam hatinya. Sudah cukup Andra membolak balikkan pernyataan menjadi pertanyaan menyebalkan. Silvia mulai gerah. “Andra?” panggil Silvia sedikit merengek. “Apa?” jawaban singkat yang Andra berikan. “Kamu cemburu?”  “Tafsir sendiri aja.” “Kamu, ish. Sebel!” Biasanya Andra akan tertawa melihat ekspresi sebal di wajah Silvia. Bahkan tak segan Andra akan menyubit pipi gembung Silvia atau pun menarik pelan hidung mancung istrinya. Namun kali ini, Andra menanggapi dengan datar ekspresi andalan Silvia itu bila sedang ingin merajuk. Tidak banyak obrolan antara keduanya setelah sampai rumah. Andra disibukkan merakit mesin cuci yang dibelinya tadi. Tatapannya begitu fokus karena dia sambil membaca buku petunjuk pemasangannya. Meskipun tadi di tokonya sudah diajarin, tetap saja tidak afdol rasanya kalau tidak dibarengi dengan membaca buku petunjuk pemasangan. Selesai pemasangan Andra langsung mencoba mesin cuci barunya. Dia memasukkan semua pakaian kotor dari keranjang ke dalam tabung mesin cuci, setelah memastikan tidak ada barang berharga ataupun barang yang bisa merusak mesin cuci di dalam kantong masing-masing pakaian kotor milik Andra dan Silvia.  Dari dapur, Silvia mengawasi kesibukan suaminya itu. Tugasnya siang ini adalah memasak. Silvia mencoba mengenyahkan rasa tidak enak dalam dirinya atas pertemuan tidak sengaja dengan Revan tadi. Satu jam kemudian mesin cuci mengeluarkan bunyi tanda proses mencuci hingga mengeringkan telah selesai beroperasi. Andra lantas mengeluarkan seluruh pakaian dan celana setengah kering dari dalam tabung mesin cuci ke bak plastik, membawa bak plastik tersebut untuk siap dijemur ke hadapan Silvia yang sedang menata meja makan. “Udah. Tinggal dijemur.” “Sekarang, Dra?”  “Lebaran haji tahun depan.” “Masih lama dong, tahun ini aja masih belum lebaran haji,” jawab Silvia dengan bermaksud bercanda. Namun Andra menanggapi datar candaan Silvia siang ini. Lama-lama Silvia kesal juga dengan wajah masam yang ditampilkan oleh Andra sejak tadi. Selesai makan siang, Silvia membawa keranjang tersebut ke loteng rumah. Hampir saja Silvia tergelincir, syukurlah Andra sudah sigap berada di dua anak tangga berukuran untuk satu orang dewasa itu menangkap Silvia. “Kenapa nggak minta tolong kalau nggak kuat bawa naik sendiri bak plastiknya?” ketus Andra membawakan keranjang tersebut ke loteng. “Kamunya nggak peka, tuh,” celetuk Silvia setelah tiba di loteng. “Oh, nggak peka? Yakin? Oke!” Silvia sadar dia telah mengatakan hal yang salah pada Andra. Dia pilih diam daripada keadaan makin runyam. Sepertinya mood bercanda Andra sedang berada di titik minus. Senggol dikit, bacok. Bukannya turun, Andra berdiri di pinggiran loteng memandang ke arah lain yang menyajikan deretan rumah-rumah yang berjajar rapi di kompleks perumahan. Alvino memilih rumah dengan lokasi yang tepat memang. Pikir Andra. “Panas, Ya Allah!!” gerutu Silvia sambil mengibaskan selembar kemeja milik Andra. Tersenyum lembut Andra melangkah mendekati Silvia. Mengambil sebuah handuk kering, laki-laki itu menyeka keringat di dahi istrinya. Silvia melirik sekilas. “Aku peka, kok,” gumam Andra lalu meletakkan handuk berukuran sedang yang biasa digunakan Silvia untuk membungkus rambutnya setelah keramas, di atas kepala istrinya itu. “Banyaknyooo....” di menit ke lima belas lagi-lagi Silvia menggerutu. “Banyak? Eh, lihat itu baju siapa yang paling banyak?” Andra menunjuk pakaian yang telah berjajar rapi di rak jemuran berbahan stainless steel. Silvia hanya menyeringai tanpa dosa. Andra menghitung pakaian miliknya termasuk pakaian dalamnya. “Punyaku cuma enam potong. Punyamu yang sudah dijemur aja udah sepuluh potong. Masih sisa itu di keranjang punya kamu semua loh, Sil. Bener-bener kamu tuh. Artinya aku yang nyuciin semua baju-baju kamu. Astagaaah..., minta dikutuk kamu ya,” cerocos Andra yang dibalas Silvia dengan menarik kerah kaus yang dikenakan Andra, mengecup bibirnya setelah Andra sedikit menunduk untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh istrinya itu. Semilir suara ramai anak-anak sedang bermain bola di belakang kompleks perumahan mengalihkan perhatian Andra untuk membalas perbuatan Silvia. Laki-laki bertubuh tinggi itu bergegas menuju sisi kanan loteng. “Sil, aku baru tahu kalau banyak anak-anak di sini,” ujar Andra semringah. “Bukan anak kompleks, sih, itu. Anak kampung sebelah. Kenapa?” “Kalau mau ke lapangan itu lewat mana?” Silvia memberitahukan jalan menuju lapangan pada Andra. Tanpa menunggu aba-aba apa pun Andra bergegas turun dari loteng. “Mau ke mana, Dra?” Langkah Andra terhenti mendengar pertanyaan Silvia. “Main bola,” jawabnya. “Sama anak-anak itu?” “Iyup.” “Inget umur loh, masa om-om tiga puluh tahun main sama bocah ingusan, sih?” ledek Silvia. Andra berbalik badan lalu mencium bibir Silvia dengan gemas, membuat Silvia memundurkan wajahnya. “Masih dua bulan lagi tiga puluhnya,” jawab Andra lalu bergegas meninggalkan loteng. “Nggak makan dulu?” “Nanti.” Samar suara Andra berderap cepat menapaki tangga. Silvia hanya berdecak, menggelengkan kepalanya beberapa kali. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD