3. Spectrum

2611 Words
Andra dan Silvia memang sama-sama anak bungsu. Namun karakter anak bungsu yang manja dan semaunya sendiri lebih cocok disematkan pada Andra. Mari cek bersama-sama seberapa manja dan semaunya sendiri orang dengan tipikal cuek yang mendarah daging seperti Andra. Silvia itu harus mengurus semua kebutuhan Andra, dari A sampai Z. Silvia yang terbiasa dengan laki-laki mandiri dan simpel seperti Alvino sangat syok dihadapkan pada laki-laki nan ruwet seperti Andra. Masih mending kalau Andra tidak merepotkan maksudnya menerima semua yang Silvia lakukan untuk dia. Nyatanya Andra itu lebih rumit daripada anak gadis beranjak dewasa. Apalagi soal makanan, Andra ribetnya mengalahkan bayi baru belajar MPASI (makanan pendamping ASI). Andra tidak mau ikan jenis apa pun, baik laut maupun tawar, karena Andra punya trauma pernah keselek tulang ikan lele waktu kecil. Itu belum seberapa. Nanti dilanjut lagi membahas soal Andra. Dari ritual kamar mandinya, Andra mendekati Silvia di dapur. Dengan iseng Andra Menepuk b****g Silvia, cukup pelan, tidak sampai menyakitkan, tapi efeknya membuat Silvia terkejut setengah mati. “Andra ih, tangannya nakal!” Andra cuek saja, menundukkan kepalanya sehingga wajahnya sejajar dengan wajah Silvia, lalu sebuah kecupan mampir di bibir Silvia. “Morning kiss,” ujar Andra dengan seringai kekanakannya. Silvia hanya mengulum senyum dengan kebiasaan pagi Andra selama seminggu ini. Kata Andra, akan dia jadikan kebiasaan untuk seterusnya. Sesuka elu deh, Dra. “Masak apa, Sil?” tanya Andra karena rongga hidungnya terganggu oleh aroma masakan khas bumbu rempah lengkap, di seluruh penjuru rumah. “Gulai ikan tenggiri.” Silvia membawa mangkuk besar berisi hasil masakan yang disiapkannya sejak subuh tadi. “Gorengin telur aja deh. Nanti aku makan sama kuah gulainya,” jawab Andra malas, menatap mangkuk besar berisi gulai yang menggugah seleranya. “Kamu, ih. Durinya ikan tenggiri itu gede, loh, Dra. Yakali kamu keselek tulang segede itu.” “Kamu nggak pernah tahu rasanya keselek duri ikan, jadi gampang aja ngomong gitu.” “Tck..., ya udah aku pisahin daging ikannya ya? Masa aku udah masak susah-susah ujug-ujug kamu minta digorengin telur,” keluh Silvia. “Peka banget emang istri aku.” Andra tertawa melihat ekspresi sebal di wajah Silvia. Duduk bertopang dagu dengan senyum tertahan menghiasi wajah Andra kala melihat Silvia tengah sibuk memisahkan daging ikan dari tulang-tulangnya, lalu diletakkan di piring lain. Lanjut soal Andra. Masih soal makanan. Andra itu luar biasa pemilih. Dia kurang suka tahu dan tempe. Andra tidak suka makanan atau minuman terlalu manis, sebaliknya Silvia pecinta semua makanan dan minuman manis. Andra tidak suka makanan terlalu pedas, sebaliknya Silvia pecinta makanan pedas. Andra benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat dari Silvia yang doyan segala jenis makanan. Apa pun makanannya, asal membuat perut kenyang pasti diembat oleh Silvia. Perbedaan keduanya bagai langit dan bumi kalau soal makanan. Dan itu seringkali membuat Silvia senewen apalagi saat menyiapkan masakan untuk Andra. “Hari ini nggak ke kantor?” Meski Silvia dalam masa cuti kuliahnya, tidak berarti cuti bekerja juga. Perusahaan tetap meminta Silvia untuk datang ke kantor dan bekerja seperti biasanya. “Ke kantor. Perusahaan mana mau rugi,” ujarnya kemudian tertawa sumbang. “Kenapa belum siap?” “Iya ini mau mandi.” “Mau dibantu?” “Nggak usah, makasih.” Silvia tergelak mendapati ekspresi pura-pura lesu dari Andra. ♡♡♡ Siang itu Silvia membantu anak-anak tim kreatif membuat rundown untuk program acara Smart Parenting--sebuah acara talk show yang pernah digagas oleh Silvia. Kali ini temanya mendidik anak tanpa bermaksud menggurui. Silvia terlihat berpikir keras, memutar otak mencari siapa bintang tamu yang tepat untuk mengisi tema besok pagi. Acara talk show itu disiarkan secara langsung pukul delapan pagi, jadi harus mencari bintang tamu yang bisa hadir menyesuaikan jadwal acara. Minimal satu jam sebelum acara dimulai. “Via, bisa ngobrol sebentar.” Suara Revan dari belakang kursi, membuat Silvia terkejut. Revan mengangkat kedua alis tebalnya, lalu tersenyum manis melihat respon dari Silvia. Kebetulan Silvia sedang briefing di taman, bukan di meeting room. “Sepuluh menit lagi ya.” “Oke, aku tunggu di rest room ya.” Silvia hanya mengacungkan jempolnya sebagai tanda mengerti. ♡♡♡ Silvia masuk ruangan yang biasa dijadikan untuk menerima tamu ataupun sebagai ruang tunggu bintang tamu yang akan mengisi acara-acara di TvM. “Hei, aku pesen Americano. Kamu mau minum apa, Via?” Silvia menggeleng lalu duduk di sofa di hadapan sofa yang telah diduduki Revan. “Mau ngobrol soal apa?” tanya Silvia tanpa basa basi. Revan menghela napas ringan, tersenyum dan mencondongkan tubuhnya. “Kamu udah tahu aku, kan? Aku cuma pengen kita berteman baik, Via. Kayak dulu.” “Sebatas teman kerja boleh. Di luar jam kantor aku nggak bisa.” “Memangnya kenapa?” “Ya aku udah punya suami.” “Apa suami kamu akan marah? Toh, kita kan cuma berteman. Aku juga pengen kenal sama suami kamu.” “Ya nggak enak aja, Pak Revan.” “Nggak enak? Kalo sama Hardi, Krisna dan Romi enak-enak aja? Bedanya apa?” “Aku mau balik kerja dulu. Permisi, Pak.” “Via, please!” Tidak memedulikan ucapan setengah memohon dari Revan, Silvia beranjak dari duduknya. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, Revan berhasil menahan lengan Silvia. “Duduk dulu ya. Kita bicarakan ini baik-baik,” mohonnya pada SIlvia. Silvia menurut lalu duduk kembali di kursinya. “Pertama jangan panggil aku pak. Biasanya juga kamu panggil aku Mas Revan. Kedua aku mau minta maaf, Via.” “Nggak perlu minta maaf. Aku udah lupain semua.” “Via, waktu itu aku juga nggak niat ninggalin kamu. Tapi-” “Tapi apa? Tapi kamu udah bahagia dengan perempuan pilihan orang tua kamu? Itu yang mau kamu bilang? Apa Bang Vino waktu itu melarang kamu menjalin hubungan sama aku seperti Bang Dastan yang melarang adiknya punya hubungan khusus dengan sahabat-sahabat abangnya?” Silvia tertawa sumbang setelah mengucapkan serentetan kalimat itu. “Bukan gitu. Aku bingung mau menjelaskan darimana. Sial.., ini semua gara-gara Fandi.” Revan memijat pelipisnya sambil mengerang kesal. “Hah? Fandi? Bang Fandi?” “Iya. Ceritanya waktu aku, Dastan, Alvin dan Fandi jalan-jalan ke PRJ. Nah, Fandi itu menyewa peramal dengan bayaran yang sangat fantastis untuk ukuran anak kuliahan seperti kami. Trus peramal gadungan itu disuruh meramal aku. Hasil ramalannya itu kalau aku tidak menikah sebelum usia 25 tahun aku bakal jadi bujang lapuk. Kebayanglah kayak apa paniknya aku. Dan aku tahunya tepat setelah aku baru selesai ijab kabul. Fandi ngakuin semua kenistaan yang udah diperbuat sama aku. b******k banget dia.” “Hah? Serius?” Bukannya marah, Silvia malah terbahak mendengar pengakuan dari Revan. “Gitu kenyataannya, Via. Kamu jangan marah ya.” “Ya Allah-” Silvia sampai tak kuasa menahan tawanya. Dia bahkan menyeka air mata yang merembes keluar dari ujung matanya. “Trus kamu udah ketemu Bang Fandi?” “Belum. Dendam kesumat aku sama wong edan satu itu.” Silvia tertawa renyah. Revan hanya menatapnya dengan tatapan berbeda sambil tersenyum lembut. “Sekali lagi aku minta maaf ya, Via.” “Aku udah lupain semua kok, Mas.” Suasana yang tadinya dingin sekarang sudah menghangat. “Kalau boleh aku tahu, kamu ada hubungan apa sama Romi?” Tubuh Silvia menegang, lalu berdeham untuk melegakan tenggorokannya yang mendadak tercekat. “Ya hubungan kerja biasa. Antara atasan dan bawahan.” “Beneran?” “Iyalah. Emang hubungan gimana yang mas Revan maksud?” “Aku pernah nggak sengaja nguping kamu sedang mengobrol dengan Romi di ruangan dia. Bahasa ngobrol kamu sama dia tuh non formal banget. Nggak kayak atasan dan bawahan.” “Oh..., mungkin karena kita sedang santai waktu itu, nggak ngobrolin soal pekerjaan atau obrolan yang berat.” Revan mengangguk beberapa kali. Menerima jawaban yang diberikan oleh Silvia. “Kalau Gista Ayuning Permana? Putri satu-satunya Agung Permana? Kamu kenal?” tanyanya lebih lanjut. “Agung Permana siapa ya, Mas? Apa yang anggota dewan legislatif itu?” Revan mengangguk dan menatap tepat di bola mata Silvia. Menanti jawaban lanjutan dari Silvia. “Kamu nggak sedang mencoba menyelidiki sebuah kasus kan pak pengacara? Setahuku kamu cuma legal officer loh di kantor ini, bukan pengacara yang bekerja di sebuah kantor advokat.” Revan menghela napas panjang kemudian mengempasnya secara kasar.  Sepertinya dia terlalu cepat melakukan pendekatan pada Silvia untuk membahas soal sensitif seperti itu. “Ardan, CEO kamu itu, saudara laki-laki Gista, aku diminta menyelidiki soal adik perempuannya itu. Mohon kerja samanya, Via.” “Kamu nuduh aku terlibat?” “Loh? Maksud kamu terlibat apa, Via? Aku nggak ngerti.” “Jangan pura-pura nggak tahu deh. Tujuan kamu deketin aku untuk mengorek sebanyak-banyaknya info soal itu dari aku kan? Lagian kamu nggak akan dapat informasi apa pun dari aku. Karena aku nggak tau apa-apa soal Gista.” Silvia memilih segera keluar dari ruangan yang tidak terlalu luas itu. Mencari udara bebas untuk mengisi paru-parunya yang hampir sesak. Silvia menggeretakkan gigi gerahamnya. Di bilik kerjanya, Silvia nampak murung, sesekali mengucek kedua matanya, karena terlalu lama menatap layar laptop. “Gue lihat siang tadi, elo keluar dari rest room sama Revan.” Dinda yang baru saja membawakan acara langsung berita sorenya, menghampiri Silvia yang sedang fokus dengan laptop. Silvia menutup paksa halaman website yang sedang menampilkan berita pembunuhan yang terjadi beberapa tahun silam. Namun Dinda tidak sempat menengok Silvia sedang mengerjakan apa dengan laptopnya. “Oh, tadi tuh Revan cuma mau tanya soal pengurusan legalisasi acara sinetron.” “Hemmm,” Dinda menatap Silvia dengan wajah penuh tanya. “Apa lo?” tanya Silvia kesal ditatap aneh seperti itu oleh Dinda. “Nothing. By the way, elo tiap hari barengan Hardi gitu, Andra nggak marah? Cemburu maybe.” “Nggak sih. Malah tiap gue mau berangkat ke kantor, Andra ngantar gue sampe depan rumah.” “Hati-hati deh. Cemburunya orang nggak cemburuan itu bahaya. Sikapnya bisa lebih posesif dari orang posesif.” “Apaan deh lo.” “Serius Via. Eh, lo udah nyobain gaya apa aja sama Andra?” “Gaya apa gimana?” tanya Silvia dengan menahan tawa sekaligus menyembunyikan semburat malu dari wajahnya. “Gaya apa lagi? Ya gaya bercinta lah Silvia. Penting kali gue tanya gaya renang sama lo.” “Hahaha....Anjiiir, kepo banget sih lo!” “Dih, ngakak mah ngakak aja beib. Nggak usah pake blushing deh. Cerita dong. Lo diem-diem aja, sih, dari kemarin-kemarin.” “Males banget, Dinda.” “Kalau bahas soal gituan bikin pengen yak?” “Mulut ye!” Silvia mencubit bibir merah Dinda hingga wanita itu mengaduh kesakitan. “Makan sore yuk, Via. Laper deh.” “Hayuuuk lah. Coto Makassar, right?” “Ayam rica-rica gue pengennya.” “Berangkaaat!” ♡♡♡ Malam harinya, setelah makan malam bersama, Silvia menyusul Andra yang sedang menonton acara televisi yang menayangkan sebuah film box office. Kalau soal TV, justru Andra tidak ribet. Apa yang Silvia tonton, Andra juga ikut nonton, sekalipun itu sinetron. Untungnya Silvia tidak suka menonton sinetron apalagi acara gosip. Silvia lebih suka menonton acara berita, film dan talk show. “Nonton apa?” tanya Silvia. “Film lama. Tapi tetap suka meski sudah sering ditonton.” “The Lord of the ring bukan tuh?” “Iya.” “Masih bagusan Harry Potter.” “Nggak ada yang lebih bagus di antara yang bagus. Semua soal selera.” Andra membaringkan badannya di sofa dengan paha Silvia sebagai bantal untuk kepalanya. “Tapi Harry Potter juga suka kok. Pokoknya semua film bergenre fantasi aku hatam,” ujar Andra selanjutnya. “Suka banget ya?” tanya Silvia seraya memainkan helaian rambut tebal Andra. “Iya. Aku kurang suka film action yang kelewat action.” “Cowok biasanya suka film action.” “Nggak juga tuh. Aku nggak suka Rambo, Terminator atau sejenisnya. Aku lebih suka action dalam film fantasi kayak Avatar, Star Wars, Pirates of Caribbean, The Chronicles of Narnia, Golden Compass. Apa ya, lebih menegangkan aja menurut aku. Kayak lebih larut ke filmnya.” “Udah pernah nonton semua film itu?” “Bolak balik malah. Dan nggak pernah bosen.” “Kalau Avenger suka nggak?” “Suka sejak ada Scarlet Johansen.” Andra terbahak melihat wajah Silvia yang sedang mencibirnya. “Dih kayak yang kamu nggak demen aja liat Captain America,” balas Andra tak ketinggalan menyolek dagu Silvia. “Iyalah cakep gitu.” “Cakepan juga aku.” “Ya deh cakepan suamiku. Tapi banyakan Chris Evans.” Kali ini Silvia yang tertawa melihat ekspresi malas di wajah Andra. “Apalagi selain film fantasi yang kamu suka, Dra?” “Anime atau manga. Paling suka Gundam sama Dragon Ball.” “Serius?” “Kalau Gundam aku lebih suka koleksi action figurnya, trus ngerakit model kit dari perentelan sampai jadi gundam seutuhnya.” “Pantes di kamar kamu banyak action figure Gundam ya.” “Iya, ngumpulinnya udah lama tuh.” “Hobi Anda mahal ya, pak,” cibir Silvia. “Kayak yang hobi kamu nggak mahal aja, buk. Berapa duit tuh yang udah kamu habiskan untuk lensa-lensa kamera yang jejer rapi di dalam lemari? Udah kayak dagangan aja.” Silvia pura-pura tidak dengar dengan omelan panjang Andra. “Kalau Dragon Ball baru suka filmnya. Dari jaman masih video player aku pasti nyisihin uang jajan dari hari Senin sampai Sabtu untuk bisa sewa kaset Dragon Ball beberapa episode patungan sama Mbak Kiky, saking penasarannya,” lanjut Andra. “Mbak Kiara juga suka Dragon Ball?” Andra mengangguk, sedangkan jemarinya memainkan lutut polos Silvia, karena celana piyamanya hanya menutupi sampai sebatas paha saja. “Geli, Dra,” protes Silvia, memukul punggung tangan Andra. Andra terkekeh, menenggelamkan wajahnya di perut Silvia. Saat Silvia tertawa karena geli Andra malah beranjak dari sofa lalu melangkah cepat masuk kamar. Sekembalinya dari kamar dia membawa dompetnya. “Ini tabunganku,” kata Andra seraya memberikan tiga kartu ATM dari tiga bank berbeda. “Kamu pilih mana yang mau kamu pegang,” ujar Andra selanjutnya. “Yang isinya paling banyak yang mana?” tanya Silvia, menyeringai bodoh. Jari telunjuk Andra mendarat tepat di kening Silvia. “Hmmm, sudah kuduga. Dasar matre!” sindir Andra. Silvia hanya mencebikkan bibir bawahnya. “Naluri tauk,” jawab Silvia tidak mau kalah. Bukannya balas meledek seperti sebelumnya, Andra malah tertawa mendengar istilah dari Silvia. Andra memperlihatkan saldo tabungan masing-masing melalui E-banking yang ada di ponselnya, lalu menjelaskan uang tersebut asalnya dari mana. Kedua bola mata Silvia berbinar. Mungkin kalau dalam film kartun, di bola matanya akan muncul simbol dollar. Andra hanya menggeleng melihat tingkah konyol Silvia. “Rumah ini punya kamu apa Bang Vino?” “Bang Vino dong. Dari uang muka, yang nyicil sampai lunas juga Bang Vino.” “Nanti kita sempatkan mampir ke rumah Bang Vino ya, untuk pamit tinggal di sini sementara, sampai aku bisa beli rumah untuk kita.” “Tapi kata Bang Vino rumah ini buat aku.” “Buat kamu, bukan buat aku. Pokoknya di sini kita numpang. Inget itu!” “Iyo lai.” “Kalau isi rumah ini siapa yang beli? Kulkas, tv, meja makan, sofa dan perabot lainnya?” “Bang Vino juga dong.” Silvia tertawa setelahnya. “Tck...Terus yang kamu beli sendiri apa?” Silvia hanya nyengir kuda. “Perabot yang ada di dalam kamarku aja, peralatan makan dan masak.” “Itu aja? Trus gaji kamu buat apa?” “Ditabung dong. Kadang juga buat beli lensa kamera, sama makan di luar.” Silvia menyatukan kedua ujung telunjuknya. Menunggu respon Andra. “Hangout mulu! Coba lihat tabungan kamu!” Silvia beranjak ke kamar membawa buku tabungan dan dengan bangga memperlihatkannya pada Andra. Andra cuma melihat sekilas, mencibir, lalu mengembalikan buku tabungan tersebut pada Silvia. “Besok beli mesin cuci, setrika listrik sama pengering rambut ya.” Kedua bola mata Silvia membulat sempurna. “Nggak usah melotot!” “Buat apa sih, Dra?” “Masa aku harus nerangin fungsi satu persatu perabot tadi sih? Emang aku SPG-nya.” “Iya tahu kalau fungsinya. Maksud aku tuh ngapain gitu. Nggak bakal kepake.” “Kalau ada aku pasti kepake, apalagi pengering rambutnya.” Silvia menatap malas padanya. “Dih, itu mah enak di kamu, Dra,” katanya malas. “Kamu juga enak kok.” Andra kembali terbahak karena Silvia bisa menebak jalan pikiranya. “Aku tuh nggak suka pakaianku di laundry, Sil. Nanti bagi tugas, aku yang nyuci, kamu yang jemur sama setrika, bajuku nggak perlu disetrika semua, cukup kemeja atau kaos yang aku pakai untuk keluar rumah aja. Lagian aku juga jarang ini pakai kemeja. So, nggak berat kan?” lanjut Andra. Silvia berdecak sebal, tidak bisa lagi mengganggu gugat titah Andra. Silvia meminta Andra saja yang memilihkan ATM mana yang bisa disimpan oleh Silvia. “Diatur yang baik keuangannya. Yang ini untuk kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan kamu, kalau yang ini untuk kebutuhan mendadak dan penting kita. Kamu pegang dua. Satu lagi untuk pegangan aku.” “Siap komandan!” Silvia bersikap hormat. Andra mengacak puncak kepala Silvia sambil tersenyum lembut. “Bobok yok Dra, aku ngantuk.” “Bobok beneran apa bobok-bobok'an?” “Ish...” Silvia beranjak dari duduknya lalu berjalan melewati Andra. Detik itu juga Andra ikut berdiri, telapak tangannya mendarat sempurna di p****t Silvia. “Nakal ih!” Silvia memukul bahu Andra. Andra tidak merespon malah bergegas mendahului Silvia masuk kamar. Berebut tempat strategis di atas ranjang untuk tidur. Keduanya sama-sama menyukai tidur dekat dengan dinding yang dingin. “Matikan tv-nya, sayangkuuh!” teriak Andra dari dalam kamar. Silvia hanya mendengus kesal, karena dia tidak akan pernah kalah oleh Andra kecuali laki-laki itu yang berniat untuk mengalah lebih dulu. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD