2. Auto Focus

1889 Words
Kemarin siang Andra dan Silvia baru saja menginjakkan kaki lagi di Jakarta, setelah melalui serangkaian pernikahan adat yang panjang dan melelahkan di Pariaman dan Solok. Alvino menawarkan untuk mengadakan pesta lagi di Jakarta, bahkan Mayang--mama Andra--ingin diadakan acara ngunduh mantu di Jember. Namun baik Andra maupun Silvia menolak secara halus, dengan dalih banyak yang harus diselesaikan selama di Jakarta, sedangkan sisa waktu yang dimilikinya teramat singkat. Padahal sebenarnya bukan itu alasan mendasarnya, keduanya sudah lelah dan tidak sanggup lagi jika harus mengadakan pesta lagi. Meski hanya terima beres, tapi Andra dan Silvia tidak mau terlalu serakah jadi orang. Mending duitnya disalurkan untuk kebutuhan yang lain, pikir Silvia yang langsung disetujui oleh Andra. Sejalan pikiran mereka berdua kalau soal itu. Sehari-harinya biasanya Silvia akan tergesa berangkat pagi buta, menyambut kemacetan Jakarta, menerjang rasa kantuk yang masih menggantung manja di kelopak mata, tapi semua penderitaan paginya berakhir senyum dan tawa kala sudah berkumpul dengan teman sejawatnya di pantry. Silvia merindukan suasana itu. Dia bosan suasana sepi dan sendiri di Melbourne. Tidak ada enak-enaknya hidup di negara orang seorang diri, mending ada yang menemani. Ah...Masih ada waktu sekitar enam sampai delapan bulan yang harus Silvia habiskan di Melbourne, program Masternya belum selesai. Silvia bisa bernapas lega, karena Andra janji untuk menemani Silvia di Melbourne selama beberapa waktu. Andra masih terlelap di ranjang dengan wajah pulas dalam tidurnya. Kedua pipi Silvia menghangat ketika dia teringat pergulatan mereka beberapa jam yang lalu--setelah solat subuh. Merasa dipandangi, Andra membuka paksa kelopak matanya. Tangan panjangnya menarik tubuh Silvia, lalu mendekap erat istrinya itu. Silvia menengok ke belakang, Andra sudah kembali terpejam dengan satu tangan melingkar di pinggang dan satu lagi dijadikan bantalan untuk kepala Silvia. “Aku mau ke kantor, Dra,” bisik Silvia. “Sepuluh menit! Kamu diem aja.” Andra menegaskan kata-katanya masih dalam keadaan terpejam. Silvia berdecak, Andra semakin mengeratkan pelukan dan genggaman tangannya. Wajahnya pun semakin disurukkan ke tengkuk Silvia. Embusan napas hangat dari hidung Andra membuat Silvia bergidik, karena bulu romanya berdiri. “Ada meeting sama komisaris dan direksi. Aku diwajibkan hadir. Aku juga mau urus paspor sama visa kamu.” “Psstt... Aku bilang diem. Sepuluh menit aja!” Silvia hanya mengembuskan napas kasar. Membuat Andra tergerak untuk semakin menggoda Silvia. Kecupan demi kecupan Andra layangkan di tengkuk Silvia. “Andra, stop it!” “Kenapa? Takut nggak bisa nolak aku?” tanya Andra seraya terkekeh. “Kamu ngerjain aku?” kesal Silvia. Tak kuasa menahan tawa, Andra malah menggelitiki pinggang Silvia. Setelah puas dengan permohonan ampun dari istrinya, Andra bergerak untuk duduk dan berdiri, menyambar boxer yang tergeletak di lantai lalu menuju kamar mandi seperti kebiasaan paginya. Silvia hanya bisa menatap tubuh polos suaminya dengan tatapan memuja. Dengan telapak tangannya, Silvia memukul kepalanya sendiri, supaya sadar dan tidak memikirkan hal yang 'iya-iya', karena dia harus ada di kantor pagi ini. Andra bisa menghabiskan waktu setengah jam di dalam kamar mandi—bukan untuk mandi—hanya untuk buang hajat dan merokok. Dan itu kebiasaan yang membuat Silvia kesal. Bagaimana nanti kalau Silvia sudah mulai kerja? Silvia hanya menggeleng mengetahui satu tabiat buruk Andra yang tidak sejalan dengan Silvia yang serba ringkas. “Andraaa... buruan! Udah hampir jam delapan ini! Meetingnya jam sepuluh. Takut nggak nutut!” Silvia mulai kehabisan kesabaran menunggu Andra selesai. Andra pun keluar dengan wajah ditekuk. “Ganggu aja!” ujarnya sambil memberi ciuman singkat pada bibir Silvia. “Ish, abis ngerokok nggak gosok gigi cium-cium aku!” “Morning kiss,” jawab Andra sambil menyeringai. Tidak peduli dengan gerutuan Silvia, Andra melenggang santai menuju dapur. Wajahnya semringah kala melihat secangkir kopi yang asapnya masih mengepul di atas cangkir. Andra menghirup aroma kopi tersebut dalam-dalam. Lagi dia tersenyum setelahnya, meletakkan kembali cangkir kopi di atas tatakan tanpa menyesapnya setetes pun. “Keramas lagi?” tanya Andra iseng, saat melihat Silvia keluar dari kamar mandi lima belas menit kemudian dengan handuk membungkus kepalanya. Silvia kesal bukan main mendengar pertanyaan menyebalkan Andra. “Gara-gara kamu!” ucapnya, melengos lalu masuk kamar. “Salah aku atau kamunya aja yang nggak tahan godaan?” Andra mengikuti Silvia. Silvia malas berdebat dengan wajah menahan malu seperti sekarang ini. Di dalam kamar, Andra mengambil alih tugas Silvia mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Kamu seneng banget, sih, ngeringin rambut aku gini?” “Bentuk tanggung jawabku karena udah bikin kamu keramas pagi-pagi,” bisik Andra tepat di samping telinga Silvia, lalu mengecup daun telinga Silvia yang membuat perempuan itu meremang. “Berangkat sama siapa ke kantor?” tanya Andra membawa handuk yang ia gunakan untuk mengeringkan rambut Silvia keluar kamar. “Sama Hardi,” jawab Silvia sambil mengganti pakaiannya dengan seragam kantor.  Senyum terlukis di wajah Andra saat menatap penampilan istrinya keluar kamar, sampai Silvia duduk di kursi makan. Andra menarik pelan karet rambut yang mengikat rambut Silvia, menggerai rambut setengah basah istrinya itu. “Kalau rambutnya masih basah jangan diikat gitu. Nanti pusing,” ujar Andra penuh perhatian seraya merapikan rambut panjang Silvia. “Cantik,” ucap Andra bersuara lirih. Silvia merasa Andra mengucapkan sesuatu. Dia menoleh untuk memastikan apa yang dikatakan oleh Andra. “Apa, Dra?” “Nggak apa-apa. Itu rotinya udah aku kasih selai kacang.” Tersenyum tulus Silvia mengecup pipi Andra sekilas. “Makasih ya, suamiku,” ujar Silvia menggigit roti yang sudah disiapkan Andra. “Gitu aja?” Andra menaik turunkan alisnya dengan usil. Silvia hanya tertawa blushing. Setengah mati Silvia berusaha mengalihkan tatapan Andra yang membuatnya gelisah. Silvia lalu menunjuk sebuah panci berukuran kecil di atas kompor gas. “Aku cuma masak sop ayam asal jadi, sama telur dadar buat sarapan kamu. Nanti siang aku usahain pulang,” ucap Silvia kikuk. “Nggak usah dipaksain kalau nggak bisa pulang,” jawab Andra santai menyesap kopi paginya, tanpa merasa bersalah sudah membuat istrinya itu salah tingkah pagi-pagi. Silvia mengangguk paham. Bunyi klakson sepeda motor dari luar rumah menginterupsi obrolan pagi Andra dan Silvia pagi ini. “Jemputan kamu?” tanya Andra. “Iya. Hardi tuh,” jawab Silvia menghabiskan potongan terakhir roti selai kacangnya. Andra mengantar Silvia sampai depan rumah. Menyapa dan mengobrol sebentar dengan Hardi. “Kunci rumah mana?” tanya Andra saat Silvia sudah naik ke boncengan motor. “Oh…, iya,” ucap Silvia, menepuk keningnya sendiri lalu turun lagi dari motor. Susah payah Silvia memisahkan tiga anak kunci dari gantungan kunci berbentuk kamera polaroid. “Ini kunci pintu depan, ini pagar, yang ini kamar. Itu kunci aku. Nanti aku biar pakai yang ada di tempat BBang Vino.” Silvia menjelaskan satu persatu fungsi anak kunci sambil meletakkan di atas telapak tangan Andra. “Kalau mau dikasih semua ke aku kenapa kamu pisahin dari gantungan kuncinya?” Andra menatap Silvia penuh tanya. Ada kegugupan di wajah istrinya saat ia bertanya. Hanya saja Andra belum bisa mengartikan kenapa Silvia mesti gugup hanya karena masalah sepele seperti kunci. “Oh..., ini. Nggak apa-apa. Itu, ada kunci laci meja kerjaku di kantor,” kilah Silvia memasukkan gantungan kunci yang memang tersisa sebuah anak kunci berukuran kecil ke dalam ranselnya. “Aku berangkat, ya, assalamualaikum.” Silvia mencium punggung tangan kanan Andra, mengenakan helm ke kepalanya dan naik ke boncengan motor Hardi. “Waalaikumsalam. Hati-hati nyetirnya, ya, Har!” “Siyiaaap...” jawab Hardi penuh semangat. ♡♡♡ Di kantor, Silvia disambut oleh semua rekannya. Mengucapkan selamat dan turut bahagia atas pernikahan Silvia. Setelah menerima sambutan kecil tadi, Silvia langsung menuju pantry. Benar saja, di sana teman-teman dekatnya memberi surprise party untuk menyambut Silvia. “Pengantin baru glowing banget, yes? Pagi gini rambut basaaah...” sambut Dinda. Silvia hanya tertawa dengan guyonan sahabatnya itu. “Upiiik... makin subur aja lo?” Krisna muncul dari pintu pantry, membawa kantong plastik berisi bubur ayam yang dikemas dalam styrofoam kesukaan Silvia. “Sialan lo!” Silvia menerima bungkusan dari Krisna. Mulai melahapnya dengan penuh penghayatan. “Mbak Via, dipanggil bos Romi di ruangannya,” ujar Siska masuk pantry dengan tergopoh. “Lima menit lagi,” jawab Silvia lalu beranjak dari kursinya. ♡♡♡ Di ruang rapat Silvia duduk berhadapan dengan Romi hanya berdua saja. Karena dewan direksi, komisaris, manajer dan yang lainnya belum hadir di ruangan itu. “Kamu kapan balik ke Melbourne?” tanya Romi menghentikan suasana canggung di antara mereka. “Kalau paspor suami aku sudah jadi pasti langsung berangkat,” jawab Silvia tak acuh. Pandangannya menatap fokus pada layar laptop. “Emang nggak bisa nyusul, ya, suami kamu?” “Enak aja. Nggak mau, ah. Pak Romi nggak punya hak ngatur-ngatur selama aku nggak keluar dari koridor kontrak perjanjian dengan perusahaan.” Romi tertawa, menunjuk Silvia dengan bolpoin di tangannya dari seberang meja, mendengar jawaban ketus dari Silvia. “Aku kangen sama jawaban jutekmu itu. Cuma kamu yang berani bicara seperti itu sama aku. Padahal yang lain itu tunduk dan bicara sopan sama aku,” ujar Romi di sela tawanya. “Kalau aku nggak salah, untuk apa aku takut pada Pak Romi?” jawab Silvia tegas lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. “Oke...Aku yang seharusnya takut sama kamu,” jawab Romi mengangkat kedua tangannya seraya menahan tawa, menganggap jawaban Silvia tadi hanya sebuah lelucon belaka. “Kamu masih marah soal Krisna?” tanya Romi menghentikan tawanya karena melihat air wajah Silvia berubah datar. “Pak Romi  nggak bisa menyalahgunakan wewenang untuk menekan orang lain!” “Eh, jangan salah paham, Via. Niat aku baik, supaya kamu bisa fokus sama kuliahmu.” “Halaaah... bullshit. Tujuan kamu sebenarnya bukan itu kan, Pak?!” “Melbourne sudah mengubah Silvia yang sopan jadi tukang ngumpat ya?” Romi tersenyum miring. Namun tidak ada tanggapan dari Silvia. Lalu suasana hening kembali. Sepuluh menit kemudian kursi di pinggir meja ruang rapat sudah terisi penuh. Malas-malasan Silvia mengikuti jalannya rapat yang hanya diisi omong kosong bagi Silvia. Kalau boleh memilih, lebih baik dia menyibukkan diri dengan pekerjaan atau aktivitas lainnya, daripada mengikuti rapat yang delapan puluh persen hanya diisi obrolan membosankan. Setelah menyampaikan pidato sambutannya, Ardan Pramana, komisaris sekaligus pemilik saham terbesar di TvM memperkenalkan posisi baru dalam struktur organisasi perusahaan pertelevisian TvM. Sekaligus juga memperkenalkan orang yang akan menduduki posisi baru tersebut. Pandangan Silvia mengikuti pandangan semua orang di dalam ruangan ke arah pintu. Seorang pria mengenakan solid navy slim-suit lengkap dengan dasi warna navy yang menggantung di kerah kemeja biru mudanya, melangkah sambil tersenyum tipis, sesekali menundukkan kepala saat berpapasan dengan direktur dan komisaris. Pandangan Silvia saat ini seperti fungsi *auto focus pada kamera, menatap tak putus pada pria berwajah penuh kharisma tersebut. Wajahnya tegas dan kharismatik. Silvia merasa pernah bertemu dengan pria tersebut. Namun kapasitas memori otaknya sepertinya sudah hampir penuh, karena sekuat apa pun Silvia mencari tahu di mana letak kenangan pernah bertemu pria tersebut, dia tak menemukan tempatnya. “Inget lakik di rumah!” bisik pria di samping Silvia, sambil mengetuk pelan kepala Silvia dengan ujung bolpoin. Silvia melirik malas pada Andre--kepala redaksi acara News--yang sedang menggodanya karena memergoki Silvia menatap pria baru itu dengan tatapan aneh menurut Andre. “Ih, bicik lo!” balas Silvia. Membuat Andre ingin tertawa.  “Perkenalkan beliau bapak Revan. Beliau adalah pengacara pribadi saya, sekaligus akan menjadi legal lawyer di perusahaan pertelevisian ini,” ujar Ardan, memperkenalkan pria yang kini sudah duduk di samping Romi. Meeting membosankan itu akhirnya selesai sudah. Silvia bisa bernapas lega setelah keluar dari ruangan. Langkah Silvia menuju bilik kerjanya terhalang oleh seorang pria yang berdiri tegak menghadangnya. Silvia mendongak, mendapati Revan tengah tersenyum lebar menatapnya. “Apa kabar? Kamu sudah besar ya?” ujar Revan tengah mengulum senyum. “Hah?” jawab Silvia mengernyitkan keningnya. Mencoba mencerna kata-kata yang Revan ucapkan. “Alvin apa kabar? Aku baru seminggu ini pindah ke Jakarta, jadi belum sempat ketemu Alvin dan yang lainnya.” Silvia semakin bingung. Dia menggelengkan kepalanya karena tidak berhasil mengingat siapa pria yang sedang berdiri di depannya ini. Dia juga mengenal abangnya. Lalu 'dan yang lainnya' yang dimaksud tadi siapa? Silvia bertanya-tanya dalam benaknya. “Via? Kamu nggak ingat sama aku?” Silvia hanya mengedikkan bahunya. Badannya membungkuk sedikit kemudian meninggalkan Revan yang tertegun menatap kepergian Silvia.  *** Auto focus: cara kerja kamera tanpa mengharuskan pemotret memutar-mutar sendiri penemu fokus(jarak). Sistem ini bekerja setelah pemotret menekan tombol “on” pada perintah fokus. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD