BAB 1

2373 Words
CHRYSTAL “Bangun, sweetheart. Bangunlah!” Mataku perlahan terbuka ketika mendengar suara seseorang membangunkanku. Kepalaku mulai bergerak, mencari-cari dari mana sumber suara tadi, sayangnya di sekitarku tidak ada seorang pun. Aku masih berada di dalam pantri, sendirian, dan juga masih sangat gelap gulita. Keadaan yang sama seperti sebelum aku jatuh tertidur karena kelelahan menangis. “Chrystal,” suara itu kembali menggema dan aku tahu benar suara siapa itu. “Papa,” panggilku berbisik. “Kamu bisa mendengar Papa, sweetheart?” Aku mengangguk pelan dan masih berusaha mencari keberadaan Papa yang pastinya sangat mustahil. Tapi, bagaimana bisa aku mendengar suara beliau, bahkan berbicara padanya tanpa ada orangnya di sekitarku ataupun alat komunikasi yang menunjang. “Papa di mana? Aku tidak bisa melihat Papa,” bisikku kembali. Apakah ini hanya salah satu ilusiku saja? Aku terlalu merindukan sosok Papa dan otakku dengan kacaunya menciptakan suara-suara lain untuk kudengar. “Papa berada jauh dari tempat kamu sekarang, sweetheart. Kalau kamu pernah mendengar kata telepati, inilah yang sedang kita lakukan. Papa menyayangimu, Chrystal. Pulanglah, kami merindukanmu.” Ternyata aku tidak salah dengar, aku memang berkomunikasi dengan Papa. Tapi tidak memeluk sosoknya menambah pedih hatiku. Aku merindukan Papa, namun sayangnya, aku belum bisa kembali seperti permintaannya. “Aku juga merindukan kalian, Pa. Tapi, Chrystal belum bisa pulang sebelum kalian merestui kami.” Papa mendesah pelan. “Kami tidak akan pernah setuju kamu menjalin hubungan dengan pria itu dan kamu tahu jelas alasannya, sweetheart.” Aku mengangguk mengerti. Alasanku kabur bukan semata-mata karena mereka tidak merestui hubunganku dengan pria yang aku pilih sebagai kekasihku. Karena kedua orang tuaku sudah menjodohkanku dengan pria pilihan mereka. Ini bukan zaman di mana seorang wanita harus menikah dengan pilihan kedua orang tuanya, aku jelas ingin Papa dan Mama paham, aku punya hati dan pilihanku sendiri. “Cobalah bersamanya,” pinta Papa. “Aku… tidak bisa, Pa.” Lagi-lagi Papa hanya mendesah. “Kalau itu memang pilihan kamu, Papa bisa apa? Kembalilah jika memang kamu rasa sudah saatnya kembali. Pulanglah, sweetheart. Kami tahu kamu wanita tegar. Kami mencintaimu.” “I love you too, Pa.” Setelahnya, aku tak mendengar lagi suara Papa. Kini gilirankulah yang mendesah ketika menyadari bahwa aku merindukan mereka dan sangat mengharapkan mereka berdiri di hadapanku sekarang. Memeluk mereka dan meredakan kesedihan yang kurasakan akibat perbuatan Regan. Tapi, aku sadar mereka menginginkanku kembali tanpa pria yang menjadi kekasihku sekarang. Aku mengusap kasar wajahku, lalu segera beranjak dari sofa dan meninggalkan pantri. Aku sengaja masih mengaktifkan kekuatanku, takutnya ada orang yang memergokiku masih berkeliaran di sini malam-malam. Seketika tubuhku membeku tepat di depan lift. Jessica dan Regan bersama, aku tahu itu, aku mendengar suaranya. “I want more, baby.” Suara Regan seolah berbisik keras tepat di telingaku dan bukan hanya suaranya Regan saja, melainkan suara-suara yang ada di kepala Jessica yang terdengar begitu s*****l. Air mata yang sempat mengering, lagi-lagi mulai kembali menetes. Tepat saat lift terbuka lebar di hadapanku, aku segera berlari memasukinya. Sekarang aku tahu, mereka jahat. ***** Pintu lift terbuka tepat saat panel menunjukkan angka sepuluh RX Corporation. Sejak pagi tadi atau lebih tepatnya saat aku terbangun, kepalaku seolah memutarkan semua kejadian kemarin malam. Aku terus berusaha berfikir untuk melupakan kejadian semalam dan memaafkan Regan. Mungkin aku terdengar bodoh bahkan mungkin gila karena masih mau memaafkan perselingkuhan yang Regan lakukan. Tapi, mau bagaimana lagi, Aku masih sangat mencintainya dan hal itulah yang membuat akal sehatku kalah dengan perasaanku. Aku memasuki sebuah ruangan kecil yang kusebut kantor pribadiku. Hanya ruangan berukuran dua kali tiga dengan sebuah meja di tengah-tengah, sebuah single sofa di pojokan, di atas meja kerjaku ada sebuah komputer LCD dan beberapa tumpukan kertas. Sistematika kerjaku sebenarnya cukup mudah, aku hanya perlu berpura-pura menjadi seorang asisten ketika bertemu klien. Saat mereka mulai membicarakan pekerjaan, aku akan diam saja dan mulai mengetik apa yang ada di dalam otak klien dan menjadikannya laporan tertulis. Lebih seperti seorang jurnalistik daripada seorang penasehat khusus perusahaan.  Perlahan aku berjalan mendekati meja dan meletakkan tasku di sana. Ketika akhirnya aku berhasil meletakkan p****t di sofa, aku berusaha mengatur napas. Lupakan, Rys, lupakan. Aku terus berusaha menasehati diriku sendiri. Ketika pada akhirnya aku siap beraktivitas, aku terkejut saat menemukan sebuah sticky note berwarma biru di dekat tombol power CPU. Lunch. I’ll pick you up at 11.30 and miss you. –R- Tanpa bisa kucegah senyumku terbit begitu saja. Regan sebenarnya tidak pernah berubah untuk masalah kepeduliannya padaku. Sejak dulu setiap kali kami bertengkar dan Regan sudah tidak bisa mengajakku berbicara baik-baik. Dia akan akan mengirimkanku sebuah sticky note dan menempelkannya di tempat yang tidak terduga. Regan pasti sangat khawatir, karena ponselku sejak semalam sengaja aku matikan. Segera saja aku meraih ponselku dan mengaktifkan benda itu. Notifikasi ponselku tak kunjung berhenti. Ada lima belas panggilan tak terjawabn dari Regan dan panggilan tak terjawab dari Mama. Tanpa sadar aku mendesah pelan saat menyadari bahwa aku tidak pernah mengangkat panggilan Mama, tapi masih berhubugan dengan Papa walaupun hanya sekadarnya. Aku merindukan kedua orang tuaku, tapi masalahku dengan Mama tidak segampang itu membuatku mau berbicara dengannya. Kuakui aku memang bukan anak yang berbakti, hanya saja inilah caraku menunjukkan pada Mama bahwa pilihan dari hatiku lah yang terbaik. Notifikasi tak kunjung berhenti dan aku menemukan dua puluh pesan masuk, semuanya berasal dari Regan. Isinya hampir sama, dia mengkhawatirkanku yang tiba-tiba saja menghilang. Ingatan tentang awal-awal kami berjumpa berputar kembali di kepala. Sudah tujuh tahun dan masih terasa seperti kemarin. Regan adalah cinta pandangan pertamaku. Kami masih sama-sama mahasiswa baru yang kebetulan bertemu secara tidak sengaja di dalam perpustakaan. Ceritanya cukup klise, kami saling tertarik begitu saja. Regan yang menghampiriku duluan dan setelahnya dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan lain di luar perpustakaan. Tentu saja aku tertarik padanya, karena ketika pertama kali aku membaca pikirannya, dia tengah menatapku dan pikirannya mengatakan. “Gadis itu cantik sekali.” Lalu, aku meresponnya dengan baik. Aku tersenyum padanya, lalu berpura-pura tidak mengerti bahwa aku tahu betapa gugupnya dia karena aku tersenyum padanya. Awal pertemuan yang menyenangkan, tapi kenapa semakin lama, aku semakin kehilangan Regan Xander yang sangat aku kenal dulu. Aku merindukan kekasihku seperti aku merindukan pria malu-malu di dalam perpustakaan tujuh tahun yang lalu. ***** Mobil Regan berbelok menuju salah satu pusat perbelanjaan. Siang ini, jalanan terlihat padat mengingat sudah memasuki jam makan siang. Aku sedikit heran karena Regan mengajakku ke sini. Pasalnya, dia orang yang sangat sibuk dan tidak mungkin mengajakku makan siang di tempat yang jauh dari kantor. Belum lagi, jam di makan siang terbatas, hanya satu jam. “Mau ngapain kita ke sini, Re? Katanya mau makan siang,” tanyaku padanya sebelum dia keluar dari mobil. Regan menoleh padaku dan langsung menatapku dalam. Tangannya mengusap rambutku, lalu mengelus pelan pipiku sayang. “Kita makan siang di sini sekalian jalan-jalan. Sudah lama kan kita tidak berkencan.” Senyumku merekah lebar mendengarnya. “Makasih ya, Re.” Regan mengangguk. Bergegas dia keluar dari mobil, memutarinya dan membukakan pintu untukku. Aku terkekeh pelan saat dia mengulurkan tangannya, seolah aku tuan putri dan dia adalah pangerannya. Aku meraih tangannya untuk kugenggam erat. Kami berdua memasuki Mall sembari berpegangan tangan. Obrolan demi obrolan mengalir begitu saja dari mulut kami, seolah mengganti jutaan jam yang kita sia-siakan selama ini. Tiba-tiba saja kejadian semalam terlintas di kepalaku, membuatku mendesah pelan. Aku tidak ingin mengingatnya lagi dan juga mendengar apa pun pikiran Regan. Jadi kupastikan kekuatanku sudah kumatikan, untuk berjaga-jaga, agar perasaanku terselamatkan. “Semalam kamu ke mana, Ry?” tanyanya saat kami tengah duduk berdua di salah satu restaurant Jepang favorit kami. “Maaf… perutku sedang bermasalah. Jadi, semalam aku langsung pulang dan lupa menyalakan ponsel. Soalnya, sampai kos-kosan aku langsung tidur,” dustaku. Regan mengangguk mengerti dengan cerita bohongku. Aku mulai memperhatikan keadaan di sekitar. Sudah lama aku tidak ke sini bersama Regan. Dulu sekali, ketika awal-awal aku mengikutinya ke Indonesia, kami sering menghabiskan waktu di restaurant ini. Salah satu restaurant Jepang terbaik dan terenak yang pernah aku coba. Selama menunggu, Regan terus melontarkan leluconnya dan hal itu selalu berhasil mengundang tawaku. Ini lah salah satu daya tarik Regan, dia benar-benar sangat pandai dalam membuat lelucon. Lelucon-lelucon yang dia lontarkan ini juga selalu berhasil membuatku jatuh cinta padanya lagi dan lagi. “Tahu nggak apa yang paling kurindukan dari kamu saat kita jauh?” tanyanya sembari memakan sushinya. Aku menggeleng pelan. Regan tersenyum, lalu kembali meraih tanganku. Kemudian, dibawanya ke bibirnya untuk dikecup. “Aku merindukan tawamu ketika aku melontarkan leluconku. Setiap kali aku melihatmu tertawa, sebanyak itulah aku jatuh cinta kembali kepadaku.” Kata-kataku menghilang di kepala hanya karena ucapannya. Tiba-tiba ponsel Regan berdering, cukup nyaring hingga beberapa orang yang berada di dalam restaurant menoleh kepada kami. Regan segera melepaskan tautan tangannya untuk meraih ponsel. Untuk beberapa saat dia ragu saat menatap layar ponsel. “Siapa yang telepon, Re?” tanyaku sembari melahap sushi terakhirku. Tanpa mengucapkan sepatah kata, dia malah menunjukkan layar ponselnya padaku. Seketika aku membeku membaca siapa yang menelpon. Tapi, aku tidak mungkin membiarkan penelepon menunggu terlalu lama. “Angkat, Re.” Regan mengangguk dan barulan dia berani mengangkat panggilan ponselnya. “Halo,” sapanya. Cukup lama dia terdiam, tiba-tiba matanya melebar dan kepalanya berputar menghadapku. “Mama … di GI sekarang?” tanyanya pada seseorang di ujung sana. GI? Bukannya kami sekarang juga berada di GI? Astaga, bagaimana kalau kami bertemu, aku belum berani menghadapi Mama Regan sendirian. Tuhan, bagaimana ini? “Iya, Ma. Regan langsung jemput Mama.” Regan memutuskan panggilannya. “Re, mama kamu bilang apa? Ngapain beliau di GI?” “Mama mau ke salon dan aku diminta untuk menjemputnya. Astaga, bagaimana ini Ry, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.” Regan mengacak-acak rambutnya frustasi. “Mama kamu masih belum menyukaiku ya, Re?” tanyaku pada akhirnya. Jawaban Regan yang hanya mengangguk pelan, sudah cukup menambah sakit hatiku padanya. Tujuh tahun menjalani hubungan dengan Regan dan selama itu pula orang tua Regan tidak menyetujuiku. Bagi mereka, aku bukan wanita pantas untuk bersanding dengan Regan. Mereka menilaiku hanya dari background keluarga saja dan tentu saja bagi mereka aku sama sekali tidak masuk hitungan. “Lalu… apa yang kamu katakan ke mamamu mengenai status hubungan kamu sekarang, Re?” tanyaku sekali lagi. Aku memfokuskan diriku hanya pada Regan, agar aku bisa membaca pikirannya saat ini. “Aku hanya mengatakan … aku sedang dekat dengan wanita.” “dan orang itu adalah Jessica.” Aku tersenyum pahit padanya, lalu mengangguk mengerti. Perlahan aku bangkit dari kursiku seraya meraih tasku. “Lebih baik kamu temui Mama kamu, Re. Aku balik ke kantor sendirian aja. Hati-hati di jalan.” Regan menahan tanganku. “Kamu nggak marah kan, Ry?” tanyanya. Buru-buru aku menggeleng. Bukan salahnya tidak mau jujur pada Mamanya. Aku memang tidak pantas … itu saja. “Nggak ada alasan aku untuk marah. Aku pergi dulu, Re.” Segera saja, aku menghentak keras genggaman tanagn Regan. Tubuhku berbalik keluar dari restaurant dan melupakan bahwa makan siangku sebenarnya belum selesai. Tuhan, apakah ini salah satu petunjukmu agar aku melepaskan Regan. Aku mengira tujuh tahun bersama Regan, Mamanya akan menyerah dan merestui kami. Tapi, nyatanya Mama Regan malah merestui hubungan Regan bersama Jessica. Aku sedikit linglung memasuki taksi. Mengatakan pada supir taksi ke mana tujuanku, lalu terdiam sembari menatap jalanan di luar sana. Bahkan, aku sudah lelah untuk menangis. Tuhan, apa yang harus aku lakukan? ***** Dengan langkah gontai aku berjalan memasuki gedung RX Corporation. Sebenarnya aku lebih ingin pulang ke kos-kosan, tapi aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan begitu saja. Mau menangis pun, aku tidak mungkin menangis di tengah-tengah orang berlalu lalang. Sayup-sayup terdengar seorang wanita tengah mengeluh. Dia mengeluhkan tentang diriku di dalam pikirannya. Aku sudah mencoba sejak tadi menutup kekuatanku, tapi sayangnya kekuatanku malah terus terbuka dan kepalaku semakin bertambah pusing karenanya. Kepalaku otomatis menoleh mencari siapa yang berusaha mengata-ngataiku di dalam pikirannya. Terlihat Jessica berdiri di antara orang-orang yang menunggu lift. Dia begitu menawan dengan gaun kerja selutut cokelatnya, sepasang pumps hitam miliknya. Rambut panjang hitamnya dikuncir ekor kuda dan membuat semua pria menatapnya tertarik. Aku mendesah pelan saat menyadari wanita itu lebih segalanya dari pada diriku. Suara-suara penuh ejekan untuk diriku jelas berasal dari dirinya. Aku benar-benar tidak lagi sanggup mendengar ejekannya dan memilih berbelok menuju tangga darurat. Tempat itu pasti sepi, mengingat, semua orang yang bekerja di sini lebih menyukai lift untuk mencapai kubikel mereka. Tempat yang sangat cocok untuk menyendiri dan mengurangi bisikan-bisikan isi kepala mereka. Aku berjalan perlahan menaiki tangga menuju lantai sepuluh tempatku bekerja. Lelah memang, tapi kurasa ini lebih baik. Tepat di antara tangga lantai Sembilan menuju ke lantai sepuluh, Aku berhenti dan menduduki salah satu anak tangga di sana. Aku terdiam sembari menatapi pemandangan ibu kota dari jendela berukuran sedang di depanku. Tanpa sadar air mataku menetes.. “Tuhan, kenapa aku sebodoh ini?” aduhku padaNya sembari menghapus air mataku, yang anehnya malah terus menetes dengan derasnya. “Aku mencintainya, Tuhan.” Segera saja aku menutup wajahku dengan kedua tangan, mencoba untuk menyembunyikan isakanku. Kekuatanku tetap kuaktifkan, walaupun tempat ini sepi tapi tidak menutup kemungkinan akan ada orang yang datang. Jadi, ketika aku mendengar orang mendekat, aku bisa langsung pergi. “Aku mengira di sini ada mahluk astral atau sejenisnya,” sebuah suara membuat tangisanku terhenti seketika. Aku yakin itu bukan suara pikiran seseorang, karena suara itu terdengar jelas dan keras. Kepelaku refleks menengadah dan mendapati seorang pria berdiri menjulang di hadapanku. Dia membelakangi jendela yang membuat sekitar tubuhnya bercahaya. Dia tampak seperti seorang malaikat dengan setelan kerja lengkap, yang terlihat sangat pas di tubuhnya. Wajah berbentuk kotak dengan rambut cokelat gelapnya. Aku tidak bisa melihat jelas seperti apa wajah depannya, karena cahaya membuatku tak bisa melihatnya dengan terlalu jelas. Pria itu segera berlutut tepat di hadapaku. Membuat mataku mengikuti gerak tubuhnya. Dua buah mata berbeda warna mengunci tatapanku, membuatku makin terpaku saja dengan ciptaan Tuhan yang berada di hadapanku sekarang. Tanpa sadar kedua mataku dengan tidak sopannya meneliti wajah pria ini. Mata biru secerah langit dan cokelat gelap miliknya. Hidung mancung. Bibir tipis yang sangat menggonda, serta tatapan yang begitu tajam darinya.  Sempurna. “Sedang apa kamu di sini dan menangis sendirian?” tanya pria tersebut. Aku terdiam sebentar saat menyadari ada sesuatu hal yang ganjal dengan pria ini. Air mataku sudah berhenti sejak tadi dan digantikan dengan sebuah pertanyaan besar dalam kepalaku. Tanganku dengan kurang ajarnya meraih wajahnya. “Kenapa aku tidak bisa membaca pikiranmu?” *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD