BAB 2

1656 Words
CHRISEON “Dari track record-nya sangatlah cocok untuk bekerja sama dengan kita, sir,” ucap salah satu asistenku melalui sambungan telepon. Baiklah, aku sebenarnya juga sudah membaca prestasi perusahaan ini. Itulah mengapa aku sudah berada di RX Corporation, salah satu perusahaan properti yang akan melakukan kerja sama dengan FAL Hotel milik keluargaku yang berada di Indonesia. Kenapa salah satu, karena banyak sekali perusahaan properti yang menginginkan kerja sama dengan hotel kami dan RX adalah salah satu kandidat terkuat saat ini. Kami, aku dan CEO RX Corporation mengadakan janji temu di perusahaan miliknya, sekaligus ingin mendengarkan hal-hal menarik apa yang akan dia tawarkan padaku. Rumor yang beredar, Regan, CEO perusahaan ini dapat mengetahui apa saja yang klien inginkan. Itulah mengapa president RX Corporation di sebut sebagai Mr. Know it All. Benar-benar menarik. “Aku akan membuktikan perkataanmu, Joe.” Aku segera memutuskan panggilanku dan menekan tombol lantai sebelas. Perusahaan tampak sepi siang ini. Bahkan ketika aku menaiki lift, hanya aku sendirian yang berada di dalamnya. Mungkin semua karyawan sedang sibuk bekerja, hingga tidak ada satu pun dari mereka yang meninggalkan kubikel. Tiba-tiba aku merasakan ponselku bergetar di kantong celana. Saat meraih ponsel, nama Mom lah yang muncul di layar. Senyumku merekah dan segera ku angkat panggilannya. “Hi, Mom,” sapaku. “Morning, Sen.” Aku terkekeh pelan menyadari perbedaan waktu antara diriku dengan Mom sekarang. “Rasanya aneh bukan, Mom? Aku berada berpuluh-puluh mill jauhnya darimu, berbeda benua dan berbeda daratan. Padahal dulu aku dan Sant tidak pernah sejauh ini darimu.” Mom terkekeh di ujung sana. “I miss you too, Sen. Bagaimana Indonesia?” “Macet di mana-mana. Aku tidak bisa mengandalkan orang-orang di sekitarku untuk tepat waktu, karena mereka jarang melakukannya.” Lift tiba-tiba terbuka di hadapanku, segera saja keluar dari lift dan berjalan menuju ke salah satu kursi tunggu di depan front office lantai ini. Sedangkan di ujung sana Mom masih berbicara dengan suara yang menggebu-gebu, khas Mom sekali. Mom bercerita mengenai apa saja yang dia lakukan bersama Dad selama kami tidak di sana. Cukup lama kami mengobrol, membuatku tanpa sadar melirik jam tangan, sudah hampir sepuluh menit kami mengobrol tidak jelas di telpon dan lima belas menit lagi adalah waktu janji temuku dimulai. “Mom,” panggilku. “Ya, Sen.” “I have to go. I have meeting on fifteen minute.” “Sure, you have to. I really miss you, son.” Aku bisa mendengar beliau tiba-tiba terisak. “Don’t crying, Mom. I miss you too and I love you too. I’ll call you later.” Aku segera memutuskan panggilan kami dan bergegas memasukkan ponsel ke celana. Segera Aku beranjak dari kursiku, lalu menuju front office yang tidak jauh dari tempatku duduk. Seorang wanita di belakang meja segera berdiri dari kursinya saat menyadari kehadiranku. “Ada yang bisa saya bantu, sir?” tanyanya dengan senyuman yang menurutku terlalu lebar. Alisku selalu mengernyit heran setiap kali menemukan wanita-wanita yang menatapku berlebihan. Menurutku, aku tidak setampan itu hingga mereka menatapku penuh puja. Oh, ayolah, aku bahkan harus berusaha bersikap dingin untuk membuat mereka menjauh. Masa lalu selalu berhasil menahanku untuk mendekati gadis-gadis di luar sana. “Di mana ruang Mr. Regan berada?” “Maaf, sir, anda sepertinya salah lantai, ini lantai Sembilan. Ruangan Mr. Regan berada di lantai sebelas dan di sana hanya ada ruangan beliau.” Pada akhirnya aku mengangguk paham dan memilih segera pergi. Bukannya tadi aku menekan lantai sebelas, tapi kenapa malah lift terbuka di lantai Sembilan? Aku menggeleng pelan saat menyadar bahwa ini bukanlah hal yang aneh. Tadi Mom menelpon dan mungkin ada yang menekan lift lantai ini sehingga pintu terbuka, lalu aku tidak memperhatikan panel lift kembali dan keluar begitu saja hingga berada di lantai ini. Segera saja aku kembali berjalan ke lift, menekan tombol lift ke atas. Cukup lama menunggu, tapi pintu lift tidak juga terbuka. Bahkan panel lift terus menunjukkan lantai satu dan tidak juga naik. Sedikit kesal, aku memutuskan untuk memasuki pintu tangga darurat. Lebih baik naik tangga dari pada menunggu lift yang tidak pasti. Ketika aku membuka pintu tangga darurat, aku sedikit terkejut mendengar suara isakan yang menggema di seluruh ruangan. Jujur, aku adalah orang berlogika yang tidak percaya hal-hal berbau astral di dunia ini. Tapi, ketika melihat tangga darurat dengan lampu temaram, sepi dan sebuah suara isakan tangis wanita menggema, pikiranku jadi mulai memikirkan hal-hal buruk. Tenanglah, Sen, tidak akan ada apa-apa di sini. Aku terus berusaha menyakini diriku sendiri. Setelah helaan nafas panjang, akhirnya aku mulai menaiki tangga perlahan. Suara isakan semakin lama terdengar jelas di telingaku. Hingga di ujung tangga terakhir, aku berhenti saat menemukan seorang gadis tengah duduk di anak tangga pertama yang berada di antara lantai Sembilan dan lantai sepuluh. Dia menutup kedua wajahnya dengan kedua tangannya, hingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Sepertinya dia tidak menyadari bahwa aku berada di dekatnya, karena dia terus menangis tanpa henti. Punggungnya bergetar hebat, sepertinya masalah yang dia rasakan sangatlah berat. Tapi setidaknya, dia bukanlah hantu-hantu yang sempat memenuhi pikiranku. Hanya saja, aku jadi bingung harus berbuat apa pada gadis ini. Haruskan aku tidak memedulikan keberadaannya dan melanjutkan aktivitasku atau aku mendekatinya dan menyuruhnya berhenti menangis. Masalahnya adalah, gadis ini mengingatkanku pada Sant ketika dia menangis. Ini cukup menyebalkan karena dia, aku memilih untuk peduli. Aku menghela napas dalam, lalu berjalan perlahan pelan mendekati gadis itu. “Aku mengira di sini ada mahluk astral atau sejenisnya,” ucapan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Gadis itu tiba-tiba berhenti menangis. Dia mendongakkan kepala dan seketika aku terpaku di tempatku. Wajahnya berbentuk oval. Kedua mata gelapnya. Hidung mancung. Bibir tipis berwarna merah muda, yang aku rasa itu warna alami bukan hasil riasan. Apalagi rambut hitam lurus sebahunya, membuatnya tampak sangat cantik walaupun wajahnya berantakan karena mascara mulai luntur. Astaga, demi Tuhan apa yang sedang aku pikirkan. Aku tidak biasanya tiba-tiba menilai seorang wanita sedetail itu. Tubuhku berjongkok dengan sadar di hadapanya. Kenapa matanya seolah membuatku terpaku dan terdiam cukup lama di tempatku. “Sedang apa kamu di sini dan menangis sendirian?” tanyaku begitu saja tanpa melepaskan tatapan kami. Tiba-tiba kedua tangan gadis itu meraih wajahku. Dari ekspresi yang aku dapatkan, dia terlihat terkejut. “Kenapa aku tidak bisa membaca pikiranmu?” Mulutku terbuka lebar saking kagetnya dengan pertanyaan yang dia lontarkan. Membaca pikiran? Memangnya ada orang yang bisa melakukan hal seperti itu? Gadis ini pasti otaknya kenapa-kenapa setelah menangis tadi. Aku meraih tangan gadis itu dan menurunkannya dari wajahku. Wajahku kembali mengeras menatapnya. “Lebih baik kamu menangis di rumah atau di tempat lain yang tidak terbuka seperti ini. Jangan menangis di tempat seperti ini, karena ini tempat umum dan bisa saja ada orang yang terganggu karenamu.” Buru-buru Aku bangkit dan memutuskan kontak mata kami. Gadis itu bahkan sama sekali tidak merespon ucapnku. Aku berdeham pelan, lalu melanjutkan langkahku untuk menaiki tangga menuju lantai sebelas. Sebelum aku benar-benar menghilang di tangga berikutnya, aku berhenti dan menoleh kepadanya dan ternyata dia juga sudah berdiri sembari menatapku. “Kamu cantik jika tidak menangis. Tapi akan lebih cantik lagi kalau kamu tersenyum. Aku harap kita bisa bertemu kembali, Miss.” ***** Aku membuka kancing jas abu-abu yang tengah kukenakan saat ini. Perlahan aku menduduki kursi yang berhadapan dengan seorang pria berwajah asia. Aku bukan orang asia, kedua orang tuaku sama-sama keturunan Eropa, meskipun Mom setengah Indonesia tapi gen Eropa beliau lebih dominan. Kebetulan sekali, kedua orang tuaku pernah menetap di Indonesia selama setengah umurnya, Itulah yang membuat mereka begitu mencintai Indonesia dan menjadi alasan besar mengirimku kembali ke negera ini. Tapi, aku kebalikan dari mereka. Aku tidak terlalu menyukai Indonesia, padahal negera ini adalah tempat kelahiranku. Sejak umurku lima tahun, aku sudah pindah ke London. Cuaca sejuk dan gerimis yang tak menentu di London benar-benar membuatku jatuh cinta. Sayangnya, aku malah terjebak di tempat ini karena janjiku kepada gadis kecilku itu dan juga permintaan Dad. Baiklah, sepertinya aku harus kembali fokus dengan pria di hadapanku. Regan Xander, pria itu tampak berwibawa diumurnya yang kutebak sedikit lebih tua beberapa tahun dariku. Wajahnya mengeluarkan kesan penuh percaya diri, tapi entah kenapa ketika aku melihatnya berbicara dengan sekertarisnya tadi, respekku padanya tiba-tiba menghilang. Dia jelas sekali menggoda sekretarisnya di depanku, memangnya dia pikir pantas menggoda wanita di tengah-tengah meeting seperti tadi? “Maaf sir, kita harus menunggu asisten saya datang. Dia mengalami insiden kecil yang membuatnya sedikit lama di kamar mandi,” ucap pria tersebut. Aku hanya mengangguk tanpa ekspresi sembari memperhatikan ruangan ini. Tidak sebesar ruanganku yang berada di FAL Hotel. Ruangan ini mungkin berukuran empat kali lima dengan sebuah meja jati serta kursi kerja di baliknya. Selain meja kerjanya, ada sebuah mini living room di dalamnya. Tapi tidak ada rak-rak buku-buku di sini, jauh berbeda dengan kantorku yang di keliling rak-rak penuh buku. Mungkin karena Dad serta Mom sangat suka membaca buku apapun. Cukup lama aku menunggu, sampai akhirnya aku mendengar suara pintu terbuka di belakangku. Aku tetap diam saja, tapi suara langkah kaki itu semakin lama semakin dekat. “Rysta, kami sudah menunggumu,” ucap Regan suaranya terdengar kesal, tapi pria itu berusaha untuk tetap tersenyum. “Maaf, tadi saya ada keperluan sebentar,” balas suara di belakangku. Untuk sesaat aku seperti mengenal suara ini. Tapi di mana aku mendengarnya? Meskipun aku cukup penasaran dengan pemilik suara tersebut, aku masih menjaga wibawaku dengan tidak terlalu peduli dan menekan rasa penasaranku. “Kemarilah dan akan kuperkalkan Mr. Chriseon Kendrick kepadamu.” Sedikit tergesa aku bangkit. Aku dan Regan berdiri berhadapan, sementara itu aku menunggu suara langkah kaki itu semakin mendekat. Anehnya, hatiku seperti berdebar menunggu, padahal aku hanya penasaran kepada pemilik suara itu. Tepat ketika wanita itu berdiri bersejajar dengan Regan, dia berbalik. Mataku melebar dan buru-buru aku kembali menekan euforia yang timbul. Ini aneh, tapi aku menolak untuk peduli. Senyumku melebar sembari mengulurkan tangan. “Chriseon Kendrick.” Dengan sedikit kikuk, wanita itu membalas uluran tanganku. “Panggil saya Rysta, just Rysta.” Kepalaku mengangguk pelan sembari meremas tangannya. “Nice to meet you again, Rysta.” *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD