11. Buntut Rekening Atas Nama Aya

1317 Words
"Ternyata dia tidak main-main. Aku masih merasa aneh." Aku berbicara sendiri saat jam tugas di rumah sakit hampir selesai. Semenjak kenal dengan Gading, jam praktik di rumah sakit ini tidak lagi sepanjang dulu. Entah hanya perasaanku atau memang seperti itu. Masih ada waktu untuk istirahat meski tidak banyak. Setidaknya aku bisa memejamkan mata dan beristirahat, tidak seperti dulu. Aku baru saja selesai menanggalkan jas dokterku ketika handphone-ku bergetar di dalam saku. Nama Gading tertera di layar, seolah memanggilku untuk segera mendengar suaranya. Sebenarnya, aku masih belum bisa menyatukan semua potongan informasi yang kudapat. Perasaan ini tak kunjung hilang; ada sesuatu yang disembunyikan oleh Gading. Aku menjawab telepon itu, suaraku sedikit bergetar karena kelelahan setelah seharian praktik. "Aya, bisakah kita bertemu sebentar malam ini?" suara Gading terdengar rendah namun tegas. "Aku... ya, tentu. Di mana?" tanyaku sambil menyiapkan diriku untuk kemungkinan percakapan yang sulit. "Kafe dekat rumah sakit, jam delapan," jawabnya singkat. Setelah menutup telepon, aku menarik napas panjang. Hari ini begitu kacau. Nama Martin kini menjadi bahan perbincangan di seluruh rumah sakit, dari perawat hingga para koas. Kasusnya telah sampai ke telinga pihak berwajib. Rekening atas namaku yang digunakan untuk menyimpan uang sumbangan mahasiswa menjadi sorotan, dan kini aku terjebak dalam lingkaran masalah yang semakin rumit. Aku tidak pernah merasa membuat rekening baru. Lagi pula, satu rekening saja dengan saldo yang sangat minim. Aku ingat percakapan dengan Martin tadi siang, saat ia menghampiri di ruang istirahat. Wajahnya pucat, penuh kecemasan yang tak biasa. Martin yang selama ini penuh percaya diri, kini terlihat hancur. Entahlah apa yang dilakukan Gading pada Martin. "Aya, aku tidak tahu siapa yang menjebak kita, tapi kau juga terlibat," katanya dengan nada mengancam. "Nama rekening itu atas namamu, dan sekarang kau akan ikut terseret." Kata-katanya masih membekas di kepalaku. Aku ingin marah, tapi di sisi lain, aku juga merasa takut. Bagaimana bisa aku terlibat sejauh ini tanpa pernah menyadarinya? Seenaknya saja Martin membuat tuduhan itu. Beban kerja dan beban pikiranku semakin bertambah saat ini. Malam itu, aku duduk di sudut kafe, menunggu Gading. Kafe itu agak sepi, hanya beberapa orang yang duduk di meja terpisah, asyik dengan obrolan atau secangkir kopi mereka. Di luar, hujan rintik-rintik membasahi trotoar, menambah kesan dingin yang menyelimuti suasana. Nahas, aku saat ini merasa sangat lapar. Gading datang tepat waktu. Ia terlihat lebih tenang dari biasanya, tapi matanya memperlihatkan ada sesuatu yang mengganjal. Tanpa banyak basa-basi, ia duduk di hadapanku. Gading tersenyum padaku dengan tulus. "Aya," suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. "Aku ingin menjelaskan sesuatu." Aku mengangguk pelan, bersiap mendengarkan. "Aku tahu kau bingung dengan semua yang terjadi," lanjutnya. "Tapi percayalah, Martin sendiri yang membawa masalah ini ke pihak berwajib. Aku tidak ada kaitannya dengan itu." Aku kaget saat mendadak Gading menjelaskan hal itu. Laki-laki itu menjelaskan dengan santai. Akan tetapi, penjelasannya justru membuat aku bertanya dalam hati. Aku tidak sampai hati bertanya pada Gading saat ini. Kata-katanya membuatku tersentak. "Tapi... bagaimana bisa? Bukankah Martin mengancamku? Mengapa dia melaporkan dirinya sendiri?" Gading tersenyum miring, seolah ada sesuatu yang lucu dalam pertanyaanku. "Martin panik. Dia tidak berpikir jernih. Mungkin dia pikir dengan melibatkan pihak berwajib, masalahnya bisa diselesaikan. Tapi, sekarang semuanya malah berbalik menjeratnya." Aku menatap Gading, mencoba membaca ekspresinya. Ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang tidak benar-benar dijelaskannya. "Kau yakin tidak ada yang kau sembunyikan, Gading?" Dia menarik napas dalam, tampak mempertimbangkan jawabannya. "Aku tahu kau mencurigaiku. Tapi percayalah, Aya, aku bukan orang yang kau pikirkan." Aku mendesah, lelah dengan semua teka-teki ini. "Bagaimana aku bisa percaya padamu kalau semuanya tidak masuk akal? Kau bahkan tidak berada di sini beberapa hari yang lalu. Lalu bagaimana semua ini bisa terjadi?" Gading menatapku dalam-dalam. "Kadang, hal-hal terjadi di luar dugaan kita, Aya. Tidak semua bisa dijelaskan dengan mudah." Ucapan Gading memang ada benarnya juga. Memang aku tidak perlu banyak tahu banyak hal di luar pekerjaan dan kuliah. Kadang, apa yang terjadi membuat pikiran ini kacau dan tidak tenang. Aku hanya ingin menyelesaikan PPDS ini dengan cepat dan kembali bekerja. Percakapan kami terhenti sejenak, sebelum aku bertanya lagi. "Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di rumah sakit? Mengapa semua orang seolah-olah saling menuding?" Gading menggeleng pelan. "Ada permainan besar yang sedang terjadi, dan sayangnya, kau terjebak di dalamnya. Martin, ayahnya--Praja, bahkan para pejabat fakultas... mereka semua terlibat." Kata-kata Gading menambah ketakutanku. "Praja? Ayah Martin?" "Ya. Praja turun tangan untuk membersihkan namanya. Dia tidak ingin reputasinya hancur karena ulah anaknya. Tapi sekarang, Martin menjadi kambing hitam. Dia diancam tidak akan dibiayai kuliah lagi, dan kau tahu seberapa tergantungnya dia pada uang ayahnya." Aku terdiam. Bayangan Martin yang penuh ketakutan tadi siang muncul kembali di pikiranku. Martin yang selama ini selalu terlihat angkuh dan percaya diri, kini tampak seperti anak kecil yang kehilangan arah. "Aku tidak tahu harus berbuat apa," gumamku. "Semua ini terlalu cepat." Gading menatapku dengan tatapan penuh simpati. "Aku akan melindungimu, Aya. Apa pun yang terjadi, aku akan memastikan kau tidak terlibat lebih jauh." Kata-katanya seharusnya membuatku tenang, tapi entah kenapa ada perasaan lain yang muncul. Gading selalu ada di saat yang tepat, seperti tahu apa yang harus dilakukan. Tapi... apa dia benar-benar jujur padaku? Entah mengapa, aku ingin mendengar kejujuran dari Gading. Aku menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan keraguan itu. "Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang?" "Kau harus tetap tenang dan fokus pada pekerjaanmu. Biarkan aku yang menangani sisanya," jawab Gading mantap. Aku hanya bisa mengangguk. Di dalam hati, aku berharap semua ini segera berakhir. Masalah Martin, ancaman Praja, rekening atas namaku—semua terasa seperti jebakan yang tak pernah kulihat datang. Jujur, semua yang terjadi membuat mental ini jatuh. Beberapa hari berlalu, dan situasi di rumah sakit semakin memanas. Berita tentang penyelidikan kasus Martin menyebar ke mana-mana. Para dokter, perawat, residen, dan koas terus membicarakan hal itu di lorong-lorong rumah sakit. Setiap kali aku berjalan melewati mereka, aku bisa merasakan tatapan penuh tanya, seolah mereka tahu aku terlibat. Pada saat yang sama, hubungan antara Martin dan ayahnya semakin memburuk. Aku mendengar desas-desus bahwa Praja telah mengancam untuk memutuskan segala bantuan finansial jika Martin tidak segera membersihkan namanya. Ancaman itu membuat Martin panik, dan aku bisa melihat kecemasannya setiap kali kami bertemu di ruang praktik. Hanya saja, aku tidak bisa membantu, toh masalah itu timbul karena ulah Martin sendiri. Hari ini, setelah shift panjang, aku mendapati Martin duduk sendirian di bangku taman belakang rumah sakit. Wajahnya kuyu, dan matanya tampak kosong. Aku ragu untuk menghampirinya, tapi ada dorongan yang tak bisa kutolak untuk setidaknya berbicara dengannya. "Martin?" panggilku pelan. Ia menoleh, menatapku dengan pandangan lesu. "Aya." Aku duduk di sebelahnya, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara kami sebelum akhirnya bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi, Martin? Mengapa semuanya bisa seburuk ini?" Martin menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. "Aku tidak tahu. Aku hanya mencoba keluar dari masalah ini, tapi semakin aku berusaha, semakin aku terjerat." "Tapi kenapa kau melaporkan diri sendiri?" tanyaku heran. "Itu hanya membuat semuanya semakin buruk." Martin menggeleng. "Aku panik. Ayah terus menekanku, dosen dan dekan juga. Aku pikir dengan melaporkan diri, aku bisa mengalihkan perhatian mereka dari masalah uang itu. Tapi sekarang, semuanya berbalik." Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang dikatakannya. "Dan sekarang?" Martin tertawa pahit. "Sekarang, aku harus menghadapi ayahku. Dia tidak akan memaafkanku jika aku gagal keluar dari masalah ini." Kata-katanya membuatku merasa iba. Martin, yang selalu terlihat begitu kuat dan berkuasa, kini hanyalah seorang anak yang ketakutan akan kehilangan dukungan dari ayahnya. Aku tahu bagaimana rasanya berada di bawah bayang-bayang ekspektasi orang tua, tapi ini... ini jauh lebih rumit. "Apa yang bisa aku lakukan untuk membantu?" tanyaku tulus. Martin menatapku dengan pandangan penuh harap, tapi sebelum ia sempat menjawab, suara langkah kaki mendekat. Aku menoleh dan melihat Gading berdiri di sana, dengan tatapan serius yang tak biasa. "Maaf mengganggu," katanya dingin, "tapi kita perlu bicara, Aya." Suasana berubah dingin, dan aku tahu percakapan kami tidak akan mudah. Gading menatap Martin dengan tatapan sangat dingin. Gading tidak tahu, aku sengaja mendekat pada Martin agar hukuman itu sedikit berkurang. Menjadi penarik uang iuran itu sangat berat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD