1. Pelarian Dalam Bahaya
Malam itu aku benar-benar merasa frustasi. Rumah sakit yang seharusnya menjadi tempatku belajar dan berkembang justru terasa seperti neraka. Para senior, yang seharusnya membimbing, malah mempersulit dengan segala tuntutan tak masuk akal. Pekerjaan yang menumpuk, shift yang melelahkan, dan keharusan memenuhi kebutuhan pribadi mereka.
Seperti hari ini, aku diminta membelikan delapan puluh nasi box, dan itu pun harus dikeluarkan dari kantong pribadiku. Tak cukup sampai di situ, aku juga diwajibkan membayar uang bulanan empat puluh juta rupiah agar bisa lancar menempuh spesialis anestesi ini. Di mana logikanya?
Aku memutuskan untuk kabur, setidaknya untuk malam ini. Aku butuh udara segar, aku butuh berpikir dengan kepala dingin. Kupandangi layar ponsel yang penuh dengan notifikasi tagihan, lalu mematikannya. Aku tidak ingin memikirkan apa pun sekarang.
Langkahku membawaku ke sebuah gang sepi di belakang rumah sakit. Gang ini biasanya sepi pada malam hari, tempat yang tepat untuk menyendiri. Tapi malam ini, suasana aneh menyelimuti gang itu. Ada suara gaduh dari kejauhan, membuatku berhenti dan merapat ke tembok. Nahas, salah satu dari mereka tertembak dan banyak pasang mata menyadari keberadaanku.
“Siapa kamu?” tanyanya dingin dan tampak tidak suka.
Aku menelan ludah, mencoba merangkai kata-kata. “Aku... aku cuma dokter. Aku tidak sengaja lewat,” suaraku bergetar, lebih terdengar seperti bisikan.
“Dokter, ya?” Dia memandangku dari ujung kepala hingga kaki. “Bagus. Teman kami terluka. Kamu bisa menyelamatkannya?” tanya pria itu dengan nada dingin tersirat penuh harap agar aku mau menolongnya.
“Aku butuhkan peralatan,” kataku akhirnya, mencoba bersikap tegas meski seluruh tubuhku masih gemetar.
Pria itu tersenyum sinis. “Kami akan sediakan peralatan. Sekarang, selamatkan dia.”
Titah pria itu sama sekali tidak bisa ditolak. Aku takut jika nyawa ini menjadi taruhan. Masih banyak harapan dalam hidup yang tentu belum terwujud. Lelah? Jangan ditanya, harapanku seolah hanya tinggal kenangan saat ini.
Aku berjongkok di samping pria yang terluka. Detak jantung ini tak teratur. Akan tetapi tetap berusaha tetap fokus. Kupikirkan langkah-langkah yang harus kuambil. Dengan tangan gemetar, tangan ini menekan luka di perut pria itu untuk menghentikan pendarahan.
“Dia butuh dibawa ke rumah sakit. Kalau tidak, dia akan mati,” kataku tegas, menatap pria berjaket kulit.
Wajahnya mengeras. “Tidak bisa. Kami tidak bisa membawa dia ke rumah sakit. Kamu harus pastikan dia bertahan di sini.”
Aku menggeleng. “Tanpa peralatan medis yang lebih lengkap, dia tidak akan selamat. Aku dokter, bukan tukang sihir.”
Dia mendekat, tatapannya mengintimidasi. “Kamu harus pastikan dia hidup. Apa pun caranya.”
Ucapannya membuatku tidak punya pilihan. Saat itu, langkah kaki lain terdengar mendekat. Dari arah belakang, seorang pria lain muncul. Posturnya lebih besar, dan ada sesuatu yang berbeda darinya. Dia tidak langsung terlibat dalam pertikaian, tetapi jelas dari caranya berjalan, dia bukan orang biasa.
“Ada apa di sini?” tanyanya, suaranya tenang, tetapi tegas.
Pria berjaket kulit menoleh. “Teman kami terluka. Dokter ini sedang menolongnya.”
Aku mendongak dan menatap pria baru itu. Wajahnya terlihat dingin, tetapi matanya menyimpan sesuatu yang sulit kumengerti. Dia memandangku sejenak, lalu berbicara dengan pria berjaket kulit. Dari cara berbicara pria itu, aku memahami satu hal, situasi di sini sangat menyeramkan.
“Kita tidak bisa bertahan di sini lebih lama. Bawa yang terluka ke tempat aman.” Pria yang baru saja datang itu memberikan perintah pada banyak orang.
“Tapi ...”
Pria besar itu menatapku lagi, kali ini lebih lama. “Kamu ikut dengan kami. Kita butuh kamu untuk pastikan dia hidup.”
Aku menelan ludah. Tidak ada pilihan lain.
“Apa aku punya pilihan lain?” tanyaku, mencoba terdengar tegar.
Dia tersenyum tipis. “Tidak.”
Jawabannya sangat tegas. Bulu kudukku merinding. Ini lebih menyeramkan daripada saat bertemu dengan hantu. Mereka bisa saja menghilangkan nyawa manusia tanpa belas kasihan. Aku tidak mau hal ini terjadi.
Dengan berat hati, aku mengikuti mereka. Suasana tegang masih menggantung di udara. Aku tahu malam ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang pernah kubayangkan. Aku, Gayatri Puspitarini, seorang residen, kini terjebak dalam dunia yang gelap dan berbahaya.