0.2

1422 Words
Anak-anak di halaman depan saling berpandangan bingung. Permainan perang-perangan terhenti karena teriakan Bunda memanggil kakak kesayangan mereka yang berlari. Sedangkan di ambang pintu, seorang pria menatap sendu punggung Hilara yang menjauh. Tanpa bertanya pun mereka mengerti, masalahnya berasal dari kantor Bunda. "Kak—“ Adit hendak mengejar Hilara, tetapi Tera mencekal tangannya. Tera menggeleng, akibatnya Adit terpaksa membiarkan Hilara hilang dari balik bangunan. Semua orang tahu kebiasaan Hilara dari kecil. Kalau sedang sedih, dia akan berdiam diri di bawah pohon belakang panti. Tempat menyeramkan itu bagi Hilara sangat nyaman. Tiba di sana, Hilara merasakan hantaran kehangatan dari senyuman wanita tua bersanggul di bawah pohon belakang panti. Wanita itu menyambut kedatangannya. Seiring langkahnya yang semakin cepat, tangisannya semakin deras. Di atas pangkuan wanita itu, Hilara merebahkan kepala. Usapan demi usapan tangan keriput Nek Poh--Hilara memanggilnya bergitu--berhasil mendatangkan kantuk.  Ketenangan didapatnya, perlahan melempar Hilara ke atas rumput-rumput hijau. Hilara yakin sedang berada sebagai dunia lain. Dunia imajiner atau potongan ingatan yang terkubur ribuan hari. Kolam di dekat pohon sangat jernih, ikan-ikan berenang saling berkejaran. Seingat Hilara kolam belakang panti dari lama mengering. Bunda menggantinya dengan puluhan polibag sayuran. Di dunia imajiner ini semuanya terasa aneh. Hilara melihat pantulan dirinya sendiri di atas permukaan air. Namun, berwujud anak kecil yang memakai gaun merah, mungkin usianya baru lima tahun. Apa itu dirinya waktu kecil? Hilara memperhatikan refleksi di permukaan air itu. "Lara!" Dari arah gerbang panti, seorang lelaki mengenakan kemeja kotak-kotak melambaikan tangan. Di bahu kanan lelaki itu menggantung tas ransel hitam. Sepertinya ia baru saja pulang dari tempat jauh. Hilara membalas lambaian itu penuh kerinduan. Entah kenapa rasanya sangat senang melihatnya datang. Orang itu berjalan mendekat. Jarak di antara mereka perlahan terpangkas. Wajah lelaki itu menjadi jelas. Sontak mata Hilara membulat. Sebelum penglihatannya buram diserbu gelembung-gelembung air, orang itu menjatuhkan ranselnya asal, berusaha menggapai tubuh mungil Hilara yang melayang ke atas kolam. Namun terlambat, Hilara tenggelam dalam kegelapan tanpa ujung. Hilara terus menjauh, hingga secercah cahaya menyambutnya. Kernyitan kedua alisnya menandakan terganggu oleh suara-suara sekitar. Samar-samar seseorang mendekat diterpa sinar redup matahari. Begitu membuka mata, gumpalan awan bergerak cepat meninggalkan dia. Tapi sepertinya bukan awan, jika dilihat baik-baik sebenarnua ia yang bergerak meninggalkan awan terlalu cepat. "Lu, ok?" Raut khawatir Juna mengembalikan kesadaran Hilara. "Om Juna?" Hilara menepis tangan laki-laki itu. Sekelilingnya bukan lagi lahan kosong dan pohon jambu. Sabuk hitam melilit tubuhnya pada kursi. Ia berada dalam mobil yang melaju kencang. "Om nyulik aku?" Juna menarik tangannya kecewa. "Masa ada bapak nyulik anaknya. Kita mau ke kota, biar lo melek dunia." "Kenapa aku bisa di sini?" Panah papan informasi menunjuk arah ibu kota. Ini sudah sangat jauh dari panti. "Om!" "Tadi lo ketiduran dari bawah pohon, gue gendong ke dalam mobil. Sengaja ya pura-pura tidur biar digendong orang ganteng?" Hilara memijit pelipis, enggan membalas candaan Juna. Ia merutuki kebiasaannya tiduran di bawah pohon. Mengapa juga Bunda tidak menahannya pergi? Apa Bunda sudah menyerah? Bagaimana dengan Tera? Ah, pasti dia kecewa Hilara melanggar janji mereka. "Turunin aku sekarang juga. Turun!" "Kita lagi di jalan tol, Neng," desah Juna berusaha sabar. "Enggak peduli. Aku mau pulang. Berhenti atau aku lompat?" "Coba aja." Juna tersenyum licik. "Enggak sabar nyampe rumah ya? Sebentar lagi kita sampai di tempat pulang kok. Pulang ke rumah gue yang sekarang rumah lo juga. Panti bukan tempat pulang, Lara ...." Lara. Rahang Hilara gemertak. Panggilan itu sering terdengar dalam mimpi. Hilara sampai melukis pria yang memanggilnya "Lara" dalam mimpinya itu. Kalau tahu pria itu semenyebalkan Juna, Hilara akan pikir-pikir ulang melukisnya. “Kita pernah ketemu sebelum ini?” Hilara lelah berontak. Sedih juga akhirnya meninggalkan panti tanpa pamitan. Hilara tidak bisa berhenti memikirkan Tera. Pasti sahabatnya itu merasa dikhianati. "Waktu lo bayi,” jawab Juna enteng, kemudian dia menoleh sebentar karena suasana tiba-tiba mencekam. Gadis di samping terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Apa jawabannya salah? Tanyanya pada diri sendiri. Hilara tidak kaget, mana mungkin Juna menengoknya selama 16 tahun ini. "Rumah itu tempat keluarga. Om cuma orang asing. Kenapa sih Om seenaknya sama hidup orang lain?" Hantaman telak mengenai mengenai ulu hati Juna. Orang asing? Tangannya pada stir mengerat. Di balik matanya yang terfokus pada jalanan, dia menerawang jauh pada masa di mana ia menaruh bayi mungil di teras panti. Waktu itu masa-masa terpelik dalam hidup Juna. "Gue bapak lo, ya. Jangan lupakan kenyataan tanpa gue, lo enggak akan pernah ada," peringat Juna. "Aku enggak pernah minta jadi anak Om." "Terus? Lo pikir gue pernah minta jadi bapak lo, gitu? Songong, ngeyel, enggak sopan sama orang tua ...," Juna tercekat mendengar isakan kecil Hilara. “cengeng,” tambahnya hampir tak terdengar. Dua kali sudah hari ini dia buat putrinya menangis. Putri? Bahkan setelah mangkir belasan tahun,  ia masih belum siap jadi seorang ayah. "Om enggak sadar Om itu ngeselin? Denger Om napas aja bawaannya kesel." Hilara membuang muka. Pipinya basah diusap kasar. Sebenarnya Juna ingin mengusap rinai di pipi Hilara. Keberaniannya tak sebesar itu. Ia hanya mampu menggeser kotak tisu, itu pun diabaikan Hilara. Semua yang diperbuat Juna untuk Hilara sepertinya selalu salah. Mencoba jadi orang baik ternyata susah. Juna bersandar pada punggung kursi setelah menyalakan tape. Hilara menoleh, itu musik Korea kesukaannya. *** Satu jam terakhir hanya ada hentakan musik menemani pemikiran mereka. Juna seolah tak peduli, kepalanya mengangguk-angguk ikuti irama. Diam-diam Hilara memperhatikan tingkah Juna asik sendiri. Gadis itu mendengkus, aneh pada manusia di sampingnya masih bisa bersenang-senang. "Ish!" Hilara menepis jemari nakal Juna yang menjawil dagunya. Juna tertawa puas, berusaha yakin bahwa keputusan membawa Hilara pergi sudah benar. Setelah ini mereka akan bersama selamanya. Belasan tahun Juna menunggu momen bersama anak. Semua akan baik-baik saja sekarang. Iya, ini sudah benar, semua akan baik-baik saja. "Yuk, turun." Juna membukakan pintu. Hilara melihat sekeliling lalu pada Juna yang berdiri sok keren mengenakan kacamata hitam. "Udah sampai?" "Belum. Kita makan dulu. Perjalanannya masih jauh. Jangan coba-coba kabur. Soalnya lu yang bakal rugi. Tempat ini jauh banget dari panti, jauh dari mana-mana. Salah-salah bakal hilang tanpa tahu jalan pulang." "Iya, iya,” balas Hilara biar cepat. Ayahnya ini bawel sekali. Lagi pula mana berani dia kabur. Tempatnya terlalu asing begini. Mengikuti Juna adalah jalan terbaik untuk sekarang. "Enggak ribet makan pakai kacamata?" Tunjuk Hilara menggunakan tulang ayam setelah beberapa lama mereka duduk berhadapan, risih diperhatikan Juna terus. . "Makan pakai tangan lah," kekeh Juna menjawil dagu Hilara lagi. "Bercanda, Sunny ...." Makanan di piring Juna masih utuh. Daritadi yang dilakukannya hanya bertopang dagu menjadikan kegiatan Hilara makan sebagai tontonan. Juna memindahkan ayam gorengnya ke piring Hilara lagi. Satu alis Hilara terangkat, setengah kesal sikap Juna berlebihan sekaligus senang bisa makan banyak daging ayam tanpa khawatir adik-adik panti tidak kebagian.  "Gue pake ini, " Juna menurunkan sedikit kacamata hitamnya, "karena gue model terkenal. Kalau ada lambeturah cekrek-cekrekin kita makan berdua di sini kan malu." "Oh, jadi Om malu makan sama aku?" "No, big no. Anak gue cakep gini, masa malu. Maksudnya tuh, gue cuma enggak mau headline gosip besok pagi jadi : Arjuna Widarsona Model Kelas Kakap Ngajak Anak Makan di Pinggir Jalan." Matanya mengedip genit. "Gue, kan, kalau diibaratkan hotel, kelas bintang lima." "Sombong!" ketus Hilara, jika diperhatikan lagi wajah Juna agak familiar. Betulan dia punya punya ayah model? Hilara menggeleng bodo amat. "Terus kenapa Om enggak makan? Daritadi kerjaannya mindahin ayam ke piring aku terus." "Cie ..., peduli. Lihatin lo makan aja gue kenyang, La. Ayo makan lagi yang banyak. Mau pesan lagi boleh. Mau beli sama tempat-tempatnya juga gue sanggup beli. Gue tau selama tinggal panti, jarang banget lo makan enak-enak gini, 'kan? Sekarang lo sama gue, hidup lo terjamin. Puas-puasin deh, selagi ada." "Selain menghina Om bisa apa lagi, sih?" Kontan Juna tertawa keras, sangat keras sampai pengunjung lain melirik meja mereka dengan ganas karena terganggu. Habis anaknya ini terlalu menghibur. Biasanya tingkah Bloody yang menghibur. Kucing gemuk itu ..., Juna tak sabar memperkenalkan Bloody pada Hilara. "Lo tuh cetakan emak lo banget. Jujurnya ngeselin. Haha." Juna memegang perutnya sakit. Makanan di tangan Hilara kontan mengambang di udara menatap tawa lepas Juna. "Aku punya Mama?" “Eh?” Sadar pembicaraannya melewati rambu-rambu, tawa Juna berubah menjadi batuk kering. Segelas minuman diteguknya sampai habis. "Om?" tuntut Hilara menunggu jawaban, Juna sampai meringis wajah di depannya sangat serius. "Ya punya. Masa gue bikin lo sendirian ah." Hilara menghela napas. Ayahnya memang tampan, tapi lama-lama jengah juga sama tingkah menyebalkannya. Mengabaikan wajah tengil Juna, Hilara terus mendesak. "Kenapa Mama enggak jemput aku bareng Om?" "Udah ..., cepet makannya. Bentar lagi gelap. Kita harus lanjut jalan." Juna mengelak.  Sambil menggigit paha ayam, Hilara mencium ketidakberesan. Ia merasa Juna menyembunyikan sesuatu darinya. Ini terlalu mencurigakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD