0.3

1548 Words
Kamar pemberian Juna ini mampu menampung sepuluh anak. Lemari, meja belajar, bahkan ada kamar mandi pribadi juga. Di panti boro-boro begini. Kamar mandinya hanya ada dua. Setiap pagi pasti terjadi antrian panjang. Terbiasa berbagi lalu memiliki semuanya sendiri rasanya sangat aneh. Bila adik-adiknya dari panti ikut, sudah dipastikan tempat tidur yang empuk itu dipakai wahana loncat-loncatan. Hilara jadi teringat tingkah lucu mereka.  Hilara menghela napas, sekarang hidupnya akan berubah. Meski belum tahu apa perubahan itu lebih baik atau sebaliknya.  Lama memandang putaran jam, bukannya mengantuk malah lapar. Lewat tengah malam Hilara keluar kamar. Rasa lapar mendorongnya mengendap-endap seperti maling. Mungkin dia akan mendapatkan sesuatu yang bisa mengganjal perut. Tapi saat membuka kulkas, Hilara kecewa. Katanya orang kaya, kulkas di apartemen Juna isinya botol air dingin semua. Hilara cukup bahagia menemukan mi instan dalam sebuah lemari. Sebenarnya ini dapur atau bukan sih? Tidak ada kompor. Saat Hilara hampir menyerah mencari keberadaan kompor. Juna datang entah dari mana menunjukkan sumber api. Ternyata kompornya menyatu dengan meja keramik itu. Lagi-lagi Hilara terkagum. "Susah banget ya bilang lapar?" kata Juna sambil menguap lebar. Dia baru saja terlelap, suara berisik membuatnya kembali terjaga. Ternyata anaknya kelaparan. Terbiasa hidup sendiri membuat Juna kurang peka sama perut orang lain. Di tengah kantuk yang semakin berat, Juna menemani Hilara makan di ruang tengah. Mereka menonton film-film Disney dari saluran langganan. Pilihan filmya banyak sekali. Kekaguman Hilara pada saluran berlangganan itu dijawab Juna seperlunya. Dia agak pendiam kalau mengantuk begini. Akhirnya Juna tertidur lebih dulu di atas karpet tebal dengan mulut menganga. Hilara jadi kasihan, Juna kelihatan lelah. Ia selimutkan kain di sofa pada tubuh Juna lalu kembali ke kamar. Hilara diam sejenak menatap gambar yang tertempel di depan pintu kamarnya. "Gue pikir pintu kamar anak harus ada tempelan-tempelan gitu. Berhubung gue lupa nanya ke Bunda lo suka karakter apa, jadi gue tempel gambar Rapunzel. Tadinya mau Iron Man, tapi kata Bahar 'Anak lo kan cewek!'. Emang lo enggak suka Iron Man, La? Suka, 'kan? Udah gue juga, selera kita sama," ujar Juna saat Hilara pertama kali menginjakkan kaki di sana. Katanya Juna sendiri yang menghias ruangan itu khusus untuk Hilara. Langsung terbayang Juna sedang mencat setiap sudut kamar dengan warna merah muda. Hilara terkekeh, lalu halusinasi itu perlahan membuatnya terlelap. Tak lama bunyi berderit-derit membangunkannya. Angka digital pada kotak di atas nakas menunjuk angka enam. Baru tiga jam dia tidur. Hilara menggeliat mendekati asal bunyi berderit-derit di jendela. "Pagi!" sapa Juna mengagetkan. Kucing putih mengekorinya. Kemarin Juna mengenalkan sebagai Bloody. Tanpa rasa bersalah telah mengagetkan Hilara, Juna melempar tas-tas belanjaan ke atas tempat tidur. "Ini apa?" Hilara membuka satu per satu. "Seperangkat alat sekolah. Oh iya, besok mulai sekolahnya. Gue enggak sabar nganter lo sekolah." Sambil mengelus Bloody, Juna tersenyum membayangkan dirinya keluar mobil mewah mengantar anak sekolah. Mendadak Juna kepikiran mau pakai baju mana untuk besok. "Kok seragamnya enggak putih-abu? Aku kan, SMA, harusnya putih-abu." Halusinasi Juna sebagai seorang ayah seketika buyar. "Harus banget putih-abu?" "Om enggak pernah SMA emangnya? Putih-abu, 'kan?" Kepalanya digaruk tak gatal. Punya anak ternyata ribet. "Bahar bilang sekolah ini paling mahal. Mungkin seragamnya juga beda," kata Juna bangkit dari sofa memperhatikan Hilara membolak-balikan baju sekolahnya dengan kecewa. "Atau mau ganti ke sekolah putih-abu juga enggak masalah. Tinggal suruh si Bahar cari sekolah lagi." "Enggak usah!" tolaknya, Hilara kaget sendiri ucapannya ketus begitu. "Jangan ngambek dulu, ini masalah kecil bisa diatasinya cepat." Juna mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang, tak lama dia berdecak. "Si Bahar kemana lagi. Kalau lagi butuh suka pura-pura sibuk!" "Enggak usah Om .... Aku mau kok masuk sekolah ini." Melihat bagaimana Juna begitu membanggakan dunianya. Bukan mustahil biaya sekolah pun sudah lunas sampai hari kelulusan. Hilara takut mendengar berapa angkanya. "Mikir apa lo? Anak kecil itu tugasnya ..., satu, belajar. Dua, pinter. Soal mikir aneh-aneh mah tugasnya orang dewasa." "Aku mikir apa emang?" "Dilihat dari muka susah lo sih kayaknya ... soal biaya." Juna baru saja duduk di sampingnya. Sayup-sayup ponsel Juna mengeluarkan suara operator. Hilara berdecak, pikirannya berhasil ditebak. Memang mukanya sesusah itu ya? "Kalau misalnya pindah, gimana sama biaya yang udah keluar?" tanya Hilara hati-hati. "Seriously, Lara? Yang lo pikirin dari tadi soal biaya? Enggak percaya banget sih punya bapak tajir." Juna melempar ponselnya ke atas tempat tidur, kesal tidak kunjung dijawab sama orang di seberang telepon. "Bukan gitu. Aku--" "Nih, ya denger. Segede apapun uang yang perlu gue keluarkan asal buat lo mah enggak masalah. Gue kerja juga buat lo ini. Jangan tanya alasannya kenapa, karena lo tau jawabannya : Hilara anaknya Arjuna, titik." Ditatap sebegitu dalam, Hilara memalingkan muka. Matanya perih lagi. Baru kali ini ada orang yang bilang semua yang dilakukan demi Hilara. Juna menepuk pelan pucuk kepala gadis di sampingnya. Mulai hapal sama kecengengan anak itu. Gampang tersentuh, gampang menangis. Percis seseorang yang ia kenal.  "Jadi sekarang, cukup pikirkan kenyamanan lo aja. Yang sekolah, kan, elu. Artinya dunia lo bakal baru, gue cuma tinggal tumpang kaki, nerima raport akhir semester, sama cari uang jajan. Beres." "Ya, udah. Sekolah ini aja." "Cepet banget mikirnya. Kita enggak lagi cerdas-cermat loh." "Tuh, ‘kan. Sebenarnya Om tuh yang bikin aku plin-plan!" pungkas Hilara beranjak dari kursi. Bantingan pintu kamar mandi mengejutkan Juna. Di atas sofa, Bloody mengeong kaget mendengar bantingan.  "Bloody kaget ya? Sabar ya nanti Ayah jinakin Kak Lara," kata Juna memangku kucingnya keluar kamar dibalas meongan Bloody. "Good boy." *** Melihat Hilara murung di depan jendela, Juna berinisiatif mengajaknya ke tempat pemotretan. Sampai lokasi, Hilara enggan ke luar mobil. Malas katanya jika nanti orang-orang menanyakan siapa dia mengikuti Arjuna Widarsona terus. Terlebih Bahar—manajer Juna--tampak tidak menyukai kehadiran Hilara dari awal. "Kalau orang-orang tahu siapa aku, gimana? Emangnya enggak akan bawa masalah buat karir Om?" Bukannya dia peduli pada karir Juna. Tapi Juna betulan model. Sebelum berangkat ke sini Hilara sempat melihat iklan pencuci muka pria yang modelnya mirip Juna. Di perjalanan juga wajah Juna tersenyum cool dibilas air terpampang di baligo-baligo. Membayangkan dunia tahu ayahnya seorang model kenamaan sangat menyeramkan bagi Hilara. "Ya masalah," sahut Juna bikin Hilara melotot. "Tapi masalahnya bagus. Dengan adanya lo bakal naikin nama gue. Orang-orang bakal ngomongin. Semakin digosipin, semakin populer, semakin banyak uang datang. Makanya, yuk, ke studio. Siapa tahu mereka tertarik jadiin anaknya Juna model juga." "Enggak. Aku enggak mau jadi model. Aku di sini aja," keukeuh Hilara. Juna sadar keras kepalanya Hilara turun darinya. "Bah, lo jagain dia di sini deh.” Bahar yang daritadi bersandar pada mobil sambil melirik jam di tangan sontak berdiri tegak. "Kok gitu? Nanti yang nyiapin kebutuhan lo di dalam siapa? Kayak enggak sadar aja sendirinya ribet melebihi anak presiden." Yang satu tidak ingin diaku anak. Kini managernya ikut ngeyel. Juna mulai geram dan berkata, "Terus gue kudu gimana?!" Seruan orang dari studio mengalihkan perhatian mereka. "Bang Juna, take photo udah siap!" "Oke ....” Juna mengalah, di sisinya Hilara melipat tangan defensif. “Karena pemotretannya bakal lama, Bahar bakal ngecek keadaan lo sering-sering. Jangan sungkan minta apa-apa sama Bahar. Bah, jangan bikin anak gue kelaparan." Bahar yang kentara keberatan langsung bungkam begitu Juna menggerakkan telunjuknya di leher sembari melotot. Walau helaan napas Bahar terdengar penuh kekesalan, ia berlari kecil mengikuti bosnya. Juna juga keterlaluan mainnya ancam-ancam. Hilara, kan, tidak enak jadinya. Lihat saja setiap setengah jam sekali mesti Bahar bolak-balik parkiran dan gedung karena perintah Juna. Sedangkan Hilara menunggu sambil menghambur-hamburkan wifi super cepat milik Juna. Menonton drama Korea, keluar—masuk aplikasi, pokoknya semaksimal mungkin menggunakan ponsel baru pemberian Juna.  Gila! Ponsel yang biasa dilihatnya di tv, kini dalam genggaman Hilara. Kalau Tera tahu pasti dia dianggap ngepet ini. Padahal awal-awal mengetahui masih punya orang tua, Hilara sempat berpikir keluarganya dari kalang kurang mampu. Makanya ia berada di panti asuhan. Mengetahui betapa hidup Juna bergelimangan harta ... wah kesal sekali. "Mending jangan tahu daripada sakit," kata Juna sok misterius ketika Hilara memaksanya cerita tentang keberadaan ibunya. “Jangan bahas. Dia udah ninggalin kita.” Hilara melihat tatapan sedih Juna. Satu minggu tinggal bersama, Hilara hanya melihat Arjuna, Bahar, dan Bloody--kucing kesayangan Juna yang harus dianggap adik oleh Hilara. Identitas Arjuna seakan disembunyikan. Di internet hanya ditemukan tempat tanggal lahir dan beberapa film yang pernah dibintanginya. Tidak ada tentang keluarga. Sampai suatu malam Hilara menguping pembicaraan Juna dan Bahar di balkon apartemen. Mungkin memang sudah seharusnya Hilara berhenti mengungkit ibunya lagi. Seperti kata Juna, lebih baik tidak tahu. "Maaf, Om, aku ngerepotin." Bahar datang membawakan pizza dan minuman. Kunjungan ke empat Bahar ini mengaburkan lamunan Hilara. “Heum.” “Kalo toilet di mana ya, Om? Aku kebelet pipis.” Tanpa kata Bahar melengos pergi. Hilara mengikutinya ke gedung yang bagian luarnya seperti susunan potongan kaca. Banyak manusia hilir-mudik di dalam sana. Hilara kehilangan punggung Bahar di tengah keramaian. Tiba-tiba tubuhnya ditubruk seseorang, menyebabkan baju mahal dari Juna ketumpahan minuman coklat. Hilara mendongak. Mau marah, tapi ... gagal. “Sori, baju lo—-“ Kekesalannya menguap ketika melihat rupa si penabrak.  Mereka saling berpandangan cukup lama. Dalam hati, Hilara memuji ketampanan orang ini. Sadar terlalu lama tidak mengedip, mereka sama-sama memutuskan pandangan dan menunduk malu. “Nggak apa-apa kok, a-aku juga salah," aku Hilara. Bukannya marah, dia salah tingkah. Hilara memegang kedua pipinya begitu cowok jangkung--yang lupa ditanyai namanya siapa--hilang dari pintu kaca. Yang jelas, dia memakai seragam sekolah yang sama dengan seragam sekolah yang ditunjukkan Juna tadi pagi. Hilara jadi punya alasan pergi ke sana. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD