0.4

1383 Words
Terdengar jeritan histeris lagi. Kali ini diikuti suara barang-barang pecah membentur tembok. Di meja makan, pemuda bernama Lucas sedang menyantap sarapan bersama kedua orang tuanya pun menoleh. Langkah cepat para pekerja rumah menuju ke lantai dua mendatangi sumber suara sedikit menambah gaduh. Mereka tampak lebih sigap sekarang, mungkin karena terbiasa. Tak lama keributan di lantai dua berhenti. Entah mantra apa yang mereka lakukan. “Kamu menyalakan lagi tv di kamarnya?” Wanita di seberang meja dan suara kucuran s**u mengisi gelas mengembalikan perhatian Lucas. "Makan yang banyak, Sayang." Bukan hanya lantai atas, setiap ruangan di rumah ini dilarang menyalakan tv. Sejak lama pula majalah atau pun koran harian dilarang berkeliaran di ruang tamu. Pria bersetelan necis di ujung meja mengabaikan pertanyaan istrinya. Luna—-wanita itu justru menghela napas, beralih menaruh dua roti lapis di atas piring Lucas. “Gimana olimpiade matematikanya, Sayang?” Lucas mendongak seraya menatap lembut ibunya. “Masih berlatih sama tim, Mam.” Rambut panjang Luna ditata bergelombang pagi ini. Bajunya lebih rapi dari biasa. Biar Lucas tebak, kedua orang tuanya akan pergi ke suatu tempat. “Harus bawa pulang piala paling tinggi!” kata Suryasa tegas agar dianggap ultimatum keras. Matanya menatap tajam Lucas, kemudian menyesap teh herbal. Dua tahun terakhir, Suryasa menghentikan konsumsi kopi setelah masuk rumah sakit sebab diabetes. “Iya, Pi,” balas Lucas patuh. Selera makannya hilang tiap membicarakan prestasi akademik. Suryasa selalu menginginkan Lucas mengikuti segala perlombaan dan jadi pemenang. Ambisi Suryasa menjadikan Lucas seorang dokter seperti dirinya terkadang melewati batas. Luna menyadari wajah tampan sang putra diselimuti muram, tidak bisa berbuat banyak. “Papi menambahkan jam les. Desy akan mengurus ulang jadwal guru privat kamu. Fokus dulu olimpiade matematika. Papi dengar kamu mengikuti lomba instrumen piano?” Suryasa menghela napas saat mendapat anggukan Lucas. “Tinggalkan. Tidak ada keungtungannya juga. Belajar dari sebelum-sebelumnya, kamu kehilangan piagam emas dalam dua perlombaan sekaligus. Lebih baik memenangkan satu daripada tidak sama sekali.” Dan beban di pundaknya bertambah lagi. Kalau saja Lucas lupa masih punya Luna yang harus dijaga, dia ingin berdiri menyuarakan keinginannya sendiri. Namun dia sadar belum cukup kuat. Akhirnya Lucas melengos pergi meninggalkan ruang makan diikuti Luna. “Maaf ya, Sayang.” Luna melepas pelukan. “Harusnya tadi Mami enggak bahas olimpiade, jadinya kamu enggak selera makan, ‘kan?” Lucas membalasnya dengan senyuman lebar namun Luna yakin itu bukan hal bagus. “Mami ..., makanan buatan Mami itu paling enak. Biasanya aku nambah-nambah lagi, kan, makannya? Nah, hari ini aku buru-buru. Maaf ya, Mam. Lucas janji deh besok akan makan banyak!” “Besok sampai lusa Mami sama Papi ke luar kota, Sayang. Tapi janjinya harus ditepati lho.” “Besok?” Kedua alis Lucas menukik. “Iya, besok sarapannya sendiri enggak ap—-“ Perkataannya berhenti menyadari sesuatu, lalu Luna menutup mulutnya kaget. “Ya, ampun Mami lupa. Besok ulang tahun kamu ya, Nak?” Bukan hanya itu, Luna juga janji akan mengajaknya makan malam di rumah. Lucas mengangguk lesu. Bukannya dia sudah terbiasa meniup kue ulang tahunnya sendirian? Kenapa terus berharap lebih? “Ya, udah sebagai gantinya Lucas mau apa? Sebut aja enggak apa-apa. Mami akan bawain buat Lucas. Hm?” Luna berusaha membuat wajahnya jenaka agar putranya kembali tersenyum. Dengan cepat Lucas mengubah raut wajahnya, dia terkekeh. “Benaran apa aja? Kalo gitu ... Lucas mau Mami dan Papi pulang dengan sehat dan selamat.” “Oh, kesayangan Mami .....” Luna memeluk putranya lagi. Tak heran di mana pun dia berada, orang-orang akan datang mendekatinya. Lucas itu manis, selalu bisa menyenangkan hati orang lain. Mobil yang membawa Lucas pergi sekolah melaju. Tak sengaja Lucas bersitatap dengan seseorang di balik jendela lantai dua. Bukannya membalas lambaian tangan Lucas, orang itu malah menutup gorden rapat-rapat. Bersembunyi dalam kegelapan, menghindari uluran tangan siapapun yang menariknya dari dunia menyengsarakan itu.  Lucas mengulum senyum. Sepanjang perjalanan dentingan piano merambat pada dua kabel putih earphone di telinganya. Dia suka musik, tapi Suryasa tidak. Jadi dia harus menyingkirkan keinginannya. Di dunia hanya keinginan Suryasa yang harus diikuti, di luar itu jangan. Lucas menghela napas, lelah menjalani hidup tanpa punya pilihan. Sampai sekolah, dia harus cepat mengubah murung yang sempat singgah menjadi senyum lebar. Beberapa orang segera berlarian menjemput Lucas begitu mobil hitam itu berhenti di pelataran sekolah. Mereka menunggunya sejak pagi. Berbagai mimik wajah menyambutnya, sebagian besar terlihat lega. Seolah malaikat penolong mereka telah tiba. “Cas, event yang minggu kemarin udah close. Bu Gita minta kita kumpul.” “Anak SMA seberang minta kita tanding, Cas. Gimana?” “Jam kedua dadakan presentasi, Cas, kita gantiin kelompok lima.” “Pulang sekolah rapat di ruang OSIS, Cas. Tugas lo moderator.” “Cas, lo bisa bantu gue?” “Cas! Cas! cas!” Beginilah pagi Lucas setiap harinya. Baru saja menginjakkan kaki, langsung diberondong pertanyaan.  Kalau bisa, Lucas ingin sekali punya kemampuan membelah diri. Satu wakilinya di kelas, satu mengerjakan tugas-tugas dari ketua OSIS, satu di Club PMR, satu di Club Jurnalistik, satu di Club Pramuka, dan kalau bisa ia akan menaruh satu lagi yang paling jago olahraga di Club Basket. Salahnya juga mengikuti hampir semua club di sekolah, kecuali olahraga tentunya. Ia mengikuti Club Basket juga terpaksa, karena Suryasa menyuruhnya mengikuti minimal satu saja jenis olahraga. Alhasil, di Club Basket dia hanya jadi cadangan. Soal olahraga, jujur saja dia payah. Kepayahannya sering jadi cibiran para laki-laki karena apapun kesalahan Lucas di mata para perempuan di sekolah bukan masalah. “Oke, satu-satu ya ...,” ujar Lucas ramah menerima setiap kertas. Akhirnya mereka mengerumuni Lucas sampai kelas. Saling menyodorkan map maupun poster kerja agar dilihat Lucas. Kebaikan Lucas memang sering dimanfaatkan banyak orang. Anehnya Lucas tidak pernah menolak permintaan mereka. Pemandangan Lucas dikeliling banyak orang melewati lorong bagai pejabat yang diwawancara puluhan wartawan sangat mencolok setiap paginya. Siswi-siswi kelas 12 kerap menyapa Lucas dengan manja. “Hai, Cacas!” Lucas mengangguk sekilas. Sebagian orang mengeja namanya bukan Lukas, tapi Lucas. Bagi teman dekat malah “Cas” saja. Di antara semua orang yang membalas senyuman manisnya itu, seseorang mendelik jengah. Tapi Lucas membiarkannya, tidak semua orang menyukai dia. *** Tepat denting bel ke dua Lucas menggeliat di atas kursi. Penglihatannya buram akibat berjam-jam berhadapan dengan buku setebal balok kayu. Baru saja dia menyelesaikan tugas Biologi, sekarang tumpukan map di meja menantinya. Sepertinya di seantero SMA Deltaepsilon cuma Lucas manusia paling sibuk, kepala sekolah juga kalah. Ia tetap mengerjakan tugas ketika teman-teman sekelasnya sangat bahagia karena guru mata pelajaran berhalangan hadir. Anak-anak cowok berjingkrak-jingkrak berhasil memenangkan game, di sudut ruangan suara cempreng para cewek bertukar gosip terdengar sampai ke meja Lucas, posisi kursi dan meja sudah tak beraturan di mana Dodit dan Rian seniman amatiran memetik senar gitar. Ketua kelas sama kacaunya dengan mereka, bukannya meminta teman-teman tertib, Gibran malah gabung main game. Sejenak menikmati keramaian kelas, Lucas meraih minuman kotak di mejanya. Entah pemberian siapa, dia lupa. Di kolong meja masih banyak coklat, bunga, bahkan surat cinta pemberian cewek-cewek yang rutin mengirim setiap pagi. Biasanya jam istirahat semua itu akan bagikan pada teman-teman, kecuali surat cinta. Jika luang Lucas akan membacanya. Ketukan sepatu memasuki kelas. Hanya Lucas yang menyadari kedatangannya. Semua orang baru berlarian panik mencari bangku ketika Ibu Fadila memukul papan tulis. “Tolong perhatiannya!” Guru konseling itu melambaikan tangan ke arah pintu. Sesaat kemudian seseorang muncul dengan kepala menunduk. Dia terlihat ketakutan, lututnya agak bergetar. “Perkenalkan ini teman baru kalian. Namanya Hilara Aurora. Hila, ada yang mau disampaikan?” Hilara mengangkat wajah takut-takut. Seketika mulut Lucas sedikit terbuka. Wajah lugu gadis itu terpanggil dalam ingatannya di sore kemarin. Sekali lagi ia memastikan dan memang benar gadis itu yang ketumpahan minuman coklat miliknya. Decakan, suitan, dan berbagai suara yang mengagumi kecantikan gadis itu terdengar dari sebagain besar anak cowok. Mendapatkan tatapan semua orang yang seperti ingin memangsanya, Hilara menunduk semakin dalam. Lucas juga mengakui kecantikan Hilara. “Lo yang difoto ini, ‘kan?” teriak Serina tiba-tiba mengacungkan ponsel. Perhatian semua orang tiba-tiba beralih. “Guys, coba cek deh. Dia ini mirip banget sama cewek yang ketangkap jalan bareng Arjuna Widarsona. Sumpah!” Suasana kelas seketika ricuh oleh kabar itu. Denting notifikasi secara bersamaan mereka dapatkan. Serina mengirim sebuah tautan di grup kelas. Benar, berita Arjuna sedang jadi trending di sosial media. Sedangkan Hilara kebingungan di depan sana. Dia meremat kedua sisi rok, hampir menangis. Lucas ikut merasakan sendu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD