0.6

1404 Words
Hujan mengguyur ibu kota. Rintik hujan di kaca mobil, Hilara pandang sendu. Meresapi kesepian dan kehampaan. Juna betulan mengirim supir untuk menjemputnya dari sekolah. Tepat bel sekolah membubarkan semua anak, Hilara di sambut sebuah mobil mentereng berwana kuning. Beberapa orang yang melihatnya mendelik. Dikira mereka Hilara pamer mungkin. Padahal pemikiran begitu sama sekali belum pernah muncul di benaknya. Gedung-gedung tinggi di luar sana mengingatkan Hilara pada teman-teman baru yang dia temui hari ini. Mungkin mereka penghuni salah satu gedung itu. Sama seperti dirinya yang tinggal di gedung tinggi. Kalau dilihat dari sisi itu, harusnya mereka bisa berteman baik. Mereka beradu di level setara, bukan? Tetapi rasanya ada jarak membentang jauh antara Hilara dan mereka. Jarak itu mengatakan bahwa sekolah elit bukan tempatnya. Selamanya Hilara hanya anak dari panti asuhan.  Kata Deon tadi Hilara adalah uang baru, jadinya mereka berada di level berbeda meski kelihatannya sama. Deon juga bertanya jalan satu hari dengan Hilara harus bayar berapa. Hilara tidak mengerti arah pembicaraan Deon dan dua temannya itu. Yang jelas Hilara sakit hati dianggap perempuan bayaran. Mereka menertawakan hal-hal tidak pantas di depan mukanya. “Bulan lalu diskors seminggu, kali ini gue jamin manusia nggak berguna kayak lo keluar sekalian dari Deltaepsilon.” Suara itu menggema. Serempak tiga orang yang menakut-nakuti Hilara menoleh ke arah pintu. Sudut bibir Hilara tertarik bersamaan datangnya rasa terselamatkan. Pemuda yang sempat menabraknya di tempat pemotretan Juna berjalan santai memasuki kelas. Gayanya tak gentar oleh jumlah lawan. Tangannya dimasukkan ke dalam saku membuat penampilannya tampak berani. Ditambah mata berkilat gelap, terkesan ramah tapi mengancam. Siapapun akan dibuat bergidig. “Lo tahu, kan, gue selalu serius sama omongan gue?” katanya lagi menatap tajam Deon. Deon terkekeh sinis, menurunkan kakinya dari meja. Melihat kedua cowok itu saling berhadapan siap menerjang, teman-teman Deon siap di posisi menggepalkan tangan. Seakan bila terjadi sesuatu, mereka tinggal menyerang. Hilara merasakan debar tak karuan, takut melihat adegan perkelahian. Akhirnya Deon memutar matanya jengah. Persitengangan tanpa kata itu dipungkas dengan beranjak dari meja. Deon menubrukkan bahu pada orang itu seraya berkata. “Nggak asik lo!” Diikuti dua penggawa setia, Deon hilang di balik pintu kelas. Hilara mengembuskan napas yang sempat tertahan. “Makasih," ucapnya pada sang pahlawan. Sepeninggalan Deon dan kawan-kawan, lelaki itu berdiri canggung. “Lo nggak apa-apa, ‘kan?” tanyanya sedikit membungkuk tak ayal Hilara menahan napas lagi saking kagetnya. “A-aku nggak apa-apa," jawab Hilara tergagap. “Gu—aku Lucas,” ucapnya meringis sadar lawan bicaranya tidak menggunakan bahasa remaja umum. “Mungkin lo—ah maksudnya—kamu belum tahu nama aku. Kita satu kelas. Aku duduk di meja paling depan.” Iya, tahu, jawab Hilara dalam hati. Hari pertama di SMA Deltaepsilon memang buruk. Dari semua ketidakberuntungan Hilara, satu hal jadi pengecualian, yaitu saat mengetahui pangeran berkuda putihnya berada dalam satu ruangan dengannya. “Non, sudah sampai," tegur sang sopir membuyarkan ingatan Hilara tentang kejadian menegangkan jam istirahat. Mobil telah berhenti di pelataran apartemen. Hilara menggumamkan terima kasih. Turun dari mobil, dia memasuki apartemen. Penjaga di sana sedikit menunduk begitu Hilara memasuki area lobi. Mereka telah mengetahui siapa Hilara. Mendadak langkah Hilara terhenti di depan pintu lift. Ia baru menyadari selama ini keluar-masuk apartemen selalu bersama Juna, jadi yang suka memijit tombol-tombol di lift ya Juna. Bagaimana ya? Hilara belum bisa menggunakan lift menuju unitnya. Pilihan aman lewat tangga sih. Haduh, capek. Andai unitnya bukan di lantai 14, mungkin Hilara naik tangga saja. Akhirnya dia menyingkir pura-pura menerima telpon. Di dekat pohon sakura plastik, dia buru-buru mencari tutorial memakai lift. Sangat memalukan! Beberapa menit kemudian Hilara kembali ke depan pintu lift mempraktikan hasil pencariannya dari internet. Satu penjaga menelengkan kepala, heran, dari tadi gadis yang selalu bersama Juna tidak kunjung naik ke unitnya. Melihat Hilara mengangguk ramah padanya, si penjaga balas mengangguk kemudian kembali menghadap pintu masuk. Tangan Hilara gemetar memijit tombol lift. Perasaannya membuncah. Ujung-ujung anggota tubuhnya bahkan terasa sangat dingin. Semoga berhasil! Ia berdoa. Ketika pintu lift terbelah dua, Hilara tersentak. Di dalam sana ada orang ternyata. Perempuan itu lagi. Seingat Hilara setiap naik-tutun gedung memakai lift, pasti perempuan itu berdiri di pojok lift menundukkan kepala. Wajahnya tertutupi rambut. Seperti penjaga di depan mungkin perempuan ini bertugas menjaga dakam lift, pikir Hilara jadi tidak fokus tombol mana yang harus dipijit. “Em..., Mbak?” Hilara menoleh pada perempuan berpakaian serba hitam itu, berniat meminta bantuan. “Maaf, Mbak, boleh tanya? Kalo ke lantai 14 caranya gimana?” Agak merinding sekaligus terkejut, dengan terus menunduk perempuan itu menunjuk satu tombol dan tombol lainnya dengan tangannya yang sangat pucat. Hawa dingin membuat Hilara mengusap tengkuk. Hilara mengikuti instruksi si perempuan. Sampai pintu lift tertutup dan angka-angka di dinding berubah, selama itu tidak ada orang yang masuk. Hilara berdua saja dengan perempuan itu. Di lantai 14 Hilara keluar lift. Ia melirik perempuan di pojok itu masih tetap menunduk. Perasaan aneh menyuruh Hilara cepat pergi. *** “Baru pulang, Den?” Wanita sepuh membukakan pintu. Sapaannya sering terdengar setiap pulang sekolah. Wajah kusut Lucas usai menerima les tambahan berubah cepat. Dia segera meraih tangan Sri—wanita yang merawatnya dari bayi. Bagi Lucas, posisi Sri sejajar dengan Luna, yakni ibu. Sebab kesibukan kedua orang tuanya, dari kecil Lucas lebih dekat dengan Sri. “Masak ayam kecap ya, Bi?” tebak Lucas mencium aroma lezat makanan kesukaannya. “Iya, Den. Aden mau mandi dulu atau langsung makan?” tanya Sri. Meski sudah puluhan tahun tinggal di ibu kota, logat Jawa-nya selalu ada. Lucas berseru senang, langkahnya lebar menuju meja makan. Sri tersenyum lebar melihat tuang mudanya begitu semangat menyentong nasi. “Wanginya enak gini. Denger nggak, Bi? Mereka minta dimakan cepet-cepet. ‘Ayo, Lucas makan aku, makan aku!’,” ujar Lucas memijitnya hidungnya menimbulkan suara ngirung. Lantas mereka tertawa bersama. *** Kunci kamar pintu di seberang diputar perlahan. Mengetuk sebentar sebagai tanda izin masuk, lalu Lucas membawa sepiring makanan untuk penghuni kamar. Kata Bi Sri, usai ngamuk tadi pagi nona muda tidak mau makan. Biasanya kalau Lucas yang membujuk akan berhasil. “Malam, Kak. Ini Lucas,” ujar Lucas dijawab keheningan. Makanannya dia taruh di atas nakas. “Katanya kakak belum makan. Ayo, makan dulu. Lucas suapin Kakak.” Masih bergeming, Lucas menghela napas. Dari kecil ia terbiasa menghadapi keadaan kakak perempuannya. Diputarlah kursi roda yang menghadap jendela berteralis besi itu hingga wanita berkulit pucat itu duduk menghadapnya. Lucas tersenyum lebar namun tampak memaksakan. Dia mengangkat sedikit dagu kakak perempuannya agar mereka saling bertatapan. “Makan, ya?” Meski minim ekspresi, Lucas yakin kakaknya menikmati makanan. Suapan demi suapan berhasil masuk ke dalam mulutnya. Apa Lucas bilang, kalau dia yang menyuapi pasti mau. “Kak, aku berhasil menemukan dia.” Kebiasaan Lucas adalah menceritakan semua kegiatannya setiap hari. “Sebentar lagi, Kak. Sebentar lagi.” Lucas merasa keberuntungan sedang memihak. Kakak perempuannya berhenti mengunyah, tatapannya berubah hidup. Lucas pikir kakaknya mendengar perkataan dia barusan. "Kakak bisa dengar aku?" Namun tak lama, kakaknya bersikap seperti robot lagi. Harapan Lucas tak pernah pupus. Suatu saat nanti kakaknya pasti kembali. Usai memastikan kakaknya makan malam dan meminum obat, Lucas memindahkan kakaknya ke tempat tidur. Ada perawat yang biasa melakukan itu. Setiap malam, tugas Lucas hanya membacakan dongeng. Tapi sekarang Lucas sudah besar, kuat mengangkat tubuh kurus kakaknya. Lucas menarik selimut, lalu berbisik, “Good night, Kak.” Ruangan itu pun berubah temaram. Cahaya kekuningan hanya berasal dari lampu duduk di atas nakas. Putaran kunci terdengar tiga kali. Setelahnya sepi. Dalam temaram, wanita itu kembali membuka mata. Diraihnya sesuatu dari balik bantai. Potret seseorang yang dipandangi Lucas beberapa lama. Wanita itu menangis, melampiaskan rindu dengan memeluk gambar itu erat-erat. Ia merasakan sesuatu melihat wajah dalam potret itu. *** Suara bel. Hilara langsung berlari dari ruang tengah untuk membuka pintu. Ternyata tukang antar makanan. Dikiranya Juna. Bersamaan itu ponselnya memunculkan pop up pesan dari Juna. Ayah : Makanan udah dateng? Ayah pulang malam. Hilara mendengkus. Juna bilangnya harus cerita tentang sekolah baru. Sekarang dia ingkar janji, bakal pulang malam. Padahal Hilara punya banyak keluh-kesah, juga mau bertanya apa tawaran Juna mencari sekolah berseragam putih-abu masih berlaku? Kalau masih bisa Hilara mau pindah sekolah saja. Baru hari pertama sudah sakit hati, tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Di atas meja ruang tengah, Hilara menggelar makanan kiriman ayahnya. Banyak sekali, rasanya dia tidak sanggup menghabiskan semua sendirian. Juna memang berlebihan. Hilara mengambil gambar jejeran makanan di meja lalu mengirimkannya pada Juna. Selang tiga menit, Juna membalas. Ayah : Selamat makan "Selamat makan," lirih Hilara pada kesendirian. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD