0.7

1435 Words
Mendengar suara perabotan beradu dari arah dapur, mata Hilara terbuka. Dia menemukan dirinya terbangun di kamar sendiri. Bukannya semalam dia menunggu Juna hingga ketiduran di ruang tengah? Hilara mengucek mata, masih mengantuk. Setengah terpejam kakinya menapaki lantai dingin. Derit-derit di jendela mengurungkan niatan pergi ke kamar mandi. Aneh, setiap pagi terdengar suara itu, seperti seseorang sedang menggosok kaca hingga mengkilat. Sreeeet. Cincin-cincin besi bergesekan. Gorden dibuka kasar ... dan seketika Hilara mematung. Pemandangan kota Jakarta pagi hari sungguh indah. Sinar matahari redup—sebab asap kendaraan menyelimuti kota—menerobos celah antara gedung-gedung tinggi. Jakarta memang tercatat sebagai kota tingkat polusi mengkhawatirkan. Pemandangan ini baru ia jumpa. Hilara menyabet ponsel di atas selimut, sesegera mungkin pemandangan itu harus diabadikan agar nanti masuk ke dalam buku sketsanya. Ujung mata Hilara menangkap kehadiran sesuatu di pinggiran jendela. Menyembul berwarna kuning. Lantas Hilara tersentak, itu helm pekerja proyek bangunan. Seorang pria muncul tak lama kemudian dengan sebuah alat pembersih kaca digerakan naik-turun. Hilara mengembukan napas, pikirnya hantu sebab kalau pencuri tidak mungkin naik gedung sampai lantai 14. Itu pekerja yang membersihkan kaca apartemen. Tapi sepagi ini, kah? Setiap hari pula. “Hilaraaaaa!” Teriakan Juna menyuruhnya bangun. Empat digit angka pada jam digital memaksa Hilara menuruti panggilan ayahnya. Sepertinya semalam Juna yang memindahkan dia dari ruang tengah ke kamar. *** “Pagi!” Juna menoleh sekilas pada kedatangan sang putri. Hilara duduk di mini bar telah siap dengan seragam sekolah. "Pagi," balas Hilara. Kaus putih Juna yang digulung sampai siku memamerkan tangan kekarnya mengocok telur. Hilara memperhatikannya sambil menyangga dagu. “Om bisa masak?” Riuh kocokan telur berjumpa margarin panas di atas teflon balapan dengan suara Juna. “Nggak semua cowok bernama Juna jago masak kayak Chef Juna. Gue misalnya, Juna--Arjuna Widarsona--jagonya bergaya di depan kamera. Cuma buat lo, gue mau turun lagi ke dapur setelah sekian lama.” Ya ... ya ... ya .... Hilara lupa ayahnya tukang pamer. “Terus, harus banget pakai celemek segala?” “Hei! Celemek adalah fashion saat berada di dapur. What’s wrong?” Juna menggedik. "Ini membuat gue terlihat profesional." Tidak salah sih, tapi berlebihan cuma masak telur pakai celemek. Hilara kembali memperhatikan Juna yang memasak. Matanya memang melihat Juna, pikirannya melanglang entah kemana. Sebenarnya Hilara malas ke sekolah. Dunia menyeramkan yang dia hadapi takut terulang. Haruskah mengatakan sejujurnya tentang kejadian kemarin pada Juna? Melihat bagaimana cerahnya Juna pagi ini agaknya sayang bila dinodai kabar buruk. “Mikirin apa, hayo?” Juna menaruh telur dadar di piring di depan Hilara. “Oh, iya, kemarin gimana?” “Gimana apanya?” Hilara pura-pura tidak mengerti apa yang Juna katakan. Menyuap telur beserta nasi panas, Hilara mengernyit, lidahnya menyecap rasa terlalu asin. Betulan deh Juna cuma bisa bergaya di depan kamera, selain itu parah. “Sekolah baru,” ucap Juna menaik-turunkan alis. “Gimana? Keren, kan, sekolahnya?” Kunyahan Hilara kontan berhenti, bukan karena rasa telur dadar yang sangat asin itu tapi karena binar mata Juna yang ... berharap Hilara mengatakan sesuatu menakjubkan. Hilara jadi tidak enak bilang sejujurnya. Ia mengambil minum. “Keren. Canggih, ada lift-nya.” “Weiis ... jelas dong. Harganya mahal! Pinter juga si Bahar milih sekolah.” Juna terkekeh bangga. Entah mengapa Hilara tidak ingin mengecewakan Arjuna. Perasaan asing inu cukup mengganggunya. Hilara lanjut menyantap sarapan buatan Juna. *** Hilara menyakinkan diri, bahwa sikap orang-orang kemarin kemungkinan terlalu kaget. Mereka kaget karena tiba-tiba kedatangan murid baru asal Garut dan mirip dengan gadis yang dirangkul seorang model dalam sebuah tajuk gosip. Berita itu sampai pagi tadi masih jadi perbincangan. Bahar harus memutar otak agar Hilara bisa pergi ke sekolah tanpa ketahuan oleh wartawan keluar dari apartemen Juna. Kerja Bahar memang very good kalau kata Juna. Mereka bisa pergi tanpa di ketahui kerumunan wartawan di depan gedung apartemen. Kekagetan mereka sama seperti kagetnya Hilara saat mengetahui ayahnya adalah Arjuna Widarsona, seorang model kenamaan. Jadilah semalam Hilara men-stalking web resmi SMA Deltaepsilon. Ia ingin mendapatkan teman di sekolah, jika mendapatkan teman sekelas jauh dari harapan, mungkin ia bisa mendapat teman dari satu club. Masa sih di dunia sama sekali tidak ada yang mau berteman dengannya. Kata Bu Fadila cara mengakses web resmi SMA Deltaepsilon menggunakan username dan password nomor pelajar masing-masing. Biasanya setelah mengetahui aksesnya, para siswa akan mengubah password agar orang lain tidak melihat nilai per semester pemilik akun. Di web sekolah ada banyak sekali informasi ekstrakulikuler. Pilihan Hilara jatuh pada Club Jurnalistik. “Wartawan?” Dahi Juna mengkerut. Hilara mengangguk antusias. “Ya ... sejenis itu. Pokoknya yang sering nulis dan cari berita.” “Garing amat. Cari yang seru dong!” komentar Juna memadamkan cengiran Hilara. “Nggak ada yang lain emang? Basket, kek? Kan, ada basket cewek.” “No!” tolak Hilara. “Atau ... tim horenya anak basket. Apa sih Bah namanya?” tanya Juna pada Bahar yang sedang mengemudi di kursi depan. Bahar menoleh sekilas. “Hah? Apaan?” “Itu ... tim horenya anak basket. Yang suka jerit-jerit di pinggir lapangan. Apa namanya?” “Ooooh, itu. Cheerleader?” “Nah! Ikut itu aja, La. Seru!” Hilara memutar mata. “Plis deh Om. Itu bukan aku banget.” Perdebatan panjang di perjalanan menuju sekolah lumayan mencenutkan kepala. Juna keukeuh enggan memberi Hilara izin masuk Club Jurnalistik. Habis Hilara mengancam akan memasuki Club Panjat Tebing kalau tidak diizinkan masuk Club Jurnalistik, akhirnya Juna setuju. "Nggak ada sejarahnya anak Arjuna Widarsona panjat-panjat kayak cicak!" "Kok cicak? Spiderman, dong!" Mendengar perdebatan ayah dan anak di belakangnya, Bahar cuma bisa geleng-geleng kepala. Dalam perdebatan itu Juna kalah. Sebenarnya hanya formalitas. Dengan atau tanpa izin Juna, Hilara pasti mendaftar Club Jurnalistik. Maka di sinilah dia berada. Menurut peta sekolah dekat gerbang pertama, Club Jurnalistik terletak di lantai dua Gedung D. “Kalo nggak salah, di sini tempatnya,” gumam Hilara menemukan papan petunjuk ruangan Club Jurnalistik. Pintu ruangan itu dikunci, juga gorden abu tua menutupi jendelanya. “Tapi kok sepi.” Apa organisasinya sudah bubar ya? Pikir Hilara. Mengintip dari celah jendela, ruangan itu gelap. Merasa diperhatikan dari jauh, kepala Hilara berputar ke setiap sudut lorong lantai dua. Tak ada siapa-siapa. Hilara bersandar pada tiang penyangga gedung, mungkin menunggu sebentar lagi akan ada orang. Dia sangat berharap bisa menemukan teman club. Cekitan sepatu di lantai mengangkat kembali wajah Hilara. Pemuda berjaket hitam berjalan ke arahnya. Lantas dia segera berdiri menghadang pemuda bermimik muka preman tampan itu. “Kak, ini ruangan Club Jurnalistik, ‘kan?” Cowok itu mengenyitkan dahi. Memandang gadis aneh yang berani sekali mencegatnya. Semua orang akan menyingkir tiap dia lewat. Tapi dia ..., siapa sih cewek ini? “Lo nanya gue?” Cowok itu menunjuk mukanya sendiri. “I-iya. Soalnya nggak ada orang lagi selain kita berdua. Jadi Club Jurnalistik di sini, ‘kan? Kok sepi ya?” Otomatis saja lidahnya menyebut cowok garang itu dengan embel-embel “Kak”. Memang cocok disebut begitu. Sepertinya Hilara lebih muda. “Lo nggak tau siapa gue?” tanyanya lagi sebab tak mendapat gelagat ketakutan dari gadis ini. Dia terus melangkah hingga lawan bicaranya terpojok. Apa dia sedang berhadapan dengan anak pemilik sekolah? Hilara membelalak ketakutan punggungnya membentur tembok. Sial, tak bisa mundur lagi. Malah cowok itu terus mendekat menyisakan jarak sekitar lima senti dari wajahnya. Tangannya tergepal bulat siap menerjang sekuat tenaga. “Ma-maaf, Kak. Name tag-nya ke-tu-tutupan jaket.” Hilara tergagap hampir lupa cara bernapas. “Atau ... atau mau kenalan dulu?” Kontan saja cowok itu tergelak. Bukannya ketakutan, gadis ini malah menawarkan perkenalan. Jadi gagal rencananya menakut-nakuti orang. Sedangkan Hilara segera bergeser, mengembuskan napas lega jarak mereka melonggar. Jantungnya hampir copot barusan. “Lo murid baru ya?” tanyanya dijawab anggukan, cowok itu pun mendengkus. “Pantes! Jauh-jauh deh dari tempat ini. Angker.” Hilara mengedarkan pandangannya ke sekeliling gedung. Selain sepi, hawanya juga dingin. “Dulu ada anak jatuh dari rooftop gedung ini terus meninggal di perjalanan menuju rumah sakit. Arwahnya gentayangan, suka banget ganggu murid-murid baru. Apalagi murid baru kayak lo.” “Kenapa sama aku?” Gemes, mungkin, jawabnya dalam hati. “Oh iya, gue Ken. Ssssth! Biar gue tebak.” Ken mengarahkan telunjuknya di pelipis pura-pura berpikir keras, diam-diam dia melirik name tag gadis itu. “Nama lo ... Hi ... Hilara, ‘kan?” Sesuai dugaan Ken, murid baru ini kagum dia bisa menebak namanya. Lucu sekali. “Nah, Hilara ... sekarang lo balik badan, pergi jauh-jauh dari sini. Hush! Hush!” Ken mengibas-ngibaskan tangan lalu berbalik badan. “Tunggu, Kak!” Hilara meraih tangan Ken, dingin sekali. Secepat kilat Ken menarik tangannya hingga Hilara tersentak kaget. “Lo pegang gue?!” “Eh ... ma-maaf, Kak.” Hilara tak menyangka Ken akan semarah itu. Suara Hilara jadi mengecil. “Aku cuma mau tanya, Kak Ken kelas berapa? Mau nggak jadi temen aku?” Seketika Ken tercekat, merasa bersalah. Bukan maksudnya membentak Hilara, tadi dia kaget tiba-tiba tangannya ditarik. Tak kunjung mendapat jawaban, Hilara mendongak. Ken sedang memandangnya sukar diartikan, dia buru-buru menunduk lagi. Kelakuan Hilara yang mirip anak kecil lagi sakit gigi ketahuan makan permen ini membuat Ken tersenyum geli. “Gue ... kelas 12. Kalo mau ketemu, gue ada di gedung ini tiap jam istirahat—-" “Hilara?” Hilara menoleh. Dari kejauhan Lucas tengah melangkah ke arahnya. “Kamu lagi ngapain di sini?” “Aku lagi ngobrol sama—-“ Ketika kembali menghadap Ken. Pemuda itu hilang. Hilara mengedarkan penglihatannya, Ken benar-benar sudah pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD