“Kamu ngapain di sini?”
Hembusan angin menuruni pohon-pohon sekitar gedung menerpa rambut hitamnya. Kalau dipikir-pikir, Lucas selalu datang tiap Hilara sendirian.
“Aku mau daftar Club Jurnalistik. Tapi kayaknya mereka libur hari ini. Daritadi nggak ada orang,” jawab Hilara melirik tempat Ken berdiri sebelum pergi. Dia bertanya-tanya, ke mana perginya Ken. Cepat sekali menghilangnya.
“Oh, jadi kamu?”
“Hah? Aku kenapa?”
Lucas malah tersenyum memamerkan mukanya yang putih mulus cenderung pucat itu dibolongi dua lesung pipi. “Aku anggota Cuju.”
“Cuju?” beo Hilara sambil mengernyit.
“Club Jurnalistik. Kemarin malam ada anak kelas sebelas chat aku, katanya mau daftar Cuju hari ini. Dan ternyata kamu? Kenapa nggak bilang di kelas aja sih? Kalau tahu kamu enggak usah jauh-jauh ke sini."
“Berarti kamu ... Ketua Club Jurnalistik?” Hilara cengengesan. “Aku nggak tahu, Cas, maaf.”
“Ya gitu deh. Hehe,” kekeh Lucas menggaruk kepala, melirik Hilara malu-malu. “Eh, nggak apa-apa. Jangan sungkan ya."
Sebenarnya dari awal Hilara mengetahui Lucas Ketua Club Jurnalistik. Keputusannya memilih Club Jurnalistik karena club lain tak menarik perhatian. Terlalu asing bagi seorang pemalu seperti Hilara. Teman-teman sekelassaja setiap bertemu bagai bertemu musuh, apalagi mereka yang tidak sekelas dengannya. Bisa dibilang keluar kandang buaya masuk kandang singa. Mengerikan.
Akhirnya Hilara mencari tahu Lucas ada di club apa. Sebab Lucas is the one and only di Deltaepsilon yang peduli Hilara. Ternyata Lucas mengikuti hampir semua club di SMA Deltapesilon. Ini orang atau robot? Pikir Hilara. Sudah tampan, baik, pintar, aktif pula. Pantas saja Lucas kesayangan semua orang. Aura Lucas luar biasa serupa magnet, mampu menarik perhatian dalam pandangan pertama. Hilara pun bawaannya ingin dekat-dekat cowok itu. Bersama Lucas, rasanya terlindungi.
“Ayo, masuk. Jadi daftar Cuju, ‘kan?” Lucas membuka kunci pintu. “Ada form yang harus kamu isi.”
"O-oke." Hilara tergagap masuk ke dalam ruangan club.
***
“Kalo butuh bantuan atau tanya apa-apa, hubungi aku aja,” katanya usai menghubungi nomor ponsel Hilara.
Usai mengisi pendaftaran anggota club, mereka resmi saling menyimpan kontak. Lucas mengirim banyak softfile : jadwal kumpul, agenda rutin, daftar anggota yang dilengkapi pas foto berlatar belakang merah dan segala mengenai Cuju. Dia bilang kalau butuh sesuatu mendadak Hilara bisa meminta bantuan seseorang. Tapi rasa-rasanya hanya Lucas yang bisa dimintai bantuan. Hilara makin senang sebab tandanya dia selangkah lebih dekat dengan Lucas.
Hilara menahan senyum sukacita di depan pemuda itu. “Beneran apa aja?”
“Iya.” Lucas mengunci ruang Cuju, lalu menyimpan kembali ponsel dan kunci pintu ke dalam saku.
Kalau pemilik hati kamu, siapa? Eh, Hilara terkekeh sendiri sama pertanyaan bodohnya. Tentu dia tidak berani mengatakan itu. Sepertinya dia terlular kerecehan Juna.
“Kenapa?” tanya Lucas heran melihat Hilara memijit pangkal hidung. “Kamu sakit?”
“O-oh nggak. Aku—"
Bunyi bel tanda jam istirahat berakhir menyelamatkan Hilara. Perhatian Lucas teralihkan.
“Yuk, ke kelas!” Lucas melihat jam tangannya.
Berjalan di samping Lucas begini, menimbulkan rasa bangga sekaligus menakutkan. Pernah satu ketika, Hilara dan Lucas makan di kantin. Sepanjang mereka duduk menikmati makan siang, orang-orang terutama murid perempuan tak segan melempar tatapan sinis bin iri pada Hilara. Mungkin Lucas menyadarinya juga, dia malah tetap santai makan siang. Hilara sampai lelah memasa pergi dari kantin. Tapi selagi Lucas di sisinya, tidak akan ada yang berani macam-macam.
Meski risiko ditanggung lebih berat. Karena kedekatan mereka, tak terhitung jumlah haters Hilara bertambah berapa. Yang baik di Deltaepsilon hanya Lucas soalnya. Mungkin mereka membentuk kelompok tersembunyi pembenci Hilara. Diam-diam menyebarkan gosip miring mengenai Hilara usai scandal-nya dan Arjuna menghebohkan jagat maya. Pihak manajemen Arjuna no comment, kata mereka privasi Arjuna harusnya dihargai bukan digunjing. Ada benarnya juga. Artis, kan, manusia manusia yang punya kehidupan sendiri. Namun Hilara terlanjur dianggap bukan gadis baik-baik.
“Heh, Garut!”
Dia lagi.
Di mana-mana kerjaannya hanya mengganggu dan mempermalukan orang lain. Pakai memanggil Hilara dengan sebutan kota asalnya segala. Memang kenapa sama Garut? Masih satu negara dengannya, ‘kan?
“Jangan didengar,” bisik Lucas.
Hilara mendongak ketika tangannya digenggam hangat Lucas. Panas seketika menjalar di pipi sampai telinganya. Sudah pasti warnanya memerah.
Siulan anak-anak yang bersama Deon di lapangan basket memenuhi telinga. Hilara pun menunduk semakin dalam menatap gerakan langkah kakinya menuruni tangga. Menyerahkan arah jalan sepenuhnya pada Lucas. Cowok itu berjalan tegap seperti biasa. Dagunya yang sedikit diangkat terkesan belagu di mata mereka.
“Ow, ada pahlawannya, mulai berani dia.” Sayup-sayup perkataan Deon ditertawakan kawan-kawannya.
Hilara menumpukkan kekesalan dalam kepalan tangan. Belum pernah ditusuk tanduk domba Garut mereka.
Tiba-tiba Hilara terkesiap, Lucas menariknya dalam satu sentakan.
Dugg!
Benturan keras terdengar diikuti desisan sakit terdengar. Seruan kecewa berasal dari lapangan basket tempat Deon dan teman-temannya menyusul kemudian. Hilara menengadah, mencari tahu apa yang terjadi. Di sana Hilara menemukan Lucas memejam kentara menahan kesakitan.
"Cas?" lirih Hilara.
“Lo ada masalah apa sama gue?!” bentak Lucas membalikkan badan menghadap mereka.
Orang-orang itu berseru kompak.“Uuuuuuu takut.” Lalu tertawa.
Hilara terbelalak, lingkaran coklat tercetak jelas pada kemeja putih di punggung Lucas.
Hilara mencari keberadaan benda yang kemungkinan membentur punggung Lucas. Bola merah itu berada di sisi lapangan.
“Lucas ....” Hilara kehabisan kata. Cowok itu melindunginya lagi.
“Bilang sini di depan gue kalo punya masalah!” Urat-urat di leher Lucas menegang. Dia hendak menerjang Deon kalau Gibran—ketua kelas mereka—tidak menahan pergerakannya terlebih dahulu.
“Udah, Cas. Dia suma bercanda. Malu dilihatin orang,” katanya sembari melihat sekeliling, takut keributan ini dilihat guru.
“Bercandaan kata lo? Dia keterlaluan, Gib!”
“Iya, gue tau! Kayak baru kenal dia aja. Dia, kan, dari dulu emang gitu, Cas.”
Mereka yang belum memasuki kelas sebab pergantian jam menonton ketegangan di lapangan basket.
Deon tersenyum miring. Perkataannya disejutui sekumpulan laki-laki di belakangnya. “Sori, Cas. Lagian lo ngalangin sih.”
Emosi Lucas tersulut kembali. Berusaha lepas dari tahanan Gibran. “Apa lo bilang?!”
Sikap Lucas begitu mengagetkan semua orang. Ternyata seorang Lucas bisa marah. Lucas yang mereka kenal selama ini selalu ramah dan sabar jika dimintai tolong. Ini pasti gara-gara gadis di sampingnya itu. Mereka lupa, Lucas juga manusia.
“Cas!” bentak Gibran.
Lucas baru menghela napas begitu Hilara meraih tangannya sambil memohon. “Udah, Cas."
Lucas balik menggenggam jemari Hilara. Pandangnya mengarah pada perkumpulan teman Deon. “Bilangin tuh temen lo. Baru main di lapangan kecil aja belagu!”
Setelah mengatakan itu Lucas membawa Hilara menjauhi lapangan basket. Deon tampak geram dengan penghinaan Lucas. Dia merebut bola basket di tangan temannya lalu dilempar keras ke arah ring namun meleset. Deon mengumpat kesal. Teman-temannya hanya menggedikkan bahu. Deon dan Lucas tak pernah akur dari dulu.
***
“Hil, Hila, kita mau ke mana?”
Menjauhi lapangan, langkah Hilara berubah menuntunnya. Lucas tahu ke mana mereka akan pergi. Oleh karena itu ka menghentikan langkah.
Hilara berbalik. “Ke ruang kesehatan, Cas. Kamu luka.”
Langkah Hilara terhenti lagi, ditengoknya ke belakang. Lucas tak bergerak sama sekali. “Cas ...,” mohonnya.
Lucas menggelengkan kepala. “Aku benaran nggak apa-apa, Hil.”
Bohong! Mendengar bagaimana kerasnya benturan tadi, Hilara yakin bila bola itu jika mengenai dirinya akan pingsan seketika.
“Aku nggak apa-apa kalau kamu nggak apa-apa,” kata Lucas lagi meyakinkan. Dia menunduk, dilihatnya mata Hilara berembun. Dalam sekali kedip juga air mata gadis itu pasti luruh.
“Mana ada kayak gitu. Kita pisah badan, Cas. Kalau kamu sakit cuma kamu yang merasakan, aku nggak. Ayolah, Cas. Jangan bikin aku merasa bersalah gini. Gara-gara aku, kamu ... kamu—-“
Lucas terkekeh. Perkataan polos Hilara tak terpikirkan olehnya. “Hil, serius aku nggak apa-apa. Luka kayak gini mah kecil, biasa buat anak cowok."
“Mau kecil, mau besar namanya luka harus diobati!” Suara Hilara meninggi, wajahnya merah padam sarat akan kekhawatiran.
Lucas jadi gemas sendiri. Rasa sakit di belikatnya menghilang begitu saja akibat perhatian Hilara ini. dia pernah merasakan pacaran, tapi belum pernah mendapatkan perhatian setulus ini. “Percaya deh, obat di Ruang Kesehatan nggak akan menyembuhkan lukaku.”
Hilara tersedak saliva. Pikirannya langsung bercabang-cabang, mencuat bagai akar tanaman. Isinya : pengobatan, rumah sakit, operasi, obat, biaya, Juna!
“Aku bisa sembuh kalo kamu mau mengabulkan permintaan aku.”
“A-apa?” Hilara mengusap pipinya yang terlanjur basah oleh tetesan air mata.
Apapun asal bukan membangun seribu reflika Monas, Hilara sanggup.
“Malam ini kamu mau, kan, jalan sama aku?”
“Maksudnya gimana sih, Cas?”
Seraya memegang kedua pundak Hilara, Lucas mengulang perkataannya. “Dinner sama aku, mau?”
Lidah Hilara kelu. Sorot tajam Lucas mengatakan keseriusan.
Sedangkan di balik sebuah pilar, seseorang mendengarkan perdebatan mereka. Dia segera menarik diri begitu tatapan Lucas mengetahui keberadaannya.